Malam itu, hujan deras mengguyur kota California, membasahi jalanan dan rumah-rumah mewah di kompleks perumahan bergengsi. Di salah satu rumah, Viyone yang sedang hamil besar tak bisa tidur dengan nyenyak. Rasa sakit yang mendera kaki dan pinggangnya membuatnya hanya bisa menahan tangis sambil membiarkan air mata jatuh perlahan. Viyone memutuskan untuk tidak menghubungi suaminya yang saat itu masih berada di luar rumah. Ia tidak ingin merepotkan suami tercinta, meski hatinya merasa sangat kesepian dan membutuhkan dukungan.
Dalam kegelapan kamar yang hanya diterangi oleh sinar rembulan yang menyelinap lewat jendela, Viyone merasakan kesendirian yang semakin mendalam. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka perlahan. Chris, anak laki-lakinya, masuk ke kamar dengan langkah kaki yang lembut. Ia sudah tahu kebiasaan ibunya yang sering mengalami rasa sakit pada malam hari, Chris yang begitu mencintai ibunya ia selalu berada di samping di saat ibunya membutuhkan dirinya
"Mama, aku akan membantu memijat kakimu," ucap Chris dengan nada lembut, penuh kepedulian.
Viyone terharu melihat putranya yang masih kecil namun sudah memiliki rasa empati yang begitu besar. Chris duduk di samping ibunya dan mulai memijat kaki Viyone dengan lembut, berusaha mengurangi rasa sakit yang dirasakannya.
"Terima kasih, Chris! Apa kamu belum tidur?" tanya Viyone.
"Aku belum tidur, Ma. Aku tahu Mama pasti sakit lagi. Oleh sebab itu aku harus datang di saat Mama butuh bantuan," jawab Chris.
"Anak mama yang pintar," ucap Viyone dengan senyum.
"Mama, kenapa tidak menghubungi papa? Mama sering sakit dan papa tidak tahu apa-apa. Apakah ada yang lebih penting dari mama dan adik?" tanya Chris yang sambil memijat kaki ibunya.
Sebuah hotel mewah.
Jeff dan seorang wanita cantik itu berbaring di ranjang yang empuk, terlarut dalam asmara yang terlarang. Suara desahan terdengar begitu jelas yang keluar dari mulut pasangan itu, menandakan betapa mereka tenggelam dalam kenikmatan. Jeff sangat menikmati kesenangan yang diberikan oleh wanita tersebut, hingga ia terlupakan akan istrinya yang sedang hamil besar di rumah. Wajah Jeff tampak merah membara, keringat bercucuran dari keningnya, menandakan betapa nikmatnya hubungan yang mereka jalani. Ia terus meremas tubuh wanita itu, mencari kepuasan yang tak pernah ditemukannya pada istrinya yang sedang hamil.
"Jeff, kapan kamu akan menceraikan dia?" tanya wanita itu yang berada di bawah tubuh Jeff. Suara lembutnya seolah-olah menambah kehangatan dalam kamar itu.
Jeff tersenyum sinis, menatap wanita cantik itu dengan pandangan penuh nafsu. "Dia sedang hamil anakku, aku tidak bisa menceraikan dia sekarang. Tapi tenang saja, setelah dia melahirkan, aku akan memberitahu tentang hubungan kita dan menikahimu," jawabnya dengan tegas.
"Kenapa kamu tidak ceraikan saja, dan masih memilih hidup bersamanya?" tanya wanita itu.
"Anakku membutuhkan dia, Bayi yang baru dilahirkan tidak bisa berpisah dengan ibunya. Oleh sebab itu aku tidak menceraikan dia. Kau tenang saja! Setelah kita menikah...rumah yang baru aku beli akan menjadi milik kita berdua," jawab Jeff yang mencium bibir wanita itu dengan penuh nafsu.
Jeff tengah asyik menikmati tubuh wanita itu, ketika tiba-tiba nada dering handphone miliknya mengalun. Ia melirik sejenak ke layar handphone dan melihat nama yang muncul di panggilan masuk. Dengan acuh tak acuh, Jeff memilih mengabaikan panggilan tersebut. Tak lama kemudian, panggilan terputus dan pesan singkat pun masuk ke handphone-nya. Namun, Jeff tetap tidak peduli dan hanya fokus menikmati kenikmatan yang sedang ia rasakan.
Sementara itu, di rumah, Chris dengan wajah cemas terus mengirim pesan berulang kali kepada ayahnya. Viyone, ibunya, semakin kesakitan dan wajahnya mulai memucat. Suasana ruangan terasa sangat tegang.
"Mama, aku akan menghubungi ambulan saja," ujar Chris dengan nada khawatir. Ibunya mencoba tersenyum lemah, namun rasa sakit yang dirasakannya semakin tak tertahankan.
Di sisi lain, Jeff yang tak menyadari kondisi kritis keluarganya, terus larut dalam kenikmatan bersama wanita itu, tanpa sedikitpun merasa bersalah telah mengabaikan panggilan dan pesan darurat dari anaknya.
Viyone dilarikan ke rumah sakit setelah merasa nyeri yang tak tertahankan di perutnya. Di luar, Chris yang baru berusia 5 tahun, terpaksa menunggu sendirian tanpa ada yang menemaninya. Ia mondar-mandir di lorong rumah sakit, ketakutan akan sesuatu yang mungkin menimpa ibunya dan adiknya yang masih di dalam kandungan.
"Kenapa papa tidak datang? Aku sudah mengirim alamat rumah sakit. Apakah dia tidak peduli dan hanya fokus dengan bibi itu?" gumam Chris dengan wajah yang muram, merasa ditinggalkan oleh ayahnya di saat yang paling dibutuhkan.
Waktu terasa begitu lama berjalan, hingga akhirnya 1 jam kemudian, dokter kandungan yang menangani Viyone keluar dari ruangan dengan wajah yang serius. Chris segera mendekatinya, mencoba menyembunyikan rasa takut yang menggelayut di hatinya.
"Bibi Dokter, bagaimana dengan mama saya?" tanya Chris dengan mata berkaca-kaca.
Dokter kandungan itu menatap Chris dengan simpati, kemudian menghela napas sebelum menjawab, "Anak kecil, mama kamu berhasil kami selamatkan, kondisinya tidak begitu baik dan lemah. Jadi, harus diperhatikan dengan baik selama menjelang persalinan," jawab Dokter itu.
"Bibi Dokter, tolong sembuhkan mama saya!" pinta Chris yang mengeluarkan air mata.
Dokter tersenyum dan berkata," Anak kecil, di mana papamu?"
"Tidak tahu! Mungkin dia tidak akan datang," jawab Chris dengan menunduk.
"Berikan nomor papamu, Pihak rumah sakit akan menghubunginya. Jangan khawatir! Kamu sudah menyelamatkan mama dan adikmu. Saat ini mama kamu jangan terlalu banyak bergerak. dan harus banyak istirahat!" ucap Dokter itu sambil mengelus kepala anak itu.
Viyone berbaring lemah di kamar pasien, Sementara Chris, duduk di samping ranjang pasien dengan wajah sedih. Anak itu memegang tangan ibunya erat sambil mengusap perut ibunya yang hamil besar, merasakan kehangatan dan detak jantung adiknya yang belum lahir.
"Adik, jangan nakal, ya. Tidak lama lagi kita akan bertemu. Kakak berjanji akan merawat mama dan adik dengan baik," ucap Chris dengan mata berkaca-kaca, berusaha menyembunyikan kesedihannya.
Pintu kamar pasien terbuka, Jeff, suami Viyone, mendatangi rumah sakit dengan langkah yang gusar. Ia memasuki kamar itu dan melihat Viyone berbaring di atas ranjang.
"Tidak berguna!" bentak Jeff dengan emosi yang memuncak, menunjukkan kekecewaannya pada Chris. Tanpa ragu ia langsung melayangkan tangannya mengenai pipi anak itu, Plak!"
Tamparan keras mengenai wajah Chris sehingga anak itu terjatuh dari kursi, tubuh mungilnya terhempas ke lantai.
Chris kesakitan dan hanya menahannya.
"Aku sudah pesan padamu untuk menjaga mamamu dengan baik, Tapi, apa yang kamu lakukan sekarang," ketus Jeff dengan emosi.
Chris menyentuh wajahnya yang terdapat bekas tamparan ayahnya.
"Pukul 2 tadi aku sudah mengirim pesan berulang kali, dan kenapa Papa tidak datang? Sekarang sudah pukul 10 pagi. Papa baru datang. Dalam 8 jam itu Papa kemana saja saat mama sedang menderita?" tanya Chris yang kecewa pada ayahnya itu.
"Anak tidak tahu diri, Kamu berani menyalahkan aku? Aku peringatkan kamu. Kalau sampai terjadi kedua kali...maka jangan muncul di hadapanku lagi!" kecam Jeff yang tidak ingin mengakui kesalahannya.
"Viyone Florencia, Kamu harus bertahan dan melahirkan anak itu. Aku ingin melihat anakku dalam kondisi sehat," ucap Jeff yang menatap tajam pada istrinya.
Chris menatap kecewa pada ayahnya itu," Papa hanya mengutamakan adik, Lalu, bagaimana dengan mama? Setiap malam mama tidak bisa tidur dengan baik. Seluruh tubuhnya kesakitan. Saat itu Papa di mana?" tanya Chris.
Jeff menatap tajam pada anak itu, dan kemudian melayangkan tamparan pada pipi anaknya dengan keras, Plak!"
Chris yang terkapar akibat tamparan tersebut, Ia hanya bisa menahan sakit dan sedih.
"Bayi dalam kandungan itu jauh lebih penting dari nyawamu, Lebih baik kamu menjaga mamamu dengan baik. Kalau tidak, Jangan berharap aku bisa memaafkanmu!" bentak Jeff yang kemudian beranjak dari sana.
Mendengar ancaman ayahnya sendiri, Chris merasa dipojokan, Seolah-olah dirinya tidak pernah dianggap.
Matahari pagi bersinar cerah di langit kota San Fransisco, menandakan awal dari hari baru. Chris dan Vic, si kembar yang baru saja pindah ke kota ini bersama keluarga mereka, bersiap untuk menghadapi hari pertama mereka di sekolah baru. Mereka berdua tidak sabar untuk menjelajahi dunia baru mereka, mengejar cita-cita mereka, dan berteman dengan orang-orang baru. Di sisi lain, Wilson, ayah mereka, merasa lega bisa kembali ke San Fransisco bersama keluarganya. Ia ingin anak-anaknya tumbuh dalam lingkungan yang baik dan mendapatkan pendidikan terbaik. Oleh karena itu, ia mendaftarkan Chris dan Vic ke sekolah yang terbaik di kota ini. Hari demi hari berlalu, Chris dan Vic mulai menyesuaikan diri dengan kehidupan baru mereka. Mereka giat belajar, dan mereka berhasil menjalin persahabatan yang erat dengan teman-teman sekelas mereka. Selain itu, mereka juga berlatih memanah setelah pulang sekolah. Nick dan Ethan, pelatih memanah yang juga bekerja di Markas Dragon, mengajari mereka dengan p
Beberapa bulan telah berlalu sejak Wilson terpilih sebagai pemimpin mafia di seluruh dunia. Kini, ia mengundang para ketua mafia dari berbagai negara untuk berkumpul dalam sebuah perjamuan mewah. Viyone dan kedua putranya yang kini telah menjadi bagian dari organisasi tersebut, juga ikut hadir dan memperkenalkan diri mereka. Chris dan Vic, putra-putra Wilson yang menjadi calon penerus, diwajibkan hadir dalam acara penting tersebut. Di sebuah ruangan mewah dengan pencahayaan yang temaram, suara gelas beradu satu sama lain menggema di seluruh ruangan. Para mafia, yang mengenakan setelan jas hitam rapi, tampak saling bersulang dengan anggur merah di tangan mereka. Tawa dan candaan terdengar di antara mereka, menciptakan suasana yang damai dan harmonis, seolah melupakan sisi gelap kehidupan yang mereka jalani. Wilson, yang duduk di ujung meja dengan kursi yang lebih besar dan mewah, menjadi pusat perhatian para mafia. Ia tersenyum lebar, menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi sebagai
Wilson memandang Markus dengan tatapan dingin sambil melepaskan tembakan."Aahh!" jeritan Markus yang kesakitan terdengar ketika dua tembakan menembus lututnya. Darah keluar mengotori lantai restoran, namun suara pistol yang digunakan oleh Wilson tidak mengeluarkan suara, sehingga tidak mengejutkan pengunjung lainnya.Markus terduduk, berusaha menahan sakit. "Kau...," ujarnya terhenti, menahan rasa sakit yang menyiksa.Wilson mendekat, matanya penuh kebencian yang telah terkubur selama bertahun-tahun. "Putraku telah menyadarkan aku. Aku telah menderita akibat dendam. Kematian kedua orang tuaku adalah sesuatu yang tidak bisa aku lupakan. Aku membiarkanmu hidup supaya kamu menjalani sisa hidupmu dengan penuh penderitaan. Semua anggotamu sudah ditahan oleh orang-orangku. Jangan berharap ada yang bisa menyelamatkanmu."Markus mengerang, keringat dingin membasahi wajahnya. "Kau menggunakan cara ini untuk menyiksaku," ujarnya dengan napas terengah-engah."Aku dan Viyone adalah korbanmu. Dua
"Untuk apa kau memberitahu aku semua ini?" tanya Markus dengan nada marah dan bingung, tatapannya tajam menelusuri setiap gerakan Wilson. "Aku hanya ingin kamu sadar, Sifatmu, yang selalu dianggap tidak peduli, justru dikalahkan oleh seorang anak lima tahun. Dia tahu caranya menyayangi keluarganya. Dia tahu cara menghargai siapapun. Sedangkan dirimu, Markus, ambisimu begitu tinggi sehingga kamu tidak peduli pada orang di sekitarmu. Contohnya adalah istri dan putrimu sendiri. Mereka harus menderita karena keegoisanmu. Dan kini, semua penyesalan itu tidak akan ada gunanya," ucap Wilson dengan suara tegas namun penuh dengan kepedihan.Markus terdiam, kata-kata Wilson menghantamnya seperti palu godam. Ingatan-ingatan tentang istri dan putrinya yang tersisih oleh ambisinya sendiri mulai menghantui pikirannya.FlashbackSehari sebelum Chris dan Vic diculik, suasana di rumah Wilson sangat tegang. Wilson duduk di meja makan bersama istri dan kedua anaknya, membicarakan sesuatu yang sangat se
Dalam perjalanan menuju restoran, kelompok Markus mengalami hambatan serius ketika mereka dihadang oleh anggota kelompok Wilson. Sejumlah mobil diparkir strategis di tengah jalan, menghalangi perjalanan mereka dan menciptakan situasi tegang. Nick, pemimpin kelompok Wilson, berdiri di sana dengan tenang, namun penuh kewaspadaan, sambil memegang senapannya dengan erat. Nick, bersama teman-temannya, dengan cepat menodongkan senjata masing-masing ke arah anggota kelompok Markus. Anggota kelompok Markus, yang tidak menyangka akan dihadang, tampak waspada dan bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk."Gawat! Mereka sudah merencanakan dari awal. Bagaimana dengan bos kita?" tanya salah satu anggota Markus yang di dalam mobil.Para anggota Markus keluar dari mobil mereka dengan wajah penuh ketegangan. Suasana di sekitar terasa mencekam saat kedua kelompok berdiri saling berhadapan, masing-masing memegang senjata.Nick, dengan tatapan tajam, menodongkan senjatanya ke arah mereka. "Kalian
Markus sambil memikirkan ulang sejak Stuart yang menculik si kembar dan begitu mudahnya bisa lolos, berkata, "Pengawasan wilayah tempat tinggal Wilson tiba-tiba saja dikurangi. Dengan sifat mereka yang begitu teliti, tidak mungkin anak mereka begitu mudah diculik. Sementara si kembar yang baru sadar juga tiba-tiba saja mengakuiku sebagai kakek mereka. Sifat mereka berubah sama sekali dengan pertemuan terakhir sebelumnya. Apakah dua bocah ini sudah permainkan aku sejak awal?" gumam Markus.Markus kemudian melangkah keluar dari ruangan itu dengan langkah mantap. Ia mengeluarkan pistol dari balik jaketnya, merasakan dinginnya logam yang menyentuh kulitnya memberikan ketenangan tersendiri. Matanya tajam menyisir sekeliling ruangan, mencari tanda-tanda bahaya yang mungkin tersembunyi. Dia berjalan menuju ke pintu belakang sambil menghubungi anggotanya melalui ponsel."Hubungi semua anggota kita. Kita sudah masuk perangkap sejak awal!" perintah Markus dengan nada tegas dan tanpa kompromi."