Langkah Alena terhenti di ambang pintu ketika suara lantang Calief menggema di ruang rapat. Ia berbalik perlahan, tatapannya tetap dingin, namun sorot mata memancarkan ketegasan yang tidak bisa ditawar.
Alena terkekeh ringan, senyum sinis terlukis samar di wajah sebelum membalas dengan nada dingin, “Dendam pribadi, Tuan Calief? Saya rasa itu hanya asumsi anda.” Dengan langkah tenang dan penuh percaya diri, ia kembali mendekati meja pertemuan. Setibanya di sisi kursi, Alena menumpukan kedua tangan di atas permukaan meja, postur ia tegak saat menatap tajam ke arah Calief. “Saya tidak pernah mencampur urusan emosional dengan tanggung jawab profesional,” ucapnya tegas, lalu mengalihkan pandangan ke seluruh peserta yang hadir. “Akan tetapi, jika ada di antara kalian yang merasa tawaran Tuan Calief lebih menarik, saya persilakan untuk memberikan pendapat.” Setelah mengambil posisi duduk kembali, Alena menyilangkan kaki serta membenarkan letak berkas di depannya. Aura kepemimpinan ia yang kuat terpancar jelas keluar. Suasana menjadi sunyi. Beberapa peserta hanya saling melirik, tampak ragu untuk mengambil posisi. Hingga seorang perwakilan dari salah satu perusahaan mitra akhirnya angkat suara. “Maaf, nona Alena,” katanya sopan, “Saya memahami posisi Anda, tetapi bukankah akan lebih baik kalau ada opsi negosiasi ulang? Meski syarat tuan Calief terdengar cukup berat, nilai investasi yang ditawarkan sangat besar.” Seorang investor lain menyusul, kali ini dari kalangan pemegang saham minoritas, “Saya setuju, namun kita juga harus mempertimbangkan dampak jangka panjang. Seandai Achilles's Group kehilangan otoritas, stabilitas seluruh jaringan bisnis bisa terganggu.” Perkataan itu membuat salah satu alis Alena terangkat ringan. Sebuah senyum miring tersungging di bibir, seolah menyambut pendapat tersebut sebagai dukungan terselubung. Di sisi lain, Calief menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sambil mengulum senyum. Dia menatap Alena dengan ekspresi puas, kemudian menyela, “Nona Alena, jika angka 90% terlalu berat, saya bisa menyesuaikan. Bagaimana kalau menjadi 75% saja? Tentu dengan imbal balik berupa posisi strategis Calief Corp di Achilles's Group.” Jari telunjuk kanan Alena mengetuk-ngetuk pelan permukaan meja. Ia tertawa kecil sebelum berdiri, menyilangkan tangan di depan dada. “75%, Tuan Calief?” ulang Alena, nada suara ia menajam. “Sepertinya anda lupa bahwa Achilles's Group telah terbukti mampu berdiri sendiri tanpa intervensi pihak luar.” ada jeda sejenak, lalu melanjutkan, “Tapi agar pembicaraan tidak berakhir buntu, saya akan ajukan tawaran penyeimbang. Anda bisa menanamkan modal sebesar 45% tanpa hak kepemilikan atau pengaruh dalam posisi manajerial.” Ekspresi Calief menegang sesaat, meskipun berusaha tetap tenang. “45% tanpa kendali apa pun? Investasi sebesar itu tidak bisa dianggap remeh,” sanggah dia tidak kalah sengit. “Saya yakin peserta lain di sini setuju bahwa kerja sama harus saling menguntungkan.” Seorang direktur senior Achilles's Group angkat bicara dengan nada suara mantap. “Menurut saya, tawaran dari nona Alena sudah bijak. Grup tetap mempertahankan kendali penuh, sementara investor seperti tuan Calief dipastikan mendapat keuntungan yang sepadan.” Calief menyeringai kaku, seolah tak ingin menunjukkan kekalahan. “Baiklah, izinkan saya bertanya satu hal. Nona cantik, berapa persen batas terendah yang bisa anda tawarkan?” Alena menghela napas pendek, ia tersenyum simpul. “48%. Tanpa syarat, tidak ada hak kepemilikan, tidak pula kursi dalam pengambilan keputusan. Terakhir ... saya tidak membuka ruang toleransi untuk angka tersebut.” Calief menggigit pelan bibir bawah, menimbang jawaban dengan serius. Dia tahu posisi tawar Alena kuat, tetapi enggan mundur begitu saja. “Oke, saya akan pertimbangkan lebih dulu.” putusnya. “Tapi saya harap anda juga mempertimbang ulang tawaran dari saya. Semisal berubah pikiran, anda tahu ke mana harus menghubungi.” Alena hanya membalas dengan senyum tipis, tenang juga tetap menjaga sikap profesional. “Terima kasih atas waktu anda, Tuan Calief, serta untuk rekan-rekan semua. Saya yakin keputusan terbaik akan membawa hasil yang paling menguntungkan bagi kita semua. Sampai jumpa di diskusi selanjutnya.” Dengan langkah tenang dan elegan, Alena berjalan meninggalkan ruangan. Walau tidak ada kesepakatan yang tercapai, ia tahu dirinya telah memegang kendali atas jalannya pertemuan serta mempertahankan kehormatan Achilles's Group. Sedangkan Calief, masih duduk di tempat. Ekspresi wajah dia tampak datar, namun sorot matanya menyimpan rencana. Dia menyadari satu hal-Alena bukan hanya lawan yang tangguh, akan tetapi juga jauh lebih cerdik daripada yang pernah dirinya perkirakan. ••• Calief duduk bersandar di kursi belakang mobil, kedua matanya menatap lurus ke arah pintu utama gedung Achilles's Group. Tangan kiri menggenggam ujung dasi yang belum sempat ia longgarkan, sementara tangan kanan memegang ponsel yang belum juga disentuh sejak rapat usai. Calief masih memikirkan kata-kata terakhir Alena, terutama nada dingin dia yang memotong egonya tanpa ampun. Tak lama kemudian, pintu utama terbuka. Seorang wanita berpenampilan tegas melangkah keluar dengan anggun—Alena. Rambutnya tergerai rapi, dengan tubuh yang dibalut jas mewah berwarna gelap, serta langkah kaki mantap dan tidak ragu. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Calief mencondongkan tubuh ke depan. “Ikuti mobil itu,” ujar ia pelan, namun tajam kepada sopirnya. “Baik, Tuan,” balas sang sopir, segera menyalakan mesin mobil juga melajukan kendaraan dengan tenang. Mobil Alena meluncur menuju salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota. Kendaraan Calief menjaga jarak, mengikuti dari kejauhan tanpa mencolok. Setelah beberapa menit, Alena turun serta berjalan masuk ke dalam mal. Calief memberi isyarat agar sopir menghentikan mobil, lalu ia sendiri keluar, melangkah menyusul, hanya saja tetap menjaga jarak. Langkah Calief melambat begitu melihat Alena berhenti di tengah atrium utama. Dia berdiri sejenak, seperti sedang menunggu seseorang. Beberapa detik kemudian, seorang gadis kecil berambut pendek cokelat tua berlari kecil ke arah Alena, mengenakan bando merah muda dengan pita dikedua sisi yang berwarna senada. Wajahnya cerah dengan mata berbinar penuh antusias. Anak itu langsung memeluk Alena dari depan sambil berseru nyaring, “Bunda!” Alena tersenyum hangat, menunduk, lantas meraih tubuh mungil tersebut ke dalam pelukan. “Alesie, kamu sudah sampai? Maaf bunda agak lama,” ucap Alena lembut, membelai rambut sang anak penuh kasih. Calief berdiri mematung. Kaki ia seolah menancap ke lantai. Pandangan tidak lepas dari sosok kecil yang baru saja menyebut Alena sebagai "Bunda". Darah Calief mengalir lebih cepat. Jantungnya berdegup tak beraturan. Ia menyipitkan mata, mencoba mencocokkan raut wajah gadis kecil itu dengan Alena. “Tidak mungkin …” gumam Calief nyaris tidak terdengar, suara tercekat di tenggorokan. Gadis kecil yang punya mata berwarna hijau tua, bentuk wajah, serta garis hidung … cukup mirip dengan dirinya. Calief mundur setengah langkah, kepala ia dipenuhi satu dugaan gila. Menatap sosok Alena yang kini menggandeng tangan si kecil, berjalan perlahan menyusuri lorong mal. “Itu ... anak siapa?” bisiknya pada diri sendiri, penuh curiga. Rahang Calief mengeras. Mulai merasa ada sesuatu yang telah lama disembunyikan. Tanpa sadar, tangan Calief mengepal. Untuk pertama kali sejak pertemuan terakhir, bukan amarah mendominasi dadanya—melainkan kecemasan dan kebingungan. “Alena ...” gumam ia pelan, “... Apa yang selama ini kau sembunyikan dariku?”"Calief?!"Elva mematung di tempat kala melihat siapa yang berdiri dihadapannya, ia tahu betul kalau seseorang yang tengah berdiri dihadapannya saat ini adalah sosok yang paling sangat dibenci oleh dirinya dan juga kakaknya.Calief merasa geram dan bahkan ingin memarahi orang yang tadi menabraknya. Tapi begitu ia melihat siapa orang yang menabraknya tadi, seketika itu juga ia mengurungkan niatnya. Ia terkejut kala melihat seorang anak kecil yang terlihat cukup mirip dengannya, dan.. Tunggu!"Kenapa anak ini terlihat mirip.. denganku?" Calief menyadari suatu hal, tapi sebelum itu ia harus memastikannya lebih dulu dengan benar."Ekhem!" Ia berdeham untuk menetralkan suasana yang cukup terasa sedikit tegang. "Elva." Panggilnya dengan suara berat yang menyapa pendengaran Elva. Membuat Elva terlihat bingung sekaligus merasa canggung."I-iya?" jawab Elva gugup. Gadis cantik itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Huft! Akhirnya meeting kali ini selesai juga. Rasanya aku ingin cepat-cepat bertemu dengan Vani. Sedang apa ya anak itu..? batin Allen bertanya-tanya.Ibu satu anak itu terus saja merasa gelisah sejak mulai memasuki ruang tempat meeting itu berlangsung tadi. Bukan apa, ia cukup terkejut tadi ketika mengetahui bahwa lelaki itu ada dan hadir dipertemuan meeting kerja sama perusahaan kali ini.Pasalnya, laki-laki tersebut biasanya pasti akan mengutus seseorang untuk menjadi perwakilan kerja sama dari perusahaan besarnya. Tapi kali ini? ia juga belum ada persiapan untuk menghadapinya jikalau nanti seandainya semua tak sesuai rencananya.Maka itu akan merugikannya!Tapi bukan itu yang paling Allen pikirkan, melainkan Vani. Allen jauh lebih khawatir dengan putrinya itu. Bagaimana.. bagaimana jika semuanya terbongkar saat ini juga?!Allen ingat betul bahwa Vani masih ada bersama Elva diperusahaan ini, diruangannya.Astaga.. semoga saja
Setengah jam kemudian..Tok!Tok!Tok!"Ya, masuk." Ucap Allen ketika pintu ruangannya di ketuk kembali.Masuklah Widya, sekertaris Allen yang sudah membawa beberapa jumlah berkas yang telah disiapkan olehnya tadi untuk meeting mendadak tersebut."Permis, mrs. Berkas-berkasnya sudah saya siapkan. Dan meetingnya sebentar lagi akan segera di mulai." Ujar Widya sopan seraya menyerahkan berkas-berkas tersebut pada Allen."Ok, sebentar lagi. Saya sedang menunggu sepupu saya untuk menjaga Vani ketika saya meeting nanti."Tak lama setelah Allen mengatakan hal tersebut, pintu pun akhirnya kembali diketuk oleh seseorang. Yang tak lain adalah Elva, adik sepupu Allen yang baru saja tiba dari ke pulangannya, Los Angeles, USA kemarin malam."Ah, maaf kak aku sedikit terlambat. Jakarta sangat macet. And see.. Aku jadinya sekarang terlambat. Sorry.." Ujarnya dengan wajah yang terlihat sedikit merasa bersalah.
Carlina terkejut bukan main ketika mendengar pengakuan dari putrinya tersebut.Bagaimana mungkin, seorang laki laki yang terlihat baik baik saja bisa seperti itu yang tega menyuruh putrinya untuk membunuh darah dagingnya sendiri?!What the hell!Benar-benar lelaki brengsek!"Ja- jadi..." ucap Carlina pelan yang masih dapat di dengar dengan jelas, dengan mulut yang menganga lebar dan mata yang membelalak sempurna.Allen pun lantas menganggukkan kepalanya pelan, membenarkan semua perkataannya barusan yang memang benar adalah fakta."Help me, please....""Tolong, Allen nggak mau menggugurkan janin ini. Allen nggak mau membunuhnya! Bayi ini nggak bersalah.. dia nggak tau apa-apa. Allen nggak mau jadi seorang pembunuh yang tega melenyapkan darah dagingnya sendiri. Kalau mamah sama papah nggak setuju dengan keputusan Allen.. It's okay, Allen akan pergi dari sini. Allen juga nggak mau semakin buat kalian merasa malu karena semu
Langkah Alena terhenti di ambang pintu ketika suara lantang Calief menggema di ruang rapat. Ia berbalik perlahan, tatapannya tetap dingin, namun sorot mata memancarkan ketegasan yang tidak bisa ditawar. Alena terkekeh ringan, senyum sinis terlukis samar di wajah sebelum membalas dengan nada dingin, “Dendam pribadi, Tuan Calief? Saya rasa itu hanya asumsi anda.” Dengan langkah tenang dan penuh percaya diri, ia kembali mendekati meja pertemuan. Setibanya di sisi kursi, Alena menumpukan kedua tangan di atas permukaan meja, postur ia tegak saat menatap tajam ke arah Calief. “Saya tidak pernah mencampur urusan emosional dengan tanggung jawab profesional,” ucapnya tegas, lalu mengalihkan pandangan ke seluruh peserta yang hadir. “Akan tetapi, jika ada di antara kalian yang merasa tawaran Tuan Calief lebih menarik, saya persilakan untuk memberikan pendapat.” Setelah mengambil posisi duduk kembali, Alena menyilangkan kaki serta membenarkan letak berkas di depannya. Aura kepemimpinan ia yang
Alena pulang cepat dari kantor pada sore hari ini. Sebelum kembali, dia mampir terlebih dahulu ke salah satu restoran milik keluarganya. Ia baru saja keluar dari toilet wanita dengan setelan kantor lengkap, serta masker warna hitam yang menutupi setengah wajahnya. Ketika berjalan keluar menuju pintu masuk restoran dirinya sedang tidak fokus. Sehingga menyebabkan orang lain menabrak tubuhnya dari arah yang berlawanan. Alena terjatuh, seseorang itu merasa panik dan segera membantu dirinya untuk berdiri kembali. "Maaf, maaf. Saya tidak sengaja. Sekali lagi saya minta maaf." Sesal orang tersebut. Alena mendongak, menatap wajah sang pelaku. Rupanya itu adalah dia. Pria yang telah merusak kehidupan saudari kembarnya. Ia mengenali muka Calief dari galeri ponsel Allen. Ya, Calief Atharizz Franklyn. Pria bajingan yang sekaligus merupakan ayah kandung dari putrinya, Alesie. Alena hanya mengangguk pelan, ia kemudian melenggang pergi begitu saja. Tetapi saat langkahnya sudah mencapai pintu, C