Ambisi Sang Penguasa

Ambisi Sang Penguasa

Oleh:  niandez  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
1 Peringkat
118Bab
2.5KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Luis adalah seorang pewaris tunggal bisnis rintisan milik sang ayah—George. Berkat tangan Luis, usaha warisan tersebut semakin berkembang dan tumbuh pesat. Semua pesaing berhasil disingkirkan. Semua yang Luis benci menjadi target pelenyapan, termasuk istrinya. Charlotte hanyalah tumbal bisnis. Gara-gara kerja sama bisnis antar orang tua, Luis dan Charlotte dinikahkan dengan dalih kerja sama. Luis tidak pernah menerima Charlotte di hatinya, sebab sejatinya pemilik hati Luis hanyalah Emma—cinta pertama sejak SMA. Apa yang terjadi pada romansa Luis kemudian? Apakah bisnisnya pun semakin melebar atau malah terpuruk, kembali miskin seperti masa lalu? Bagaimana jadinya jika ternyata Luis adalah penguasa bisnis gelap?

Lihat lebih banyak
Ambisi Sang Penguasa Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
niandez
Dear, readers. Jangan lupa vote dan komentarnya. Enjoy!
2023-10-20 13:57:31
0
118 Bab
Hari Perayaan
George menangis di atas pusara anak tertuanya. Luis hanya diam tak bereaksi. Pemuda enam belas tahun itu sudah khatam hidup susah, sekarang keluarganya bertambah pilu gara-gara kematian sang kakak."Kemiskinan menjajah hidup kita, Ayah," kata Luis datar seraya melirik nisan bertulis Thomas Arias. Hidup selama sembilan belas tahun lamanya sebelum meninggal dua hari lalu akibat radang paru-paru yang telah lama diidap. "Jika kita punya uang, kakak tidak akan mati. Dia bisa sembuh.""Sudahlah, Luis. Berdoalah untuk ketenangannya, jangan terus mengungkit kondisi hidup kita!""Itulah dirimu. Kau terlalu pasrah dengan keadaan. Jika aku jadi Ayah, akan kulakukan apa saja demi membuat keluargaku bahagia! Dan perlu diingat, ini sudah bulan kelima iuran sekolahku tidak dibayar!""Luis, hentikan! Kau tidak sopan berteriak di pemakaman!" George sudah pusing dengan tingkah laku anak bungsunya ini, selalu menuntut hal yang tidak mereka punya: kesejahteraan. "Akan kucari uang untuk biaya sekolahmu, n
Baca selengkapnya
Perubahan Dalam Semalam
"Hei, Kumal! Ambilkan soda untukku!" Luis sedang duduk hampir menyantap makan siang saat istirahat. Namun, geng menyebalkan yang kerap membullynya datang. Si ketua—Edward merangkulnya begitu duduk rapat di sebelah, dalam rangka mengintimidasi Luis. Kawan-kawannya duduk mengisi kursi kosong di sekitar meja yang Luis tempati. Padahal ada banyak tempat lain yang kosong, tapi mengapa mereka tertarik sekali dengan kursi dan meja yang Luis tempati."Kau punya kaki untuk ambil sendiri, Ed!" "Hei, sudah berani membantahku, hah?" Edward menepuk-nepuk pipi Luis. Teman se-gengnya ikut menepuk-nepuk bagian lain dari tubuh si korban penindasan.Tidak ada gunanya melawan. Alasan kuat bagi Luis untuk selalu menuruti keinginan Edward adalah; pertama, Luis bukan siswa yang punya kekuatan di sini, ia hanya murid lemah, miskin, dan selalu jadi sasaran empuk kejahilan murid-murid macam Ed. Kedua, Edward adalah anak pemilik sekolah, jadi mustahil melawan kebejatan anak itu meski sangat ingin. Jika Luis me
Baca selengkapnya
Si Gadis Cookies
"Luis?" Emma tertegun berkat penampilan baru pria muda itu. Amat memukau matanya dan bisa diakui, Luis tampak jauh lebih baik dari sebelumnya. Selama ini Luis terlihat lusuh seperti gembel, mendadak ia berubah bak pangeran dari negeri langit. "Hai, Em!" sapa Luis dengan gaya. Sementara murid-murid lain di koridor memusatkan atensi pada mereka berdua. Emma justru minder, kalau situasinya seperti ini dirinya merasa seolah-olah memerankan Beauty and the Beast—Emma beastnya."Lu, ma-maaf, aku tidak bawa cookies yang kau minta. Kuenya dihabiskan oleh Daniel." Emma takut ditagih, padahal Luis juga tahu kalau si gadis hanya beralasan buat kue kemarin sore."Tidak masalah, Emma. Aku bisa membeli segudang cookies untuk kita berdua, kau tidak perlu capek-capek masak." Luis percaya diri, kantongnya sedang tebal saat ini. "Pulang sekolah nanti tidak ada kegiatan, kan?""Tidak ada.""Mau pergi bersamaku?" Luis menatap Emma dengan penuh pesona. Gadis itu sampai-sampai merona dibuatnya."Pe-pergi?"
Baca selengkapnya
Uang Damai
Semenjak keadaan Luis berubah membaik, kepercayaan dirinya pun ikut bertambah. Namun, kepercayaan terhadap orang-orang sekitar kian berkurang. Contohnya siswa-siswi yang berusaha menjalin hubungan pertemanan dengannya selalu ditolak. Alasannya sederhana, tapi kuat. "Di mana kau saat aku masih susah? Seorang teman tidak hanya datang di waktu senang saja. Aku tidak bisa menganggapmu sebagai teman, kecuali orang yang memanfaatkanku."Teman sejati Luis hanyalah Emma. Selain berperan sebagai gadis pemikat hati, dirinya juga setia sebagai teman di kala sepi. Hanya Emma orang yang punya niat menegurnya di hari pertama sekolah, waktu masa orientasi hampir tidak ada yang mau satu tim dengan Luis kecuali sang gadis. Tatkala orang lain mengucilkan, Emma selalu menguatkan. Orang-orang gemar sekali mengolok-olok kemiskinan, hidup susah memang menjengkelkan.Luis tidak peduli dengan anggapan bahwa dirinya adalah pribadi sombong. Ia bukan sombong, hanya selektif memasukkan orang-orang dalam kehidupan
Baca selengkapnya
Insiden di Motel
Luis duduk menggunakan kursi lipat, menikmati langit senja di halaman rumah uniknya—di rooftop. Merasakan angin sejuk berembus menerjang dirinya. Rambut Luis sudah agak gondrong, esok dia berniat potong rambut model terkini agar tidak kalah gaya dengan pemuda-pemuda seusianya. Sebatang rokok diapit belah bibirnya dan ada sebotol bir di atas meja bundar kecil di sebelah.George menghampiri, ikut duduk di satu-satunya kursi kosong yang tersisa. "Umurmu belum delapan belas, Luis. Belum boleh minum alkohol.""Tidak banyak, Ayah. Aku hanya minum sedikit, tidak bakal sampai mabuk dan tidak akan jadi peminum berat macam dirimu juga," pungkas Luis. "Ngomong-ngomong, bulan depan usiaku genap delapan belas," tambahnya seraya menenggak seteguk minuman. Sensasi soda bercampur pahit dan malt menyeruak di mulut."Luis, setelah lulus SMA, kau harus kuliah. Ambillah jurusan bisnis agar kelak pemikiran cemerlangmu bisa mengembangkan usaha rintisan ini. Aku percaya kau berbakat, kau pasti akan menjadi p
Baca selengkapnya
Salam Perpisahan
Saat Luis sedang memeriksa kembali selembar cek yang tadi ia masukkan ke saku, takut nominalnya salah tulis. Minta sepuluh ribu dollar, siapa tahu yang ditulis hanya sepuluh tanpa ribu. Sebuah mobil datang lagi tanpa disadari Luis. Ia memasukkan kembali ceknya ke saku usai mengetahui tidak ada error pada cek miliknya. Seorang gadis memeluk wanita penyewa kamar nomor tiga yang seingatnya bernama Mary. Anak gadis itu ternyata adalah Emma.Sontak membuat Luis terkejut. "Emma?""Luis ...." Emma pun tak kalah terkejutnya.Daniel turut hadir di sana, bersama seorang pria dewasa memegang kemudi."Emma, ajak ibumu!" perintahnya."Baik, Paman. Ayo, Bu, kita pulang."Daniel menunggui ibu dan adiknya di dekat pintu kursi belakang yang terbuka. Emma berjalan melewati Luis tanpa sepatah kata. Begitu mudahnya si bos Emerald diabaikan kekasih sendiri. Memang wujudnya tidak nampak di mata Emma?"Wanita selingkuhan itu ... ibunya Emma?"Emma bertindak demikian—mengabaikan Luis, bukan tanpa sebab. Melih
Baca selengkapnya
Surat Pertama
"Apa kabar, Luis? Kau pasti sedang merindukanku. Aku pun sama, aku rindu jalan-jalan berdua denganmu lagi. Aku ingin berkendara sampai malam, melepas penat usai berpikir seharian. Kabarku baik, Lu. Aku sudah mulai bekerja sejak Senin. Jadi, kira-kira sudah seminggu aku tinggal di kampung halaman. Orang-orang di sini menerimaku dengan baik. Bibi mengurusku dengan benar, aku makan tiga kali sehari, dan tetangga di sini ramah-ramah.Aku minta maaf, tapi sepertinya aku merasa nyaman tinggal di sini, Lu. Aku belum berniat pulang ke kota. Selain karena lingkungan yang nyaman, uangku juga belum cukup untuk biaya transportasi ke sana. Hehe, maaf.Pekerjaanku juga menyenangkan. Aku punya teman-teman baik, seperti di sekolah. Oh ya, sampaikan salam pada kawan-kawanku di sana. Sampaikan pada mereka bahwa aku tidak bisa hadir saat pesta kelulusan di rumah Nora nanti. Kami sudah berencana membuat pesta, Lu, biar kau paham. Walau gaji yang kuterima pas-pasan, tapi aku bahagia, Luis. Mungkin terkesan
Baca selengkapnya
Deklarasi Sang Ketua
"Hai, Emma! Sudah buat kue hari ini? Aku rindu mendengar alasanmu yang selalu sama tiap kali kuajak mampir ke rumah. Sekarang kau tidak bisa menggunakan alasan itu lagi, apa lain waktu kau akan bilang jika kau hendak membantu Daniel?Kursi penumpangku sudah lama kosong. Rasanya selalu dingin, Em. Cepatlah pulang, aku menunggumu. Berkendara bersama siaran radio tidak cukup menyenangkan, dia tidak bisa tertawa seperti dirimu.Sial, Em. Ketua Dean mencalonkan diri sebagai walikota. Aku melihat kabarnya di TV baru-baru ini. Jika menurutmu, aku harus mendukungnya karena dia pemilik sekolah, nyatanya tidak, Emma. Meski dia satu-satunya calon yang maju, aku lebih memilih menggiring orang-orang untuk abstain. Kita tidak bisa membiarkan orang yang membuatmu menderita meraih keinginannya. Dan, Ed sudah tidak menggangguku lagi. Jangan cemas, dia tidak berani macam-macam denganku lagi. Aku memberinya pelajaran, Em. Aku tidak takut.Jaga kesehatanmu, jangan terlalu lelah. Tidurlah yang cukup, delap
Baca selengkapnya
Menghadapi Musuh
"Kompensasi untuk pacarmu?!" pekik Dean di sudut tanah lapang dekat panggung deklarasi. Orang-orang di sana sibuk membongkar panggung, sementara rombongan Dean jauh di depan. Jadi, tidak akan ada yang menguping pembicaraan mereka."Kau pikir aku datang untuk mengelu-elukanmu, Pak? Itu hal yang tidak akan pernah aku lakukan.""Pacarmu bukan tanggung jawabku. Buat apa aku mengurusnya, dia punya keluarga. Memangnya aku ini donatur? Kalaupun iya, akan kusalurkan dana ke pihak yang layak menerima.""Hei, Pak! Kau bilang keluarga? Kakaknya masih kuliah, sementara pamannya menderita leukimia. Wanita selingkuhanmu meninggal hari Minggu kemarin. Keluarga mereka hancur! Emma harus mencari nafkah, kakaknya terancam putus kuliah, dan pamannya terancam mati karena tidak mampu berobat! Kau sebut itu tidak layak diberikan donasi?""Apa katamu? M-Mary ... meninggal?" Dean nampak terkejut. "Aku sama sekali tidak tahu kabar itu!""Tepat setelah kau meninggalkannya. Itu efek dari kebejatanmu. Sudah tahu
Baca selengkapnya
Dering Telepon Malam
"Sial!" Luis membasuh muka di wastafel toilet sekolah. Melihat tampangnya ada luka di sudut bibir, ia merasa sangat kesal. Masih saja kalah dari Edward. Andai anak itu tidak main curang, Luis optimis pasti dia yang menang. Kekalahan barusan melukai harga dirinya. Tidak, dia bukan Luis yang dulu lagi—si pasrah dengan keadaan, yang tidak melawan meski ditindas. Luis yang sekarang adalah seorang pemberani, tidak takut, dan tidak suka dikalahkan.Emerald kedatangan tuan rumah dengan kesan masam di wajah. Luis membanting pintu mobil kesayangan yang biasanya diperlakukan halus, sudah seperti kekasih sendiri. Rasa sayangnya terkalahkan oleh tsunami amarah. Kalau sudah kesal, sulit diredam. Begitulah Luis, tak puas kalau penyebab kekesalannya belum menerima akibat. Pembalasan adalah hal wajib.Dari ruang administrasi, George melihat anaknya nampak gusar. Ia pun sengaja meneriaki sang putra, "Hei, Luis! Kemari!"Luis mendengkus, ia sangat ingin rebahan di kamar, tapi panggilan sang ayah tak bis
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status