Rini bersedia dijadikan wanita simpanan Galih bukan karena mencintai pria itu tapi karena Galih adalah seorang pria kaya. Oleh sebab itu, dia berusaha untuk menjadi istri sah Galih dengan cara menyingkirkan Citra sang istri sah Galih yang sebenarnya. Tapi siapa sangka kalau yang terjadi di luar dugaannya. Setelah berhasil menjadi istri sah Galih, baru diketahui kalau laki-laki yang diharapkan dapat menjadikan hidupnya penuh kemewahan ternyata tidak sekaya yang ada dalam pikirannya.
Lihat lebih banyakRini memperhatikan Galih yang sedang mengenakan pakaiannya dengan seksama. Laki-laki itu terlihat memesona dengan ketampanannya. Tapi bukan karena itu dia rela menjadi wanita simpanan Galih. Dia tidak peduli seberapa tampan dan gagah seorang laki-laki. Satu-satunya hal yang menjadi perhatiannya adalah seberapa tebal dompet laki-laki. Jika Galih tidak kaya, mana mungkin dia mau dijadikan pelampiasan hawa nafsu tanpa ikatan yang sah.
No! Dia bukan wanita bodoh! Dan misinya sekarang adalah ingin merebut status istri sah dari istri Galih. Dia merasa lebih pantas menyandangnya karena selain cantik, dia memiliki pekerjaan meskipun hanya sebagai sales promotion girl (SPG). Tidak seperti istri sah Galih yang hanya seorang wanita pengangguran yang hanya bisa menghabiskan uang suami saja. "Baru juga selesai, mas. Langsung pergi saja," ucap Rini dengan suara yang manja. Dia sendiri masih berada di bawah selimut. "Aku tidak boleh keluar toko lebih dari satu jam. Nanti khawatir karyawan akan curiga." "Khawatir karyawan akan curiga atau khawatir istrimu yang curiga?" Rini menyingkap selimut yang berada di atas tubuhnya dan kemudian turun dari tempat tidur untuk memungut semua pakaiannya. "Keduanya. Kalau karyawan curiga bukan tidak mungkin akan menyampaikan kecurigaan mereka pada istriku. Bahaya kan?" "Kalau khawatir terus, kapan kita akan memiliki waktu bersama yang lebih panjang?" Rini mulai mengenakan pakaiannya. "Nantilah aku cari-cari dulu alasannya. Mungkin dengan alasan keluar kota untuk suatu yang harus diurus atau apa." "Berarti belum pasti bisa tidaknya ya mas. Kamu sepertinya tidak pernah merindukan aku mas." "Ck!" Galih berdecak. Dia kemudian mendekati Rini dan menangkup wajah wanita itu dengan kedua tangannya sebelum akhirnya ditatap dengan seksama. "Kamu kok bisa punya pikiran seperti itu sih, Rin? Aku selalu merindukanmu. Itu sebabnya, aku selalu mengajakmu check in seminggu dua kali." Rini membalas tatapan Galih dengan tatapan yang tak kalah lekat. "Itu rindu apa nafsu, mas?" "Keduanya. Aku selalu rindu dan selalu menginginkanmu." "Cih, gombal!" Rini berbalik badan membelakangi Galih tapi kedua tangan terus bekerja mengenakan pakaian. "Sudah jelas-jelas yang selalu mas inginkan adalah istri Mas itu." "Kalau itu sih jelas. Aku kan sudah bilang ke kamu kalau aku tidak mau bercerai dengan istriku." "Dan selamanya akan menjadikannya sebagai wanita simpanan?" "Kamu kok bertanya seperti itu sih? Bukankah ini sudah menjadi bagian dari perjanjian kita? Toh, yang penting aku terus mentransfer kamu." 'Berarti kamu tidak ada keinginan sedikit pun untuk menikahi aku, Mas?' sahut Rini dalam hati. 'Oke, tak apa. Aku yang akan bekerja sendiri untuk mendapatkan posisi sebagai istri sah kamu.' "Dariku kamu sudah punya mobil, perhiasan, dan barang-barang mewah lainnya kan?" lanjut Galih. Rini tersenyum. Dia menyembunyikan niat jahatnya dengan senyumannya itu sebelum akhirnya dia kembali berbalik menghadap Galih. "Oke. Meskipun sebenarnya aku sedih tidak bisa memiliki kamu, tak apa. Yang penting mas tidak melupakan janji mas untuk membelikanku rumah." "Pasti. Tapi kamu harus bersabar dulu untuk yang ini. Untuk sebuah rumah, aku harus mengeluarkan uang yang banyak. Kalau tidak bisa bermain cantik, Citra bisa tahu." 'Sial! Bahkan istri tidak berguna itu bisa mengatur keuangan kamu, mas?!' tanya Rini dalam hati kembali. 'Benar-benar enak sekali hidup wanita itu! Sudah tidak berguna, bisa menguasai uang kamu lagi! Aku harus cepat-cepat merebut posisinya! Kalau diundur terus khawatir kamu keburu mencampakkan aku!' Rini cepat-cepat tersenyum lebar. "Baiklah. Seperti biasa, aku akan bersabar menunggu kamu menepati janjimu, mas." "Bagus. Kalau begitu aku pergi ya." Galih mengecup bibir Rini sekilas. Rini mengangguk dengan senyum menawan. "Ya, mas. Hati-hati di jalan." Setelah mengambil ponsel dan kunci mobilnya, Galih keluar dari dalam kamar itu. Sesaat setelah tubuh Galih menghilang di balik pintu, Rini menyeringi penuh arti. "Tidak! Aku tidak akan bersabar lagi, mas! Sudah waktunya aku merebut kemewahan yang kamu berikan pada istri kamu yang tidak berguna itu!" Sementara itu, beberapa menit sebelumnya, seorang wanita tampak berjalan tergesa melewati koridor yang di sisi kanan kirinya adalah kamar-kamar yang disewakan di hotel ini. Di tangannya sebuah ponsel menempel di telinganya. "Iya, ini aku sudah ada di lantai empat kok. Sebentar lagi juga sampai di kamar kamu," ucap wanita itu pada orang yang suaranya ada di ponsel. "Oke deh. Kalau begitu aku tunggu kamu di kamar." Panggilan itu pun diputus tiba-tiba. Bersamaan dengan ponselnya hendak dijauhkan dari telinga, kakinya mendadak berhenti melangkah karena melihat pemandangan yang mengejutkan. Di sana, di jarak beberapa meter darinya, seorang pria yang sangat dikenalnya baru saja keluar dari sebuah kamar. Pandangannya pun langsung menyipit. "Lho, itu kan Mas Galih. Kenapa dia bisa ada di sini dan keluar dari kamar itu?" tanya wanita itu pada dirinya sendiri. Dia baru akan memanggil pria yang dilihatnya itu tapi terlambat karena pria itu telah hilang di balik dinding yang menutupi koridor lain. "Yah, keburu pergi. Ya sudahlah." Wanita itu pun kembali berjalan menuju kamar tujuan. Tapi setelah beberapa langkah, dia menoleh ke belakang lagi. Tepatnya ke pintu kamar tempat Galih keluar karena dia baru saja mendengar suara pintu itu dibuka. Kali ini dia benar-benar syok sampai tidak bisa berkata-kata begitu mendapati seorang wanita cantik dan seksi, keluar dari sana. *** "Mama!" Seorang gadis kecil berusia 7 tahun, tampak berlari kecil mendekati Citra. Gadis kecil itu bernama Manisa. Citra tersenyum lebar. Dia menyambut Manisa putrinya dengan pelukan sekilas sebelum akhirnya ditatap lekat. "Bagaimana sekolahmu hari ini? Ada kendala?" Manisa menggeleng dengan penuh keyakinan. "Tidak dong. Aku kan pintar. Aku mendapatkan nilai-nilai yang bagus hari ini. Ya seperti biasa." Citra kembali tersenyum. "Mama suka jawabanmu. Kita langsung pulang?" Manisa mengangguk cepat. "Hum." Keduanya pun kemudian masuk ke dalam mobil yang diparkir di tepi jalan di luar area sekolah. Tapi baru saja Citra menyalakan mesin dan AC mobil, sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Citra pun menunda melajukan mobil dan memilih untuk menerima panggilan itu dulu. "Ya, Us? Ada apa?" tanya Citra pada orang yang menelponnya. "Kamu dimana?" balas orang tersebut. "Di depan sekolah Manisa. Baru jemput dia pulang." "Berarti kamu tidak di toko dong?" "Ya tidaklah. Kan aku baru bilang kalau aku ada di depan sekolah Manisa. Lagian kamu kan tahu sejak hamil aku jarang ke toko. Mas Galih yang mengurus toko itu." "Ya aku tahu itu. Aku hanya mau memastikan saja. Berarti kamu tidak tahu sekarang Mas Galih ada dimana kan?" "Ya... di toko mungkin. Kamu kenapa bertanya seperti ini sih? Pertanyaan kamu aneh tahu." "Maaf sebelumnya ya, Cit. Tapi aku baru saja melihat suami kamu di hotel tempatku berada sekarang bersama seorang wanita cantik dan seksi." Bersambung."Kamu benar-benar wanita licik, Rin! Kita sudah sepakat untuk merahasiakan hubungan kita tapi kamu malah memberitahukannya pada Citra! Pantas saja dia tiba-tiba datang ketika kita check in waktu itu! Ternyata karena kamu yang memberitahunya!"Bola mata Rini berputar ke atas. Tak ada aura ketakutan sama sekali di wajah wanita itu meskipun Galih menunjukkan kemarahannya. "Untuk apa sih kamu membahas ini sementara beberapa hari lagi kita akan menikah?""Kita tidak akan menikah kalau saja kamu tidak memberitahukan hubungan kita pada Citra, Rin!""Apa pun itu, yang penting beberapa hari lagi kita akan menikah, mas." Rini menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. "Sudahlah, mas. Terima saja apa yang terjadi. Lagian, aku layak menjadi istri kamu karena pada kenyataannya kamu selalu membutuhkan aku dalam waktu yang lama. Lupakan saja calon mantan istrimu itu. Toh, dia juga tidak lebih baik dari aku.""Kata siapa dia tidak lebih baik dari kamu, hah?! Tau apa kamu tentang dia?! Kamu tidak ta
"Ayo, bu! Gin! Kita keluar. Lihatlah, Rini dan kedua orangtuanya sudah menunggu di depan pintu," ucap Galih pada Marni dan Gina tampak malas keluar dari mobil.Marni menghela nafas berat. "Hh, kenapa aku mengantar putraku lamaran lagi sih? Padahal aku dulu sudah sangat senang karena melamar gadis kaya.""Pernikahanku dengan Citra belum berakhir, bu. Masih ada kemungkinan Citra kembali kepadaku. Sekarang, kita ikuti saja maunya mereka semua. Daripada mendapat masalah baru. Ayo, keluar."Dengan malas, Marni dan Gina keluar dari dalam mobil. Mereka disambut dengan antusias dan ramah oleh Rini dan kedua orangtuanya. Singkat cerita, mereka sudah duduk di ruang tamu. "Jadi maksud kedatanganku, ibu, adikku, adalah untuk melamar Rini. Maaf tidak bisa membawa banyak keluarga karena satu hal dan yang lainnya. Kami harap bapak dan ibu bisa memakluminya."Adi angguk-angguk. "Ya, kami sangat memaklumi. Dan... tanpa harus berbasa-basi, kami menjawab lamaran ini dengan menerimanya. Karena Rini suda
Galih menghela nafas berat. Tujuannya datang ke sini yang belum membuahkan hasil membuatnya merasa bosan bermain dengan Manisa. Apalagi permainan yang sedang mereka lakukan adalah permainan anak perempuan."Sebenarnya ibu kamu kemana sih, sayang?" tanya Galih akhirnya. Tak sanggup lagi untuk menahan tanya."Ada di kamar," jawab Manisa enteng. Tak memindahkan pandang pada dari mainannya."Kenapa dia di kamar terus?""E... mungkin mama capek." Barulah kemudian Manisa menatap Galih. "Memang kenapa papa tanya tentang mama? Papa ingin ketemu sama mama?"Galih mengangguk. "Sebenarnya begitu. Kamu mau tidak bilang ke mama kalau papa ingin bicara?"Manisa mengangguk cepat. "Mau kok, pa."Galih tersenyum samar mendengar itu. Akhirnya, beberapa menit kemudian, dia sudah duduk di teras bersama Citra."Apa yang mau mas sampaikan kepadaku?" tanya Citra tanpa senyuman sama sekali."Jangan nodong begitu, Cit. Kita nikmati suasana malam dulu ya?""Ini sudah malam, mas. Aku mau beristirahat bukan mau
"Suka-suka ibu mau menyebut dia apa. Pelac*r kek. Ani-ani kek. Wanita simpanan kek. Yang pasti mau tidak mau lusa malam aku akan datang ke rumah orangtuanya untuk melamarnya. Dan ibu, harus ikut aku."Pandangan Marni langsung menyipit. "Kenapa ibu harus ikut kamu? Kamu kan bisa pergi sendiri?""Ya tidak bisa begitu dong, bu. Masak aku datang sendiri untuk melamar? Setidaknya aku bawa satu orang bersamaku. Orangtua Rini juga akan tersinggung kalau aku datang sendirian.""Datang hanya berdua juga akan membuat mereka tersinggung kok. Masak lamaran hanya berdua?""Setidaknya aku tidak sendiri. Masih bawa keluarga. Mereka juga maklum kenapa tidak datang membawa banyak orang. Karena aku baru keluar dari penjara, lamaran ini mendadak, dan aku masih berstatus menikah. Kalau pun memang tersinggung, itu bukan urusan aku lagi. Masak mereka tidak maklum dengan keadaanku. Sudah datang mau melamar saja sudah syukur. Besok ibu persiapkan apa kira-kira yang harus kita bawa."Marni melenguh tak senang
Pertanyaan Manisa membuat Citra membisu. Bagaimana tidak, Citra tak mampu mengungkapkan hal yang sebenarnya. Bahwa Galih di dalam penjara. Dan yang memenjarakan Galih adalah dirinya. "E... mungkin papa sedang ada kesibukan. Jadi tidak bisa ambil barang-barangnya sendiri.""Tapi bukan mama yang mengusir papa dari rumah kan?"Manisa menelan saliva. Pertanyaan Citra menyudutkannya. "E... seperti yang kamu tau kalau papa dan mama itu akan berpisah. Karena itu, kami tidak boleh tinggal bersama lagi.""Tapi kenapa mama dan papa harus bercerai? Mama selalu mengajarkan aku untuk memaafkan tapi kenapa kalian tidak mau saling memaafkan demi aku?""Ini bukan tentang kenapa kami tidak mau saling memaafkan. Papa sudah mempunyai wanita lain yang dicintainya. Jadi mama harus mengalah." Citra terpaksa mengatakan ini daripada membuat Manisa salah paham.Kening Manisa mengerut. "Siapa?""Kamu tidak perlu tahu soal itu karena nanti juga kamu bakal tahu."Manisa terdiam. Penjelasan Citra membuatnya sedih
"Syukurlah." Citra meninggalkan meja makan menuju ruang tamu. Dia tidak mau pembicaraannya didengar oleh Manisa. "Kalau begitu, kamu angkut barang-barangnya Mas Galih hari ini juga.""Kalau soal barang Mas Galih nanti saja, mbak. Biarkan saja di sana. Kapan-kapan saja mengambilnya.""Oh, tidak bisa. Kalau barang-barang Mas Galih masih ada di sini semua, otomatis Mas Galih jadi punya alasan untuk sering datang ke sini selain ingin bertemu Manisa. Aku sudah tidak mau satu rumah dengan Mas Galih lagi. Jadi silahkan ambil semua barangnya. Kalau barang-barang Mas Galih masih ada di sini, aku belum mau menarik gugatan. Jadi silahkan pikirkan. Kalau mau Mas Galih cepat keluar dari penjara, berarti harus cepat pula barang-barang Mas Galih diambil.""Oh, baiklah kalau begitu. Mungkin nanti malam aku ke sana untuk mengambil barang-barang Mas Galih.""Ya. Jangan sampai lupa ya agar aku cepat mencabut gugatan.""Iya iya, mbak."Sementara itu di tempat lain, Gina menarik ponselnya dari telinga den
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen