Steve melirik jam yang tergantung di dinding. Sudah pukul 10 malam. Waktu berlalu begitu cepat setelah pertengkarannya dengan Flora ketika berada di dapur tadi.
Steve menolehkan kepalanya ke arah jendela yang masih menampilkan hujan badai. Steve mendesah kasar lalu segera meminum kopi yang sudah lama mendingin hingga tandas.Gelas yang sudah kosong itu ia simpan di bawah tempat tidur karena ia sedang malas menyimpannya di atas laci nakas.Setelah itu, pria berambut merah muda itu segera menyimpan naskah yang ia pegang ke atas meja yang letaknya bersebrangan dengan tempat tidurnya, setengah membantingnya karena jaraknya cukup jauh. Beruntung naskah itu tak berhamburan ataupun jatuh ke atas lantai.Steve segera meraih ponselnya yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berbaring, lalu segera membuka layar dengan kata sandi yang sudah ia hapal di luar kepala."Ben sudah pulang belum ya?" Gumamnya pelan sambil mengetukkan tangan di dagu, mengEthan dan Kai kini tengah duduk di ruang tamu apartemen milik Jake. Kedua pria itu terdiam satu sama lain, enggan mengobrol untuk sekedar memecah keheningan yang tercipta diantara keduanya. Saat ini, Ethan sedang fokus dengan ponselnya—yang mana ia tengah bekerja— sementara Kai sendiri memilih untuk bermain game online. Karena kesal menunggu Jake yang entah sedang melakukan apa di kamar mandi, Kai melempar ponselnya ke samping sofa, lalu meregangkan badannya yang terasa sakit dan juga pegal."Haah, bosannya,"Kai melenguh kecil sembari mengusap dengan lebar. Pria itu hampir saja tertidur karena terlalu lama menunggu Jake yang belum datang hingga saat ini.Ethan melirik ke arah "teman barunya" itu dengan tatapan sinis. Senyuman miring tercetak di wajah tampannya. Ia tak berkata apapun dan memilih untuk melanjutkan pekerjaannya daripada mengomentari tingkah Kai yang membuatnya kesal setengah mati. Sejak awal, Ethan memang kurang
"Oh, Jayden. Aku tak menyangka kalau kau datang ke bar milikku," Archer yang sedang berbicara dengan salah satu koleganya langsung membalikkan badan begitu melihat sahabatnya datang mengunjunginya.Pria berkulit Tan itu tersenyum tipis sembari saat melihat Jayden yang saat ini tengah menaruh payungnya di gantungan khusus yang terletak di samping pintu masuk.Jayden menolehkan kepalanya ke arah sumber suara lalu berjabat tangan dengan Archer, tak lupa juga berjabat dengan para kolega milik pria itu, meskipun Jayden tak mengenalnya."Well, aku sedikit bosan dengan klub milikku. Sesekali aku ingin keluar dan beristirahat sejenak," kelakar Jayden dengan tawa kecil yang mengiringinya. "Aku tak mengganggu waktumu kan, Archer?" Tanya Jayden lagi menyambung perkataannya."Dasar kau ini. Tentu saja kau tak menggangguku. Lagipula, urusanku dengan kolegaku juga sudah selesai," sahut Archer dengan senyuman manis. Pria berkulit Ta
Steve menghela napas panjang sembari memegang lututnya yang terasa sakit. Napasnya terengah dengan dada yang terasa sesak. Bulir-bulir keringat keluar dari sekujur tubuhnya. Badannya terasa panas dan wajahnya terlihat memerah. Pria berambut merah muda itu melepaskan masker yang ia gunakan untuk meraup napas lebih banyak. Steve bernapas menggunakan mulut karena rasa sesak yang tak kunjung hilang akibat terlalu lama berlari dari dua orang yang mengejarnya. Sesekali, pria itu akan menyembulkan kepalanya dari balik tembok untuk melihat apakah orang yang mengejarnya itu berada dekat dengan posisinya saat ini atau tidak."Sialan! Gara gara file ini, aku dikejar oleh mereka sampai kelelahan seperti ini," umpat Steve sembari menyeka keringat yang berada di dahinya. Matanya melirik ke arah file yang terdapat di tangan kanannya.Saat akan keluar dari tempat persembunyiannya, tubuh Steve menegang ketika mendengar suara derap kaki yang m
"Aku tidak mau minta maaf. Aku tidak salah. Aku hanya melindungi Mommy dari tuan Ben," Ucapan itu tentu saja membuat Ivy terkejut. Matanya membulat dengan ekspresi kaget yang tercetak jelas di wajahnya. Ivy memejamkan matanya sejenak, berpikir mengapa Terry bisa membangkang seperti ini.Ivy merasa kecewa dengan sikap Terry. Tentu saja ia merasakan hal itu. Wanita muda itu merasa gagal karena tak bisa mendidik anaknya dengan baik. Ia mendekati Terry dan menaruh tangannya di bahu bocah laki-laki itu. Akan tetapi, sesuatu yang tak biasa terjadi.Terry menepis tangan Ivy tanpa menatap mata ibunya itu. Bocah laki-laki itu memilih untuk menundukkan kepalanya dengan tangan yang terkepal kuat, seolah tengah menahan amarah bisa meledak kapan saja.Karena cara "kasar" pada Terry tak berhasil, Ivy harus menggunakan cara yang biasa ia lakukan. Ivy memeluk tubuh Terry dengan erat. Terry tentu saja meronta ronta sembari mengerang kesal. "Mo
"Buku harian Neva?" Kai bertanya sembari memiringkan kepalanya saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Jake. Dahinya berkerut dalam dengan alis yang terlihat menyatu."Darimana kau bisa menyimpulkan jika aku memiliki buku harian Neva?" Tanya Kai lagi menyambung kalimatnya dengan hibur yang terlihat di gigit. Pupil miliknya terlihat bergerak gelisah kesana kemari dengan gerakan yang terlihat tak nyaman saat Jake menyebut kata "buku harian Neva".Jake tersenyum tipis mendengar jawaban dari pria bermata amber itu. Dirinya sudah menduga jika Kai akan sulit untuk diajak bekerja sama.Maka dari itu, Jake kembali melayangkan pertanyaan yang bersifat menjebak untuk mengetes seberapa besar Kai akan menyangkal."Iya. Aku mendengarnya dari Jayden. Katanya kau cukup dekat dengannya kan? Aku pikir, kau pasti tahu atau setidaknya menyimpan buku itu, Kai," ujar Jake dengan nada seraknya, terdengar begitu mendominasi dan juga berkh
Mata Ivanka membuat sempurna saat mendengar perkataan yang terlontar dari mulut Jayden. Wajahnya terlihat memucat dan membeku layaknya patung yang berada di museum. Napasnya tertahan dengan detak jantung yang seolah terhenti.Setelah beberapa saat terdiam, mata indahnya menatap kedua pria yang berada di ruangan itu dengan tatapan intens layaknya seorang detektif yang berusaha mencari kebenaran dari para pelaku kriminal. Ivanka berjalan maju ke depan, mendekat ke arah tubuh Archer hingga tubuh keduanya tak ada lagi jarak yang tersisa. Archer bisa merasakan jika tubuh sahabat perempuannya itu begitu menempel padanya. "Aku yakin kalian hanya menggertakku saja. Mana mungkin pria seperti dirinya menyewa pembunuh bayaran untuk perempuan yang meminta pertanggung jawaban?" Ivanka berkata dengan keras sembari mendongakkan wajahnya ke arah Archer, mengingat tinggi keduanya yang begitu kontras. Padahal, Ivanka sudah menggunakan higheels yang cuk
Steve berjalan kembali ke rumah orang tuanya setelah memastikan jika keadaan sudah aman dan ia tak lagi dikejar oleh kedua orang itu.Dirinya bersyukur karena menggunakan masker dan jaket yang menutupi tubuhnya. Setidaknya, tak akan terjadi skandal yang bisa mencoreng nama baiknya di dunia entertainment.Dirinya pulang pada pukul satu pagi. Steve langsung berjalan ke arah kamarnya yang berada di lantai dua. Saat tengah berjalan di tangga, tiba tiba saja ia berpapasan dengan Flora yang hendak turun dari lantai atas —kebetulan kamar Flora memang bersebelahan dengan kamar milik Ben dan bersebrangan dengan kamarnya— sehingga Steve bisa dengan mudah berjumpa dengan wanita berambut biru terang itu."Kau habis darimana?" Tanya Flora saat menemukan Steve yang memakai baju yang terlihat kotor, penuh lumpur dan berbau air hujan. Mata wanita itu memicing ke arah Steve dengan tatapan menyelidik. Steve tak menjawab pertanyaan itu dan memilih untuk m
Mendengar pernyataan yang terlontar dari mulut Ben, gerakan Ivy menyuapi si kembar terhenti. Wanita itu menoleh, lalu menatap Ben dengan penuh tanda tanya yang terlihat jelas di manik mata hijaunya yang bulat dan begitu jernih."Neva?" Ujar Ivy bertanya kembali ketika mendengar nama itu, merasa asing.Ben menganggukkan kepala, lalu menyimpan sendok yang ada di tangannya ke piring karena ingin mendengar jawaban dari lawan bicaranya."Iya, Neva. Apa kau mengenalnya atau setidaknya pernah mendengar namanya?" Tanya Ben dengan nada serak yang terdengar begitu berat. Ivy terdiam. Wanita itu terlihat memalingkan wajahnya ke arah kedua anaknya lalu menyuapi mereka kembali seolah tengah menghindari pertanyaan itu.Ben merasakan ada hal yang ganjil disini. Ia menatap Ivy dengan tatapan intens. Karena tak kunjung mendapat jawaban, Ben kembali bersuara."Ivy? Kau mendengar pertanyaanku kan?" Tanya Ben lagi. Kali ini, ia menekan tiap kalimat