LOGINAirin demi bisa bercerai dari suaminya yang tukang selingkuh terpaksa menerima tawaran suaminya. Yaitu hamil dengan pria pilihan suaminya agar bisa punya anak. Anak itu akan di jadikan senjata bagi suaminya untuk mendapatkan warisan kakeknya. Suaminya tidak pernah mau menyentuh Airin karena selama ini dia selingkuh dengan wanita simpanannya. Tak di sangka pria pilihan suaminya itu ternyata mahasiswanya sendiri. Perhatian Fikar lama-lama membuat Airin terjebak dalam dilema cinta segitiga.
View More"Dasar wanita tak berguna! Percuma aku menikahimu tapi kamu tidak bisa hamil!" omel Azzam suamiku.
"Gimana aku bisa hamil kalau kamu sama sekali tidak pernah menyentuhku," bantahku. "Hey, ... tanya dulu pada dirimu kenapa aku tidak mau menyentuhmu. Sedikitpun aku tidak mencintaimu. Pernikahan ini paksaan. Aku tidak suka di jodohkan. Kalau bukan karena permintaan kakek, aku tidak akan pernah menyetujui pernikahan konyol ini!" Ucapan suamiku benar-benar menusuk sampai ke dalam relung hatiku. Aku tahu kalau diriku cuma jadi penghalang cintanya dengan kekasihnya. Sejak dulu Mas Azam sudah menjalin kasih dengan teman semasa kecilnya yang bernama Lidya. Sedangkan aku cuma figuran yang kebetulan numpang lewat dalam hidupnya. Pernikahanku terjadi karena aku pernah menolong Kakek Lukman dari kecelakaan. Waktu itu Kakek Lukman hendak menyeberang jalan tiba-tiba ada motor kecepatan tinggi hendak menabraknya. Tanpa pikir panjang, aku yang kebetulan berada di dekat sana langsung mendorong Kakek Lukman ke tepi jalan. Aku dan Kakek jatuh ke tanah. Tapi luka kami tidak parah. Dan setelah di usut ternyata pengendara motor tersebut orang suruhan pesaing bisnis Kakek. Mereka hendak menyingkirkan Kakek lukman dengan cara menabraknya sampai mati. Akhirnya pengendara motor liar itupun di penjara. Dan aku mendapat hadiah pernikahan. Sayangnya, pernikahanku dengan Mas Azzam ibaratnya seperti gunung es. Ia selalu bersikap dingin terhadapku, meski selama ini aku menjalankan tugasku sebagai istri yang baik buatnya. Tapi ... semua itu tidak terlihat di matanya. Dan hingga pada akhirnya aku tahu alasannya mengapa Mas Azzam bersikap demikian terhadapku. Dia memiliki kekasih yang sangat di cintai. Dan aku seperti wanita antagonis yang masuk di tengah-tengah cinta mereka. "Ceraikan aku saja kalau begitu. Aku ikhlas," jawabku sembari menangis. "Tidak semudah itu. Aku ingin kamu melahirkan anak untukku. Karena ini syarat dari kakek agar aku dapat warisannya. Kalau kamu mewujudkan keinginanku, maka aku juga akan menceraikanmu setelah kamu beri anak untukku! Paham!" ucap Azzam. "Bagaimana aku bisa memberimu anak kalau kamu sedikitpun tidak mau menyentuhku! Kamu pikir semuanya bisa di sulap!" bantahku. "Airin ... kalau kamu mau aku bisa carikan lelaki yang bisa membuatmu hamil. Kamu menikah siri dengannya lalu lahirkan anak untukku," kata Azzam. "Kamu gila, Zam! Ini tidak benar. Aku tidak mau menuruti ide gilamu!" Tolakku. "Kalau kamu tidak mau ya sudah. Tapi ... jangan harap aku akan menceraikanmu. Kamu akan terus ku buat menderita dalam pernikahan ini," ancam Azzam. Lelaki itu pun pergi meninggalkan kamarnya. Aku hanya bisa menangis mengingat permintaan Azzam yang tidak semestinya. Otaknya benar-benar sudah konslet. Menyuruhku menikah lagi di posisi aku masih menjadi istrinya. Aku duduk terpuruk di tepi ranjang, memeluk kedua lututku erat-erat. Suara pintu yang dibanting Azzam tadi masih menggema, membuat hatiku semakin hancur. Kenapa hidupku harus seperti ini? Aku tak pernah membayangkan pernikahan akan berubah menjadi neraka. Yang kuinginkan hanyalah kebahagiaan sederhana, tapi justru yang kudapat hanyalah luka demi luka. Bayangan wajah Azzam saat mengucapkan ancamannya tadi membuat nafasku sesak. Ia tidak hanya merenggut kebebasanku, tapi juga mempermainkan harga diriku sebagai seorang istri. Menyuruhku menikah lagi sementara aku masih sah menjadi miliknya apa dia sudah kehilangan akal sehat? Tanganku gemetar saat meraih ponsel di atas meja. Aku butuh seseorang, butuh suara yang menenangkan, dan hanya satu nama yang terlintas di benakku—ibu. Dengan tangan bergetar, aku menekan nomor yang sudah kuhafal di luar kepala. Beberapa kali nada sambung terdengar, sampai akhirnya suara lembut itu menjawab. “Halo, Nak? Sudah malam begini, ada apa?” tanya ibu, suaranya hangat tapi penuh kekhawatiran. Aku tak bisa langsung menjawab. Suaraku tercekat oleh isak tangis yang sedari tadi kutahan. Aku menggigit bibirku keras-keras, menahan isakan agar tidak terdengar terlalu jelas. “Ada apa, Nak? Kamu bikin ibu khawatir…” suara ibu terdengar semakin lembut, penuh kasih. Air mataku makin deras, tapi lidahku kelu. Aku ingin berteriak, ingin menceritakan semua luka yang kurasakan, tapi ada sesuatu yang menahan. Rasa takut. Rasa malu. Dan bayangan ancaman Azzam yang terus menghantui. “Tidak, Bu… aku… aku hanya kangen saja,” akhirnya aku berbohong dengan suara parau. “Aku capek, jadi ingin dengar suara ibu.” Hening sesaat. Lalu terdengar tarikan napas berat dari seberang. “Nak… kalau ada apa-apa, jangan dipendam. Ingat, ibu selalu ada buatmu.” Aku menutup mata rapat-rapat, menahan sakit di dada. “Iya, Bu. Aku tahu. Aku baik-baik saja, kok,” jawabku lemah. "Sudah ya, Bu. Aku ingin istirahat sekarang. Besok masih berangkat kerja," pamitku. "Iya, jaga dirimu baik-baik. Jangan tidur terlalu malam, tidak baik untuk kesehatan," ucap Ibu di telepon. Setelah mematikan telepon aku mencoba untuk tertidur. Namun tiba-tiba suara ketukan keras terdengar dari luar. Aku pun beranjak dari tempat tidurku. Ku pakai cardiganku sebentar lalu ku berjalan menghampiri pintu. Dan perlahan ku buka pintunya. Alangkah terkejutnya diriku. Mas Azzam dan kekasihnya berdiri di depan pintu kamarku. Dan mereka terlihat begitu mesra. Mas Azzam membopong kekasihnya di hadapanku. Istri manapun pasti akan sakit hati melihatnya. Air mataku hampir luruh, tapi aku menahannya. Istri mana yang tidak akan hancur hatinya melihat suaminya memperlakukan wanita lain dengan kasih sayang yang seharusnya hanya menjadi milikku? "Mas, apa maksudmu ini?" tanyaku penuh amarah. Namun bukannya memberi penjelasan, Mas Azzam justru menatapku dengan sorot mata penuh kebencian. Bibirnya melontarkan kalimat yang lebih tajam dari pisau. “Airin, kamu pergi dari kamarku sekarang juga! Aku tidak peduli kamu mau tidur di kamar tamu atau di jalanan, itu urusanmu. Yang jelas aku tidak mau lagi melihat wajahmu di sini!” Kamu gila, Mas! Perempuan itu bukan siapa-siapa, tapi kamu tega membawanya masuk ke kamar kita. Kamar yang seharusnya privasi hanya untuk kita. Kamu pikir aku ini apa? Lalat yang bisa kamu singkirkan sesuka hatimu?!” "Mas ... cepetan dong. Aku udah nggak tahan nih," rengek Lidya. Tangannya merangkul leher Azzam. “Sabar, sayang…” jawab Azzam sambil tersenyum miring. Tatapannya kembali beralih kepadaku, penuh penghinaan. “Perempuan ini memang menyebalkan. Dari dulu kerjanya cuma bikin kepalaku pusing.” “Kurang ajar! Kalian berdua tidak punya hati!” teriakku, suaraku pecah menahan tangis dan amarah. Tanpa berpikir panjang, aku melangkah maju dan mendorong tubuh Lidya sekuat tenaga hingga hampir terlepas dari gendongan Azzam. Perempuan itu terpekik kaget, nyaris jatuh kalau saja Azzam tidak segera menopangnya. “Airin! Berani sekali kamu menyentuhnya!” bentak Azzam dengan wajah merah padam, matanya melotot ke arahku. Aku tidak gentar. Nafasku terengah, tubuhku bergetar karena amarah yang tak lagi bisa ku bendung. "Aku istri sahmu, Mas! Kalau aku marah, kalau aku merasa dikhianati, itu HAKKU! Dan kamu ... kamu yang seharusnya malu karena menyeret perempuan itu ke kamar kita!” "Alaah ... minggir kamu!" Azzam mendorong Airin hingga terjatuh. "Mulai sekarang kamu tinggal di kamar tamu. Aku mau bersenang-senang dengan Lidya di kamar ini!" sentak Azzam Airin terhuyung jatuh, tubuhnya menghantam lantai dingin. Rasa sakit menjalar, tapi lebih sakit lagi hatinya yang diremuk oleh kata-kata suaminya sendiri. “Mas ... apa kamu nggak punya hati?!” Airin berusaha bangkit, air matanya jatuh tanpa bisa ia bendung. “Aku ini istrimu yang sah! Bagaimana mungkin kamu tega mengusirku seperti ini, demi perempuan itu?” Azzam meliriknya dengan tatapan penuh kejengkelan. “Sudah kubilang, aku nggak peduli! Kamu cuma bikin suasana jadi rusak. Kalau nggak suka, keluar dari rumah ini sekalian!” Di belakang Azzam, Lidya terkekeh pelan sambil merangkul lengannya. “Sudah, Mas. Biarkan saja dia. Dia kan cuma istri di atas kertas nggak bisa bikin Mas bahagia seperti aku.” Airin terdiam, dada sesak. Kata-kata Lidya menusuk telinganya seperti pisau. Tapi ia menahan diri, meski tubuhnya gemetar menahan amarah dan rasa perih di hatinya.Langit malam terasa begitu sunyi. Hanya detik jam dinding yang terdengar di kamar. Aku menggeliat gelisah di atas ranjang, napasku memburu. Entah kenapa, dadaku terasa sesak dan keringat dingin mulai mengalir di pelipis. “Jangan… jangan dekati aku…” gumamku dalam mimpi yang menakutkan. Bayangan wajah Mas Azzam muncul begitu jelas, membuat tubuhku menggigil. “Aku benci kamu! Jangan ganggu keluargaku!” teriakku, hingga suaraku memecah kesunyian malam. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang hangat, seseorang memelukku, lembut tapi kokoh. Tubuh itu bergetar, namun menghadirkan rasa aman. Aku tak tahu apakah ini mimpi atau nyata. Dalam ketakutanku aku hanya bisa bergumam, “Jangan pergi… aku takut…” Dan aku merasa pelukan itu mengerat, diiringi suara lembut di telingaku. “Aku di sini, Kak. Jangan takut, nggak ada apa-apa.” Pelan-pelan napasku mulai tenang. Kegelapan di dalam mimpiku perlahan memudar, dan aku pun terlelap lagi dalam kehangatan. ** Saat mataku terbuka pagi harinya, sinar
"Bagaimana?Kalian sudah melakukannya?" tanya Mas Azzam di telepon. "Sudah," jawabku pendek."Kalau begitu bagaimana hasilnya? Kamu beli tespek, kan?" tanya Mas Azzam lagi."Belum," jawabku malas."Tunggu apa lagi! Beli sekarang di apotek!" perintah suamiku di telepon."Oke."Aku pun mengakhiri telepon. Malam-malam suamiku sudah menggangguku. Aku merasa Mas Azzam itu bodoh, misal aku melakukannya dengan Fikar tidak mungkin juga sehari langsung ada garis merahnya. Bodo amat! Lama-lama tahu begini dia jadi makin enggan pulang ke rumah. Pria itu makin lama makin gila saja."Ada apa Kak? Mengapa Kakak cemberut?" tanya Fikar."Tidak ada apa-apa, kamu tidur saja," jawabku. "Kak, kita ini teman. Kakak tidak boleh menyimpan masalah sendiri. Sekarang Kakak punya teman cerita yaitu aku. Aku tidak akan membiarkan Kak Airin tenggelam dalam kesedihan sendirian," ucap Fikar.Aku terdiam sejenak. Kata-kata Fikar membuat dadaku terasa hangat, tapi sekaligus perih. Aku tak terbiasa ada seseorang yang
Aku membuka pintu perlahan. Seorang petugas hotel berdiri dengan troli makanan lengkap dengan penutup peraknya. Senyumnya ramah, tapi mataku tak benar-benar fokus padanya. Aku hanya ingin semuanya cepat selesai. “Silakan taruh di sini,” ucapku pelan sambil menunjuk meja kecil di dekat jendela. Petugas itu menata semua dengan rapi sebelum pamit. Begitu pintu tertutup, aroma sup hangat dan lauk menggoda memenuhi kamar. Suasana mendadak terasa berbeda hangat tapi juga asing. Aku melihat Fikar menelan ludah, matanya berbinar seperti anak kecil. “Wah, enak banget keliatannya,” katanya dengan nada polos. Aku tersenyum kecil. “Ya sudah, ayo kita makan. Nanti keburu dingin.” Ia buru-buru menarik kursi, canggung, seolah takut bersikap salah. “Silakan duluan, Kak. Aku nanti aja.” Aku menatapnya sekilas, geli melihat sikap sopan yang berlebihan itu. “Santai aja, Fikar. Kita makan bareng.” Begitu ia duduk, kami mulai menyendok makanan masing-masing. Aku memandangi sendokku yang penu
“Siapa namamu?” tanyaku setelah Mas Azzam pergi. Aku mencoba tenang meski suasana kamar ini terasa begitu canggung. “Namaku Fikar,” jawabnya lirih. Pemuda itu terlihat tidak nyaman menatapku. Ia buru-buru memilih melihat ke arah lain. Mungkin aku terlihat menyedihkan sekali. Suamiku saking tidak inginnya menyentuhku sampai menyuruh pria lain menghamiliku. Ironis bukan? “Baiklah, Fikar… aku harap kamu tidak memintaku melakukan hal di luar kehendakku,” ucapku pelan. Aku menoleh sebentar ke arahnya, lalu kembali mengalihkan pandangan. Bibirku mengerjap pahit. Senyum getir yang bahkan aku sendiri tak yakin artinya apa. “Aku tahu… situasi ini aneh untukmu.” Ia mengangguk gugup dan memilih duduk di sudut kamar, menjaga jarak. “Iya… jujur aja, aku nggak pernah bayangin bakal kenalan dengan cara seperti ini. Apalagi dengan seseorang yang….”Kalimatnya terhenti. Aku bisa menebak sisa ucapannya. “Dengan seseorang yang lebih tua darimu, begitu?” tanyaku tersenyum tipis. Ia buru-bur
Langkah kaki suamiku terdengar berat ketika menggiringku masuk ke dalam sebuah kamar hotel. Pintu ditutup rapat, udara dinginnya AC langsung menyambut. Mataku membulat sempurna begitu melihat pemandangan di depannya. Seorang penghulu duduk dengan kitab di pangkuannya, dan di sampingnya ada seorang pemuda tampan, masih sangat muda nyaris seperti anak kuliahan. Akupun spontan mundur setapak.Pemuda itupun terkejut."Siapa dia?!” tanyaku. Suamiku menyeringai, wajahnya penuh kepuasan licik.“Duduk, Rin. Hari ini kamu akan membuat anak dengan dia.” Akupun menatap Mas Azzam tak percaya, lalu beralih ke arah pemuda itu yang tampak diam mematung. “Kamu gila, Mas?! Aku masih jadi istrimu, kenapa kamu suruh aku buat anak dengan orang lain?!” Azzam melangkah mendekat, nada suaranya dingin, penuh rencana. “Kamu nggak perlu pura-pura bodoh. Kamu tahu aku butuh anak untuk dapat warisan dari Kakek. Lidya nggak mau hamil, dia nggak mau merusak tubuhnya. Jadi… satu-satunya cara, kamu yang har
Mataku sulit terpejam, bagaimana tidak suara dari sebelah kamar cukup mengusikku. Sesekali terdengar canda tawa mesra, pujian, dan suara ranjang berdecit, berulang-ulang, seirama dengan tawa dan desahan yang tak asing di telinganya. Aku cukup dewasa untuk menebak apa yang mereka lakukan di dalam sana.Tubuhku menegang, dadaku serasa sesak sulit untuk bernafas. Aku seperti orang asing yang di rumahku sendiri. Membiarkan perbuatan menjijikan itu berlangsung di kamar utama kami. Ironis sekali, tapi aku tidak memiliki kuasa untuk mencegahnya.Tak ada yang bisa aku lakukan di kamar ini selain menangisi kebodohanku dengan menutup telingaku dengan bantal, berharap bisa meredam semua, namun tetap saja suara itu menusuk masuk melukai hatinya.Airin menyesal mengapa ia dulu setuju di jodohkan dengan Azzam. Ia pikir dari waktu ke waktu dirinya dapat meluluhkan hati Azzam. Hingga pria itu dapat mencintainya tulus. Namun sepertinya harapannya itu tidak akan pernah terwujud selama cinta pertama Azz
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments