“Reiner!” Charlotte mencari anak itu hampir ke seluruh rumah, meneriaki namanya berkali-kali namun nihil. “Di mana anak itu?”
Charlotte beralih ke halaman rumah, ia melihat tukang kebun memberi isyarat bahwa pria kecil yang dicarinya berada di semak-semak. Tangan Charlotte menyingkap kumpulan ranting dan daun-daun, “Reiner!”“Ibu!” seru bocah itu dengan ceria tatkala sang ibu berhasil menemukannya.“Apa yang kau lakukan di situ, Nak?”“Aku sedang main.”“Main apa?” Charlotte tidak bisa melihat dengan jelas sebab terhalang dedaunan.“Main ini ....” Reiner menunjukkan sesuatu di telapak tangan.Mata Charlotte hampir melompat saat melihat darah menyelimuti telapak tangan anak itu dan sebuah benda di atasnya. Ia tidak yakin, tapi itu terlihat seperti bola mata.“A-apa itu, Sayang?” Charlotte terbata-bata.“Matanya Mickey. Lucu, kan?” ucap Reiner disertai tawa kecil khas anak-anak.“Hah?!” Tubuh ChaLuis mengantar Reiner pulang dengan rupa berdarah-darah. Sebagian wajahnya telah bersih diusap tisu basah, namun tetap meninggalkan noda. Cipratan titik merah di kemeja putih seragam sekolah juga masih tersisa, mulai mengering. Luis menepikan mobil di ambang gerbang. "Masuklah. Bersihkan dirimu," perintah Luis."Kau tidak masuk?""Tidak, aku harus pergi ke tempat lain."Tatapan Reiner masih menyisakan trauma. Luis peka, ia menyentuh bahu sang putra."Kau harus melawan ketakutanmu. Jangan biarkan rasa takut menghalangimu," ucapnya bijak."Menghilangkan nyawa tidak termasuk dalam hal yang kau ucapkan. Kau hanya menyuruhku melakukan perbuatan keji dengan dalih melawan rasa takut."Luis menyeringai. "Lakukan saja perintahku. Aku lebih tahu apa yang perlu dan tidak perlu kau lakukan. Kau tidak akan menyesal dengan apa yang kuajarkan selama ini. Suatu hari nanti kau akan menyadarinya."Reiner menatap datar. Entahlah,
George menangis di atas pusara anak tertuanya. Luis hanya diam tak bereaksi. Pemuda enam belas tahun itu sudah khatam hidup susah, sekarang keluarganya bertambah pilu gara-gara kematian sang kakak."Kemiskinan menjajah hidup kita, Ayah," kata Luis datar seraya melirik nisan bertulis Thomas Arias. Hidup selama sembilan belas tahun lamanya sebelum meninggal dua hari lalu akibat radang paru-paru yang telah lama diidap. "Jika kita punya uang, kakak tidak akan mati. Dia bisa sembuh.""Sudahlah, Luis. Berdoalah untuk ketenangannya, jangan terus mengungkit kondisi hidup kita!""Itulah dirimu. Kau terlalu pasrah dengan keadaan. Jika aku jadi Ayah, akan kulakukan apa saja demi membuat keluargaku bahagia! Dan perlu diingat, ini sudah bulan kelima iuran sekolahku tidak dibayar!""Luis, hentikan! Kau tidak sopan berteriak di pemakaman!" George sudah pusing dengan tingkah laku anak bungsunya ini, selalu menuntut hal yang tidak mereka punya: kesejahteraan. "Akan kucari uang untuk biaya sekolahmu, n
"Hei, Kumal! Ambilkan soda untukku!" Luis sedang duduk hampir menyantap makan siang saat istirahat. Namun, geng menyebalkan yang kerap membullynya datang. Si ketua—Edward merangkulnya begitu duduk rapat di sebelah, dalam rangka mengintimidasi Luis. Kawan-kawannya duduk mengisi kursi kosong di sekitar meja yang Luis tempati. Padahal ada banyak tempat lain yang kosong, tapi mengapa mereka tertarik sekali dengan kursi dan meja yang Luis tempati."Kau punya kaki untuk ambil sendiri, Ed!" "Hei, sudah berani membantahku, hah?" Edward menepuk-nepuk pipi Luis. Teman se-gengnya ikut menepuk-nepuk bagian lain dari tubuh si korban penindasan.Tidak ada gunanya melawan. Alasan kuat bagi Luis untuk selalu menuruti keinginan Edward adalah; pertama, Luis bukan siswa yang punya kekuatan di sini, ia hanya murid lemah, miskin, dan selalu jadi sasaran empuk kejahilan murid-murid macam Ed. Kedua, Edward adalah anak pemilik sekolah, jadi mustahil melawan kebejatan anak itu meski sangat ingin. Jika Luis me
"Luis?" Emma tertegun berkat penampilan baru pria muda itu. Amat memukau matanya dan bisa diakui, Luis tampak jauh lebih baik dari sebelumnya. Selama ini Luis terlihat lusuh seperti gembel, mendadak ia berubah bak pangeran dari negeri langit. "Hai, Em!" sapa Luis dengan gaya. Sementara murid-murid lain di koridor memusatkan atensi pada mereka berdua. Emma justru minder, kalau situasinya seperti ini dirinya merasa seolah-olah memerankan Beauty and the Beast—Emma beastnya."Lu, ma-maaf, aku tidak bawa cookies yang kau minta. Kuenya dihabiskan oleh Daniel." Emma takut ditagih, padahal Luis juga tahu kalau si gadis hanya beralasan buat kue kemarin sore."Tidak masalah, Emma. Aku bisa membeli segudang cookies untuk kita berdua, kau tidak perlu capek-capek masak." Luis percaya diri, kantongnya sedang tebal saat ini. "Pulang sekolah nanti tidak ada kegiatan, kan?""Tidak ada.""Mau pergi bersamaku?" Luis menatap Emma dengan penuh pesona. Gadis itu sampai-sampai merona dibuatnya."Pe-pergi?"
Semenjak keadaan Luis berubah membaik, kepercayaan dirinya pun ikut bertambah. Namun, kepercayaan terhadap orang-orang sekitar kian berkurang. Contohnya siswa-siswi yang berusaha menjalin hubungan pertemanan dengannya selalu ditolak. Alasannya sederhana, tapi kuat. "Di mana kau saat aku masih susah? Seorang teman tidak hanya datang di waktu senang saja. Aku tidak bisa menganggapmu sebagai teman, kecuali orang yang memanfaatkanku."Teman sejati Luis hanyalah Emma. Selain berperan sebagai gadis pemikat hati, dirinya juga setia sebagai teman di kala sepi. Hanya Emma orang yang punya niat menegurnya di hari pertama sekolah, waktu masa orientasi hampir tidak ada yang mau satu tim dengan Luis kecuali sang gadis. Tatkala orang lain mengucilkan, Emma selalu menguatkan. Orang-orang gemar sekali mengolok-olok kemiskinan, hidup susah memang menjengkelkan.Luis tidak peduli dengan anggapan bahwa dirinya adalah pribadi sombong. Ia bukan sombong, hanya selektif memasukkan orang-orang dalam kehidupan
Luis duduk menggunakan kursi lipat, menikmati langit senja di halaman rumah uniknya—di rooftop. Merasakan angin sejuk berembus menerjang dirinya. Rambut Luis sudah agak gondrong, esok dia berniat potong rambut model terkini agar tidak kalah gaya dengan pemuda-pemuda seusianya. Sebatang rokok diapit belah bibirnya dan ada sebotol bir di atas meja bundar kecil di sebelah.George menghampiri, ikut duduk di satu-satunya kursi kosong yang tersisa. "Umurmu belum delapan belas, Luis. Belum boleh minum alkohol.""Tidak banyak, Ayah. Aku hanya minum sedikit, tidak bakal sampai mabuk dan tidak akan jadi peminum berat macam dirimu juga," pungkas Luis. "Ngomong-ngomong, bulan depan usiaku genap delapan belas," tambahnya seraya menenggak seteguk minuman. Sensasi soda bercampur pahit dan malt menyeruak di mulut."Luis, setelah lulus SMA, kau harus kuliah. Ambillah jurusan bisnis agar kelak pemikiran cemerlangmu bisa mengembangkan usaha rintisan ini. Aku percaya kau berbakat, kau pasti akan menjadi p
Saat Luis sedang memeriksa kembali selembar cek yang tadi ia masukkan ke saku, takut nominalnya salah tulis. Minta sepuluh ribu dollar, siapa tahu yang ditulis hanya sepuluh tanpa ribu. Sebuah mobil datang lagi tanpa disadari Luis. Ia memasukkan kembali ceknya ke saku usai mengetahui tidak ada error pada cek miliknya. Seorang gadis memeluk wanita penyewa kamar nomor tiga yang seingatnya bernama Mary. Anak gadis itu ternyata adalah Emma.Sontak membuat Luis terkejut. "Emma?""Luis ...." Emma pun tak kalah terkejutnya.Daniel turut hadir di sana, bersama seorang pria dewasa memegang kemudi."Emma, ajak ibumu!" perintahnya."Baik, Paman. Ayo, Bu, kita pulang."Daniel menunggui ibu dan adiknya di dekat pintu kursi belakang yang terbuka. Emma berjalan melewati Luis tanpa sepatah kata. Begitu mudahnya si bos Emerald diabaikan kekasih sendiri. Memang wujudnya tidak nampak di mata Emma?"Wanita selingkuhan itu ... ibunya Emma?"Emma bertindak demikian—mengabaikan Luis, bukan tanpa sebab. Melih
"Apa kabar, Luis? Kau pasti sedang merindukanku. Aku pun sama, aku rindu jalan-jalan berdua denganmu lagi. Aku ingin berkendara sampai malam, melepas penat usai berpikir seharian. Kabarku baik, Lu. Aku sudah mulai bekerja sejak Senin. Jadi, kira-kira sudah seminggu aku tinggal di kampung halaman. Orang-orang di sini menerimaku dengan baik. Bibi mengurusku dengan benar, aku makan tiga kali sehari, dan tetangga di sini ramah-ramah.Aku minta maaf, tapi sepertinya aku merasa nyaman tinggal di sini, Lu. Aku belum berniat pulang ke kota. Selain karena lingkungan yang nyaman, uangku juga belum cukup untuk biaya transportasi ke sana. Hehe, maaf.Pekerjaanku juga menyenangkan. Aku punya teman-teman baik, seperti di sekolah. Oh ya, sampaikan salam pada kawan-kawanku di sana. Sampaikan pada mereka bahwa aku tidak bisa hadir saat pesta kelulusan di rumah Nora nanti. Kami sudah berencana membuat pesta, Lu, biar kau paham. Walau gaji yang kuterima pas-pasan, tapi aku bahagia, Luis. Mungkin terkesan