Share

Amarta : Eternal Curse
Amarta : Eternal Curse
Penulis: Dara Aksara

Bab 1 Amarta

Aku Amarta, seorang gadis yang tidak pernah menua. Tentunya itu bukan nama asliku. Aku selalu pergi ke tempat berbeda dengan memakai nama yang berbeda pula. Namun, entah mengapa 'Amarta' sangat lekat di hatiku. Aku jatuh cinta pada nama itu.

Aku ingat betul siapa yang memberiku nama itu. Seorang lelaki yang rela meninggalkan istri juga anaknya untuk datang padaku. Lelaki berkebangsaan Belanda yang ditangannya sudah penuh dengan darah orang pribumi. Kami banyak menghabiskan malam bersama, namun lucunya sampai saat terakhir pun aku tak tahu siapa namanya. 

Dia mungkin mengira aku wanita cantik bodoh yang hanya ingin hidup aman, namun sebenarnya dialah yang sedang mempersiapkan upacara pemakaman.

Pada malam terakhir kami bersama, seperti biasa dia datang ketempat dimana kami biasa bertemu. Aku sudah tahu apa yang ia mau. Beberapa adegan panas di atas ranjang, juga sedikit kata-kata asmara sudah membuatnya mabuk dan tak sadar akan dunia.

Tanpa ia sadari, akupun mengambil energi yang ia miliki setiap kali kami bercumbu. Tak heran, semakin hari wajah rupawannya kian menua. Sudah tak ada cukup energi yang tersisa. Maka malam itu aku memutuskan untuk menyudahi semuanya.

Disela-sela deru nafasnya yang berat penuh kenikmatan, ia memberiku nama. 'Amarta' , sebuah nama yang berasal dari bahasa sansekerta memiliki arti 'keabadian yang tak terlupakan'. 

Dia benar, nama itu cocok sekali untukku. Aku yang hidup abadi, dan tidak mudah untuk dilupakan.

"Terimakasih." Ucapku seraya memberinya sebuah ciuman yang dalam. 

Dia hanya tersenyum dengan peluh mengalir diatas kulit pucatnya. Hingga saat hujaman terakhirnya, aku menyerap seluruh energi pada tubuh itu hingga kering, dan tak tersisa. Aku menghabisinya di sana, tanpa busana dan masih dalam keadaan tersenyum walau wajahnya sudah terlihat samar karena seluruh kulitnya menjadi keriput.

Aku menatap jasad itu, siapa sangka seorang lelaki yang semasa hidupnya gagah dan tampan berakhir mengenaskan. Badan jangkungnya meringkuk di atas tempat tidur. Seluruh tubuhnya mengering, Hanya tersisa tulang yang dibalut oleh lapisan tipis berwarna coklat kehitaman.

Aku sudah merasa cukup dengan energi yang selama ini ia berikan. Satu manusia yang aku serap energinya sampai mati memberiku energi kehidupan sampai dua puluh tahun yang akan datang. Harta yang ia berikan pun cukup untukku keluar dari daerah ini. Aku akan memulai kehidupan baru ditempat lain. Berkencan lagi, dan tetap hidup abadi. Sesuai dengan namaku. Amarta.

***

Desember 1995...

Tidak ada yang mengalahkan riuhnya malam di penghujung tahun, Desember selalu ramai dengan kesenangan. Begitulah yang aku tahu setelah hidup dari dekade ke dekade; melihat manusia mulai sedikit demi sedikit mengadopsi kebiasaan bangsa lain, juga menjadi saksi atas macam-macam peristiwa besar dalam sejarah bangsa. Hingga aku hapal betul, bahwa manusia itu tidak lebih dari seonggok daging penuh keserakahan.

Malam itu entah mengapa aku tak berselera. Aku bisa saja mencari lelaki hanya untuk cinta satu malam, mengambil energinya untuk lima sampai sepuluh tahun masa hidupku. Namun aku lelah. Setelah lebih dari seratus tahun hidup, bercinta tidak lagi senikmat itu. 

Aku memutuskan untuk kembali ke hotel. Ya, aku hanya singgah disini, di kota pelajar. Banyak sekali mahasiswa polos yang bisa aku tiduri di sini. Namun tidak malam ini. 

"Hai cantik, mau aku temani?" Seorang lelaki dengan tubuh berotot mencegatku ditengah jalan.

"Maaf, malam ini aku sibuk. Mungkin kita bisa bertemu dilain hari," ucapku seraya tersenyum.

"Dimana aku bisa menemuimu?" lelaki itu menyentuh lembut bahuku.

"Aku menginap disalah satu hotel di sana." Aku menunjuk deretan penginapan diseberang jalan.

Aku melambaikan tangan, "sampai jumpa besok." Lambaian tangan diiringi sebuah kedipan mata menghipnotis lelaki itu.

"Dia seperti orang bodoh." gumamku.

Ditengah perjalanan, langit malam yang cerah mulai mendung. Awan-awan hitam penghantar hujan sudah siap menumpahkan apa yang ia bawa. 

"Hah..., Lagi-lagi berjalan ditengah hujan," gumamku.

Aku melepaskan sepatu hak yang membalut kakiku. Menapakkannya pada jalanan keras yang basah. Gemericik air yang mengenai atap rumah, juga petir yang sesekali datang, menemaniku sepanjang perjalanan.

Sampai pada saat aku melewati sebuah jalanan yang gelap diantara gedung hotel, dari sana suara rintihan yang tersapu hujan terdengar samar. Aku menghentikan langkahku. Dengan seksama aku memasang telinga. Jelas sekali, suara seorang wanita yang sedang merintih kesakitan berasal dari jalanan tanpa penerangan itu.

Aku memutuskan untuk mencarinya. Samar-samar aku berusaha menajamkan pengelihatan. Ini tidak sulit, aku pernah mengalami malam yang lebih gelap dibandingkan dengan ini, hujan yang lebih lebat dibandingkan dengan ini, dan petir yang lebih keras dibandingkan dengan ini.

"Tolong... Jangan... " 

"Hahhaha, menangis saja sesukamu, karena kami akan menikmati tubuhmu sesuka kami!" Suara rintihan itu dibalas gelak tawa yang nyaring.

Perlahan aku melihat bayangan tubuh kekar dan tinggi sedang berdiri dengan sebatang rokok yang sudah padam dan basah. Dia lelaki. Dua orang lelaki lebih tepatnya.

Salah seorang lelaki dengan kasar menjambak rambut perempuan yang sudah tergeletak  lemah diatas aspal itu. Dia menamparnya keras, lalu tertawa. 

Aku menghela nafas berat.

Jelas sekali apa yang akan mereka lakukan, tindakan tak bermoral dari para lelaki tak berotak.

"Hai!" sapaku.

Dengan sengaja aku menjatuhkan sepasang sepatu hak tinggi yang ku bawa. Suaranya bergema karena keadaan begitu hening. Lalu dengan cepat dua lelaki itu melemparkan pandangan waspada padaku. Hanya sesaat, sebelum wajah mereka mulai dihiasi seringai mengerikan.

"Wah, lihat siapa yang datang! Satu lagi domba untuk berpesta." Lelaki itu tertawa.

Mereka saling melemparkan pandangan, kemudian lelaki dengan rambut panjang itu mendekatiku. Menyentuh wajahku dengan sensual. Beberapa kali ia memainkan rambutku.

"Ada apa sayang? Apa diluar sana kurang meriah? Mungkin kita bisa berpesta bersama." Lelaki itu menjilat pipiku sekilas.

Rasa basah yang menjijikan tertinggal di sana. Sangat menggangu ku. Dengan kasar aku menghapus jejak basah itu dengan craft yang melingkar pada leherku.

Aku memandang wanita itu dengan seksama. Ada darah segar dikeningnya, dan pakaiannya sudah hampir terlepas. Didekatnya terdapat sebuah tas yang isinya terhambur keluar.

"Apa yang kalian lakukan padanya?" tanyaku dingin.

"Apa lagi sayang? Kami memberinya kesenangan." Lelaki dengan rambut cepak menjawab pertanyaanku dengan wajah tengilnya.

"Sepertinya malam ini kita mendapat jatah yang adil," ungkap lelaki berambut panjang.

"Apa kalian tidak punya uang untuk menyewa wanita panggilan? Jika iya, aku akan memberikannya dan cepat tinggalkan wanita itu," pintaku.

Mereka menyambut perkataanku dengan gelak tawa. "Apa kami terlihat miskin?" tanya lelaki berambut cepak.

"Apa kamu akan mengerti saat kami jelaskan? Kami menyukai tantangan, penolakan, dan ketegangan. Menyewa wanita panggilan tidak akan senikmat memperk*sa," lanjutnya.

"Berarti, tubuhku tidak sesuai selera kalian. Aku tak perlu dipaksa. Dengan senang hati aku akan tidur dengan salah satu dari kalian, atau mungkin keduanya," lanjutku.

"Benarkah?" Lelaki berambut cepak datang mendekatiku.

Dengan kasar tangannya mencengkram pipiku, dan bibir kami saling beradu. Aku melayaninya dengan senang hati. Lama, dan cepat hingga ia terengah-engah. Namun, ketika lelaki itu mulai kehabisan nafas, aku tidak melepaskan tautannya. Kedua tanganku menahan kepalanya, dan dengan mudah aku menyerap energinya.

Ia mulai meronta tak karuan, namun tenaganya sekarang lebih lemah daripada seorang perempuan. Sebagian besar energinya sudah aku serap. Wajahnya mulai keriput, lalu dengan cepat ia mati. Tubuhnya terkulai lemah diatas aspal, kering dan mengerikan.

Untuk pertama kalinya, aku menyerap energi kehidupan dalam satu sentuhan. 

Seraya menyeka air liur yang tertinggal pada bibir merahku, aku menatap tajam lelaki berambut panjang itu.

"Apa kamu juga mau? Sentuhanku sangat mematikan, bukan?" Aku menyeringai.

Lelaki itu tampak kaget, netranya bergetar samar. Dia bahkan tidak dapat melarikan diri.

"A-apa yang kamu lakukan?" Suaranya bergetar.

"Inikan yang kalian mau? Sebuah ketegangan. Aku membawanya langsung kehadapan kalian!" 

Lelaki itu hanya terdiam dengan kedua mata tampak berair.

"Aku akan memberikanmu pilihan. Mati sekarang seperti temanmu ini, atau bantu aku membawa gadis itu ketempat ku menginap. Bagaimana?" Tanyaku dengan segurat senyuman menghiasi wajah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status