Alexa memakai pakaian yang diberikan Gala dengan cepat. Selama berpakaian, ia bolak-balik mengintai dari bilik yang terbuat dari bambu. Setelah selesai berpakaian, Alexa merasa ia seperti orang-orangan sawah. Lengannya tak tampak karena lengan kemeja yang kepanjangan. Serta celana yang kepanjangan juga. Ia mengakalinya dengan menggulung lengannya berkali-kali. Setelahnya ia memasukkan kemejanya dalam joger pants. Agar pinggangnya sesuai, ia mengikat talinya kencang dalam simpul yang kuat. Celana yang kepanjangan, ia lipat beberapa kali, baru ia tarik ke atas. Lumayanlah. Setidaknya ia jadi lebih mudah bergerak dan terlihat seperti manusia normal.
"Sudah belum? Memakai pakaian saja kamu lelet sekali, apalagi kalau bekerja nanti. Saya tidak membutuhkan pekerja yang lamban!"
Etdah, itu mulut pengen banget gue sumpel pake pupuk kandang!
"Sudah selesai, Pak. Jangan marah-marah melulu jadi orang, Pak Gala. Nanti Bapak bisa terserang darah tinggi dan mati muda. Sayang 'kan, kalo Bapak mati aja padahal Belum kawin? Rugi karena belum merasakan nikmatnya dunia?" ejek Alexa seraya membuka pintu bilik. Ia menggantungkan pakaian kotornya di balik pintu gubuk.
"Siapa bilang saya belum pernah kawin?" decih Gala sembari bertolak pinggang. Alexa mengernyitkan dahi. Ternyala si Gala yang galak ini sudah pernah menikah ya? Berarti duda dong? Ah, paling juga boss galak ini diceraikan istrinya. Ya tidak salah juga sih. Siapa juga yang tahan mendengar kenyinyirannya coba? Ya kaburlah istrinya.
"Oh Bapak duda ya? Pantes." Alexa mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Pantes kenapa?" sergah Gala. Gadis badung ini kalau berbicara selalu setengah-setengah. Membuatnya penasaran saja.
"Pantes nyinyir. Udah kawin lagi aja, Pak. Pasti nyinyirnya si Bapak bakalan hilang kalau sudah punya istri lagi," cengir Alexa. Ia sekarang meraih sebuah ember besar berwarna hitam seperti yang dibawa para buruh pemetik cabe lainnya. Ember hitam inilah yang dijadikan wadah untuk menampung cabe. Ia bersiap menyusul buruh lainnya untuk memetik cabe.
"Bilang apa kamu?" Gala menghadang langkahnya sembari berkacak pinggang. Alexa memutar bola mata. Ini bossnya hobby banget mencari gara-gara. Hal kecil saja dipermasalahkan. Bagaimana ia tidak ditinggal istri coba?
"Saya bercanda aja kali, Pak. Elah, jangan tegang-tegang amat jadi orang. Kecuali tegangnya di saat yang benar," goda Alexa kembali. Seru juga melihat boss galak ini misuh-misuh. Emang enak gue kerjain? Hehehe.
"Saya bukan tegang. Saya hanya bersikap tegas. Oh ya, mengenai kawin, saya ini sudah pernah kawin. Nikahnya saja yang belum." Gala menaikkan sudut bibirnya. Sorot matanya menyiratkan maksudnya dengan tatapan mesum. Ia ingin memberi pelajaran pada gadis ini, bahwa haram hukumnya memancing-mancing laki-laki dengan kalimat-kalimat ambigu seperti ini. Laki-laki tetaplah laki-laki. Sebaik apapun mereka, ada hasrat liar yang memang sudah diciptakan sepaket dengan hormon testoteron mereka.
Alexa ternganga. Ia tidak menyangka kalau Gala akan menyambut candaan menjurusnya. Anji* bakal panjang ini urusannya. Ia sudah salah langkah dengan memancing-mancing Gala.
"Kamu bilang apa tadi? Saya tegang? Kok kamu tahu saya sedang tegang?"
Ai matiii...
Gayung bersambut sekarang. Sebaiknya ia menjelaskannya dengan cara halus saja. Malu dong kalo keok padahal dirinya yang pertama memancing-mancing. Ia tidak dididik menjadi seorang pengecut.
"Bukan begitu, Pak. Boss. Saya melihat Pak Boss ngegas mulu pagi-pagi. Kagak baik Pak Boss. Hal tersebut akan memicu ketegangan otak Pak Boss. Bukan tegang yang lainnya," terang Alexa dengan pipi memerah. Ia tidak biasa ngeles, apalagi melarikan diri dari masalah yang ia ciptakan. Hanya saja ia akan menjelaskan secara harafiah saja sekarang. Tidak dengan kata-kata provokatif yang ambigu lagi.
"Ayo sekarang kita mulai memanen cabe. Saya bergabung dengan ibu-ibu di sana ya, Pak Boss?" Alexa membuat gerakan hormat ala militer, sebelum bergabung dengan para buruh pemetik cabe lainnya.
"Jangan sembarangan memetik buah cabe, Jamidun. Pelajari dulu cara memetik cabe yang benar dari rekan-rekanmu. Ingat, kalau cabe-cabe itu rusak, saya akan memotong gajimu!" seru Gala.
Eh sianying! Ini orang kagak bisa dibaikin rupanya.
Namun Alexa membiarkannya saja. Semakin ia membantah, semakin rajin pula Gala akan membuatnya emosi jiwa. Sebaiknya ia abaikan saja segala provokasi Gala. Lebih baik ia fokus bekerja, aga ia mempunyai cukup uang untuk membeli ponsel. Ia sudah rindu berselancar di dunia maya, atau minimal bercengkrama dengan keluarga dan teman-temannya.
Sementara di seberang kebun Gala memandang cucu Pak Hamid itu sekali lagi sebelum masuk ke dalam mobil. Semoga saja wanita bar bar itu bisa beradaptasi dengan rekan-rekannya. Mengingat pribadi Jamilah yang keras dan bertempramen panas. Jikalau bukan karena Pak Hamid, ia tidak sudi mempekerjakan perempuan sekasar itu.
***
Alexa mendekati serombongan buruh pemetik cabe yang mayoritas perempuan. Di kebun cabe yang luas ini terbagi beberapa kelompok pemetik cabe. Di kelompok paling ujung mayoritas laki-laki segala usia. Di bagian sebelah kiri banyak ibu-ibu paruh baya. Dan di bagian depan ini mayoritas wanita-wanita muda. Alexa mendekati kelompok yang ini karena sesuai dengan usianya. Dengan begitu ia tidak akan merasa canggung apabila banyak bertanya.
"Wah, kamu buruh baru ya? Kamu kayak orang barat ya?" Beberapa wanita muda menyapanya ramah.
"Iya, Mbak. Gue eh saya masih baru. Nama saya Jamilah. Panggil saja Milah. Saya ini cucu Pak Hamid." Alexa memperkenalkan dirinya dengan sopan.
"Oh cucu Akung Hamid toh? Iya, saya mendengar juga dari ayah saya. Akung Hamid sekarang kembali ke kampung. Katanya ibumu orang Perancis ya?" ujar seorang gadis muda yang lain lagi. Sembari mengobrol tangannya tetap lincah memetiki buah cabe yang merah. Alexa nyengir. Informasi mereka terbalik. Papanyalah yang mempunyai campuran darah Prancis. Makanya nama belakang mereka adalah Delacroix Adam. Namun ia mengikuti alur yang diskenariokan Pak Hamid saja. Toh dirinya di sini juga berindentitas palsu.
"Iya, Mbak. Panggil saya Milah saja. Oh ya, tolong ajarkan saya memetik cabe yang benar ya? Bisa tidak?"
"Bisa dong, Mbak. Kenalkan nama saya Wika. Panggil saja saya Wiwid. Dan mereka-mereka ini teman-teman saya. Namanya Asni, Rita dan Nenny." Wiwid dengan ramah memperkenalkan rekan-rekannya.
"Ayo kebagian sini, Milah." Wiwid berjalan ke arah kerimbunan cabe yang masih belum dipetik.
"Nah, cara memetik cabe itu tidak boleh dicabut arau ditarik ke atas ya, Milah? Tetapi dipuntir searah jarum jam," terang Wiwid seraya mempraktekkan cara memetik cabe.
"Kenapa Wid? Bukannya sama saja? Toh intinya tetap dipetik kan?"
"Beda, Milah. Kalau kita memetiknya dengan ditarik ke arah atas, nanti bunganya akan berguguran sebelum terjadi fertilisasi atau penyerbukan bunga," imbuh Wiwid lagi.
"Oh, oke. Maklum saya tidak pernah memetik cabe dari pohonnya. Paling juga saya membantu mama eh ibu memetik cabe dari tangkainya," cengir Alexa.
"Iyalah. Di kota besar tidak ada lahan luas untuk bercocok tanam lagi ya, Milah? Semuanya sudah jadi gedung-gedung tinggi dan mall-mall kayak di televisi." Wiwid menimpali maklum.
"Nah sekarang perhatikan saya memetik cabe ya? Begini, dipelintir perlahan menggunakan tangan kanan, sementara tangan kiri kita menahan beberapa ruas batang, agar batang tanaman cabe tetap baik dan tidak rusak. Bisa tidak, Milah?"
"Saya coba dulu ya?" Alexa mempraktekan semua ajaran Wiwid. Ia memuntir perlahan cabe yang ranum dengan tangan kanan, dan menahan tangkainya dengan tangan kiri. Berhasil!
"Nah sudah betul itu. Kamu cepat belajar Milah. Kamu memetik mulai dari bagian yang di sini ya? Ingat, pemetikan sebaiknya diprioritaskan pada buah yang sudah tua atau telah matang. Sisakan beberapa buah yang masih muda sampai ia matang sempurna dan siap dipetik. Bisa, Milah?"
"Siap," Alexa mengacungkan jempolnya. Dan sepagian hingga menjelang tengah hari itu ia habiskan dengan memetik buah cabe dengan semangat empat lima.
Menjelas pukul dua belas siang, Alexa merasa perutnya keroncongan. Selain ia ia kepanasan dan kelelahan luar biasa. Berdiri sepanjang pagi dan siang, dengan matahari yang serasa ada di atas kepalanya, membuatnya keliyengan. Ia capek, haus dan lapar.
"Wah, sudah pukul dua belas siang. Kita makan dulu yuk, Milah?" Wiwid mengajaknya makan siang. Alexa memutar bola mata. Makan siang apa? Ia sama sekali tidak membawa bekal apapun. Air minum saja ia tidak punya. Ia benar-benar seperti anak terlantar.
Apalagi setelah ia mengikuti Wiwid yang bergabung dengan buruh-buruh lainnya yang mengaso di bawah sebuah pohon besar. Mereka menggelar tikar dan meletakkan bekal-bekal mereka di sana. Alexa menelan ludah. Makin keroncongan sajalah perutnya. Ia sejenak ingin menyanyikan lagu ; kami ini orang miskin, ya oma ya oma.
"Tapi saya tidak ada bekal, Wid. Saya beneran tidak ada persiapan ke sini. Yah beginilah nasib anak miskin dan terlantar." Alexa menghempaskan tubuh di atas tikar dengan raut wajah mengenaskan. Ia lapar sekali ya Allah. Apalagi rekan-rekan lainnya mulai membuka bekal masing-masing. Aroma sedap ikan asin, sambel dan segala temanya, membuat ususnya kian melilit. Ia hanya bisa mencium-cium udara dengan merana.
"Ini bekalmu, anak terlantar. Jangan membuat malu saya, karena menelantarkan kamu di sini."
"Eh kodok... kodok!"
Alexa kaget saat sesuatu yang dingin dan basah menempel di pipinya. Tanpa ia sadari ternyata Gala ada di belakangnya, dan menempelkan botol air mineral dingin. Buliran air itulah yang mengagetkannya.
"Bilang apa kamu?" Gala melotot. "Saya membawakan bekal makan siangmu dan kamu mengatai saya kodok?" sembur Gala lagi.
"Siniin minumnya!" Alexa merebut air mineral dari tangan Gala. Ia membuka tutup botol dan meneguk air mineral dingin itu hingga separuhnya. Ia memerlukan energi sebelum kembali baku mulut dengan bossnya ini. Untuk itu ia minum dulu, baru menjawab. Ia pun bersendawa keras setelah meneguk separuh lebih air mineral dingin.
Sementara Wiwid, Rita, Asni dan Nenny memandangi terlihat membelalakkan mata melihat kelakuannya. Biar sajalah. Ia memang tidak perlu bersikap kemayu di hadapan Gala. Ia toh tidak dalam misi membuat Gala terpesona. Lain kalau di depan Tangguh Langit Ramadhan. Ups! Laki orang, coeg. Ia harus melupakan Tangguh yang kini sudah menjadi suami Gerhana.
"Maaf, Pak Pak. Namanya saya kaget. Orang kaget kan refleks," ucap Alexa kalem.
"Siniin bekal saya, Pak Boss. Laper beut saya etdah." Alexa membuat ekspresi menyedihkan seraya memegangi perutnya. Gala mendengkus. Ia kemudian memberikan bekal, dan berlalu begitu saja. Gala bergerak lurus ke arah belakangnya. Menemui gerombolan bapak-bapak yang mengaso di sudut lainnya.
"Asikkk... makan." Alexa membuka bekal. Setelahnya ia kebingungan. Gala memberikan nasi tetapi tidak menyediakan sendoknya. Bener-bener ini orang ya? Niat banget menyiksanya.
"Eh, Pak Boss! Ini sendoknya tidak ada. Saya makannya bagaimana? Niat kagak sih ngasih saya makan?" seru Alexa kesal. Mana ia sedang lapar. Dipermainkan seperti ini membuatnya ingin mengamuk saja. Gala tidak tahu kalau ia sedang lapar, ia bisa makan orang.
Gara tidak menjawab. Namun ia kembali menghampirinya. Dan tanpa mengatakan apapun, Gala merobek ujung daunnya. Melipatnya menjadi dua, dan menyendok nasi melalui daun itu. Gala mengalihfungsikan daun sebagai sendok made in dewe.
"Ini sendoknya? Mana bisa, Pak Boss? Daunnya letoi begitu. Nggak bisa kesendok semua nasinya. Lagi pula--hmmpt!
Alexa kaget saat Gala menyuapkan sendok dari media daun itu ke dalam mulutnya. Karena kaget, ia membuka mulut dan mengunyah.
"Udah, saya bisa makan sendiri. Saya--hemmpt!" Gala kembali menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Terdengar tawa geli dari rekan-rekannya. Tinggal mereka berdua memang memalukan. Gala ini memang jago membuat kesal orang. Sialan!
Alexa kembali bersendawa setelah meneguk air mineral. Ah lega sekali. Rasanya dunia kembali terang setelah ia menghabiskan sebungkus nasi dan sebotol air mineral."Kamu punya hubungan apa dengan Pak Gala, Milah?" Alexa melirik seorang gadis ayu yang diperkenalkan Wiwid tadi sebagai Nenny. Di antara banyak teman-teman barunya, sebenarnya Nenny ini yang paling cantik. Wajahnya manis dan gerak-geriknya feminim sekali. Ia juga jarang berbicara. Namun sekalinya membuka mulut, kalimatnya ajaib juga."Memangnya kenapa, Nen?" Alexa balas bertanya. Ia memang tidak menyukai basa basi. Sebenarnya ia sudah bisa menebak ke arah mana Nenny akan menggiring topik pembicaraan. Namun ia sengaja pura-pura tidak tahu saja. Roman-romannya masalah cemburu ini."Nggak apa-apa sih, Milah. Aku-eh saya cuma mau bilang kalau--""Udah pakai aku saja." Alexa memotong kalimat Nenny."Gue juga sebenarnya ribet banget ngomong pake kata ganti saya... saya. Aneh banget rasanya. Berhubung kayaknya kita semua pada seumu
Waktu baru menunjukkan pukul 18. 30 WIB. Namun Alexa sudah merasa mengantuk. Ia baru saja pulang bekerja dari kebun. Setelah seharian bekerja, tubuhnya kini meminta jatah beristirahat. Seumur hidupnya baru beberapa hari inilah ia bekerja begitu keras bagai kuda. Dan kini ia lelah lahir batin.Setelah membersihkan diri, ia bermaksud beristirahat sejenak. Mungkin dengan berbaring sebentar rada capeknya akan hilang. Alexa memejamkan mata sembari meringis kesakitan. Tubuhnya serasa remek semua saat ia membaringkan diri di peraduan. Sudah tiga hari ini ia menjadi buruh pemetik cabe di perkebunan Gala. Tugasnya bekerja dimulai dari pukul tujuh pagi hingga pukul setengah enam sore. Bukan itu saja. Sehari setelah mengantarkannya bekerja dengan mobil pick up yang nyaris lepas pintunya, Gala memberinya alat transportasi sendiri. Berupa sebuah sepeda tua yang kerap ia lihat dalam film-film perjuangan tempo dulu. Bayangkan saja, sebelum ia berdiri seharian memetik cabe, kakinya sudah terlebih dul
"Ya udah Pak Gala temui saja dulu pacarnya. Saya ngambil parangnya sendiri saja." Mendapat kesempatan berkelit, Alexa bermaksud kabur. Ia membalikkan tubuh. Mengambil ancang-ancang untuk kabur. Namun secepat ia bergerak, secepat itu pula Gala menarik pergelangan tangannya."Kamu di sini saja, Midun."Susah amat mau kabur ya? Mana tangan gue dicengkram terus lagi, elahhh. "Lepasin tangan saya, Pak? Bapak nggak liat itu biji mata pacar Bapak sudah seperti akan menggelinding keluar?" Alexa berupaya menarik tangannya. Namun alih-alih melepas, Gala malah mempererat cengkramannya. Sialnya lagi, Gala mengubah pegangannya. Dari yang tadinya mencengkram pergelangan tangan, menjadi menggenggam jemari tangannya. Alexa mendelik kesal. Tapi delikannya hanya ditanggapi dengan suara dengkusan. Sialan!"Mas Gala sedang istirahat makan siang ya?" si gadis cantik menyapa ramah seraya mendekat. Saat si gadis tersenyum, dua lesung pipinya muncul. Kemayu dan lembut sekali pembawaannya. Apalagi saat ini s
"Durian yang mana dulu ya yang dibelah?" Alexa mengeluarkan lima buah durian dari dalam karung goni. Ia memilih-milih sejenak. Mana durian yang ia rasa paling bagus dan enak."Yang mana satu yang harus dibuka dulu ya?" Alexa berbicara sendiri. Ia bingung. Ia hanya pintar membelah buah durian. Tetapi tidak dalam hal memilih buah yang baik. Ia pernah berkali-kali salah memilih. Menurutnya bagus, namun sesampai di rumah malah busuk. Padahal saat membeli ia merasa duriannya sudah cukup wangi. Melihat Alexa ragu-ragu, Gala pun mendekat."Sini saya beritahu tips memilih durian yang baik dan benar. Agar lain kali, kamu piawai saat membeli buah durian." Gala kini ikut jongkok di samping Alexa. Ia kemudian meraih parang dari tangannya. Alexa melirik Gala sengit. Gaya Gala ini sudah menyerupai seorang tukang durian saja. Padahal aslinya mah, tukang cabe dan bawang. Tingkahnya saja yang selangit. Awas saja jika Gala salah memilih, dan membelah durian yang busuk. Akan ia bully setahun penuhlah na
"Masih belum mau pulang juga kamu? Punya istri kok sukanya kelayapan saja. Seharusnya sehabis pulang kerja kamu itu di rumah, Yanti. Mengurus suami." Alexa urung melangkah. Kemunculan seorang laki-laki yang marah-marah di samping Yanti menghadirkan satu dugaan. Laki-laki muda itu pasti suami Yanti. Sepertinya laki-laki sudah cukup lama di sini. Terlihat dari bahasa tubuhnya yang tidak sabaran seraya berkacak pinggang."Aku 'kan harus kerja lagi, Mas. Kalau tidak kita makan apa nantinya? Gaji Mas hanya cukup untuk membeli susu dan beras. Kita butuh makan, membayar listrik dan banyak hal lainnya, Mas," keluh Yanti sembari terus menyusuti air mata."Kerja... kerja terus. Tapi hasilnya tidak seberapa. Sementara tubuhmu makin hari makin kurus dan butek. Tidak ada menarik-menariknya sama sekali. Tidak seperti saat kamu gadis dulu. Coba contoh si Prapti. Usianya sama denganmu. Tapi kalian berdua seperti langit dan bumi. Prapti mulus dan harum aroma parfum. Sementara kamu burik dan berbau bum
Alexa memperhatikan Yanti yang tidak bisa duduk tenang. Sedari tadi Yanti terus memandang pintu. Alexa tahu, Yanti menanti-nanti suami sialannya itu masuk. Begini amat orang kalau sudah bucin ya? Kenyataan dengan kebodohan sampai tidak bisa lagi mereka rasakan. Semoga saja ia tidak akan pernah mengalami kebucinan sampai tingkat nirwana seperti Yanti.Sementara itu, Yanti berkali-kali mengelus dada saat mendengar suara-suara perkelahian dari belakang rumah. Ia takut kalau Eko sampai kenapa-kenapa. Itu artinya biaya lagi bukan? Ke dokter karena patah tulang itu juga butuh biaya. Gala itu walau terlihat dingin, sesungguhnya berdarah panas. Eko dan Gala itu adalah teman kecil. Begitu juga dengan dirinya. Tetapi ia tidak begitu akrab dengan Gala dan Eko. Karena rentang usia mereka yang terlalu jauh. Ia masih anak-anak ketika Gala dan Eko dewasa muda. Mereka juga sama-sama miskin di waktu lalu. Hingga tahun-tahun berlalu dan Gala sukses menjadi pengusaha besar. Olehnya mereka bertiga tahu
"Hallo... wah Mama rupanya yang menelepon. Ada apa, Ma?" bisik Alexa lirih di ponsel. Bukan apa-apa. Selain ponsel pinjaman, suasana di rumah ini juga sangat sepi. Walaupun saat ini ia sudah berjalan hingga ke teras, tetap saja ia takut kalau pembicaraannya dengan mamamya didengar oleh Gala. Kalau sudah seperti itu, bukan hanya dirinya yang akan menerima double hukuman. Tetapi mamanya juga. Papanya kalau sudah memberi hukuman tidak pernah pandang bulu."Ada berita gawat, Lex. Makanya Mama memberanikan diri meneleponmu. Keadaan sekarang sudah siaga satu. Brandon Sanjaya serius mau menikahimu."Huapah? Brandon serius menikahinya? Onde mande... bagaimanalah ini!"Ya tapi, itu kan keinginannya, Ma. Kalau Lexa nggak mau 'kan Brandon nggak bisa maksa juga. Kecuali--""Nah kecualimu itu yang benar. Papamu terlanjur menerima tantangan Pak Hardiman."Celaka dua belas!"Apa? Papa mulai main terima tantang-tantangan lagi?" Alexa rasanya ingin menangis sambil kayang, membayangkan kalau papanya sa
"Non Lexa ke sekolah naik apa?"Pintu kamar Pak Hamid terbuka. Pak Hamid masih mengenakan sarung saat menyusulnya duduk di kursi kayu. Pak Hamid pasti mendengar suara gerubugannya saat bersiap-siap ke sekolah.Alexa yang tengah berusaha menjejalkan jari-jari kakinya ke dalam sepatu, menoleh. Pak Hamid menghampirinya sekarang."Lexa naik sepeda ontel seperti biasa saja, Pak." Setelah memaksakan jari jemari kakinya menekuk dalam sepatu yang kesempitan, Alexa berdiri dengan gagah. Ia tidak boleh banyak mengeluh sekarang. Misinya kali ini menyangkut masa depannya. Untuk itu rintangan seperti apapun, akan ia jalani. "Lokasi sekolah itu lumayan jauh, Non. Hampir dua kali lipat jaraknya dari perkebunan. Bapak takut kalau nanti Non Lexa kecapean. Bapak tadi sudah minta tolong Bagus untuk mengantar Non dengan motor saja ya?" Alexa menggeleng cepat. "Tidak usah, Pak. Jangan mengganggu Bagus, eh Mas Bagus. Lexa tidak enak dengan Indah nantinya."Sudah semua kostum yang dipakainya adalah barang