Share

Bab 2 Di Balik Ombak

Author: mahmud23
last update Last Updated: 2024-12-02 00:28:33

Malam di Pulau Bontosua memiliki keindahan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Bintang-bintang bersinar terang, seolah berlomba menari di langit gelap. Ombak laut yang tenang menggemakan irama malam yang penuh misteri. Di sebuah titik di tepi pantai, La Patiwaji duduk bersila, menatap laut lepas. Angin malam yang dingin membelai wajahnya, tetapi pikirannya lebih sibuk dari sebelumnya.

Sitti Mariam datang mendekat, membawa seikat obor kecil untuk menerangi tempat itu. Wajahnya terlihat prihatin, tetapi dia mencoba menyembunyikannya dengan senyum tipis.

"Patiwaji, kau seharusnya beristirahat," katanya sambil meletakkan obor di atas pasir. "Malam ini terlalu dingin untuk duduk lama di sini."

"Aku tidak bisa tidur, Mariam," jawab La Patiwaji tanpa menoleh. "Pikiranku penuh dengan hal-hal yang belum bisa kupahami. Apa aku benar-benar bisa menghadapi semua ini?"

Mariam duduk di sampingnya, menarik lututnya ke dada sambil memandang lautan yang gelap. "Aku tahu, ini tidak mudah bagimu. Tapi, apakah kau benar-benar ingin melewati semuanya sendirian? Kau tahu aku selalu ada di sini untukmu."

Patiwaji tersenyum samar. "Aku tahu, dan aku bersyukur untuk itu. Tapi, Mariam, aku merasa seperti ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini. Ayah dan Ibu tahu sesuatu yang tidak mereka katakan padaku. Rahasia yang lebih dalam dari sekadar kekuatan ini."

Mariam mengangguk pelan. "Aku juga merasakannya. Mereka selalu berbicara dengan bahasa yang penuh teka-teki, seolah-olah ingin melindungimu dari sesuatu. Tapi, Patiwaji, bukankah itu artinya mereka percaya padamu? Bahwa suatu saat kau akan mampu memahami semuanya?"

La Patiwaji menghela napas panjang. "Aku berharap bisa memiliki keyakinan seperti mereka. Tapi bagaimana jika aku tidak cukup kuat, Mariam? Bagaimana jika aku gagal?"

"Kau terlalu keras pada dirimu sendiri," jawab Mariam dengan nada lembut. "Tidak ada yang meminta kesempurnaan darimu, Patiwaji. Bahkan Ayahmu tahu, kekuatan ini hanya akan tumbuh jika kau belajar dari perjalananmu."

Mereka terdiam sejenak, membiarkan suara deburan ombak menjadi pengisi ruang kosong di antara mereka. Namun, keheningan itu segera pecah ketika suara langkah mendekat. La Tunrung muncul dari kegelapan, membawa tongkat panjang yang biasa digunakannya untuk berjalan di malam hari.

"Anakku," panggilnya dengan nada serius. "Aku tahu kau ada di sini. Kau terlalu gelisah untuk tetap di rumah, bukan?"

La Patiwaji menoleh, sedikit terkejut, tetapi segera berdiri untuk menyambut ayahnya. "Ayah, aku hanya butuh waktu untuk berpikir."

La Tunrung mengangguk, lalu memandang ke arah laut. "Aku mengerti. Kadang-kadang, pikiran menjadi lebih jernih saat kita dekat dengan alam." Dia duduk di pasir, menatap jauh ke cakrawala.

Mariam mengangguk hormat, lalu berkata, "Paman, apa paman ingin saya meninggalkan kalian berdua?"

"Tidak, Mariam," jawab La Tunrung dengan suara ramah. "Kau adalah sahabat Patiwaji, dan aku tahu kau peduli padanya. Tetaplah di sini. Pembicaraan ini mungkin juga berguna untukmu."

Mariam tetap di tempatnya, sementara La Patiwaji duduk kembali di samping ayahnya.

"Anakku," La Tunrung memulai, "kau pasti merasa beban ini terlalu berat untuk kau pikul sendiri. Aku tidak bisa menyalahkanmu untuk itu. Namun, ada sesuatu yang perlu kau ketahui, sesuatu yang selama ini aku simpan karena belum waktunya."

La Patiwaji mengerutkan kening. "Apa maksud Ayah? Apa ada hal lain yang belum Ayah katakan?"

La Tunrung menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Kekuatan yang ada padamu, anakku, bukan hanya warisan dari leluhur kita. Ia juga merupakan bagian dari perjanjian lama yang dibuat oleh nenek moyang kita. Perjanjian itu mengikat kita dengan kekuatan alam, kekuatan laut, dan kekuatan langit. Dan kau, anakku, adalah penerus yang dipilih untuk menjaga perjanjian itu."

"Perjanjian?" Patiwaji terkejut. "Apa maksud Ayah? Mengapa aku tidak pernah mendengar tentang ini sebelumnya?"

"Ada alasan mengapa aku menyembunyikannya," jawab La Tunrung. "Perjanjian ini hanya bisa dipahami oleh mereka yang siap menerima tanggung jawab besar. Jika kau mengetahui semuanya terlalu cepat, aku khawatir kau akan terbebani oleh ketakutan."

Mariam yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. "Paman, apa sebenarnya perjanjian itu? Apa yang membuatnya begitu penting sehingga harus dirahasiakan?"

La Tunrung menatap Mariam sejenak, lalu kembali menatap Patiwaji. "Perjanjian itu dibuat untuk melindungi pulau-pulau kita dari ancaman luar. Nenek moyang kita menyerahkan kekuatan mereka kepada generasi penerus, tetapi dengan syarat bahwa kekuatan itu hanya boleh digunakan untuk kebaikan."

"Tapi, Ayah," Patiwaji menyela, "apa yang terjadi jika aku gagal menjaga perjanjian itu?"

La Tunrung terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada serius. "Jika kau gagal, anakku, maka kekuatan itu akan menjadi liar dan tak terkendali. Bukan hanya kau yang akan menderita, tetapi seluruh pulau ini bisa hancur. Itu sebabnya aku selalu mengingatkanmu untuk berhati-hati dalam memilih jalanmu."

Patiwaji merasa dadanya sesak mendengar kata-kata itu. Namun, ia juga merasa ada sesuatu yang lebih besar dari rasa takutnya. Sebuah tanggung jawab yang harus ia hadapi, tidak peduli betapa beratnya.

"Ayah, aku akan mencoba," katanya akhirnya. "Aku tidak tahu apakah aku bisa, tapi aku akan berusaha."

La Tunrung tersenyum tipis, lalu menepuk bahu anaknya. "Itu adalah awal yang baik, Anakku. Ingatlah, kau tidak sendirian. Keluarga kita, sahabatmu, dan seluruh pulau ini ada di belakangmu."

Mariam menambahkan dengan nada penuh semangat, "Dan jangan lupa, aku juga ada di sini. Apa pun yang terjadi, kau selalu bisa mengandalkanku."

Malam itu, percakapan mereka di tepi pantai membawa sedikit kelegaan bagi La Patiwaji. Namun, ia tahu bahwa ini baru permulaan dari perjalanan panjang yang menantinya. Di balik ombak yang tenang, ada badai besar yang sedang menunggu, dan ia harus siap menghadapi semuanya.

Malam itu, La Patiwaji duduk memandangi laut lebih lama dari biasanya. Percakapan dengan ayahnya menyisakan banyak pertanyaan di benaknya. Apa sebenarnya perjanjian itu? Dan mengapa ia yang dipilih untuk melanjutkannya?

Mariam, yang tetap duduk di sampingnya, merasakan kegelisahan sahabatnya. "Patiwaji," katanya pelan, "aku tahu ini sulit, tapi aku percaya kau akan menemukan jalanmu. Kau hanya perlu waktu."

Patiwaji mengangguk, tetapi pikirannya masih dipenuhi kebingungan. "Kau tahu, Mariam, aku selalu berpikir hidup ini sederhana. Aku lahir di pulau ini, besar di sini, dan kelak aku akan mati di sini. Tapi sekarang, semua itu terasa seperti ilusi. Seolah-olah ada sesuatu yang lebih besar yang menungguku, sesuatu yang aku bahkan tidak tahu bagaimana cara menghadapinya."

Mariam tersenyum kecil. "Itu mungkin benar. Tapi, tidakkah kau berpikir bahwa kau diberi kekuatan ini karena kau mampu mengembannya? Ayahmu pasti melihat sesuatu dalam dirimu yang belum kau lihat sendiri."

Patiwaji menghela napas panjang. "Mungkin kau benar, Mariam. Tapi entah kenapa, aku merasa seperti ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang harus aku ketahui sebelum aku bisa benar-benar menerima semua ini."

Percakapan mereka terhenti sejenak ketika angin malam bertiup lebih kencang, membawa suara ombak yang menghantam karang di kejauhan. Patiwaji memejamkan mata, mencoba merasakan ketenangan yang biasanya ia dapatkan dari suara laut. Namun, kali ini, ketenangan itu tidak datang.

Sementara itu, La Tunrung berdiri di dekat rumahnya, memandang laut dengan ekspresi yang sulit dibaca. Di sampingnya, Datu Pallu keluar dari dalam rumah, membawa selendang untuk melindungi diri dari dinginnya malam.

"Anak kita sedang gelisah, Suamiku," kata Datu Pallu dengan nada lembut. "Kau tahu ini akan terjadi, bukan?"

La Tunrung mengangguk pelan. "Aku tahu. Tapi aku tidak pernah membayangkan akan seberat ini. Patiwaji masih terlalu muda untuk memahami semuanya."

Datu Pallu menyentuh lengan suaminya, memberikan dorongan yang diam-diam. "Kau juga pernah muda, Suamiku. Dan kau pernah merasa hal yang sama ketika ayahmu mengatakan hal serupa padamu."

"Tapi aku tidak sepertinya," jawab La Tunrung dengan nada tegas. "Aku menerima tanggung jawab itu dengan kebanggaan, sementara Patiwaji masih ragu pada dirinya sendiri."

"Karena kau memaksakan tanggung jawab itu terlalu cepat," balas Datu Pallu dengan lembut tapi tajam. "Dia butuh waktu, Suamiku. Kau tidak bisa membandingkan dia dengan dirimu sendiri. Setiap orang memiliki cara mereka sendiri untuk memahami jalan hidup mereka."

La Tunrung terdiam, membiarkan kata-kata istrinya meresap. Dalam hatinya, ia tahu Datu Pallu benar. Namun, sebagai seorang ayah, ia merasa sulit untuk melihat anaknya terjebak dalam keraguan.

"Aku hanya ingin dia siap," kata La Tunrung akhirnya. "Dunia di luar sana tidak sebaik pulau ini, Istriku. Jika dia tidak siap, dia akan hancur."

"Dan jika kau terus mendorongnya tanpa memberinya waktu untuk tumbuh, kau akan menghancurkannya lebih cepat," balas Datu Pallu.

La Tunrung tidak menjawab. Ia hanya memandang ke arah laut, di mana ia bisa melihat bayangan anaknya yang duduk bersama Mariam di kejauhan.

Di tepi laut, Patiwaji akhirnya memecah kesunyian. "Mariam," katanya pelan, "kau tahu apa yang paling kutakutkan?"

Mariam menatapnya, menunggu.

"Aku takut mengecewakan mereka. Ayah, Ibu, bahkan kau. Semua orang tampaknya percaya padaku, tapi aku tidak yakin aku bisa memenuhi harapan itu."

Mariam menggelengkan kepala. "Patiwaji, harapan itu bukan beban. Itu adalah kepercayaan. Mereka percaya bahwa kau mampu, dan aku percaya juga. Jangan pikirkan kegagalan. Fokuslah pada apa yang bisa kau lakukan sekarang."

"Tapi bagaimana jika aku tidak cukup kuat?" tanya Patiwaji.

"Kau tidak harus kuat sendirian," jawab Mariam dengan tegas. "Itulah gunanya keluarga, sahabat, dan orang-orang yang peduli padamu. Kami ada di sini untuk mendukungmu."

Patiwaji terdiam, tetapi kata-kata Mariam membuatnya merasa sedikit lebih tenang.

Mariam melanjutkan, "Kau tahu, Patiwaji, aku pernah mendengar cerita dari nenekku. Dia mengatakan bahwa kekuatan terbesar seorang pemimpin bukanlah otot atau sihir, tetapi hatinya. Hati yang mampu mendengarkan, memahami, dan mencintai. Dan kau memiliki hati itu, Patiwaji."

Patiwaji tersenyum kecil. "Kau selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik, Mariam."

"Itu karena aku peduli padamu," jawab Mariam dengan senyum lebar.

Malam itu, ketika Patiwaji dan Mariam kembali ke rumah, La Tunrung sudah menunggu mereka di ruang tengah. Wajahnya serius, tetapi ada kelembutan dalam tatapannya.

"Anakku," katanya, "ada sesuatu yang perlu kau ketahui malam ini. Sesuatu yang sudah terlalu lama kusimpan darimu."

Patiwaji merasa jantungnya berdebar. "Apa itu, Ayah?"

La Tunrung menghela napas panjang sebelum mulai berbicara. "Kekuatan yang ada padamu bukan hanya hasil dari perjanjian nenek moyang kita. Itu juga adalah kutukan."

"Kutukan?" Patiwaji terkejut.

"Ya," jawab La Tunrung. "Ketika nenek moyang kita membuat perjanjian dengan kekuatan alam, mereka juga membuat kesalahan besar. Mereka melanggar aturan yang ditetapkan oleh para penjaga kekuatan itu, dan akibatnya, kekuatan itu menjadi tidak stabil. Setiap generasi penerus harus menanggung beban itu, mencoba menjaga keseimbangan antara kekuatan dan kehancuran."

Patiwaji merasa lemas mendengar penjelasan itu. "Jadi, aku tidak hanya harus menjaga perjanjian itu, tetapi juga menanggung kesalahan mereka?"

"Benar," kata La Tunrung. "Tapi kau tidak sendirian, Anakku. Kau memiliki kami, keluargamu, dan semua orang di pulau ini yang percaya padamu."

Datu Pallu, yang berdiri di samping La Tunrung, berkata dengan lembut, "Anakku, kami tahu ini tidak adil bagimu. Tapi hidup jarang kali adil. Yang bisa kita lakukan adalah menghadapi apa yang diberikan kepada kita dengan keberanian."

Mariam menambahkan, "Dan kau punya keberanian itu, Patiwaji. Aku sudah melihatnya sejak kita masih kecil."

Malam itu, Patiwaji merasa sedikit lebih kuat, meskipun beban di pundaknya masih berat. Ia tahu perjalanannya baru saja dimulai, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 30 Pahlawan dari Pulau

    Langit mulai memerah saat matahari tenggelam di balik cakrawala, memancarkan cahaya keemasan yang mencelupkan pulau ke dalam nuansa yang dramatis. Udara di sekitar mereka terasa tebal, penuh dengan kekuatan alam yang seakan meresap ke dalam setiap pori tubuh Tammatea, Mariam, dan Patiwaji. Mereka berdiri di pinggir tebing, menatap laut luas yang terbentang di depan mereka, sementara angin berhembus kencang, membawa aroma laut yang tajam.Perjalanan mereka yang panjang menuju ke titik ini akhirnya membawa mereka ke puncak sebuah penemuan yang lebih besar dari apa yang mereka bayangkan. Kekuatan yang mereka cari bukan hanya sebuah kekuatan fisik atau sihir yang tersembunyi. Ini adalah kekuatan yang lebih dalam, yang berhubungan dengan jiwa dan kehormatan, dengan takdir yang telah ditulis di luar kendali mereka.Mariam memandang Tammatea, matanya penuh kebingungan dan rasa ingin tahu. “Tammatea, kita telah melewati begitu banyak hal. Kita sudah sampai ke sini, tetapi

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 29 Kekuatan Legenda

    Tammatea menatap puncak gunung yang semakin dekat di hadapannya. Kabut tebal menyelimuti udara, memberikan kesan bahwa mereka sedang memasuki dimensi lain. Setiap langkah mereka terasa semakin berat, seperti ada sesuatu yang menahan tubuh mereka untuk bergerak maju. Namun, meskipun ada perasaan berat di dalam dada, semangat mereka tetap utuh."Apa yang sebenarnya kita cari?" tanya Mariam dengan suara yang agak gemetar. "Apa yang akan kita temukan di puncak gunung ini?"Tammatea menghentikan langkahnya sejenak dan menatap teman-temannya. "Kekuatan," jawabnya perlahan, matanya menatap jauh ke depan, "Kekuatan yang konon bisa mengubah segalanya. Tapi lebih dari itu, kita juga mencari jawaban untuk semua yang telah terjadi. Kenapa kita dipilih untuk datang ke sini? Kenapa kita harus menghadapi ujian ini?"Patiwaji yang berjalan di sebelahnya mengangguk. "Kita mencari lebih dari sekedar kekuatan. Kita mencari kebenaran. Kebenaran tentang dunia ini, tentang keku

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 28 Perjalanan Ke Gunung Tertinggi

    Pagi yang cerah menyelimuti hutan yang sebelumnya begitu mencekam. Udara terasa segar, tetapi ada ketegangan yang tetap menggantung di antara Tammatea, Patiwaji, dan Mariam. Setelah ujian yang mereka hadapi di altar bawah tanah, mereka tahu perjalanan mereka belum berakhir. Petunjuk yang mereka temukan di dalam ruangan itu menunjukkan bahwa tujuan mereka selanjutnya adalah gunung tertinggi di wilayah tersebut—sebuah tempat yang dikenal hanya melalui legenda dan cerita lama yang diceritakan oleh orang-orang yang telah melaluinya. Gunung itu dikenal dengan nama Gunung Gelap, tempat yang konon menyimpan kekuatan alam terbesar yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia, tergantung pada siapa yang menemukannya.Mereka memulai perjalanan mereka pagi itu, memutuskan untuk menempuh jalur yang lebih tinggi ke utara, di mana Gunung Gelap berdiri megah. Setiap langkah mereka terasa semakin berat, seperti beban yang terus meningkat seiring perjalanan mereka. Tammatea mengerti bah

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 27 Makhluk Misterius

    Malam itu, udara hutan terasa semakin berat, seakan ada kekuatan yang mengendalikan setiap helai daun dan batang pohon. Tammatea, Patiwaji, dan Mariam berdiri di tengah hutan, memperhatikan sekitar mereka dengan waspada. Setelah menghadapi ujian alam yang mengguncang batin mereka, perasaan tenang yang sempat mereka rasakan kini tergantikan oleh ketegangan yang tidak dapat dijelaskan.“Sepertinya, kita tidak sendirian di sini,” kata Tammatea dengan suara pelan, namun tegas. Matanya terus mengawasi setiap gerakan di sekitar mereka. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh, entah apa, yang sedang mengintai mereka dari balik kegelapan.“Ya, aku juga merasakannya,” jawab Patiwaji, suaranya menggema dalam keheningan malam. Ia menggenggam erat pedangnya, siap jika sesuatu terjadi. “Ini bukan hanya perasaan kita saja. Alam ini sedang mengirimkan sinyal, dan kita harus berhati-hati.”Mariam menggenggam tangan Patiwaji dengan erat, matanya tidak dapat lepas dari bayangan

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 26 Kekuatan Alam

    Matahari baru saja terbenam, menyelimuti hutan dengan cahaya redup yang semakin pudar. Udara terasa lembab, dan suara gemerisik dedaunan memberi kesan bahwa alam sekitar sedang berbisik, menyembunyikan rahasia yang belum terungkap. Patiwaji berdiri di tepi sungai, matanya terfokus pada permukaan air yang mengalir deras. Beberapa langkah di belakangnya, Tammatea dan Mariam berdiri, masing-masing tampak tidak sabar dan waspada. Ketiganya merasa ketegangan yang semakin tebal seiring berjalannya waktu, seolah alam itu sendiri juga merasakan bahaya yang mengintai.“Patiwaji, kita tidak bisa terus berdiam diri,” kata Tammatea dengan suara penuh ketegasan, langkah kakinya mendekat, tapi matanya tetap mengawasi sekitar. “Kita harus mengambil langkah konkret. Riko sudah memperingatkan kita tentang pengkhianatan yang mungkin terjadi. Waktu kita semakin sempit.”Patiwaji hanya mengangguk, pandangannya masih terfokus pada aliran sungai yang deras. Ia tahu Tammatea benar. Waktu

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 25 Sahabat atau Musuh

    Langit malam yang pekat menyelimuti desa dengan kelam, hanya diterangi oleh cahaya redup dari obor yang menyala di beberapa sudut jalan setapak. Suasana yang seharusnya tenang ini malah terasa penuh ketegangan. Patiwaji, Tammatea, dan Mariam berjalan dengan langkah hati-hati, menuju tempat yang semakin familiar namun penuh dengan misteri. Pikiran mereka terbelah antara keinginan untuk terus maju dan ketakutan akan apa yang akan mereka hadapi.Setiap kata yang diucapkan oleh wanita tua itu terngiang dalam pikiran mereka. “Sahabat atau musuh,” kalimat itu berputar-putar di benak mereka. Siapa yang bisa dipercaya? Mereka telah mendalami perjalanan yang penuh dengan rahasia dan pengkhianatan, dan kini mereka harus menghadapi kenyataan bahwa musuh mereka mungkin ada di antara mereka sendiri. Jika mereka tidak berhati-hati, perjalanan ini bisa berakhir dengan cara yang lebih tragis dari yang mereka bayangkan.Patiwaji berjalan di depan, matanya tajam menatap jalan yang m

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 24 Pengkhianatan yang Muncul

    Ruang bawah tanah itu terasa semakin gelap dan dingin saat mereka melangkah lebih dalam. Cahaya biru yang memancar dari dalam tanah semakin memudar seiring mereka mendekati pusat misteri yang ada di sana. Angin yang datang dari kedalaman itu berputar-putar, membawa aroma lembap dan tanah basah yang sangat khas. Patiwaji melangkah lebih dulu, dengan pedangnya terhunus, sementara Tammatea dan Mariam mengikuti di belakangnya, mata mereka waspada, setiap langkah disertai keraguan yang semakin tumbuh.“Ada sesuatu yang tidak beres di sini,” Tammatea berbisik, matanya melirik setiap sudut yang ada. “Perasaan ini… seperti kita sedang diawasi.”Mariam mengangguk perlahan, merasakan getaran yang tidak wajar. “Aku juga merasakannya. Seperti ada sesuatu yang menyembunyikan diri di dalam bayang-bayang ini.”Ketika mereka melangkah lebih jauh, sebuah suara gemuruh tiba-tiba menggema di dalam ruangan. Suara itu bukan berasal dari alam sekitar, melainkan seperti suara ya

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 23 Kekuatan yang Tidak Diketahui

    Ketika pintu itu tertutup di belakang mereka, Mariam, Patiwaji, dan Tammatea mendapati diri mereka berdiri di tengah-tengah ruang yang kosong dan gelap. Namun, kegelapan itu tidak terasa hampa. Sebaliknya, ruang itu dipenuhi oleh energi yang kuat dan mencekam, seolah-olah sesuatu yang besar sedang menanti mereka.“Tempat ini… sepertinya lebih dari sekadar ruang biasa,” gumam Mariam, merasa bulu kuduknya berdiri.Patiwaji mencoba meraba dinding yang tidak terlihat, tetapi tangannya hanya menyentuh udara kosong. “Apa yang sebenarnya kita hadapi di sini?”Dari dalam kegelapan, suara berat dan dalam menggema, memenuhi ruangan itu. “Selamat datang, para pencari kebenaran. Kalian telah sampai pada tahap di mana kekuatan sejati diuji, dan hati diuji dalam kejujuran tertingginya.”Tammatea segera menghunus pedangnya, bersiap menghadapi ancaman yang mungkin muncul. “Siapa kau? Tunjukkan dirimu!” serunya, suaranya menggema di seluruh ruangan.“Nama

  • Anak Pulau: Pembawa Kekuatan Legenda   Bab 22 Mengungkap Kebenaran

    Ruangan yang dipenuhi sinar keemasan dari dinding yang bercahaya kini menjadi sunyi, hanya suara langkah kaki mereka yang bergema. Di tengah ruangan, meja batu dengan tiga benda—pedang, buku, dan cawan kecil berisi cairan berkilauan—memancarkan aura misterius. Patiwaji, Mariam, dan Tammatea berdiri diam, mencoba memahami makna di balik ujian ini.“Pilihan ini... bukan pilihan biasa,” gumam Patiwaji, tatapannya terfokus pada ketiga benda itu. “Mereka ingin kita memilih sesuatu yang akan menentukan perjalanan kita. Tapi bagaimana kita tahu mana yang benar?”Tammatea menyilangkan tangan di dadanya, menatap tajam. “Mungkin bukan tentang mana yang benar atau salah, tapi tentang siapa diri kita. Setiap pilihan pasti mencerminkan sesuatu dalam diri kita.”Mariam mendekati meja, matanya terpaku pada buku yang terletak di tengah. "Ini seperti teka-teki, tapi apa artinya? Apakah ini ujian kecerdasan, kekuatan, atau hati?"Salah satu penjaga dari ujian sebel

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status