Share

7. Premanwati pemetik cabe.

Alexa memakai pakaian yang diberikan Gala dengan cepat. Selama berpakaian, ia bolak-balik mengintai dari bilik yang terbuat dari bambu. Setelah selesai berpakaian, Alexa merasa ia seperti orang-orangan sawah. Lengannya tak tampak karena lengan kemeja yang kepanjangan. Serta celana yang kepanjangan juga. Ia mengakalinya dengan menggulung lengannya berkali-kali. Setelahnya ia memasukkan kemejanya dalam joger pants. Agar pinggangnya sesuai, ia mengikat talinya kencang dalam simpul yang kuat. Celana yang kepanjangan, ia lipat beberapa kali, baru ia tarik ke atas. Lumayanlah. Setidaknya ia jadi lebih mudah bergerak dan terlihat seperti manusia normal.

"Sudah belum? Memakai pakaian saja kamu lelet sekali, apalagi kalau bekerja nanti. Saya tidak membutuhkan pekerja yang lamban!"

Etdah, itu mulut pengen banget gue sumpel pake pupuk kandang!

"Sudah selesai, Pak. Jangan marah-marah melulu jadi orang, Pak Gala. Nanti Bapak bisa terserang darah tinggi dan mati muda. Sayang 'kan, kalo Bapak mati aja padahal Belum kawin? Rugi karena belum merasakan nikmatnya dunia?" ejek Alexa seraya membuka pintu bilik. Ia menggantungkan pakaian kotornya di balik pintu gubuk.

"Siapa bilang saya belum pernah kawin?" decih Gala sembari bertolak pinggang. Alexa mengernyitkan dahi. Ternyala si Gala yang galak ini sudah pernah menikah ya? Berarti duda dong? Ah, paling juga boss galak ini diceraikan istrinya. Ya tidak salah juga sih. Siapa juga yang tahan mendengar kenyinyirannya coba? Ya kaburlah istrinya.

"Oh Bapak duda ya? Pantes." Alexa mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Pantes kenapa?" sergah Gala. Gadis badung ini kalau berbicara selalu setengah-setengah. Membuatnya penasaran saja.

"Pantes nyinyir. Udah kawin lagi aja, Pak. Pasti nyinyirnya si Bapak bakalan hilang kalau sudah punya istri lagi," cengir Alexa. Ia sekarang meraih sebuah ember besar berwarna hitam seperti yang dibawa para buruh pemetik cabe lainnya. Ember hitam inilah yang dijadikan wadah untuk menampung cabe. Ia bersiap menyusul buruh lainnya untuk memetik cabe.

"Bilang apa kamu?" Gala menghadang langkahnya sembari berkacak pinggang. Alexa memutar bola mata. Ini bossnya hobby banget mencari gara-gara. Hal kecil saja dipermasalahkan. Bagaimana ia tidak ditinggal istri coba?

"Saya bercanda aja kali, Pak. Elah, jangan tegang-tegang amat jadi orang. Kecuali tegangnya di saat yang benar," goda Alexa kembali. Seru juga melihat boss galak ini misuh-misuh. Emang enak gue kerjain? Hehehe.

"Saya bukan tegang. Saya hanya bersikap tegas. Oh ya, mengenai kawin, saya ini sudah pernah kawin. Nikahnya saja yang belum." Gala menaikkan sudut bibirnya. Sorot matanya menyiratkan maksudnya dengan tatapan mesum. Ia ingin memberi pelajaran pada gadis ini, bahwa haram hukumnya memancing-mancing laki-laki dengan kalimat-kalimat ambigu seperti ini. Laki-laki tetaplah laki-laki. Sebaik apapun mereka, ada hasrat liar yang memang sudah diciptakan sepaket dengan hormon testoteron mereka.

Alexa ternganga. Ia tidak menyangka kalau Gala akan menyambut candaan menjurusnya. Anji* bakal panjang ini urusannya. Ia sudah salah langkah dengan memancing-mancing Gala.

"Kamu bilang apa tadi? Saya tegang? Kok kamu tahu saya sedang tegang?"

Ai matiii...

Gayung bersambut sekarang. Sebaiknya ia menjelaskannya dengan cara halus saja. Malu dong kalo keok padahal dirinya yang pertama memancing-mancing. Ia tidak dididik menjadi seorang pengecut.

"Bukan begitu, Pak. Boss. Saya melihat Pak Boss ngegas mulu pagi-pagi. Kagak baik Pak Boss. Hal tersebut akan memicu ketegangan otak Pak Boss. Bukan tegang yang lainnya," terang Alexa dengan pipi memerah. Ia tidak biasa ngeles, apalagi melarikan diri dari masalah yang ia ciptakan. Hanya saja ia akan menjelaskan secara harafiah saja sekarang. Tidak dengan kata-kata provokatif yang ambigu lagi.

"Ayo sekarang kita mulai memanen cabe. Saya bergabung dengan ibu-ibu di sana ya, Pak Boss?" Alexa membuat gerakan hormat ala militer, sebelum bergabung dengan para buruh pemetik cabe lainnya.

"Jangan sembarangan memetik buah cabe, Jamidun. Pelajari dulu cara memetik cabe yang benar dari rekan-rekanmu. Ingat, kalau cabe-cabe itu rusak, saya akan memotong gajimu!" seru Gala.

Eh sianying! Ini orang kagak bisa dibaikin rupanya.

Namun Alexa membiarkannya saja. Semakin ia membantah, semakin rajin pula Gala akan membuatnya emosi jiwa. Sebaiknya ia abaikan saja segala provokasi Gala. Lebih baik ia fokus bekerja, aga ia mempunyai cukup uang untuk membeli ponsel. Ia sudah rindu berselancar di dunia maya, atau minimal bercengkrama dengan keluarga dan teman-temannya.

Sementara di seberang kebun Gala memandang cucu Pak Hamid itu sekali lagi sebelum masuk ke dalam mobil. Semoga saja wanita bar bar itu bisa beradaptasi dengan rekan-rekannya. Mengingat pribadi Jamilah yang keras dan bertempramen panas. Jikalau bukan karena Pak Hamid, ia tidak sudi mempekerjakan perempuan sekasar itu.

***

Alexa mendekati serombongan buruh pemetik cabe yang mayoritas perempuan. Di kebun cabe yang luas ini terbagi beberapa kelompok pemetik cabe. Di kelompok paling ujung mayoritas laki-laki segala usia. Di bagian sebelah kiri banyak ibu-ibu paruh baya. Dan di bagian depan ini mayoritas wanita-wanita muda. Alexa mendekati kelompok yang ini karena sesuai dengan usianya. Dengan begitu ia tidak akan merasa canggung apabila banyak bertanya.

"Wah, kamu buruh baru ya? Kamu kayak orang barat ya?" Beberapa wanita muda menyapanya ramah.

"Iya, Mbak. Gue eh saya masih baru. Nama saya Jamilah. Panggil saja Milah. Saya ini cucu Pak Hamid." Alexa memperkenalkan dirinya dengan sopan.

"Oh cucu Akung Hamid toh? Iya, saya mendengar juga dari ayah saya. Akung Hamid sekarang kembali ke kampung. Katanya ibumu orang Perancis ya?" ujar seorang gadis muda yang lain lagi. Sembari mengobrol tangannya tetap lincah memetiki buah cabe yang merah. Alexa nyengir. Informasi mereka terbalik. Papanyalah yang mempunyai campuran darah Prancis. Makanya nama belakang mereka adalah Delacroix Adam. Namun ia mengikuti alur yang diskenariokan Pak Hamid saja. Toh dirinya di sini juga berindentitas palsu.

"Iya, Mbak. Panggil saya Milah saja. Oh ya, tolong ajarkan saya memetik cabe yang benar ya? Bisa tidak?"

"Bisa dong, Mbak. Kenalkan nama saya Wika. Panggil saja saya Wiwid. Dan mereka-mereka ini teman-teman saya. Namanya Asni, Rita dan Nenny." Wiwid dengan ramah memperkenalkan rekan-rekannya.

"Ayo kebagian sini, Milah." Wiwid berjalan ke arah kerimbunan cabe yang masih belum dipetik.

"Nah, cara memetik cabe itu tidak boleh dicabut arau ditarik ke atas ya, Milah? Tetapi dipuntir searah jarum jam," terang Wiwid seraya mempraktekkan cara memetik cabe.

"Kenapa Wid? Bukannya sama saja? Toh intinya tetap dipetik kan?"

"Beda, Milah. Kalau kita memetiknya dengan ditarik ke arah atas, nanti bunganya akan berguguran sebelum terjadi fertilisasi atau penyerbukan bunga," imbuh Wiwid lagi.

"Oh, oke. Maklum saya tidak pernah memetik cabe dari pohonnya. Paling juga saya membantu mama eh ibu memetik cabe dari tangkainya," cengir Alexa.

"Iyalah. Di kota besar tidak ada lahan luas untuk bercocok tanam lagi ya, Milah? Semuanya sudah jadi gedung-gedung tinggi dan mall-mall kayak di televisi." Wiwid menimpali maklum.

"Nah sekarang perhatikan saya memetik cabe ya? Begini, dipelintir perlahan menggunakan tangan kanan, sementara tangan kiri kita menahan beberapa ruas batang, agar batang tanaman cabe tetap baik dan tidak rusak. Bisa tidak, Milah?"

"Saya coba dulu ya?" Alexa mempraktekan semua ajaran Wiwid. Ia memuntir perlahan cabe yang ranum dengan tangan kanan, dan menahan tangkainya dengan tangan kiri. Berhasil!

"Nah sudah betul itu. Kamu cepat belajar Milah. Kamu memetik mulai dari bagian yang di sini ya? Ingat, pemetikan sebaiknya diprioritaskan pada buah yang sudah tua atau telah matang. Sisakan beberapa buah yang masih muda sampai ia matang sempurna dan siap dipetik. Bisa, Milah?"

"Siap," Alexa mengacungkan jempolnya. Dan sepagian hingga menjelang tengah hari itu ia habiskan dengan memetik buah cabe dengan semangat empat lima.

Menjelas pukul dua belas siang, Alexa merasa perutnya keroncongan. Selain ia ia kepanasan dan kelelahan luar biasa. Berdiri sepanjang pagi dan siang, dengan matahari yang serasa ada di atas kepalanya, membuatnya keliyengan. Ia capek, haus dan lapar.

"Wah, sudah pukul dua belas siang. Kita makan dulu yuk, Milah?" Wiwid mengajaknya makan siang. Alexa memutar bola mata. Makan siang apa? Ia sama sekali tidak membawa bekal apapun. Air minum saja ia tidak punya. Ia benar-benar seperti anak terlantar.

Apalagi setelah ia mengikuti Wiwid yang bergabung dengan buruh-buruh lainnya yang mengaso di bawah sebuah pohon besar. Mereka menggelar tikar dan meletakkan bekal-bekal mereka di sana. Alexa menelan ludah. Makin keroncongan sajalah perutnya. Ia sejenak ingin menyanyikan lagu ; kami ini orang miskin, ya oma ya oma.

"Tapi saya tidak ada bekal, Wid. Saya beneran tidak ada persiapan ke sini. Yah beginilah nasib anak miskin dan terlantar." Alexa menghempaskan tubuh di atas tikar dengan raut wajah mengenaskan. Ia lapar sekali ya Allah. Apalagi rekan-rekan lainnya mulai membuka bekal masing-masing. Aroma sedap ikan asin, sambel dan segala temanya, membuat ususnya kian melilit. Ia hanya bisa mencium-cium udara dengan merana.

"Ini bekalmu, anak terlantar. Jangan membuat malu saya, karena menelantarkan kamu di sini."

"Eh kodok... kodok!"

Alexa kaget saat sesuatu yang dingin dan basah menempel di pipinya. Tanpa ia sadari ternyata Gala ada di belakangnya, dan menempelkan botol air mineral dingin. Buliran air itulah yang mengagetkannya.

"Bilang apa kamu?" Gala melotot. "Saya membawakan bekal makan siangmu dan kamu mengatai saya kodok?" sembur Gala lagi.

"Siniin minumnya!" Alexa merebut air mineral dari tangan Gala. Ia membuka tutup botol dan meneguk air mineral dingin itu hingga separuhnya. Ia memerlukan energi sebelum kembali baku mulut dengan bossnya ini. Untuk itu ia minum dulu, baru menjawab. Ia pun bersendawa keras setelah meneguk separuh lebih air mineral dingin.

Sementara Wiwid, Rita, Asni dan Nenny memandangi terlihat membelalakkan mata melihat kelakuannya. Biar sajalah. Ia memang tidak perlu bersikap kemayu di hadapan Gala. Ia toh tidak dalam misi membuat Gala terpesona. Lain kalau di depan Tangguh Langit Ramadhan. Ups! Laki orang, coeg. Ia harus melupakan Tangguh yang kini sudah menjadi suami Gerhana.

"Maaf, Pak Pak. Namanya saya kaget. Orang kaget kan refleks," ucap Alexa kalem.

"Siniin bekal saya, Pak Boss. Laper beut saya etdah." Alexa membuat ekspresi menyedihkan seraya memegangi perutnya. Gala mendengkus. Ia kemudian memberikan bekal, dan berlalu begitu saja. Gala bergerak lurus ke arah belakangnya. Menemui gerombolan bapak-bapak yang mengaso di sudut lainnya.

"Asikkk... makan." Alexa membuka bekal. Setelahnya ia kebingungan. Gala memberikan nasi tetapi tidak menyediakan sendoknya. Bener-bener ini orang ya? Niat banget menyiksanya.

"Eh, Pak Boss! Ini sendoknya tidak ada. Saya makannya bagaimana? Niat kagak sih ngasih saya makan?" seru Alexa kesal. Mana ia sedang lapar. Dipermainkan seperti ini membuatnya ingin mengamuk saja. Gala tidak tahu kalau ia sedang lapar, ia bisa makan orang.

Gara tidak menjawab. Namun ia kembali menghampirinya. Dan tanpa mengatakan apapun, Gala merobek ujung daunnya. Melipatnya menjadi dua, dan menyendok nasi melalui daun itu. Gala mengalihfungsikan daun sebagai sendok made in dewe.

"Ini sendoknya? Mana bisa, Pak Boss? Daunnya letoi begitu. Nggak bisa kesendok semua nasinya. Lagi pula--hmmpt!

Alexa kaget saat Gala menyuapkan sendok dari media daun itu ke dalam mulutnya. Karena kaget, ia membuka mulut dan mengunyah.

"Udah, saya bisa makan sendiri. Saya--hemmpt!" Gala kembali menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Terdengar tawa geli dari rekan-rekannya. Tinggal mereka berdua memang memalukan. Gala ini memang jago membuat kesal orang. Sialan!

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Silvia Ratnasari
ahahahah bikin ngakak debatnya.........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status