"Sial!" Luis membasuh muka di wastafel toilet sekolah. Melihat tampangnya ada luka di sudut bibir, ia merasa sangat kesal. Masih saja kalah dari Edward. Andai anak itu tidak main curang, Luis optimis pasti dia yang menang. Kekalahan barusan melukai harga dirinya. Tidak, dia bukan Luis yang dulu lagi—si pasrah dengan keadaan, yang tidak melawan meski ditindas. Luis yang sekarang adalah seorang pemberani, tidak takut, dan tidak suka dikalahkan.Emerald kedatangan tuan rumah dengan kesan masam di wajah. Luis membanting pintu mobil kesayangan yang biasanya diperlakukan halus, sudah seperti kekasih sendiri. Rasa sayangnya terkalahkan oleh tsunami amarah. Kalau sudah kesal, sulit diredam. Begitulah Luis, tak puas kalau penyebab kekesalannya belum menerima akibat. Pembalasan adalah hal wajib.Dari ruang administrasi, George melihat anaknya nampak gusar. Ia pun sengaja meneriaki sang putra, "Hei, Luis! Kemari!"Luis mendengkus, ia sangat ingin rebahan di kamar, tapi panggilan sang ayah tak bis
"Iya, ini aku.""Kau sudah terima suratku?" Luis berubah semangat. Rasa kantuknya seketika lenyap tatkala mendengar Emma berbicara. Akhirnya ia mendengar alunan indah itu lagi usai berhari-hari merindukannya."Sudah kuterima pagi tadi. Kau sudah tidur, ya? Maaf kalau terlalu larut. Aku sengaja menunggu bibiku tertidur, biar dia tidak menguping.""Aku senang kau menelepon. Tidak apa, malam begini justru enak. Aku juga tidak ada yang mengganggu, ayahku sudah tidur di kamar," balas Luis. "Oh ya, kau sudah pakai cincin yang kukirim?""Sudah. Cantik sekali. Ukurannya sangat pas di jari manisku."Luis tengah membayangkan bagaimana cincin itu melingkar di jari Emma. Sekarang ia membayangkan sang kekasih mengenakan gaun pengantin—tidak, tidak, terlalu dini, belum saatnya."Lu? Kau masih di sana?""Uh, hmm, iya, aku masih terjaga.""Kukira kau ketiduran, habisnya diam saja.""Tidak, kok. Aku hanya memikirkanmu terlalu dalam.""Ya ampun, Luis. Kau membuatku tersipu. Bisa-bisa aku tidak bisa tid
Luis berkendara dengan lesu pagi ini. Moodnya kacau gara-gara Emma tak kunjung memberi kabar. Katanya bakal menelepon kalau sempat, masa sudah berhari-hari tidak pernah sempat? Sesibuk apa pekerjaannya? Luis terus mendesah berulang kali, sesekali memukul pelan setir mobil. Ia baru saja mengirim surat untuk Emma sebelum ke sekolah, menanyakan kabar serta minta balasan—ditelepon atau dibalas surat. Harapnya semoga sang kekasih bisa segera menghubungi Luis setelah menerima pesan darinya."Padahal aku ingin memberinya uang agar dia tidak perlu repot-repot bekerja lagi," gumam Luis seraya menarik ransel dari jok penumpang di sebelahnya. Ia membuka pintu, tiba-tiba saja membentur sesuatu. "Ada apa ini?" bisiknya."Punya mata tidak!" bentak Edward seraya berdiri sambil mengusap-usap kepala belakang. Dia sedang berjongkok, mengecek ban depan sepedanya sewaktu Luis memarkir mobil dan membuka pintu sembarangan."Oh, kau rupanya." Luis tidak bergairah cari ribut. Ia hanya menatap malas musuh beb
Luis digiring oleh kelompok Edward, lima bocah tidak berguna. Mereka mengantarkan tersangka hari ini menuju gudang belakang sekolah, tongkrongan mainstream para berandalan. Ruangannya berdebu dan lembap, Luis sampai batuk dibuatnya. Penerangan pun mengandalkan sinar matahari yang menembus jendela. Geng Edward melingkari Luis yang berdiri kebingungan di tengah ruangan."Sebenarnya apa maksud kalian membawaku kemari? Mau mengeroyokku lagi?"Para anggota geng saling melempar pandang satu sama lain."Kau saja, Drew," kata bocah yang seingat Luis bernama Mike.Luis beralih menyorot ke arah Drew yang berdiri di tengah antara lima orang anggota."Luis, hmm, kami ... kami bermaksud menjadikanmu ketua geng kami.""Kalian membuang Edward?""Sudah lama kami ingin menyingkirkannya—sejak dia dikalahkan olehmu. Kami jadi sadar kalau kami cuma dimanfaatkan oleh Edward. Seperti katamu, dia tidak bisa apa-apa tanpa kami. Namun, perilakunya pada kami malah semena-mena. Kami dianggap seperti pembantunya
Luis sangat mengakui kebusukan ayahnya. Ya, betapa tidak, merampas nyawa orang tua kandung demi mendapatkan harta. Memang, harta warisan itu pasti bakal lari ke tangan George nantinya. George hanya mempercepat proses, sudah terlalu lama ia menunggu jatahnya turun sampai putus asa dibuatnya. Satu-satunya jalan adalah dengan membuat orang tuanya mati. Cara singkat nan ekstrem. Orang-orang frustrasi cenderung nekat hingga mengenyampingkan hal-hal manusiawi.Enrique masih heran mengapa Luis menyebut ayahnya sebagai pria busuk. Apa yang diperbuat pria hebat itu hingga sang putra begitu menyebutnya dengan imbuhan negatif? Enrique menatap serius, ia memangku sikunya pada kedua lutut. "Mengapa kau menyebutnya busuk? Dia pria sukses, Luis. Harusnya kau memuji ayahmu.""Kau benar. George Arias kini sukses mewujudkan mimpi. Memiliki bisnis impiannya, hah ...." Chevy yang terparkir di halaman Emerald jadi alasan Luis tidak buka suara. Benda itu adalah sogokan berharga baginya, hadiah tutup mulu
Luis berakhir sebagai pegawai full time Motel Emerald. Dia bekerja siang-malam sebagai hukuman atas pelanggaran di sekolah. Lebih buruk, ia tidak mendapat bayaran lebih."Ayolah, kau menjajahku, Ayah!" rutuk Luis begitu mengetahui kenyataan bahwa gajinya tetap pas-pasan."Siapa yang menjajah siapa? Sejak awal kau memang pekerja di sini. Tambahan waktu ini sebagai ganjaran atas perbuatan memalukanmu di sekolah," papar George santai di kursi empuk di ruang administrasi. Ia tidak peduli meski putranya terus mengoceh sambil memegang ujung tongkat alat pel. Biar Luis kapok mengerjai anggota keluarga Winchester."Mulai sekarang, tiap kau membuat masalah, kau harus bekerja lembur tanpa dibayar," tambah George. Terdengar semakin mengesalkan di telinga Luis."Cukup! Omonganmu sama sekali tidak menghibur.""Ya memang tidak. Siapa juga yang mau menghiburmu? Sudah, cepat bersihkan kamar kosong di lantai dua. Sekalian berandanya juga."Luis hampir menghempaskan alat pel di tangan, kalau saja ia ti
"Uangku lenyap ...," racau Luis di ruang administrasi. Ia duduk di kursi empuk sambil menyangga kedua kaki pada meja. Kepalanya menengadah, bersandar pada bahu kursi. Jangan tanya George ke mana, baguslah kalau Luis ditinggal sendirian. Ia memang butuh me time.Lampu pada plang motel barusan dinyalakan, pertanda hari memasuki sesi-sesi penghujung. Luis kembali menempati kursi seraya termenung lagi. Rangkaian kejadian hari-hari belakangan tergolong sebagai hari tersial sepanjang hidup. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Berusaha membela diri berujung diskors, ditambah kerja lembur cuma-cuma, lengkap dengan ancaman tuntutan, dan berbuah pada lenyapnya uang yang diharapkan. Harusnya Luis bisa tegas waktu Dean memberi cicilan pertama, mestinya saat itu juga ia mendesak Dean membayar lunas sejumlah lima puluh ribu dollar. Bukan untung malah buntung.Katanya kesabaran akan berbuah manis, tapi buah yang tumbuh malah pahit rasanya. Jauh dari kata mujur, hidup Luis sedang memasuki fase kemunduran.
Keesokan harinya, Luis mengirimkan kejutan yang ia janjikan kepada Emma. Uang senilai sepuluh ribu dollar, terbungkus rapat di dalam amplop cokelat beserta sebuah pesan dalam selembar kertas."Gunakan uang ini untuk keperluanmu. Jangan tanya asalnya dari mana, pokoknya kau harus menggunakan uang ini untuk kepentinganmu. Bersenang-senanglah! Aku ingin kau bahagia!P.S. jumlahnya sepuluh ribu. Hitung lagi, kalau kurang akan kutuntut tukang pos!"Luis mencium amplop sekilas sebelum berjalan memasuki kantor pos. Paling tidak besok Emma akan meneleponnya lagi, Luis sudah berpesan agar menghubunginya segera setelah paketnya sampai. "Kirim surat lagi, Tuan?" tanya petugas pos basa-basi."Hm. Aku sudah menaruh kepercayaan pada kantor pos ini. Kali ini jangan sampai merusak kepercayaanku."Petugas pos mengambil paket dari tangan Luis, ia menekan sekilas amplop tebal tersebut. Sudah bisa ditebak apa isinya. Pantas saja pengirimnya sangat posesif.Luis kembali pulang setelahnya. Ia kan tidak se