Pagi itu jerit histeris Imas mewarnai kediaman Galih.
"Sakiit ... aakh!" erang Imas sambil memegang kepalanya. Ia berguling ke kiri dan kanan, sebab sakit yang tak tertahankan.
Galih yang panik merasakan ada sesuatu yang ganjil. Ini bukan sakit kepala biasa. Aku harus bawa dia ke Bilik Ruqyah, batinnya. Galih pun segera mengambil kunci mobil.
"Neng, ayo, kita ke rumah Ustaz Fikri," ajak Galih seraya memegang tangan Imas yang masih mengerang di lantai.
Imas mengangguk lemah. "Iya, A ...."
Dengan hati-hati Galih membopong tubuh Imas yang lemah menuju mobil, dan membaringkannya di jok belakang. Mereka lalu meluncur ke BilikRuqyah. Sekitar 30 menit perjalanan, akhirnya mereka tiba. Ada beberapa pasien ruqyah beserta keluarga yang mendampingi terlihat duduk santai di teras.
"Alhamdulillah tidak terlalu ramai," gumam Galih. "Neng, tunggu sebentar, ya. Aa mau daftar dulu."
Imas hanya mengangguk sambil memijat pelan keningnya. Galih turun dari mobil, dan berlari kecil memasuki Bilik Ruqyah. Di ruang pendaftaran tampak asisten Ustazah Azizah, sedang sibuk menulis di mejanya.
"Assalamualaikum," sapa Galih.
"Wa'alaikumussalam. Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
"Saya mau daftar ruqyah."
"Siapa yang mau diruqyah?"
"Istri saya, Imas."
Iis mencatat dengan cepat. "Istrinya dibawa, Pak?"
"Ada di mobil."
"Langsung dibawa ke sini saja, Pak, karena yang sedang diruqyah oleh pak ustaz di dalam itu pasien terakhir."
"Oh, begitu ...." Galih mengangguk, lalu pergi menuju mobil untuk membawa Imas. Namun, betapa terkejutnya Galih saat membuka pintu mobil, sang istri tidak berada di dalam.
"Neng? Neng Imas?" Galih celingak-celinguk memanggil Imas. Ia berjalan memutari mobil, tapi Imas tidak ada. "Ya, Allah ... ke mana dia?" bisik Galih sambil bertolak pinggang. Raut wajahnya sangat cemas.
"Aa! A Galih, tolong, A!" teriakan Imas mengejutkan Galih.
Galih mencari sumber suara. "Neng?"
"Aa!"
Galih melongok ke atas. Matanya terbelalak lebar. Imas sedang tergantung di pohon. Ia meronta-ronta dengan tangan mencengkeram leher, seperti mencekik.
"Astagfirullahaladzim!" Galih kebingungan. Ia mencoba memanjat, tapi ia urungkan niatnya itu, sebab tidak mungkin ia bisa menyelamatkan Imas seorang diri.
"Tolong!!" teriak Galih sambil berlari menuju Bilik Ruqyah. Membuat orang-orang yang berada di teras terkejut, sekaligus panik.
"Ada apa, Pak?"
"Kenapa, Pak?"
Galih langsung masuk ke ruang praktik ruqyah, tanpa menghiraukan orang-orang yang bertanya-tanya di belakangnya. "Pak Ustaz ... tolong saya ... tolong, istri saya ...." Napasnya terengah-engah.
Ustaz Fikri yang sedang meruqyah otomatis menghentikan aktivitasnya. "Ada apa, Pak? Kenapa istrinya?" tanyanya.
"Istri saya ... ada di atas pohon. Tolong saya, Pak," jawaban Galih membuat Ustaz Fikri tercengang. "Ayo, Pak ... cepat, Pak ... tolongin istri saya," mohon Galih, lalu ia kembali berlari ke luar.
Ustaz Fikri memberi isyarat kepada salah seorang asisten, untuk menggantikannya meruqyah pasien, lalu mengajak asisten yang lain mengekor Galih.
"Di mana, Pak, istrinya?" tanya Ustaz Fikri.
Galih menunjuk ke atas. "Itu, Pak Ustaz."
"Toloong!" teriak Imas saat tubuhnya terangkat dengan sendirinya.
"Astagfirullahaladziim!" seru Ustaz Fikri dan asistennya serentak. Lantas mereka mulai membaca ayat Kursi.
Mendadak Imas merosot turun, dengan sigap mereka bertiga menangkap Imas hingga mereka tersungkur di tanah.
"Neng ... Neng ...." Galih menepuk-nepuk pelan pipi Imas.
"Dia pingsan, Pak. Ayo, cepat kita bawa dia ke rumah!" perintah Ustaz Fikri.
Galih pun menggendong Imas, lalu mereka berjalan cepat kembali menuju Bilik Ruqyah. Baru beberapa langkah, Galih merasakan hawa dingin di tengkuknya, padahal matahari sangat terik. Galih menengok ke belakang. Manik matanya membulat. Sosok raksasa bertubuh hitam besar, dan mata merah menyala, sedang berdiri tepat di depan pohon. Galih membuang muka. Ya, Allah ... apa itu? tanyanya dalam hati. Tubuhnya mulai gemetar. Ia menengok lagi ke belakang, tapi sosok itu sudah menghilang.
"Pak!" seru Ustaz Fikri, mengejutkan Galih.
"I-iya!" Galih pun mempercepat langkahnya masuk ke dalam rumah.
"Baringkan di sini!" perintah Ustaz Fikri.
Galih menurut, dan membaringkan Imas di atas karpet. Ustaz Fikri memakai sarung tangan berwarna hitam, lalu menekan ibu jari Imas. Kemudian, ia melafazkan surat Al-Fatihah, dan ayat Kursi, masing-masing sebanyak tiga kali.
Imas mulai bereaksi. Ia mengerang, dan langsung terduduk. "Diam kamu!" bentaknya sambil melotot pada sang ustaz. Suaranya terdengar berat, dan serak. Namun, tentu saja Ustaz Fikri tak menggubrisnya. Ia lanjut melantunkan ayat Al-Muawwizat7, juga masing-masing sebanyak tiga kali.
Imas meronta-ronta, kakinya menendang-nendang Ustaz Fikri. Galih yang memegangi istrinya itu pun mulai kewalahan.
"Ayo, kamu ke luar. Kasian muslimah kita yang tidak bersalah ini." Ustaz Fikri mencoba komunikasi dengan jin yang bersemayam di tubuh Imas.
"Hahahahahaa! Tidak!"
"Kalau kamu tidak mau ke luar, kamu masuk Islam, ya?"
"Apa? Masuk Islam? Hahahaha! Saya jin Muslim, tau!" Jin di tubuh Imas semakin bertingkah. Tak lama kemudian, Imas memejamkan mata, duduk bersila, dan menghela napas. Imas melantunkan ayat-ayat suci Alquran dengan merdu.
Galih terpana, ia mulai melonggarkan pegangannya pada lengan Imas yang sudah mulai tenang, dan memandang istrinya dengan tatapan tak percaya. Itu karena suara Imas tak semerdu itu saat mengaji.
"Jangan dilepas!" seru Ustaz Fikri saat melihat Galih tidak lagi memegangi Imas.Tiba-tiba saja Imas berhenti mengaji, lalu mencekik Galih. Dengan sigap asisten dan Ustaz Fikri melepaskan tangan Imas dari leher Galih, lalu membaringkannya.
"Innamā jazā'ullażīna yuḥāribụnallāha wa rasụlahụ wa yas'auna fil-arḍi fasādan ay yuqattalū au yuṣallabū au tuqaṭṭa'a aidīhim wa arjuluhum min khilāfin au yunfau minal-arḍ, żālika lahum khizyun fid-dun-yā wa lahum fil-ākhirati 'ażābun 'aẓīm. Illallażīna tābụ ming qabli an taqdirụ 'alaihim, fa'lamū annallāha gafụrur raḥīm. Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. Kecuali orang-orang yang tobat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Imas yang berontak sambil berteriak itu seketika tak sadarkan diri ketika Ustaz Fikri membacakan surat Al-Maidah: 33-34.
◎◎◎
Boneka santet yang sedang dicekik oleh Dasimah mengepulkan asap hitam. Ia tersentak, lalu menjatuhkan boneka itu.
"Ustaz sialan!" geramnya.
"Mana makananku?"
Dasimah menatap tajam sosok bermata merah di sudut kamarnya. Ia mengambil keresek hitam yang disembunyikannya di kolong kasur, lalu mengeluarkan isinya. "Ini!" Dasimah melempar janin tanpa tangan dan kaki hasil aborsi yang sudah membusuk.
#
Semalam, Nyai Dasimah tak sengaja melihat sepasang kekasih sedang mengendap-ngendap di sebuah kebun, saat dirinya hendak pergi ke makam. Apalagi kalau bukan untuk mencari mayat. Dasimah yang curiga, mengintip sejoli itu dari belakang pohon pisang.
"Neng, kubur di sini saja, ya?" bisik sang lelaki.
"Iya, deh, terserah! Cepat nanti ada yang lihat!" ucap si perempuan sambil menengok kiri kanan, mengawasi keadaan sekitar.
Lelaki itu pun mulai menggali, setelah itu mengubur sebuah kantong keresek. Selesai melancarkan aksinya, kedua pasangan itu lari terbirit-birit entah ke mana.
Dasimah melangkah menuju gundukan tanah yang tertutup daun kering itu. Karena penasaran, Dasimah menggalinya dengan tangan kosong. Belum terlalu dalam menggali, keresek hitam tersebut sudah terlihat, dan ditarik ke luar oleh Dasimah. Dasimah membuka ikatan keresek itu. Saat melihat isinya, dia tersenyum lebar, senyum yang mengerikan.
"Janin bayi," desis Dasimah, menjilat bibir atasnya
#
Lima tahun telah berlalu semenjak kematian sang wanita penyebar 'ain, Nyai Dasimah. Kehidupan Galih dan Imas pun jauh lebih baik dan bahagia dengan kehadiran buah hati yang baru berusia 8 bulan. Mereka juga sudah menempati rumah baru saat Imas dinyatakan hamil demi melupakan kenangan buruk, yang mungkin bisa saja membawa pengaruh buruk juga untuk Arsyad, jagoan kecil mereka. Kini, pasangan suami istri itu bertempat tinggal di sudut kota yang terkenal dengan tahu gorengnya. Galih yang sudah setahun bekerja di dinas pemerintahan pun membuat roda perekonomian berputar dengan stabil daripada sebelumnya. "Yah, tidak kerja? Sudah jam setengah tujuh, nanti terlambat lho!" tanya Imas sambil mengusap lembut bahu Galih. Galih membuka mata, dan ditatapnya wajah Imas. "Kepala Ayah sakit, Bun." Imas pun menyentuh kening dan leher suaminya itu dengan punggung tangannya. "Ini, sih, demam.
Dear, Readers. Bab selanjutnya masuk ke 'Ana-Ya'Inu season 2 ya! Perdana tayang lho, belum ada di platform lain. Sequel kok disatuin sama season 1? Perdana tayang kok nggak bikin buku baru lagi? Soalnya buat mencapai 100k kata, Gaess 🙈 Di season 1 cuma 24k kata. Irit banget emang buat sebuah novel, tapi aku emang tipe penulis yang nggak mau ikin cerita terlalu pa jang dan bertele-tele, dan rata-rata novel soloku yang udah terbit jumlah bab nya nggak lebih dari 25 bab. Alhasil, jujur aja untuk mencapai 100k kata ini aku kewalahan, apalagi dari awal nggak pernah kepikiran buat bikin sequel. Jadi, updatenya bakalan agak lama ya 🤭 Happy reading 🤗
llmu hitamku kini semakin kuat. Jika saja bukan karena dia—yang aku agungkan—aku tak mungkin bisa seperti sekarang ini.Hari itu, saat Ki Prana meregang nyawa dengan cara mengenaskan, aku sempat kebingungan karena ilmuku otomatis menghilang. Namun, aku teringat suatu tempat, di mana aku bisa meminta ilmu.Dengan hanya berbekal pakaian yang melekat di tubuh, juga uang seadanya, aku pergi ke sana. Pantai Selatan.Dipayungi sinar purnama kutatap ombak yang menggulung besar disertai semilir aroma bunga melati. Kugelar ritual pemanggilan lengkap dengan dupa dan sesajen.Sangat kuat hawa magis di sini. Samar-samar terdengar suara gamelan dan kereta kencana. Dia sudah tiba. Namun, di luar dugaan, yang datang ternyata bukan Kanjeng Ratu, melainkan sang panglima komandan.“Pergilah ke gua besar di atas bukit!” perintahnya.Aku mengangguk patuh.
Ustaz Fikri membuka perlahan pintu rumah Nyai Dasimah. Sangat gelap di dalam."Aaarghh!" Seketika itu juga tubuhku melayang, seperti ada yang menarikku ke belakang. Aku langsung terkapar di tanah.“Kang Asep!”Terdengar teriakan Ustaz Fikri. Aku membuka mata sambil meringis kesakitan. Pintu itu sudah tertutup. Beliau terkurung di dalam. Argh! Aku harus bagaimana? Aku harus segera menyelamatkan Ustaz Fikri atau Nyai Dasimah tidak akan membiarkannya hidup.Tunggu dulu. Aku harus minta tolong siapa? Dan bagaimana dengan nyawaku sendiri? Apa aku kabur saja?Perlahan aku bangkit dengan tubuh yang terasa hampir remuk. Kuperhatikan sekeliling. Di sini tidak ada rumah selain rumah Nyai Dasimah. Jalan satu-satunya aku harus ke bawah, dan meminta bantuan di sana.Terseok aku berjalan pincang sembari memegang bahu yang sakit. Kini tekad sudah bulat ingin menolong Ustaz Fikri. Jik
"Aku khilaf, Dasimah. Dan aku sudah kembali bertobat."Mata Dasimah berubah sendu. Air wajahnya terlihat kecewa. "Kalau begitu matilah bersama mereka!" Dengan sekali empasan tangan, tubuh Galih melayang dan tersungkur di dekat ustaz."Astagfirullah! Bangun, Pak Galih." Ustaz Fikri membantu Galih bangun. Kini tubuhnya tak lagi terikat."Makanlah mereka berdua, itu adalah santapan terakhir untukmu!" seru Dasimah, kemudian melirik Imas, "bawa dia untuk dijadikan budakku!" Kemudian Dasimah berbalik dan menghilang.Tiba-tiba pintu tempat ruangan Imas berada tertutup.Galih dan Ustaz Fikri berusaha membuka pintu itu dengan mendobraknya, tapi pintu tidak terbuka."Bagaimana ini, Ustaz? Apa kita akan mati di sini dimakan ular?" tanya Galih sambil melihat ular yang semakin mendekat.Ustaz Fikri memegang bahu Galih. "Tenang. Kita tida
'Krieeeet'Deritan suara pintu yang mendadak terbuka mengejutkan mereka berdua."Masuklah!"Terdengar suara wanita yang menggema dari dalam rumah."Bagaimana ini, Ustaz? Itu sepertinya suara nyai.""Ayo, kita masuk, Kang," jawab Ustaz Fikri tanpa menoleh."B-baik, Ustaz.""Jangan takut, Kang. Allah bersama kita."Namun, ketika Kang Asep hendak melangkah, Ustaz Fikri mencekal tangannya."Tunggu!""Ada apa, Ustaz?" tanya Kang Asep kaget."Ada yang tidak beres. Sepertinya ini perangkap.""Perangkap?"Ustaz Fikri mengangguk. "Biar saya yang berjalan di depan." Ustaz pun melangkah sedangkan Kang Asep mengekor di belakangnya.Ustaz Fikri membuka perlahan pintu rumah. Sangat gelap di dalam. Tiba