Share

Ikat Pinggang Bercak Darah

"Bi, tadi malam pas Bibi antar minum yang saya minta, Bibi lihatnya tamunya perempuan, 'kan?" 

Bi Jem menoleh. Di dapur sedang sibuk sekali. Apalagi kemarin belum sempat cuci piring. Pembantuku itu menatap lekat. Wajahnya tampak berbeda. 

"Saya minta maaf sebelumnya, Bu. Pas tadi malam ngantar minuman untuk tamu yang Ibu bilang, saya sama sekali gak lihat siapa pun, Bu. Gak ada orang, maka nya saya agak aneh sama Ibu. Mungkin, kemarin hanya halusinasi Ibu saja." 

Wajahku memucat mendengarnya. Berarti siapa yang datang tadi malam? Bu Widya. Ah, wanita yang mengaku guru Kia itu benar-benar misterius. 

Aku menggelengkan kepala. Itu bukan halusinasi. Lalu apa tadi malam itu nyata? 

"Saya permisi dulu, Bu. Nanti, kalau ada yang mau Ibu tanyakan, panggil saya saja."

Bi Jem pamit kembali bersih-bersih. Sedangkan aku berjalan ke kamar Kia. Pasti ada yang Kia sembunyikan, apalagi mengenai gurunya itu, Bu Widya. 

Aku membuka pintu kamar. Aroma parfum yang biasa dipakai Kia, tercium pekat. Ah, aku jadi merindukan Kia. Biasanya, dia selalu mengajakku curhat di sini. 

Tidak ada yang aneh sebenarnya. Kemarin aku juga sudah membereskan barang-barang di kamar Kia. Hanya pakaian yang acak-acakan. 

"Bi Jem, bisa bantuin saya cari sesuatu di kamar Kia?" Aku kembali lagi ke dapur. Sudah bersih semua, Bi Jem bahkan sudah bisa duduk-duduk. 

"Bisa, Bu. Mau cari apa di kamar Non Kia?" tanya Bi Jem sambil mengikutiku dari belakang.

Aku juga tidak tahu apa yang akan aku cari di kamar Kia. Sebenarnya, aku ingin menceritakan semua kejadian aneh ini pada Bi Jem, apalagi Bi Jem adalah pembantu setiaku. Sejak Kia belum lahir, Bi Jem yang selalu ada. 

Kami berdua masuk ke dalam kamar Kia. Aku memberikan instruksi agar mencari buku harian Kia. Ya, biasanya Kia kalau bukan curhat padaku, dia cuhat di buku harian. 

"Bukunya warna biru muda, Bi. Saya gak tahu dia taruh mana. Tapi ada di kamar ini. Kemarin gak ketemu pas beres-beres."

Bi Jem mengangguk. Mulai mencari buku harian milik Kia. Pasti ada banyak hal yang Kia tulis di buku itu.

Bisa jadi, ada jawaban di buku itu. Jawaban atas misteri ini semua. Aku membongkar lemari Kia, kadang memeluk pakaiannya. Jujur, aku masih kehilangan Kia. 

Tifa sedang tidur di kamar. Membuatku lebih bebas untuk membongkar kamar Kia. Kalau belum tidur, Tifa biasanya di ruang keluarga. Mainan sendiri. Ah, kalau Kia masih ada, pasti Tifa ada teman bermain. 

Aku mengernyit ketika melihat ada ikat pinggang milik Mas Dion. Ada bekas darah di sana, sudah mengering. Untuk apa ikat pinggang ini ada di sini? 

"Bi, saya ke kamar dulu. Tolong cariin buku hariannya Kia. Nanti, kalau udah ketemu langsung cari saya di kamar, Bi." 

Bi Jem mengangguk. Aku berjalan ke kamar, membawa ikat pinggang milik Mas Dion yang ada bercak darah mengeringnya. Entah untuk apa ikat pinggang ini. 

Sebenarnya, aku penasaran sekali. Sikap Mas Dion yang aneh beberapa hari terakhir ini jadi teka-teki. Aku merasa, ada yang disembunyikan Mas Dion soal Kia. 

Polisi juga belum memberi kabar sama sekali. Padahal, aku sudah menanti. Aku ingin marah pada orang yang sudah menabrak anakku. Aku ingin orang itu mendapatkan balasan yang setimpal atas meninggalnya Kia.

Langkahku terhenti, ketika ponsel berdering. Mas Dion menelepon. Aku menggeser tombol berwarna hijau. Menunggunya menyapa duluan. 

"Halo, Via. Kamu ada uang, gak? Aku mau pinjam."

"Uang untuk apa, Mas? Kita lagi banyak kebutuhan, kamu malah mau minjam."

"Sedikit aja. Besok aku ganti, berkali-kali lipat, Vi. Kamu tenang aja."

Keningku mengernyit. Agak aneh dengan kalimat Mas Dion. Dia akan menggantinya berkali-kali lipat? Padahal, dia gajian masih lama. Ini saja baru tanggal sepuluh. 

"Sayang? Kamu masih ada di sana, 'kan?" 

"Iya. Butuh berapa, Mas?" tanyaku pelan. 

Jujur saja, aku tidak bisa menolak untuk meminjamkan uang pada Mas Dion. Mungkin, dia mau membayar tagihan rumah sakit Mamanya atau ada keperluan di perusahaan. 

Mas Dion menyebutkan nominal. Tidak terlalu banyak, tapi itu juga tidak sedikit. Aku menghela napas pelan. Mas Dion memang sering meminjam uang dan benar dia mengembalikannya berkali-kali lipat lebih banyak keesokan harinya. 

Entah darimana uang itu. Aku juga tidak mengerti, tapi Mas Dion selalu bilang kalau uang itu halal. Dia tidak mungkin memberikan uang haram. 

Ah, aku jadi galau sendiri. 

"Yaudah, nanti aku kirim ke rekening Mas."

Aku kembali melanjutkan langkah, setelah Mas Dion mematikan telepon. Sesekali, aku melirik ikat pinggang di tangan. 

Lemari pakaian terbuka. Aku meletakkan ikat pinggang di samping pakaian yang tergantung, kemudian memungut pakaian Mas Dion yang terjatuh. 

"Eh?" Aku terkejut melihat ada yang terjatuh. 

Melihat ada foto yang terjatuh, aku langsung memungutnya. Foto itu ada di kantong pakaian Mas Dion. Saat menatap foto di tangan, aku terdiam sejenak. Seperti tidak asing dengan wanita yang ada di foto ini. 

"Ini Bu Widya, 'kan?" gumamku sendiri. Aku menyalakan senter ponsel, menatap foto ini lekat. Benar, wajah di foto ini sama dengan wanita yang datang tadi malam. 

Jantungku berdetak kencang. Ada rahasia di antara Bu Widya dan Mas Dion. Bau amis darah tercium. Aku menatap sekeliling. Membaca doa pendek. 

Pandanganku terhenti ke gorden putih yang berkibar-kibar. Padahal, di luar sedang panas sekali dan kipas angin sedang tidak menyala. 

Aku melangkah pelan, mendekati gorden itu. Jantungku sejak tadi berdetak tidak karuan, bau amis darah menguar, memenuhi kamar. 

"Siapa di sana?" tanyaku pelan. 

Deg. 

Serasa ada yang memegang lenganku. Ada angin kencang lewat barusan, aku menoleh ke kanan, tidak ada siapa pun. 

Terdengar suara ketukan. Aku menelan ludah, mencari sumber suara. Ketukan itu semakin kencang. Aku menatap jendela, itu sumbernya. 

Tok! Tok! Tok!

Suaranya semakin kencang, tapi tidak kelihatan ada orang di sana. Aku melangkah semakin dekat. Jantungku seperti berhenti berdetak, ketika ada sosok hitam lewat. 

"Sakit, Pa. Sakit." 

Terdengar suara Kia. Aku menelan ludah, suara itu terdengar menyakitkan. Membuat suasana lebih horor. Aku mengusap lengan. 

"Sakit, Pa." 

Suara itu berdengung di telingaku. Aku menutup telinga, berharap suara itu berhenti secepatnya. Entah kenapa, aku bisa merasakan penderitaan Kia. 

Sakit, pedih, panas. Semuanya bercampur. Lalu dia menyebutkan Papanya. Aku membaca ayat kursi, berharap gangguan ini segera hilang. 

Beberapa menit, akhirnya suara itu berhenti. Aku mengusap peluh di dahi. Apakah Mas Dion pernah menyiksa Kia? Ah, kenapa aku tidak mengetahuinya?

Pandanganku kembali teralih ke foto yang ada di tangan. Apa hubungannya Mas Dion dan Bu Widya ini? 

Terdengar isak tangis di kamar Tifa. Aku berdiri, bergegas ke kamar Tifa, meskipun masih lemas. Ada beberapa mainan di sana, padahal saat Tifa tidur tadi, dia tidak membawa mainan apa pun. 

"Anak Mama kenapa?" tanyaku sambil menggendong Tifa. 

Tangisnya mulai reda. Mata Tifa tidak berhenti melihat kanan-kiri. Seperti ada yang dicarinya. Aku mengusap punggung Tifa, mencium kening nya. 

"Tifa cari siapa, Nak? Papa belum pulang, nanti kalau mau ketemu Papa, ya." 

Tifa menoleh ke arahku. Kali ini, dia menatapku cukup lama, matanya merah, karena menangis tadi. Aku tersenyum lembut, mengusap pipi Tifa. 

"Kak Kia." 

Eh? Pandanganku kembali teralih ke mainan di atas kasur. Tifa tidak mungkin membawa mainan ini sendirian, tapi lebih tidak mungkin kalau yang membawanya Kia. 

"Bu." 

Aku menoleh, Bi Jem sudah berdiri di depan kamar. Di tangan Bi Jem ada buku aku menatap cukup lama. Kemudian menyuruh Bi Jem masuk. 

"Ini buku hariannya Non Kia, Bu." 

***

Jangan lupa like dan komen, yaa. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status