Di tengah-tengah mansion mewah yang luas, terdapat seorang anak laki-laki berusia sekitar lima tahun yang tampak sedang berlari ke sana kemari dengan tawa gembira. Anak tampan itu tampak menikmati kebebasan yang ia rasakan saat ini, dengan mengelabui beberapa pria dewasa yang merupakan pengawalnya. Ia meliuk-liuk, merangkak di bawah meja, dan melompat ke sofa dengan lincah.
Para pengawal berusaha keras mengejar anak itu, namun mereka selalu terlambat beberapa langkah. Raut wajah mereka menunjukkan kekhawatiran, tetapi mereka juga tak bisa menahan senyum melihat keceriaan anak tersebut. Sementara itu, pelayan rumah tangga yang melihat kejadian ini dari kejauhan, juga merasa cemas jika anak tersebut terjatuh atau terbentur. Mereka tidak ingin anak itu terluka karena kenakalannya yang kadang sulit untuk ditebak.
"Hehehehe!" tawa anak tampan itu terdengar di seluruh ruangan, membuat suasana menjadi lebih hidup dan ceria. Para pengawal dan pelayan rumah tangga harus berusaha lebih keras untuk menjaga dan melindungi anak tersebut, karena mereka tahu jika anak itu sampai terluka maka konsekuensi yang mereka terima akan jauh lebih berat.
"Kalian tidak akan bisa menangkapku," ejek anak itu sambil melempar mainannya hingga berserakan di lantai sana.
"Tuan muda, bagaimana kalau istirahat sebentar! Tidak lama lagi tuan akan pulang," ujar salah satu pengawal yang bernama Luis.
"Paman Luis selalu saja kalah dariku," ucap anak itu dengan melirik tajam pada pengawalnya.
Sementara dua pelayan rumah tangga kewalahan dan berhenti sejenak.
"Apakah tuan muda memiliki kepribadian lain?" bisik salah satunya pada temannya itu.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" tanya temannya.
"Tuan muda sering berubah suasana hatinya, Terkadang sering diam dan menangis tiba-tiba. Sekarang berubah lagi menjadi lincah dan terlalu aktif," jawabnya.
Tak lama kemudian, seorang wanita cantik dengan rambut pirang dan mengenakan dress pendek berwarna merah muda mendatangi rumah mewah itu.
Anak laki-laki itu menghentikan permainannya dan melirik tajam pada tamu yang tak diundang. Langkahnya terhenti, ia berdiri tegak dengan kedua tangan di pinggang. "Bibi siapa dan cari siapa? Kenapa datang tanpa diundang?" tanya anak itu dengan nada tegas dan tatapan curiga.
Wanita itu tersenyum manis, mencoba mencairkan suasana yang agak tegang. "Apakah kamu adalah putra Wilson?" tanyanya dengan lembut.
Anak laki-laki itu mengerutkan dahinya, "Siapa papaku itu adalah privosi hidupku. Bibi tidak boleh bertanya," jawabnya dengan nada tegas dan sedikit marah.
Pengawal bernama Luis berbisik pada anak itu, "Tuan muda, yang benar adalah 'privasi', bukan 'privosi'."
Wanita itu kemudian menghampiri anak itu dan berkata, "Maafkan kedatanganku yang mendadak. Namaku Molly, teman baik papamu. Aku hanya ingin menjenguk dan melihat kabarmu. Apakah bisa tahu siapa namamu?" tanya Molly.
"Nama tuan muda kami ada--," Luis hendak memberitahu nama anak itu, namun dengan sigap anak itu langsung memotong perkataannya. "Ups, Paman jangan beritahu namaku adalah Vic Zavierson, Bibi ini hanya ingin mendekati papa. Salah satu rubah berekor 19," ujar anak itu dengan nada sinis sambil melirik tajam pada Molly.
Luis tersenyum simpul, "Tuan muda sudah memberitahu nama sendiri."
"Kenapa tidak melarangku, Ini adalah kelalaian paman sebagai pengawal!" ujar Vic dengan nada tinggi, seolah tidak ingin kalah dalam pertengkaran ini.
Molly tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana, "Vic Zavierson adalah nama yang bagus," puji Molly dengan tulus.
Namun Vic menatap Molly dengan dingin, "Tidak perlu memujiku, namaku memang bagus. aku adalah anak yang paling jenius dan tampan. Tapi aku tahu niatmu, jadi jangan berpura-pura baik hati padaku," ucap Vic dengan tegas, masih belum bisa menerima kehadiran Molly di kehidupan mereka.
"Vic, aku hanya ingin berteman denganmu," bujuk Molly yang berusaha mengambil hati anak itu.
"Jangan buang-buang waktu! di sini tidak ada lowongan untuk menerima ayam merah." Ejek Vic yang melihat warna rambut wanita itu." Silakan pergi! Papaku sudah memiliki wanita yang lebih cantik darimu. Jadi, Bibi tolong pergi dari sini!" ucap Vic dengan tegas
"Ayam merah? Siapa yang kamu maksudkan?" tanya Molly.
"Paman, keluarkan bibi ini dari sini!" perintah Vic tegas.
Mendengar perintah tuan mudanya, mereka langsung menarik wanita itu keluar dari rumah itu.
"Selalu saja ada bibi yang datang mendekati papa, kenapa papaku begitu tampan dan kaya. Aku sebagai anaknya harus selalu mengawasinya. Agar tidak ada yang bisa mengantikan posisi mamaku!" gerutu Vic.
Tak lama kemudian Wilson kembali ke mansionnya, Begitu melangkah masuk, Wilson langsung disambut dengan pemandangan berbagai mainan yang berserakan di lantai. Vic, yang menyadari kepulangan ayahnya, langsung berlari dengan semangat menghampiri pria berwajah tegas yang tengah menatap tajam ke arah mainan-mainan itu.
"Papa...," teriak Vic dengan wajah ceria. Namun, Wilson tak bisa menyembunyikan aura marah yang kini menyelimuti dirinya.
"Kamu membuat mainanmu berserakan seperti ini! Simpan kembali ke tempatnya!" perintah Wilson dengan tegas sambil menunjuk ke arah mainan yang bertebaran.
"Apakah Papa mengalahkan musuh lagi, kenapa tidak mengajakku pergi bersama?" tanya Vic.
"Kamu baru 5 tahun, Apa yang bisa kamu lakukan?" tanya Wilson dengan mengejek.
"Jangan meremehkan aku, Aku adalah anak paling imut dan kuat. Aku bisa mengantikan papa menjadi seorang mafia kelas bawah," jawab Vic.
"Yang benar adalah kelas atas, bukan bawah," ujar Wilson.
"Papa, tadi ada bibi yang bernama Molly datang mencarimu. Sudah aku usir karena aku tidak menyukainya. Di dunia ini hanya mama yang layak menjadi istrimu," ujar Vic dengan semangat.
Wilson tersenyum sedih, mengelus lembut rambut anaknya. "Kamu merindukan mamamu?" tanyanya lembut.
"Iya, Pa. Kapan kita bisa menemuinya?" tanya Vic dengan berharap.
"Segera! Papa juga ada kejutan lain untukmu! Kemas barangmu dan kita akan ke California!" ujar Wilson yang melangkah menuju anak tangga.
"Kejutan apa, Pa? Dan kenapa kita ke sana? Cepat beritahu aku, jantungku tidak kuat. Jangan membuat aku penasaran hingga overdosis!" rengek Vic sambil mengejar Wilson.
Wilson berhenti sejenak, menoleh ke arah Vic dengan senyum misterius. "Kita akan menemui mama, dan kejutan itu... hmm, nanti saja kamu tahu di sana, ya. Ayo, segera siapkan barangmu!" ujar Wilson dengan semangat.
Wilson berjalan menaiki anak tangga dan berpikir dalam hati," Sudah enam tahun berlalu. Sudah saatnya aku merebut kembali milikku!" batinnya.
Matahari pagi bersinar cerah di langit kota San Fransisco, menandakan awal dari hari baru. Chris dan Vic, si kembar yang baru saja pindah ke kota ini bersama keluarga mereka, bersiap untuk menghadapi hari pertama mereka di sekolah baru. Mereka berdua tidak sabar untuk menjelajahi dunia baru mereka, mengejar cita-cita mereka, dan berteman dengan orang-orang baru. Di sisi lain, Wilson, ayah mereka, merasa lega bisa kembali ke San Fransisco bersama keluarganya. Ia ingin anak-anaknya tumbuh dalam lingkungan yang baik dan mendapatkan pendidikan terbaik. Oleh karena itu, ia mendaftarkan Chris dan Vic ke sekolah yang terbaik di kota ini. Hari demi hari berlalu, Chris dan Vic mulai menyesuaikan diri dengan kehidupan baru mereka. Mereka giat belajar, dan mereka berhasil menjalin persahabatan yang erat dengan teman-teman sekelas mereka. Selain itu, mereka juga berlatih memanah setelah pulang sekolah. Nick dan Ethan, pelatih memanah yang juga bekerja di Markas Dragon, mengajari mereka dengan p
Beberapa bulan telah berlalu sejak Wilson terpilih sebagai pemimpin mafia di seluruh dunia. Kini, ia mengundang para ketua mafia dari berbagai negara untuk berkumpul dalam sebuah perjamuan mewah. Viyone dan kedua putranya yang kini telah menjadi bagian dari organisasi tersebut, juga ikut hadir dan memperkenalkan diri mereka. Chris dan Vic, putra-putra Wilson yang menjadi calon penerus, diwajibkan hadir dalam acara penting tersebut. Di sebuah ruangan mewah dengan pencahayaan yang temaram, suara gelas beradu satu sama lain menggema di seluruh ruangan. Para mafia, yang mengenakan setelan jas hitam rapi, tampak saling bersulang dengan anggur merah di tangan mereka. Tawa dan candaan terdengar di antara mereka, menciptakan suasana yang damai dan harmonis, seolah melupakan sisi gelap kehidupan yang mereka jalani. Wilson, yang duduk di ujung meja dengan kursi yang lebih besar dan mewah, menjadi pusat perhatian para mafia. Ia tersenyum lebar, menunjukkan kepercayaan diri yang tinggi sebagai
Wilson memandang Markus dengan tatapan dingin sambil melepaskan tembakan."Aahh!" jeritan Markus yang kesakitan terdengar ketika dua tembakan menembus lututnya. Darah keluar mengotori lantai restoran, namun suara pistol yang digunakan oleh Wilson tidak mengeluarkan suara, sehingga tidak mengejutkan pengunjung lainnya.Markus terduduk, berusaha menahan sakit. "Kau...," ujarnya terhenti, menahan rasa sakit yang menyiksa.Wilson mendekat, matanya penuh kebencian yang telah terkubur selama bertahun-tahun. "Putraku telah menyadarkan aku. Aku telah menderita akibat dendam. Kematian kedua orang tuaku adalah sesuatu yang tidak bisa aku lupakan. Aku membiarkanmu hidup supaya kamu menjalani sisa hidupmu dengan penuh penderitaan. Semua anggotamu sudah ditahan oleh orang-orangku. Jangan berharap ada yang bisa menyelamatkanmu."Markus mengerang, keringat dingin membasahi wajahnya. "Kau menggunakan cara ini untuk menyiksaku," ujarnya dengan napas terengah-engah."Aku dan Viyone adalah korbanmu. Dua
"Untuk apa kau memberitahu aku semua ini?" tanya Markus dengan nada marah dan bingung, tatapannya tajam menelusuri setiap gerakan Wilson. "Aku hanya ingin kamu sadar, Sifatmu, yang selalu dianggap tidak peduli, justru dikalahkan oleh seorang anak lima tahun. Dia tahu caranya menyayangi keluarganya. Dia tahu cara menghargai siapapun. Sedangkan dirimu, Markus, ambisimu begitu tinggi sehingga kamu tidak peduli pada orang di sekitarmu. Contohnya adalah istri dan putrimu sendiri. Mereka harus menderita karena keegoisanmu. Dan kini, semua penyesalan itu tidak akan ada gunanya," ucap Wilson dengan suara tegas namun penuh dengan kepedihan.Markus terdiam, kata-kata Wilson menghantamnya seperti palu godam. Ingatan-ingatan tentang istri dan putrinya yang tersisih oleh ambisinya sendiri mulai menghantui pikirannya.FlashbackSehari sebelum Chris dan Vic diculik, suasana di rumah Wilson sangat tegang. Wilson duduk di meja makan bersama istri dan kedua anaknya, membicarakan sesuatu yang sangat se
Dalam perjalanan menuju restoran, kelompok Markus mengalami hambatan serius ketika mereka dihadang oleh anggota kelompok Wilson. Sejumlah mobil diparkir strategis di tengah jalan, menghalangi perjalanan mereka dan menciptakan situasi tegang. Nick, pemimpin kelompok Wilson, berdiri di sana dengan tenang, namun penuh kewaspadaan, sambil memegang senapannya dengan erat. Nick, bersama teman-temannya, dengan cepat menodongkan senjata masing-masing ke arah anggota kelompok Markus. Anggota kelompok Markus, yang tidak menyangka akan dihadang, tampak waspada dan bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk."Gawat! Mereka sudah merencanakan dari awal. Bagaimana dengan bos kita?" tanya salah satu anggota Markus yang di dalam mobil.Para anggota Markus keluar dari mobil mereka dengan wajah penuh ketegangan. Suasana di sekitar terasa mencekam saat kedua kelompok berdiri saling berhadapan, masing-masing memegang senjata.Nick, dengan tatapan tajam, menodongkan senjatanya ke arah mereka. "Kalian
Markus sambil memikirkan ulang sejak Stuart yang menculik si kembar dan begitu mudahnya bisa lolos, berkata, "Pengawasan wilayah tempat tinggal Wilson tiba-tiba saja dikurangi. Dengan sifat mereka yang begitu teliti, tidak mungkin anak mereka begitu mudah diculik. Sementara si kembar yang baru sadar juga tiba-tiba saja mengakuiku sebagai kakek mereka. Sifat mereka berubah sama sekali dengan pertemuan terakhir sebelumnya. Apakah dua bocah ini sudah permainkan aku sejak awal?" gumam Markus.Markus kemudian melangkah keluar dari ruangan itu dengan langkah mantap. Ia mengeluarkan pistol dari balik jaketnya, merasakan dinginnya logam yang menyentuh kulitnya memberikan ketenangan tersendiri. Matanya tajam menyisir sekeliling ruangan, mencari tanda-tanda bahaya yang mungkin tersembunyi. Dia berjalan menuju ke pintu belakang sambil menghubungi anggotanya melalui ponsel."Hubungi semua anggota kita. Kita sudah masuk perangkap sejak awal!" perintah Markus dengan nada tegas dan tanpa kompromi."