Share

Keputusan Joshua

Malam harinya Joshua membacakan buku cerita kesukaan Celine hingga anaknya itu tertidur. Oma Merry merasa senang sekali putranya kembali melakukan kembali kebiasaannya yang sempat terhenti selama hampir setahun terakhir itu. Celine terlelap dengan mengulas senyum bahagia di wajahnya yang lucu menggemaskan.

           

“Ayo keluar, Mama mau bicara,” bisik perempuan setengah baya itu kepada putranya. Joshua mengangguk mengiyakan. Setelah mengecup dahi putrinya dan menyelimuti tubuh mungil itu, laki-laki berperawakan kekar itu mematikan lampu kamar dan menutup pintu. Dia lalu menyusul ibunya duduk di sofa ruang keluarga.

           

“Kau dengar sendiri kan, doa Celine tadi siang di depan pusara Sonya?” tanya Oma Merry pada putranya yang duduk tepat di sebelahnya.

           

Laki-laki tampan itu mengangguk. Aku memang dengar, tapi terus bagaimana? pikirnya tak mengerti. Miss Amanda itu masih begitu muda, cantik, dan masa depannya terbentang luas. Masa kuhancurkan begitu saja.

           

“Lalu apa tindakanmu selanjutnya, Anakku?” tanya Oma Merry penasaran. “Aku sudah berupaya membukakan jalan untukmu. Tinggal dirimu yang harus berinisiatif mendekati Miss Amanda. Kalian berdua mempunyai kecocokkan, Nak. Aku bisa merasakannya waktu di sekolah tadi.”

           

“Kecocokkan apa, Ma? Jangan mengada-ada, ah.”

           

“Aku melihat sinar matanya penuh kekaguman saat pertama kali melihatmu. Demikian juga denganmu, Nak. Sampai lupa melepaskan tangannya waktu berkenalan. Hehehe….”

           

Joshua jadi nyengir malu.

           

“Gadis itu cantik sekali, kan? Senyumannya begitu bersinar dan membuat hati siapapun luluh melihatnya.”

           

“Dia masih muda sekali, Ma.”

           

“Lalu kenapa? Dia salah satu guru favorit di sekolah. Anak-anak sangat menyukainya, terutama Celine. Percayalah Josh, Miss Amanda itu bisa menjadi ibu yang baik buat anakmu.”

           

“Kalau dia mau, Ma….”

           

“Berarti kamu sendiri nggak keberatan?”

           

Joshua tersentak mendengar perkataan ibunya. Pintar sekali Mama menjebakku! keluhnya dalam hati. Dilihatnya perempuan yang dikasihinya itu mengerling nakal.

           

“Aku ini sudah tua, Ma….”

           

“Tiga puluh tujuh tahun itu bukan tua, Nak. Itu matang, dewasa, kenyang makan asam garam kehidupan!”

           

“Lalu apa yang bisa kuberikan pada gadis itu, Ma? Mama tahu sendiri aku mempunyai kelemahan….”

           

Oma Merry menatap mata anaknya dalam-dalam. Perempuan separuh baya itu kemudian berkata lembut, “Di dunia ini tak ada seorang manusia pun yang sempurna, Anakku. Tapi yang Mama tahu pasti, Tuhan itu menciptakan manusia untuk hidup berpasang-pasangan. Tinggal manusianya sendiri mau memperjuangkan jodohnya atau tidak.”

           

“Lalu bagaimana caranya aku bisa mengetahui kalau Miss Amanda adalah jodohku, Ma?”

           

Oma Merry tersenyum bijaksana. “Berdoalah meminta petunjuk Tuhan,” ucapnya lirih. Lalu jari telunjukkan diarahkan pada ulu hati putranya, “Lalu dengarkan kata hati nuranimu. Kamu akan mengetahui jawabannya dan dapat menentukan langkah selanjutnya.”

           

Joshua termenung mendengarkan kalimat-kalimat ibunya. Dia tidak berani menaruh harapan terlalu tinggi. Tapi akan dicobanya saran wanita yang telah melahirkannya ke dunia itu.

           

“Baiklah, Ma,” ucapnya sepenuh hati. “Jujur saja aku memang mempunyai kesan yang baik terhadap gurunya Celine itu. Tapi aku tidak berani menaruh harapan yang terlalu tinggi, takut kecewa. Dan Mama harus berjanji….”

           

“Janji apa, Josh?” tanya Oma Merry memotong ucapan Joshua.

           

Ayah Celine itu menatapnya serius dan berkata tegas, “Ini untuk yang pertama dan terakhir kalinya Mama menjodoh-jodohkan diriku. Seandainya aku tidak berjodoh dengan Miss Amanda, Mama harus bisa menerima dengan lapang dada bahwa aku tidak akan pernah menikah lagi seumur hidupku.”

           

Walaupun merasa agak ngeri dengan ucapan anaknya tersebut, Oma Merry terpaksa menganggukkan kepalanya tanda setuju. Aku tidak mempunyai pilihan lain, cetusnya dalam hati. Daripada anakku nanti tidak mau berusaha memperjuangkan kebahagiannya sendiri, lebih baik aku mengikuti apapun kemauannya saat ini. Ya Tuhan, doanya dalam hati. Mudah-mudahan firasatku tidak salah. Semoga guru Celine yang baik hati itu memang kau peruntukkan bagi Joshua, anakku.

***

Miss Amanda, ini Joshua, papanya Celine. Tolong tanya, apakah besok Sabtu jam dua siang kita jadi bertemu di lobi K-Mall? Terima kasih.

Amanda membaca pesan WA itu dengan hati berbunga-bunga. Sopan sekali chat papanya Celine ini, gumamnya dalam hati. Sudah ganteng, gagah, kaya, santun pula. Kenapa sampai sekarang belum menikah lagi, ya? Umurnya masih muda. Pasti banyak perempuan di luar sana yang tidak keberatan dipinangnya.

           

“Hai, Bu Guru! Ngapain baca chat sambil senyum-senyum sendiri? Kayak lagi jatuh cinta aja.”

           

Amanda terkesiap mendengar candaan Fanny, teman kosnya. Sahabat karibnya semenjak duduk di bangku kuliah itu tergelak sembari berusaha merampas ponsel yang dipegangnya.

           

“Apaan, sih! Mau tahu aja.”

           

“Kamu kayak gadis remaja yang lagi dimabuk asmara, Manda. Lihat tuh, pipimu memerah kayak kepiting rebus. Hahaha….”

           

“Masa, sih?” sahut Amanda tak percaya. Dia lalu bangkit berdiri untuk meraih cermin kecil di atas meja. Secepat kilat, Fanny berhasil merebut ponsel sahabatnya itu. Amanda sontak berteriak, “Kembalikan ponselku, Fan!”

           

Sahabatnya tertawa menggoda. Dibacanya pesan WA yang tadi membuat guru TK di depannya itu tersenyum-senyum sendiri.

           

“Oh, ternyata pesan dari Joshua, papanya Celine. Kubalas apa, nih? Baik, Pak Joshua. Atau…ok, Mas Joshua. Hahaha….”

           

“Brengsek! Cepat kembalikan.”

           

“Ok deh, kujawab yang kedua, ya. Yes, done!”

           

Fanny menyodorkan ponsel berwarna putih itu kepada pemiliknya yang melotot marah. Dia tertawa cekikikan melihat ekspresi Amanda yang baginya tampak lucu itu.

           

“Hahaha…, aku cuma bergurau, kok. Mana berani aku menjatuhkan reputasi Miss Amanda yang sangat santun di depan orang tua murid.”

           

Amanda menghela napas lega. Syukurlah, Fanny cuma bergurau. Aku tidak tahu bagaimana menghadapi Pak Joshua kalau Fanny benar-benar membalas chat WA-nya dengan kata-kata yang tak patut diucapkan oleh seorang guru kepada orang tua murid! cetusnya dalam hati.

           

Lalu dengan hati-hati gadis itu membalas pesan WA tersebut demikian:

            Baik, Pak Joshua. Sampai ketemu besok pukul 2 siang di lobi K-Mall. Terima kasih.

“Udah balas chat-nya, Man? Lihat, dong,” pinta Fanny ingin tahu.

           

“Nggak. Kamu nyebelin.”

           

“Hehehe…, gitu aja ngambek. Ngomong-ngomong, kenapa papanya Celine yang kontak kamu? Kok nggak mamanya?”

           

“Mamanya udah meninggal dunia.”

           

OMG, kasihan banget! Umur berapa Celine waktu itu?”

           

“Nggak tahu. Omanya nggak pernah cerita.”

           

“Omanya?”

           

“Iya. Omanya yang setiap hari mengantar-jemput Celine di sekolah.”

           

“Kok bukan Omanya yang chat kamu barusan?”

           

“Nggak tahu. Malas kali.”

           

Dahi Fanny terlihat berkerut. “Memangnya sudah berapa kali papanya Celine chat

kamu, Man?”

           

“Baru kali ini. Wong baru kenal dua hari lalu, kok.”

           

“Heh?! Memangnya Celine itu murid baru?”

           

“Nggak. Udah tiga tahun dia belajar di sekolah tempatku bekerja.”

           

“Kok kamu baru kenal papanya dua hari yang lalu?”

           

“Karena dia baru pertama kali datang menjemput anaknya di sekolah.”

           

“Wah, wah, wah…parah, ya? Atau barangkali dia udah benar-benar mempercayakan Celine kepada omanya, ya?”

           

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status