"Kami pamit, Nek."Meskipun masih banyak pertanyaan di kepalaku, tapi aku tetap mengikuti Bang Gery dari belakang.Kami masuk ke dalam mobil. Bang Gery sempat menoleh ke aku sebentar, kemudian tersenyum. Dia menginjak pedal gas."Dion bakalan bunuh siapa aja yang menghalanginya. Termasuk kamu, Vi."Aku menganggukkan kepala. Jangankan aku, membunuh darah dagingnya saja, Mas Dion berani sekali."Abang serius bisa ke kampung itu? Kan, susah kalau mau kesana dengan metode manusia biasa.""Gampang itu, mah."Sikap Bang Gery cukup aneh, tapi aku tetap mengangguk saja. Biarkan dia mencobanya.Perjalanan yang cukup panjang sepertinya. Bahkan, di mobil ini Bang Gery sudah siap sedia makanan.Mobil memasuki wilayah pemakaman umum. Aku mengernyit, menatap area sekitar. Ini tempat makam Kia dan Tifa. Ada apa?"Hubungi Dion dulu, biar dia gak curiga, Dek."Aku menoleh, kemudian mengangguk. Menghubungi Mas Dion dengan ponsel yang diberikan Nenek itu. Terdengar nada sambung."Halo, Sayang.""Halo, M
"Orang penting, maksudnya bagaimana, Nek?" Nenek itu tersenyum. Dia beranjak. "Kalian tanya saja sendiri. Nenek ke belakang dulu. Masih ada kerjaan. Anggap rumah sendiri, ya, Nak. Kalau mau istirahat langsung ke kamar aja. Jangan malu-malu."Setelah Nenek itu pergi, aku menoleh ke Bang Gery. Dia harus menjelaskan semuanya, lengkap dan detail. "Ya, kayak kata Nenek itu. Abang kunci di kampung ini, apalagi kalau ada masalah." Suara Babg Gery benar-benar kecil, untung tetap terdengar olehku. "Abang sebenarnya bisa saja menyembunyikan masalah ini, tapi karena si Dion menyebalkan itu, Abang sendiri harus turun tangan."Aku mengepalkan jemari, sedikit demi sedikit, aku bisa menyimpulkan semuanya. "Gak bakalan mudah, apalagi lawannya si Kakek itu. Tapi Abang pernah lawan dia sekali kalau gak salah dan itu seri. Gak ada yang menang atau kalah. Udah biasa di kompetisi itu, mah.""A—apa Bang Gery asli kampung ini? Abang bukan manusia biasa?" tanyaku pelan. Wajah Bang Gery tampak terkejut.
"Nyumput, Vi." Bang Gery menarik tanganku. Kamu bersembunyi di bawah meja. Pintu terbuka. Ada cahaya masuk, terdengar langkah kaki. Aku menelan ludah, jangan sampai kami ketahuan di sini. "Mana, ya, ditaruh." Terdengar benda beruntung jatuh. Aku tersentak sendiri. Jantungku berdegup kencang, seperti sedang menguji mental di sini. Bang Gery memegangi tanganku. Ini salah kami, kenapa juga berkunjung ke rumah Mama sekarang. Benar-benar berbahaya. Hampir setengah jam kami di sini dan Mas Dion belum juga keluar. Aku mengembuskan napas berkali-kali, kesal. "Ah, akhirnya." Terdengar suara senang di sana. Aku dan Bang Gery berpandangan. Apa yang Mas Dion dapatkan? Kenapa terdengar senang sekali?Mas Dion bergegas pergi setelahnya. Pintu ditutup, kami keluar dari meja itu. Untung tidak ketahuan. Jangan sampai kami ketahuan sebelum waktunya. Begitu kata Bang Gery. Bisa-bisa, kami kalah dari Mas Dion. "Dia ngambil padi itu. Ah, kenapa tadi aku gak sembunyiin berasnya."Aku mendekati Ban
"Kasihan, ya. Mayatnya sampai gak berbentuk kayak gitu. Serem lihatnya."Terdengar bisikan tetangga. Bukan satu kali lagi aku dengar. Sudah banyak. Itu bukan bisikan, tapi terang-terangan.Aku masih terisak, membiarkan Mas Dion—suamiku menerima tamu. Meskipun sudah selesai pemakaman, tapi rasa sesak itu masih ada. Aku mengusap pipi. Menatap ke arah lain. "Via, ayo ke kamar. Udah sore. Tamu juga udah pulang semua."Aku menatap Mas Dion. Dia tersenyum padaku. Tidak ada rasa sedih di matanya. Ah, atau dia hanya berpura-pura di hadapanku?"Tapi Kia gimana, Mas? Dia sendirian di sana."Mas Dion memelukku. "Kia udah bahagia di sana, Sayang. Sudah, ya. Jangan terlalu dipikirin, nanti kamu sakit."Benar kata Mas Dion. Masih ada Tifa—anak keduaku yang butuh kasih sayang. Ah, aku tidak bisa terlalu terlarut dalam kesedihan. "Mas ke rumah sakit sebentar, ya. Jenguk Mama dulu. Kamu jangan kemana-mana, Sayang. Sama Tifa aja di rumah."Aku menganggukkan kepala. Mengantar Mas Dion ke depan. "Jan
"Kia yang tenang di sana, ya, Nak. Jangan ganggu siapa-siapa di sini. Mama udah ikhlas, Nak." Jantungku berdegup kencang sekali. Napasku tersengal. Sekilas, ada bayangan anak kecil di kamar Kia.Tanganku memegang erat pintu. Menutup mata dengan satu tangan. Jujur saja, ini menakutkan. "Mama? Mama kenapa teriak-teriak?" Eh? Aku membuka mata. Mendapati Tifa yang berdiri di hadapanku. Depan kamar Kia. Aku mengusap dada. Langsung menggenggam tangan Tifa keluar dari kamar Kia. "Tifa ngapain ke kamar Kak Kia, Sayang?" Baru saja ditinggal sebentar ke ruang tamu, Tifa malah pergi ke kamar Kia. Harusnya, ada saudara yang menemaniku. Sayangnya, semua bilang pada sibuk. Banyak alasan, langsung pulang setelah Kia dimakamkan. Mas Dion juga harus menjaga Mamanya yang dirawat di rumah sakit, karena serangan jantung ringan. Mama langsung sakit, ketika mendengar kabar Kia meninggal. Jadinya, tidak ada yang membantuku di sini. Menjaga dan mengurus Tifa sendirian. "Ayo, Tifa tidur. Udah malam
"Kamu bicara sama siapa, Sayang?" Aku menoleh. Mendapati Mas Dion yang berdiri di depan pintu kamar Kia. "Tadi aku bicara sama—"Pandanganku kembali beralih ke luar jendela kamar. Tidak ada siapa pun di sana. "Sama siapa?" Tidak. Aku menggelengkan kepala. Tadi, jelas-jelas aku melihat Kia. Dia tersenyum padaku. Berdiri di depan jendela kamar. Ah, atau ini hanya halusinasiku? Aku mengusap wajah, lalu berbalik. Memasang wajah biasa saja, agar Mas Dion tidak khawatir. "Kamu udah selesai sarapan, Mas?""Belum. Berhenti gara-gara kamu bicara sama orang."Aku tersenyum tipis. Menutup pintu kamar Kia. Berjalan di belakang Mas Dion. Hari ini, pembantuku datang. Membantu untuk tahlilan nanti malam. Sebelumnya, sedang pulang kampung. Aku menatap kursi yang biasanya setiap pagi ditempati oleh Kia. Sekarang, kursi itu kosong. "Mama." Astaghfirullah. Aku terlonjak. Sedikit kaget, ketika melihat Kia sekilas duduk di kursi itu. "Kenapa, Via?" Aku mengusap wajah, kemudian menggelengkan k
"Siapa yang melempar kertas ini?" Aku mencium kertas itu. Bau amis. Benar, ini ditulis menggunakan darah. Masih baru sekali. Kejadian tadi pagi teringat kembali. Saat piring Mas Dion ada darahnya. Aku bergidik ngeri. "Kia benci Papa?" Sekali lagi aku membaca tulisan itu. Sedikit aneh. Apa maksudnya? Atau malah ada yang mengisengi keluargaku?Aku mengusap wajah, melipat kertas itu, kemudian memasukkannya ke dalam kantong celana. "Mama, Mama."Eh? Aku buru-buru berjalan ke ruang keluarga. Tifa barusan memanggilku. "Kenapa, Sayang?" tanyaku sambil jongkok, menatap Tifa yang sedang bermain boneka. Tifa menunjuk-nunjuk lantai. Aku mengernyit, menatap jejak kaki seukuran anak kecil. Jejak kaki itu seperti bekas tanah. Aku mencolek bekas jejak kaki itu, menciuminya. Benar, itu bekas tanah. Tapi siapa yang berani masuk ke ruang keluarga? Lalu ini jejak anak kecil?***Terdengar ketukan pintu di depan. Aku buru-buru keluar dari kamar Tifa. Membukakan pintu. "Assalammualaikum, Adek."
"Mama, Kia sakit."Terdengar rintihan itu lagi. Aku menutup mulut, pandanganku tak lepas menatap anak kecil itu. Siapa anak kecil ini? Kenapa pakaiannya penuh dengan darah?"Tolong, Ma. Sakit."Aku mundur satu langkah. Menelan ludah, menatap anak kecil yang terus merintis itu. Suaranya suaranya benar-benar mirip dengan Kia.Ah, apakah janji hanya halusinasiku? Atau anak ini benar-benar nyata? Tapi siapa dia? Kenapa ada di depan rumahku?Dengan langkah pelan, aku mendekat. Menatap anak kecil itu cukup lama. Dia terus-terusan meringis. Aku mengusap tengkuk, mengedarkan pandangan sebentar. Tidak ada siapa-siapa di sini. Bahkan, tetangga yang biasanya ramai di jalan, tidak ada. Gemetar tanganku terangkat, hendak menepuk pundak anak kecil ini. Dari postur tubuhnya, mirip sekali dengan Kia. "Tolongin Kia, Mama."Tubuhku menegang mendengarnya. Kia? Mama? Belum sempat aku menjawab, ada kucing yang lompat ke wajahku. Dia hampir mencakar. Menatapku galak.Aku langsung berdiri setelah terje