Aku menghempaskan tubuh lelahku ke kursi panjang yang ada di salah satu lorong rumah sakit. Syukurnya keadaan Iza membaik setelah ditangani dokter Hani yang bersedia datang untuk memeriksa Iza yang mendadak kejang.
Dokter Hani itu sebenarnya kenalan Adel dan juga sudah lama menjadi dokternya Iza, maka tak heran dia berusaha memantau Iza apa pun kondisinya. Aku tidak terbayang kalau Iza telat diberikan perawatan medis, aku pasti akan merasa sangat bersalah. Menurut info dari dokter Hani, Iza kembali kejang karena demam tinggi yang hampir mencapai 39 derajat.
Sekarang pertanyaannya, apa yang menyebabkan Iza mengalami itu lagi? Apakah kedinginan? Kecapean? Salah makan?
Atau ...
"Agh!" Aku mengerang karena ketika memikirkan Iza sakit rupanya membuat perutku mendadak tak enak dan melilit. Kepalaku pun jadi pusing, mungkin karena aku terlalu stress belakangan ini.
Reflek aku memegang ujung kursi untuk menguatkan diri. Kupikir ini saatnya aku bersitirahat dan makan sebentar, lagi pula Iza sedang terlelap di kamar rawat ditemani Nek Omi sementara Neo entah ada di mana. Pasca memastikan Iza masuk ruangan, Neo mendadak menghilang entah ke mana.
Jujur, kejadian tadi di mana Neo mengatakan kalau dia menyayangiku dan mau menjadi ayah sambung dari Iza membuatku menjadi sangat bersalah karena mungkin aku sudah menolaknya mentah-mentah.
Ah, tapi ... semoga saja Neo akan memahami.
Merasa tak kuat lagi berdiam diri, aku pun memutuskan untuk menuju ke kantin mencari sesuap nasi. Namun, baru saja aku mau beranjak dari kursi tunggu tiba-tiba ada seorang pria yang memanggilku dengan suara keras.
"Alina?!"
Mendengar itu, aku sontak membalikkan badan dan mematung ketika melihat ada seorang pria yang berlari menghampiriku dengan baju yang kusut.
"Mas El? Kenapa Mas bisa ada di sini?" tanyaku terkejut setelah memastikan kalau El-lah yang datang dan pria itu sudah berdiri tepat di depanku.
Bukannya menjawab, dengan napas tersenggal, mata El malah sibuk berkeliling mencari sesuatu.
"Iza gimana? Di mana dia dirawat?" tanya El memutus ucapanku dengan raut yang khawatir.
Aku tercengang. Tak menyangka kalau El akan langsung menanyakan Iza. Tapi, sayangnya aku malas berhubungan dengannya kalau itu tentang Iza. Perpisahan yang pernah kami lalui membuatku tidak ingin menormalkan interaksi hubungan kami.
"Iza sudah ditangani. Terima kasih sudah mengkhawatirkan Iza," jawabku canggung.
"Sama-sama. Sudah kewajiban saya mengkhawatirkan Iza karena dia anak murid saya. Oh ya, untuk biaya rumah sakit gim--"
"Mobilnya sudah beres, ya? Sekarang, apa boleh saya minta kuncinya?" putusku sambil menyodorkan telapak tangan ke arah El. Aku sengaja memotong ucapannya karena gak mau dia terlibat lebih dalam tentang masalah keluargaku.
El sekilas kaget dengan pengalihan bahasan dariku tapi akhirnya dia pun menarik napas dalam lalu mengeluarkan kunci mobilnya lalu mengarahkannya pada tanganku. "Oke, baiklah. Ini kuncinya, alhamdullilah mobil kamu sudah beres."
"Alhamdullilah terima kasih. Berapa saya harus bayar perbaikan mobil saya?" tanyaku sambil mengambil kunci itu tanpa ingin menyentuh tangan El.
"Bayar perbaikan? Untuk apa?" Dahi El mengerut dalam.
"Ya ... itu kan mobil saya. Saya tetap harus membayarnya, apalagi saya sudah merepotkan Mas. Maaf ya, Mas, andai Iza baik-baik saja saya pasti yang membereskan itu."
"Oh, itu kamu gak usah membayarnya," jawabnya santai tapi tidak bagiku.
Aku menggelengkan kepala tegas. "Enggak. Saya gak mau berhutang. Saya gak mau hal ini menjadi beban untuk saya ke depannya. Utang tetaplah hutang, apalagi Mas sudah membantu saya."
"Saya gak pernah menganggap itu hutang."
"Mas..."
"Lebih baik kamu pakai uang kamu buat Iza dan saya juga berniat ingin membayar tagihan rumah sakit Iza ini. Bukankah kamu juga tidak punya tabungan buat rumah sakit sekarang?" Kini giliran El yang memotong ucapanku.
Aku reflek membungkam. Dia tahu kalau aku gak punya tabungan? Dari mana?
"Saya tahu biaya pengobatan Iza dari kecil itu besar dan kamu gak punya asuransi. Jadi, kamu lebih membutuhkan uang itu dari saya Lin," lanjut El lagi yang membuatku mengembangkan senyum getir.
"Heran, dari mana Mas tahu kalau saya gak punya tabungan dan gak punya asuransi? Apa Mas sengaja menyelidiki saya? Apa Mas senang melihat mantan Mas ternyata masih miskin?" balasku sengit seraya menyipitkan mata sementara dia hanya terkekeh pelan.
"Alina, Alina. Rupanya kamu belum berubah, saya gak menyelidiki kamu tapi kebetulan pas saya saya sampai sini saya mendengar kamu menelepon Adel dan bilang kalau tabungan kamu sudah menipis. Terlebih kamu juga gak ada asuransi, jadi tolong ya jangan salah sangka terus," ujar El menegaskan.
Jujur, setelah mendengar penjelasannya, aku jadi malu sendiri. Aku tidak menyangka dia mendengar pembicaraanku dan Adel tadi ketika di meja administrasi. Aku ingat karena sedang kalu dan tidak pikir panjang langsung curhat ketika Adel--sahabatku menelepon hingga tanpa sadar merembet ke masalah uang.
Dari dulu topik keuangan ini memang sangat sensitif buat aku dan El. Aku yang minder karena berasal dari kalangan miskin kerap kali tidak mau menjadi beban El, sementara El sepertinya ingin terus membantu keluargaku meski saat itu Ibunya melarang . Dan sialnya, itu terus yang menjadi problema, selama kami menikah masalah keuangan selalu menjadi hal menyebalkan yang ada di dunia hingga puncaknya aku terusir dari rumah mertua ketika El di luar negeri dan menghilang.
"Jadi, apa sekarang kamu mau menerima bantuan saya, Lin? Ijinkan saya membayarkan uang administrasi rumah sakit Iza, ya?" ulang El sekali lagi ketika aku hanya bisa diam tanpa bisa membela diri karena memang yang dikatakannya benar.
Aku memang butuh uang itu. Di posisiku yang sekarang menjadi single parent, cukup susah untuk mengatur keuangan. Di satu sisi aku harus terus membayar uang operasional rumah tangga, sekolah dan keperluan Iza lainnya sedangkan di satu sisi lain aku harus bayar hutang orang tuaku yang menumpuk sebelum mereka meninggal.
Namun, walau aku kesusahan, aku gak mau merepotkan. Aku harus berusaha lebih keras sekuat tenaga sebisa mungkin untuk menutupi semuanya.
Aku menggelengkan kepala pelan. "Nggak Mas, gak usah. Saya masih bisa mencari uang sendiri. Meski pun saya harus meminjam, saya harap uang itu bukan dari Mas. Maaf Mas, sepertinya pembicaraan kita sudah selesai dan saya harus kembali ke dalam untuk melihat Iza. Untuk masalah uang perbaikan mobil, insya Allah saya akan kirim nanti ke sekolah. Terima kasih. Saya ... aaargh!"
Baru saja aku mau beranjak meninggalkan El, tiba-tiba perutku sakit seakan diremas sesuatu.
Ya Allah, kenapa perutku? Kenapa rasanya sakit banget dan melilit?
Tanpa dikomando, El yang semula hanya berdiri di depanku langsung memegangi pundak ini yang gemetar. "Alina, kamu kenapa? Kamu sakit?"
"Mas ... saya ...." Tubuhku seketika limbung dan tiba-tiba semuanya berubah menjadi gelap, tidak ada lagi yang bisa kuingat tapi aku bisa merasakan tubuhku diangkat seseorang sebelum aku benar-benar tak sadarkan diri.
Dan aku tahu pasti orang itu El.
"Alina?!"
Suasana kamar rawat El seketika diliputi kecanggungan. Entah mengapa, ketika mereka hadir dan duduk di depanku dan El, aku merasakan ketegangan di udara. Tatapan mereka membuatku merasa canggung, seakan setiap kata yang akan diucapkan sudah ditakar dan dipikirkan berulang kali. Aku menahan diri untuk tidak menilai, tetapi rasa sakit yang terpendam di hatiku kembali mengemuka. Diam-diam, aku melihat reaksi El atas kedatangan dua wanita yang pernah hadir di hidupnya dan mengganggu rumah tangga kami. Namun, rupanya El memang lelaki yang sangat menghargai istri, semenjak Faye dan Sania datang kulihat El hanya memasang wajah datar seolah malas. "El, Lin, sebenarnya kami... kami ingin meminta maaf." Faye yang tadi terlihat gugup pada akhirnya memulai percakapan. Suaranya lembut, tapi ada nada berat yang menyertai kata-katanya. "Kami tahu, kami telah menghalangi El dan kamu untuk bersama. Apalagi aku membuat kalian sempat bertengkar," lanjut Faye sambil melihatku yang duduk di depannya d
Tinggal satu hari lagi El berada di rumah sakit, akhirnya setelah hampir seminggu berada dalam perawatan untuk pemulihan kami diperbolehkan pulang juga. Tampaknya fisik El lebih cepat pulih dari perkiraan. Selama El di rumah sakit aku tidak pernah absen menemaninya dan terkadang juga aku membawa Aliza agar El merasa bahagia.Namun, tentu saja Aliza gak bisa sering-sering menemani karena dia juga harus sekolah dan takut badannya kecapean kalau nungguin El sampai malam. Alhasil, hanya aku yang lebih banyak bareng El karena selain ada kepentingan. Kami pun sama-sama memantau kasus Bu Rosa yang pada akhirnya membuat ibu mertuaku itu divonis hukuman penjara. Baik aku dan El berjanji, akan mengunjunginya usai kami keluar dari rumah sakit. Kami berharap Bu Rosa mau berbesar hati menerima kami. "Mas, alhamdullilah ya akhirnya kasus kita selesai juga. Rasanya aku lega banget deh. Kira-kira kalau aku jenguk Ibu mau nemuin aku gak, ya?" Aku merebahkan kepalaku di atas paha El dan menghadapkan
Selama El diperiksa oleh dokter, senyuman tak henti tersungging di mulutku karena merasa sangat bahagia bisa melihat El terjaga lagi. Jujur, ini bagaikan suatu anugerah yang tak terkira. Tadinya aku sudah hilang harapan tapi Tuhan memang Maha Baik, Dia selalu tahu apa yang hamba-Nya butuhkan dan Dialah yang Maha pengabul doa."Kondisi Pak El sudah agak stabil tapi beberapa hari ke depan kami harus tetap melakukan observasi karena harus memeriksa secara menyeluruh tapi kabar baiknya Pak El bisa dipindah ke ruang rawat biasa. Sementara, jangan biarkan dia banyak bergerak dulu, ya?" ujar dokter Bagus seraya melepaskan snelli. Wajahnya menunjukan kelegaan setelah memeriksa suamiku.Aku mengangguk pasti sembari tersenyum lebar. "Baik Dok siap. Saya akan menjaga suami saya.""Terima kasih Dok," ujar El lirih dan lemah."Sama-sama. Kalau gitu saya permisi, ya?""Silahkan Dok."Setelah dokter spesialis yang menangani El beranjak pergi, kini tersisalah aku dan El. Aku menatap El yang juga ten
Tiga hari telah berlalu pasca insiden p*nusukan dan p*nculikan yang dilakukan Neo, El masih betah tertidur di atas ranjang ICU. Kata dokter luka El sudah dijait dan operasi besar pun berhasil, sekarang tinggal nunggu kesadaran El. Tapi, syukurnya ada kabar baik yaitu tubuh El merespon positif terhadap obat-obat yang diberikan sehingga bekas tusukannya lebih cepat mengering. Di sisi lain kondisi aku pun berangsur baik. Aku bahkan masih bisa bolak-balik mengurus Iza dan rumah sakit sambil terus memantau kasus Bu Rosa yang pada akhirnya bisa didakwa atas kasus perencanaan penculikan bersama Neo karena dia yang menyuruh Neo menculikku dan dia juga yang menyuruh Neo menterorku dengan membawa Aliza ke istana boneka.Oh Tuhan. Gak disangka Bu Rosa dan Neo tega memisahkan kami sejauh ini. Hanya demi sebuah warisan kekayaan, dia rela menghalalkan berbagai cara termasuk membunuh orang. Benar-benar bejat! Aku tidak terbayang perasaan El jika sadar nanti jika tahu ibunya yang merencanakan ini
Menegangkan, kacau dan menakutkan. Tak bisa aku bayangkan kalau kami akan berada di posisi di mana kami harus terjebak dengan Neo juga anteknya di gudang yang menyeramkan dan juga gelap. Siapa duga, Neo--sahabatku yang kukira baik kini dengan busuknya mengacungkan senjata dan mengarahkan moncongnya ke arah kami di saat aku dan El mau melarikan diri. Jujur! Saat ini aku merasa jantungku hampir meledak karena ketakutan. Neo tampak marah dan putus asa, sementara El berusaha tetap tenang di sampingku. Pria tampan itu seakan menunjukkan bahwa semua akan baik-baik saja jika kami bersama. "Kalian gak bisa ke mana-mana! Aku tegaskan sama kamu, El! Alina itu milikku! Dia cinta sejati seorang Neo bukan Elfarobi! Paham?!" bentak Neo dengan nada tegas dan menggelegar membuatku reflek mundur di belakang El. Sungguh, situasi ini sangat mengerikan, aku tak bisa terus di bawah pandangan Neo yang menyedihkan juga jahat. El meremas tanganku lebih erat, seolah memberi isyarat bahwa dia akan melindun
Neo menculik dan menjebakku. Itulah yang aku pikirkan sekarang. Seketika ketakutan merayap di seluruh tubuhku, tapi aku tahu aku tidak bisa membiarkan rasa takut menguasai diriku. Aku tak percaya kalau Neo kini telah banyak berubah, entah apa alasannya tapi Neo berubah menjadi jahat.Apa karena aku tolak dia jadi seperti ini? Agh, sial! Mengapa aku bisa semudah itu percaya sama Neo?Memikirkan kebodohanku, diam-diam aku jadi menyesal karena tidak bisa bertemu dengan El. Tapi, meski sedih dan marah aku gak boleh kehabisan akal, saat ini El harus tahu aku berada dalam bahaya. Hanya saja, bagaimana caranya? Bagaimana aku bisa melarikan diri atau mencari El? Aku terus menggerak-gerakkan tangan dan kakiku yang kini terikat.Sebenarnya, beberapa saat lalu seusai aku tahu kalau Neo menculikku, Neo yang semula baik tak segan menunjukkan sisi jahatnya. Dia tiba-tiba mendorongku hingga ke kursi belakang. Setelah mengikat aku dan mengancam kalau akan berbuat macam-macam jika aku berisik, Neo