Share

'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah
'Ana-Ya'Inu: Tatapan Nyai Dasimah
Penulis: Vyntiana Itari

I

Allah Ta 'Ala berfirman:

"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. An Nisa': 32)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: "Orang yang memandang dengan pandangan kagum khawatir bisa menyebabkan ain pada benda yang ia lihat, maka cegahlah keburukan tersebut dengan mengucapkan: Allahumma baarik 'alaih." (Ath Thibbun Nabawi, 118)

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

بِسْمِِ اللِِ أَرْقِيْكَِ مِنِْ كُ لِِ شَيْ ءِ يُؤْذِيْكَِ مِنِْ شَ رِ كُ لِِ نَفْ سِ أَوِْ عَيْ نِحَاسِ دِ اللُِ يَشْفِيْكَِ بِسْمِِ اللِِ أَرْقِيْكَِ

Dengan nama Allah, aku meruqyahmu dari setiap sesuatu yang menyakitimu dan dari kejelekan setiap jiwa atau mata yang dengki. Allah-lah yang menyembuhkanmu. Dengan nama Allah aku meruqyahmu." Ustaz Fikri meletakkan tangannya di atas kepala pasien penderita 'ain. Tak lama kemudian, pasien tersebut tak sadarkan diri.

Di antara beberapa pasien ruqyah yang sedang duduk di atas karpet, ada seorang wanita berkerudung hitam yang menaikkan sebelah sudut bibirnya. Lalu, tak berapa lama wanita itu berdiri, dan ke luar dari 'Bilik Ruqyah'.

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah dengan berjalan kaki, wanita itu berkali-kali melihat pasangan muda-mudi yang sedang berpacaran di pinggir jalan ataupun warung lesehan, serta suami-istri yang tengah bermesraan di teras rumah. Selain itu, ia berpapasan dengan Imas dan Galih. Pasangan suami-istri yang terkenal serasi dan rumah tangganya yang harmonis. Namun, wanita itu sangat membenci mereka.

"Assalamu'alaikum, Nyai," sapa Imas.

Wanita itu tidak membalas, melainkan hanya mendelik tajam. Ia melirik pada Galih, tapi lelaki itu membuang muka. Wanita tersebut lalu melanjutkan perjalanannya.

"Aakh ... sialan! Aku benci semua orang di kampung ini! Mereka bahagia di atas penderitaanku!" racau Nyai Dasimah setelah sampai di rumah. Ia juga mengacak-acak, dan melempar barang-barangnya.

Nyai yang deru napasnya menggebu kemudian melangkah ke sebuah ruangan kecil yang gelap dan lembab. Ia menyalakan dupa dan membakar kemenyan. Lalu, ia menyembelih dengan kasar ayam cemani yang telah ia persiapkan sebelumnya. Darah ayam itu ia tuangkan ke dalam mangkuk kecil, di atas nampan kemenyan. Setelah merapalkan mantra-mantra-yang mungkin hanya dia yang tahu artinya-tak lama kemudian muncul kepulan asap yang menjelma menjadi ular.

"Ada apa kau memanggilku?" tanya ular itu dengan suara yang menggema. Namun, hanya Nyai Dasimah yang dapat mendengarnya.

"Kerahkan antek-antekmu untuk mengganggu orang-orang di sekitarku! Jangan biarkan mereka hidup tenang dan bahagia! Aku juga minta kauganggu Galih dan istrinya Imas, juga keturunan mereka! Dan, satu lagi, habisi Ustaz Fikri dan keluarganya!" perintah Nyai.

"Lalu, apa keuntungannya bagiku?" tanya ular itu.

"Aku akan menjadi pengikut setiamu. Selalu memberimu sesajen yang kausuka. Tapi, jika kau gagal, aku akan membinasakanmu."

"Baiklah. Tapi, ada satu syarat."

"Apa?"

"Jika kau tidak mampu memberi makan antek-antekku darah dan tulang manusia setiap hari, maka nyawamu taruhannya," desis ular itu. Kemudian ia berubah menjadi sosok menyeramkan. Bertubuh besar, hitam, dan mata merah menyala."

"Baik, aku setuju."

Dan kesepakatan antara dukun dan jin itu pun terjadi.

◎◎◎

"Galih, aku cinta sama kamu."

Lelaki bertubuh tinggi itu tertegun, lalu tersenyum, saat gadis manis di hadapannya menyatakan perasaan. "Maaf, Imah. Aku cuma menganggapmu sebagai sahabat." Kemudian ia mengeluarkan sebuah kartu undangan pernikahan dari saku jaket kulitnya. "Aku akan menikah. Aku mohon doa restumu," ucap si lelaki sambil menyerahkan kartu undangan itu.

Seakan ada belati yang menghunjam dada. Dasimah merasakan sakit luar biasa. Dengan retina yang mulai basah, dan tangan yang bergetar, ia mengambil kartu itu, lalu membukanya perlahan. Sebaris tulisan bertinta emas seperti kilatan petir menyambar netra.

Galih Ramdhan & Imas Cempaka

Langit yang cerah pun mendadak hitam. Badai menerjang, mengempaskan Dasimah yang menatap nanar punggung Galih yang berangsur menghilang, meninggalkannya yang terisap lumpur hidup berbau busuk. Di dalamnya Dasimah dikelilingi iblis dan jin dengan berbagai bentuk dan rupa yang hampir tak dapat dijelaskan.

Dasimah terbangun dari tidurnya dengan bulir keringat dingin memenuhi kening, dan napasnya memburu. Ia mendengus kesal. "Mimpi itu lagi!" geramnya.

Dua puluh lima tahun telah berlalu semenjak cintanya bertepuk sebelah tangan pada lelaki kampung yang menjadi sahabatnya sejak kecil. Tidak terlalu tampan, tapi selalu memikat hatinya.

Dasimah yang sudah terlanjur sakit hati, menyimpan rasa benci yang amat sangat pada Galih dan Imas. Pun pada pasangan suami-istri yang rumah tangganya tampak baik-baik saja. Terlebih lagi, Dasimah bukanlah orang yang berkecukupan materi, membuatnya semakin benci sekaligus iri dengan orang-orang yang memiliki segalanya.

Seketika itu juga Dasimah bersumpah tidak akan mencintai lelaki mana pun. Di usianya yang kini menginjak 50 tahun, ia lebih memilih menjadi perawan tua. Ia bahkan nekat mempelajari ilmu hitam untuk membalas dendam pada Galih, dan tak segan menyakiti orang-orang yang dibencinya. Cinta ditolak, dukun bertindak. Mungkin, itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan dirinya saat ini.

Dasimah duduk dari posisi tidurnya, lalu melirik jam yang menunjukkan pukul 01.45 dini hari. Ia beranjak dari kasur kapuk yang sudah tipis sehingga membuat punggungnya sakit. Dibukanya laci bufet di samping kasur. Tatapan tajam serta sebuah seringaian menghiasi wajah Dasimah, tatkala melihat sebuah boneka santet berukuran kecil, dengan foto seorang wanita menempel di bagian kepala boneka itu. Diambilnya boneka tersebut dan sebuah jarum jahit.

"Rasakan ini, Imas sialan! Rasakan!" serunya sambil menusuk-nusukkan jarum itu ke arah kaki boneka sambil merapalkan jampi-jampi.

"Dia kesakitan." Sebuah bisikan memberitahu Dasimah, bahwa di lain tempat kaki Imas sedang kesakitan akibat tusukan itu.

"Ahahahahaaa!!" Dasimah tertawa puas, lalu menghentikan aksinya. Dikembalikannya lagi boneka dan jarum ke dalam laci.

Setelah itu Dasimah memakai sweter, dan dengan asal-asalan dipakainya juga kerudung hitam panjang yang dililitkannya ke leher. Kemudian ia melangkah ke dapur yang jauh dari kata bersih dan modern. Hanya ada tumpukan kayu bakar, serta hawu1 yang biasa dipakainya memasak. Tikus-tikus got kocar-kacir saat Dasimah tiba. Ia mengambil sebuah lampu minyak yang tergantung di dinding yang hanya berupa sekat bambu. Dinyalakannya lampu minyak itu, dan Dasimah pergi ke luar rumah, yang lebih pantas disebut gubuk.

Hawa dingin yang menusuk, serta heningnya malam temani langkah wanita berusia setengah abad tersebut menuju pemakaman. Ia menatap lekat tulisan di sebuah gapura besar yang menyambut kedatangannya.

TPU SIRNA RAGA

◎◎◎

Pagi itu warga kampung tengah ramai berkumpul di salah satu makam. Nyai Dasimah yang hendak pergi, menghampiri kerumunan tersebut.

"Punteun, Bah, aya naon, nya? (Permisi, Bah, ada apa, ya?)" tanyanya pada ketua RT.

"Ieu, Nyai, makam Neng Asih aya nu ngabongkar, ( Ini, Nyai, makam Neng Asih ada yang bongkar)" jelas Pak RT.

"Astagfirullah ... siapa yang bongkar, Pak? Meni tega pisan."

"Haduh ... teu teurang (tidak tahu), atuh, Nyai. Mirisna, teh, sirahna leungit (kepalanya hilang), Nyai. Leungit!" ungkap Pak RT dengan nada panik bercampur takut.

Dasimah mendekat ke liang lahat yang sudah tak tertimbun tanah itu. Seonggok mayat tanpa kepala dengan kain kafan yang terbuka setengah badan, tampak jelas di bawah sana. Ia merutuki dirinya yang lupa kembali menutup lubang itu, dikarenakan ada warga yang sedang ronda melintas di sekitar makam semalam.

#

Dasimah menoleh ke kiri-kanan, memperhatikan keadaan sekitar. Sepi. Dengan cepat ia berjalan ke arah semak-semak, mengambil sebuah cangkul dan golok yang disembunyikannya kemarin sore.

Siang harinya, terjadi kecelakaan motor yang menimpa anak gadis tetangganya, Asih, yang langsung tewas di tempat. Hal ini tentu saja dimanfaatkan oleh Dasimah. Ia sengaja mengikuti acara pemakaman, agar mengetahui posisi Asih dimakamkan.

Setelah semua pelayat pulang, Dasimah justru pergi ke rumah si penggali kubur, yang berada tak jauh dari area pemakaman. Dengan mengendap-endap, ia mengambil cangkul dan sebilah golok, lalu menyembunyikannya di semak-semak.

Dengan hanya bermodalkan cahaya dari lampu minyak, Dasimah berjalan dengan hati-hati menyusuri tiap-tiap makam. Dan tanpa kesulitan, langkahnya terhenti di depan sebuah pusara dengan tanah yang masih basah, dan kelopak-kelopak mawar yang masih segar dan wangi.

Dasimah menaruh lampu minyaknya di samping batu nisan, dan segera mencangkul gundukan tanah itu. Dengan bantuan jin, tak butuh waktu lama dan merasa kelelahan, makam itu sudah terbongkar.

Dasimah menatap nyalang ke arah mayat yang terbungkus kain kafan dengan rapi. Dibukanya ikatan kepala, sampai ke ikatan bagian dada. Dilayangkannya golok ke leher si mayat, dan dalam sekali tebas, kini tangannya sudah menggenggam rambut panjang Asih.

"Malang sekali nasibmu, Nak. Ahahahahaa!" gumamnya sambil menatap kepala Asih yang bocor di bagian kiri, dan masih meneteskan darah yang mulai menghitam itu, lalu dimasukkan ke dalam kantong keresek yang juga telah disiapkannya dari rumah.

Tiba-tiba Dasimah mendengar suara kentungan. Tanda bahwa ada warga yang sedang ronda. Dasimah segera melompat ke luar dari lubang kuburan, membawa serta kepala, cangkul dan golok, juga lampu minyak. Ia kembali menyembunyikan peralatan itu ke semak-semak dengan rapi, lalu berlari kecil pulang ke rumah.

"Nyai ...," lirih suara terdengar memanggil Dasimah. Ia berhenti sejenak, lalu menengok ke arah sumber suara.

Dasimah menaikkan lampu minyaknya, menyorot ke sosok tanpa kepala dengan mengenakan baju putih panjang dengan bercak darah, tampak berdiri di depan gerbang makam. "Mau apa kamu?" tanya Dasimah tanpa rasa takut sedikit pun.

"Kepalaku mau dibawa ke mana, Nyai?"

"Aku mau jadikan makanan jin!" seru Dasimah, kemudian lanjut berlari kecil. Ia pun tiba di rumah bertepatan dengan kumandang azan salat tahajud. Dasimah membuka keresek, dan melemparkan potongan kepala itu ke pojokan kamar, yang terdapat nampan sesajen.

"Makanlah itu, Jin! Ganggulah keluarga Galih! Aku ingin mereka hancur perlahan. Ahahahahaaa!!" Dasimah merebahkan tubuhnya ke atas kasur. Samar-samar ia menangkap sosok hitam besar sedang menjilati kepala itu sebelum dirinya menutup mata.

#

"Pak, abdi punteun heula (saya pamit dulu), nya," pamit Dasimah kepada Pak RT.

"Oh, iya, atuh ... mau praktek, ya, Nyai?"

Dasimah mengangguk mengiyakan, lalu tersenyum kecil. Ia pun pergi dari kerumunan. Selintas Pak RT tampak mengendus bau busuk saat Dasimah melewatinya. Namun, ia tak berpikir macam-macam. Ia hanya mengira itu bau dari arah mayat yang kini sedang diangkat beberapa warga dan anggota keluarga ke atas lubang, untuk dibetulkan kafannya. Pak RT tidak tahu, bahwa bau busuk berasal dari tas yang dibawa Dasimah, yang berisi kepala Asih.

◎◎◎

Di tengah jalan, Dasimah membuang kantong keresek ke parit di bawah jembatan. Tak berapa lama, ia pun tiba di sebuah rumah sederhana milik Rima, tempatnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga sekaligus membuka pengobatan alternatif di paviliun rumah sang majikan.

Namun, itu semua hanya kedok saja, supaya praktik perdukunannya tak terendus.Dan kebetulan ia memang bisa mengobati berbagai macam penyakit dengan bahan-bahan herbal. Keahlian turun-temurun dari sang nenek. Sayangnya, meski warga setempat banyak yang menjadi langganan, penghasilannya tak seberapa. Dasimah tak bisa mematok harga tinggi, karena kalau terlalu mahal, maka warga akan lebih memilih ke dokter.

Ia pun sengaja tidak menempati ruang praktiknya, meski sang majikan memperbolehkannya tidur di sana. Lingkungan di sekitar terlalu ramai. Otomatis dirinya takkan bebas melancarkan aksi. Hanya sesekali saja ia tidur di rumah Rima. Itu pun hanya manipulasi belaka agar dirinya terlihat menghormati dan menghargai keinginan majikannya, padahal Dasimah amat tidak menyukai Rima.

Uang yang didapat pun tak dihambur-hamburkan untuk membeli barang-barang bagus, apalagi merenovasi gubugnya di kampung sebelah. Ia lebih memilih memakai uang itu untuk membeli perlengkapan praktik maksiatnya.

Selepas asar, waktunya Dasimah pulang. Ia memandang lesu dua lembar uang lima puluh ribuan. Yang datang berobat hari ini hanya dua orang.

Cuma cukup beli beras, ikan, sama kemenyan, gumamnya dalam hati. Kemudian, Dasimah meninggalkan rumah Rima yang sedang ditinggalkan pemiliknya. Dasimah menghela napas lega. Setidaknya ia tak perlu berhadapan dengan mulut cerewet majikannya, apalagi jika bau busuk yang masih menempel di tasnya itu terendus.

Dalam perjalanan pulang, Dasimah sengaja melewati rumah Galih. Ia mengintip dari balik rerimbunan pohon kembang sepatu di pinggir halaman rumah. Dasimah melihat sepasang suami-istri itu tengah ribut dengan seorang wanita hamil.

"Kang, Kang Galih ... Akang harus tanggung jawab. Aku hamil lima bulan!" seru wanita hamil itu.

"Astagfirullahaladzim ... apa benar Teteh hamil karena suami saya?" tanya Imas dengan wajah tampak menahan tangis.

"Ya, Allah, Neng ... Neng tidak percaya sama aa? Ini semua fitnah, Neng. Aa tidak kenal sama wanita ini!" pungkas Galih.

"Akang tega, ya! Tunggu pembalasan aku, Kang!" Wanita hamil itu pun pergi dari rumah Galih sedangkan Imas langsung terkulai lemas. Pingsan.

Dasimah terkekeh pelan, lalu melanjutkan perjalanan pulang.

"Bagaimana?" Wanita hamil itu kini berada di sebelah Dasimah. Dengan tubuh melayang mensejajarkan dirinya dengan langkah si empunya ilmu yang memperbudak paksa rohnya di alam gaib.

"Kerjamu bagus," ucap Dasimah, menyeringai lebar.

Wanita hamil itu pun cekikikan, lalu melesat pergi, sembunyi dari cahaya senja. Menampakkan lubang besar di punggungnya yang dipenuhi belatung, lalu menghilang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status