Share

Bab 2 Dayang

"Aku akan memberikanmu pilihan. Mati sekarang seperti temanmu ini, atau bantu aku membawa gadis itu ketempat ku menginap. Bagaimana?" 

Aku tersenyum padanya, sedangkan ia menatapku penuh dengan kengerian. Ia hanya mengangguk tak jelas. Aku dapat melihat tangan kekarnya gemetar tak karuan. Sesekali matanya melihat sekilas teman yang beberapa saat lalu mengalami kejadian diluar nalar.

"Ayo, sebelum wanita itu mati. Atau mungkin kamu yang lebih dulu mati?" Aku menggodanya.

Dengan sigap lelaki itu menggotong wanita yang tubuhnya sudah mulai dingin itu. Sementara aku mengambil tas dan memasukan barang-barang yang sudah berserakan di atas jalanan.

Lobi hotel sudah sangat sepi, hanya tersisa satu orang resepsionis yang menjaga. Lelaki berusia sekitar awal 20an nampak terkejut dengan apa yang aku bawa.

"Sshhhtt." Aku menempatkan jari telunjuk didepan bibir merah ranum milikku.

Lelaki itu mengerutkan keningnya. Namun aku membalasnya dengan senyuman penuh ketenangan.

"Apa aku bisa meminta tolong?" tanyaku.

"A-apa yang terjadi? Maaf kalau saja atasan saya tahu dan saya tidak melapor, nanti saya bisa kena masalah." Lelaki itu nampak panik.

"Tidak, jangan salah paham. Ini temanku. Dia baru saja mengalami hal yang mengerikan. Ia hampir diperk*sa dan untungnya kami masih sempat menyelamatkannya. Tapi masalahnya adalah, ia adalah anak penjabat, jika ada yang tahu tentang insiden ini atau bahkan menyebarkannya mungkin orang tuanya tidak akan tinggal diam."

"Sebaiknya kamu membantu kami masuk ke kamar dulu," lanjutku.

Lelaki itu dengan terpaksa membantu kami ke kamar. Menaiki lift sampai lantai dimana aku menyewa kamar.

Sesampainya di dalam kamar, aku menyuruhnya untuk menunggu sebentar. Ia pun mengiyakan. Tak lama aku kembali dengan sebuah amplop coklat berisi uang dengan nominal yang cukup besar.

"Ini, anggaplah ini ucapan terimakasih dari kami." Aku menyerahkan amplop coklat itu padanya dengan sedikit memaksa.

Dengan ragu resepsionis itu melihat uang didalamnya. Matanya bergetar tak percaya.

"Ambil itu dan jangan beritahu siapapun soal kejadian hari ini. Akan sangat berbahaya kalau kamu membocorkan hal ini kepada orang lain. Orang tua temanku bukan penjabat biasa." Aku berusaha meyakinkannya.

"Baiklah, aku akan anggap tidak pernah melihat kalian. Terimakasih." Lelaki itu berusaha keras menyembunyikan rasa senangnya karena telah memperoleh uang yang cukup besar.

Tidak heran, kebanyakan manusia lemah dengan harta, tahta, juga wanita.

Setelah resepsionis itu pergi, lelaki berambut panjang itu mematung. Mulai sadar bahwa kini ia sendirian. Dengan perlahan ia berjalan kearah pintu, berusaha melarikan diri.

"Jangan coba-coba melarikan diri. Diamlah disitu, duduk dengan tenang." 

Suara itu membuatnya seperti tersambar petir. Dengan gelagapan, lelaki berambut gondrong itu duduk diatas kursi seperti yang diperintahkan.

Setelah merasa cukup memberikan tekanan pada lelaki itu, aku mulai mengurus gadis yang sudah tak sadarkan diri ini. Dengan perlahan aku melepaskan seluruh pakaiannya yang sudah basah terkena hujan. Megantinya dengan baju tidur milikku. Mengobati luka pada keningnya dan setelah itu memberikan ia waktu untuk beristirahat.

Setelah selesai, aku memberikan pakaian kering kepada lelaki itu. Dengan gugup ia mengganti seluruh pakaian basahnya. Kini ia hanya mengenakan jubah mandi yang cukup tebal.

"Wajahmu lumayan tampan. Tubuhmu juga indah." Sekilas jari-jari tanganku menyentuh otot-otot tangannya.

"Akan lebih terlihat maskulin jika rambutmu diikat kebelakang," lanjutku.

Aku mengambil ikat rambut dari atas meja nakas disebelah tempat tidur, "duduklah." Perintahku.

Lelaki itu mengikuti apa yang aku perintahkan. Ia duduk dengan tenang sementara aku mulai merapihkan rambut hitamnya. Membelainya lembut, sehelai demi sehelai.

"Temanmu tadi tidak banyak memberikan energi padaku karena aku hanya menciumnya. Sayang sekali bukan?" tanyaku.

"A-apa maksud mu?" Lelaki itu bertanya dengan suara yang gemetar.

Aku tersenyum manis padanya, "siapa namamu?"

"Angkasa," jawabnya singkat.

"Baguslah, aku harus tahu namamu. Mungkin aku akan menggumamkannya saat kita bercinta nanti." 

"Siapa sebenarnya kamu?" Lelaki bernama Angkasa itu menengadahkan kepalanya, manik mata berwarna coklat kehitaman itu bergetar penuh kengerian.

Aku membalas tatapan itu, sebelum akhirnya memilih memusatkan pandanganku pada rambut hitam miliknya yang sudah terikat rapih.

"Apa aku harus memberitahumu?" Aku tersenyum sedikit menyeringai.

"Tidak! Aku tahu kamu pasti bukan manusia! Apa yang kamu lakukan pada temanku?!" Suara Angkasa bergetar.

"Aku membunuhnya." Bisikku seraya membelai lembut kedua sisi wajahnya.

"A-apa salah kami?!" Lelaki itu berteriak histeris.

"Ssshhtt." Aku menempatkan jari telunjukku tepat pada bibir tebalnya.

"Kamu, bersama temanmu yang sudah mati itu menyiksa seorang gadis, dan berniat memperk*sanya, dan sekarang kamu bertanya apa salah kalian? Yang benar saja?!" 

Suara tawa yang berasal dari mulutku memenuhi ruangan itu. "Lelaki bodoh yang selalu menempatkan wanita sebagai objek pemuas nafsu memang pantas mati seperti itu!" Lanjutku.

"Ta-tapi kami tidak membunuh. Tidak seperti mu!" Angkasa mulai terisak.

"Memang benar kalian tidak membunuh fisik korban. Namun, kalian membunuh jiwanya! Mentalnya! Apa mereka akan bisa hidup normal seperti sebelum kalian memperk*sanya?! Kamu, dan aku, kita memiliki kesamaan." Aku mulai berjalan mengitarinya, dan duduk tepat dihadapannya.

"Kita sama-sama iblis yang terkurung dalam wujud manusia." 

Aku tersenyum puas setelah mengatakan hal itu. Karena memang benar, terkadang perilaku manusia lebih kejam dibandingkan iblis. Rasa iri, keserakahan, juga rasa haus akan pengakuan terkadang membuat manusia menghalalkan segala jalan. Seperti yang aku lakukan.

Aku merasa sudah cukup berbasa-basi. Lagipula lelaki ini tidak akan aku berikan kesempatan hidup. Akupun harus menjamin keamanan diriku sendiri. Dia adalah saksi mata atas apa yang aku lakukan. Walaupun kemungkinan besar tidak akan ada yang percaya pada apa yang akan ia ceritakan, namun aku harus tetap waspada.

Aku mulai melepas satu persatu pakaian basah yang aku kenakan saat itu. Memberi lelaki itu tontonan indah sebelum ajal menjemputnya. Itu sangat menyenangkan.

"K-kau mau apa?!"

Manik mata Angkasa terbelalak ketika melihat tubuh telanjangku.

"Bercinta denganmu. Bukankan sebelumnya itu yang kamu inginkan?" Aku tersenyum menggodanya.

Lelaki itu kini terlihat salah tingkah. Semburat merah muncul pada wajahnya. Entah karena ketakutan atau memang dia juga sudah terangsang. Yang pasti, tidak akan ada yang bisa menolakku.

Perlahan aku mulai membuka jubah mandinya. Membelai lembut dada bidang miliknya, menggelitiknya dibagian bawah perut sixpack itu.

Angkasa menggelinjang merasakan geli yang menyengat. Beberapa saat kemudian, kami sudah bersatu menikmati surganya dunia. Saling bersautan dengan desahan. Kulit kecoklatan miliknya mulai berkeringat, terlihat sangat menggoda.

Hingga akhirnya kami mulai mendekati klimaks, dan aku benar-benar menggumamkan namanya.

"Angkasa..."  

Dan saat angkasa mencapai puncaknya, energinya sudah mulai terhisap habis sampai tak tersisa. Lelaki itu berubah persis seperti temannya. Kering seperti daging binatang yang dikeringkan.

"Ahh.." 

Desahan kepuasan atas energi yang mulai bertambah terdengar memenuhi ruangan.

Aku tersenyum melihat jasad menyedihkan diatas kursi itu.

"Malaikat mungkin akan merasa bingung mencatatnya, karena aku membunuh manusia cabul seperti mereka." Aku tersenyum.

"Entah apa dosaku akan bertambah atau amalku juga yang akan bertambah?" Lanjutku.

Sekali lagi, sebuah senyuman terukir jelas pada wajah cantikku. "Hidup seperti ini lebih menyenangkan dibandingkan kehidupanku seratus tahun yang lalu."  

"A-apa yang kamu lakukan padanya?!" 

Sebuah suara memecah keheningan. Aku sedikit tersentak, "Rupanya kamu sudah sadar." Aku tersenyum ketir melihat kearah sumber suara.

Gadis yang sebelumnya aku tolong sudah siuman, sepertinya dia melihat apa yang aku lakukan pada Angkasa. Gadis itu menatap ngeri pada sosok diatas kursi. Kedua tangannya menutup rapat mulutnya yang mengaga saking kagetnya.

Netranya yang bergetar sesekali menatap padaku. Aku tahu apa yang dia pikirkan, maka aku akan berterus terang padanya karena aku tahu dia akan berguna nantinya.

"Hai, calon dayang ku." Seruku dengan senyuman yang mengembang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status