Share

Misteri Guru Kia

Author: Rahma La
last update Last Updated: 2022-06-14 21:55:04

"Ini kenapa pakaian Kia penuh darah?" 

Aku bergumam, sambil memasukkan sampah kembali ke dalam kantong hitam. 

Ah, ada benda aneh lagi. Aku mengangkat benda itu, menatapnya tajam. 

"Pakaian Mas Dion." 

Namun, pakaian Mas Dion tidak bersimbah darah. Pakaiannya sobek-sobek. Pantas saja tidak ada dicucian. 

Bergantian aku menatap pakaian Kia dan Mas Dion. Yang satu bersimbah darah, yang satu lagi sobek-sobek. 

Apakah ini ada hubungannya dengan meninggalnya Kia?

Aku menggelengkan kepala. Buru-buru memasukkan sampah ke dalam kantong hitam, kemudian merapikannya sama seperti semula. 

Sebentar lagi, Mas Dion mandi. Jangan sampai dia melihat aku mengambil dua pakaian ini. 

Kedua pakaian itu, aku simpan di kamar Kia. Biar Mas Dion tidak tahu. 

Ah, harusnya pakaian Kia dicuci dulu. Biar tidak bau amis lagi. Baunya benar-benar tidak enak. 

Mas Dion sepertinya sudah mandi. Aku bergegas keluar kamar, menatap Mas Dion. 

Entah kenapa, ada yang berbeda di diri Mas Dion. Tatapannya berbeda. Ada yang disembunyikannya dariku. 

"Kamu gak buka kantong hitam itu, 'kan?" 

Aku menggelengkan kepala. Wajah Mas Dion pucat. Dia sepertinya sedang mencari sesuatu di kantong hitam itu. 

"Kamu cari apa, Mas?" tanyaku pura-pura tidak tahu. 

Pasti Mas Dion mencari pakaian Kia dan pakaiannya. 

"Eh? Enggak, gak nyari apa-apa. Aku mau buang ini, siapa tahu ada yang keselip barang berharga."

Ah, alasan. Aku menatap Mas Dion. Dia kikuk memasukkan kembali sampah ke dalam kantong plastik. 

Entah apa yang kamu sembunyikan dariku, Mas. Yang perlu kamu tahu, rahasia yang disembunyikan, pasti akan terbongkar. 

***

Ini sudah malam, setengah jam lagi tahlilan. Aku berjalan ke ruang tamu, mengecek bagian sana. 

Sampai di depan, langkahku langsung memelan. Seorang wanita dengan pakaian hitam-hitam duduk di sofa. Dia tampak menunduk. 

Sepertinya tamu. Aku melanjutkan langkah, kenapa tidak ada suara?

"Maaf, Bu. Sudah menunggu dari tadi, ya?" 

Orang itu masih saja menunduk. Aku tersenyum, duduk di seberangnya. 

"Bi Jem, ambil minuman, ya." Aku melihat Bi Jem yang berdiri di ruang tengah. 

"Eh?" Bi Jem menatapku aneh. "Buat siapa, Bu?" 

"Buat tamu. Cepetan, ya, Bi."

Bi Jem langsung mengangguk, berjalan ke dapur. Masa tidak sadar ada tamu sejak tadi. Aku menggelengkan kepala, meminta maaf. 

Belum sempat berbicara, Bi Jem sudah kembali. Di belakang memang sudah ada minuman, siap disuguhkan untuk tamu. 

"Ini minumannya, Bu." Bi Jem meletakkan dua gelas minuman, di hadapanku. 

"Tamunya di sana, Bi. Masa ngasihnya ke saya." Aku tertawa pelan. 

Bi Jem menatapku aneh, tapi dia mengangguk saja. Meletakkan gelas di depan tamu. 

"Saya ke belakang, ya, Bu. Kalau ada apa-apa, teriak aja."

Aku mengernyit, agak aneh dengan kalimat Bi Jem, tapi buru-buru mengangguk. Bi Jem langsung kembali ke belakang setelah itu. 

Sebenarnya, aku belum tahu yang datang ini siapa. Temanku sudah datang semua kemarin, ditambah hari ini. Saudara juga. Tidak mungkin datang lagi. 

"Saya gurunya Kia."

Deg.

Tiba-tiba saja, wanita itu mendongak. Aku menelan ludah, ketika melihat wajahnya. Terlihat pucat. 

Dia mengulurkan tangan. "Widya."

Buru-buru aku mengangguk, membalas uluran tangannya. "Saya Via, Ibunya Kia."

Saat tangan kami bersentuhan, aku menelan ludah. Dingin sekali. Seperti habis masuk lemari pendingin.

Udara juga berbeda sekali. Aku mengusap tengkuk, buru-buru melepaskan tangan. 

"Saya turut berduka cita." Dia berkata datar, menatapku kosong.

Aku menganggukkan kepala, agak kikuk dengan gurunya Kia. "Kalau Kia ada salah, tolong dimaafkan, Bu."

Dia tersenyum tipis, tapi malah membuatnya terlihat lebih menyeramkan di mataku. 

"Saya yang punya banyak salah pada Kia."

Entah kenapa, ada sesuatu yang berbeda dari guru Kia ini. Aku mematikan kipas, sepertinya udara juga mulai dingin. 

Sebenarnya, aku hanya kenal wali kelas Kia. Tidak kenal dengan guru ini. Ah, mungkin Kia dekat dengan gurunya ini di sekolah. 

Maka nya, guru ini datang sendirian. Khusus untuk Kia.

"Kia anak yang baik. Dia bisa diandalkan." 

Ada bau-bau aneh. Aku jadi tidak bisa menyimak cerita gurunya Kia ini. Ah, sekarang jadi lebih terasa sesuatu yang berbeda. 

Bau bunga kantil. Aku mengusap hidung. Suasana yang cukup aneh.

"Tapi dia lebih sering kesakitan di sekolah." Suara itu terdengar gemetar.

Kali ini, aku menoleh serius ke Bu Widya. Kia sering kesakitan?

"Kesakitan bagaimana, Bu?" 

"Dia selalu bilang sama saya, sakit di pergelangan tangan. Seperti panas. Dua minggu sekali di sekolah."

Nada Bu Widya datar sekali. Jadi terdengar menyeramkan. 

Selanjutnya, kami membahas soal Kia. Bu Widya tahu banyak. Dia katanya bersahabat baik dengan Kia. 

Ah, Kia benar-benar dekat dengan guru di sekolah. 

"Saya permisi," katanya terburu-buru. Aku mengangguk, hanya mengantarkan sampai ke halaman rumah. 

Eh? Aku mengernyit, ketika mendapati buku tulis yang tertinggal di atas meja. Sepertinya, milik Bu Widya. 

Namun, saat melihat namanya, ternyata nama Kia. 

Mungkin, buku ini memang sengaja ditinggal. Milik Kia. Aku mengangkat bahu, bersiap-siap untuk tahlilan. 

***

Mas Dion sudah ke rumah sakit kembali. Menjaga Mamanya. Ini hari terakhir Mas Dion mengambil cuti. 

Masih pagi sekali. Aku menatap foto Kia. Sungguh, aku merindukan Kia. Tifa bermain di lantai, sesekali tertawa sendiri. 

"Assalammualaikum." 

Terdengar ramai sekali di halaman rumah. Aku berjalan ke depan, menggendong Tifa. Tersenyum melihat teman-teman dan wali kelas Kia. 

"Waalaikumsalam. Ayo masuk, Bu, anak-anak." 

"Maaf baru bisa datang, Bu. Saya turut berduka cita atas kejadian yang menimpa Kia. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah. Semoga Ibu dan keluarga diberikan ketabahan."

Aku mengangguk. Nah, ini Bu Septi—wali kelas Kia. Sering ketemu di sekolah. 

Kembali lagi aku membicarakan soal Kia. Meminta maaf pada semuanya, kalau Kia ada kesalahan. 

Saat menoleh ke anak-anak, aku melihat Kia. Wajahnya penuh darah. Entah ini halusinasi atau bukan. 

Aku menelan ludah, membuang pandangan, ketika dia melambaikan tangan. Ah, aku berharap ini hanya halusinasi, kemudian dia cepat berlalu dari sana.

Tercium bau amis. Aku jadi tidak bisa menyimak perkataan Bu Septi lagi. 

Jantungku berdegup tidak karuan. Sesekali melihat ke arah anak-anak. Kia berada di antara mereka. 

Bersimbah penuh darah, pakaiannya juga. Rambutnya benar-benar terlihat kusut. Dia menatapku tersenyum. Juga menatap Tifa. 

"Mama, Kia sakit." 

Terdengar bisikannya. Aku menahan napas, sesekali membaca surat pendek dalam hati, juga ayat kursi. 

"Yaudah, Bu. Kami pamit dulu."

Seperti tertarik dari dunia lain, aku mengerjap-ngerjap, menatap Bu Septi. 

"Ah, iya. Sekali lagi saya terima kasih sudah datang kesini, Bu."

Bu Septi mengangguk. Dia mengajak anak-anak berdiri dan menyalimiku. 

Sebelum Bu Septi pergi, aku menahannya sebentar. 

"Kalau Bu Widya mengajar apa di sekolah, ya, Bu?" 

Siapa tahu nanti aku bisa menemui Bu Widya, kalau ke sekolah Kia. 

Bu Septi terdiam mendengar perkataanku. Anak-anak yang mendengar malah bisik-bisik. 

"Tidak ada yang namanya Bu Widya di sekolah, Bu." 

Wajahku memucat mendengarnya. "Tapi tadi Bu Widya datang kesini. Cerita banyak soal Kia."

Kali ini, Bu Septi ikutan pucat. 

"Mungkin guru SD-nya Kia, Bu." 

"Bu Widya bilangnya guru SMP, Bu." 

Bu Septi mengusap wajahnya. Dia menatapku. 

"Ada satu guru namanya Bu Widya."

Ah, memang ada. Aku sudah yakin itu. Tidak mungkin aku salah. 

"T—tapi itu satu tahun yang lalu. Bu Widya dibunuh di sekolah, Bu. Pakaiannya penuh darah, juga wajahnya."

***

Ada yang bisa narik benang merahnyaa? 

Jangan lupa like dan komennnn

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Ledakan Berbahaya

    "Nyumput, Vi." Bang Gery menarik tanganku. Kamu bersembunyi di bawah meja. Pintu terbuka. Ada cahaya masuk, terdengar langkah kaki. Aku menelan ludah, jangan sampai kami ketahuan di sini. "Mana, ya, ditaruh." Terdengar benda beruntung jatuh. Aku tersentak sendiri. Jantungku berdegup kencang, seperti sedang menguji mental di sini. Bang Gery memegangi tanganku. Ini salah kami, kenapa juga berkunjung ke rumah Mama sekarang. Benar-benar berbahaya. Hampir setengah jam kami di sini dan Mas Dion belum juga keluar. Aku mengembuskan napas berkali-kali, kesal. "Ah, akhirnya." Terdengar suara senang di sana. Aku dan Bang Gery berpandangan. Apa yang Mas Dion dapatkan? Kenapa terdengar senang sekali?Mas Dion bergegas pergi setelahnya. Pintu ditutup, kami keluar dari meja itu. Untung tidak ketahuan. Jangan sampai kami ketahuan sebelum waktunya. Begitu kata Bang Gery. Bisa-bisa, kami kalah dari Mas Dion. "Dia ngambil padi itu. Ah, kenapa tadi aku gak sembunyiin berasnya."Aku mendekati Ban

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Mas Dion di Kampung Kematian

    "Orang penting, maksudnya bagaimana, Nek?" Nenek itu tersenyum. Dia beranjak. "Kalian tanya saja sendiri. Nenek ke belakang dulu. Masih ada kerjaan. Anggap rumah sendiri, ya, Nak. Kalau mau istirahat langsung ke kamar aja. Jangan malu-malu."Setelah Nenek itu pergi, aku menoleh ke Bang Gery. Dia harus menjelaskan semuanya, lengkap dan detail. "Ya, kayak kata Nenek itu. Abang kunci di kampung ini, apalagi kalau ada masalah." Suara Babg Gery benar-benar kecil, untung tetap terdengar olehku. "Abang sebenarnya bisa saja menyembunyikan masalah ini, tapi karena si Dion menyebalkan itu, Abang sendiri harus turun tangan."Aku mengepalkan jemari, sedikit demi sedikit, aku bisa menyimpulkan semuanya. "Gak bakalan mudah, apalagi lawannya si Kakek itu. Tapi Abang pernah lawan dia sekali kalau gak salah dan itu seri. Gak ada yang menang atau kalah. Udah biasa di kompetisi itu, mah.""A—apa Bang Gery asli kampung ini? Abang bukan manusia biasa?" tanyaku pelan. Wajah Bang Gery tampak terkejut.

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Bang Gery Sebenarnya adalah ....

    "Kami pamit, Nek."Meskipun masih banyak pertanyaan di kepalaku, tapi aku tetap mengikuti Bang Gery dari belakang.Kami masuk ke dalam mobil. Bang Gery sempat menoleh ke aku sebentar, kemudian tersenyum. Dia menginjak pedal gas."Dion bakalan bunuh siapa aja yang menghalanginya. Termasuk kamu, Vi."Aku menganggukkan kepala. Jangankan aku, membunuh darah dagingnya saja, Mas Dion berani sekali."Abang serius bisa ke kampung itu? Kan, susah kalau mau kesana dengan metode manusia biasa.""Gampang itu, mah."Sikap Bang Gery cukup aneh, tapi aku tetap mengangguk saja. Biarkan dia mencobanya.Perjalanan yang cukup panjang sepertinya. Bahkan, di mobil ini Bang Gery sudah siap sedia makanan.Mobil memasuki wilayah pemakaman umum. Aku mengernyit, menatap area sekitar. Ini tempat makam Kia dan Tifa. Ada apa?"Hubungi Dion dulu, biar dia gak curiga, Dek."Aku menoleh, kemudian mengangguk. Menghubungi Mas Dion dengan ponsel yang diberikan Nenek itu. Terdengar nada sambung."Halo, Sayang.""Halo, M

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Target Berikutnya ....

    "Engga! Enggak mungkin Kia meninggal, Bang."Bang Gery memelukku. Dia membisikkan kalimat menguatkan. Ya Allah, dalam satu bulan ini, aku kehilangan dua orang yang berarti dalam hidupku. Kenapa ini bisa terjadi? Aku memegangi kepala, merasa gagal sebagai Ibu. "Ayo, pulang. Mayat Tifa udah di rumah. Kamu mau lihat Tifa yang terakhir kalinya atau enggak?" Aku mengangguk, Bang Gery membantu berdiri. Kami membayar administrasi terlebih dahulu, baru kemudian ke parkiran mobil. "Siapa yang ngambil mayat Tifa, Bang?" Bang Gery menoleh. "Dion."Mendengar nama itu disebut, aku memalingkan wajah. Aku tahu, ada yang Mas Dion lakukan. Pasti meninggalnya Tifa kali ini ada hubungannya dengan dia. "Ingat, sampai di rumah, kamu harus jaga emosi, ya. Jangan sampai keceplosan tentang kutukan kematian itu."Kami memang harus merahasiakan semua itu. Aku mengangguk, mengusap pipi. Masih belum percaya dengan kabar ini. Benarkah Tifa sudah meninggal?***Mobil berhenti di halaman rumahku. Banyak tetan

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Korban-Korban Akan Kembali Berjatuhan

    "Engga! Enggak mungkin Kia meninggal, Bang."Bang Gery memelukku. Dia membisikkan kalimat menguatkan. Ya Allah, dalam satu bulan ini, aku kehilangan dua orang yang berarti dalam hidupku. Kenapa ini bisa terjadi? Aku memegangi kepala, merasa gagal sebagai Ibu. "Ayo, pulang. Mayat Tifa udah di rumah. Kamu mau lihat Tifa yang terakhir kalinya atau enggak?" Aku mengangguk, Bang Gery membantu berdiri. Kami membayar administrasi terlebih dahulu, baru kemudian ke parkiran mobil. "Siapa yang ngambil mayat Tifa, Bang?" Bang Gery menoleh. "Dion."Mendengar nama itu disebut, aku memalingkan wajah. Aku tahu, ada yang Mas Dion lakukan. Pasti meninggalnya Tifa kali ini ada hubungannya dengan dia. "Ingat, sampai di rumah, kamu harus jaga emosi, ya. Jangan sampai keceplosan tentang kutukan kematian itu."Kami memang harus merahasiakan semua itu. Aku mengangguk, mengusap pipi. Masih belum percaya dengan kabar ini. Benarkah Tifa sudah meninggal?***Mobil berhenti di halaman rumahku. Banyak tetan

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Tifa Meninggal?

    "Nenek tau aja." Bang Gery nyengir, dia menggaruk kepala, bingung harus bereaksi apa. "Sudah mengenal tabiatmu. Juga kalian, Nak."Nenek itu menatap kami. Dia tersenyum penuh rahasia. "Nenek yakin, kalian bisa menghancurkan kutukan itu."Aku menghela napas lega. Kukira tadi, kami akan dimarahi atau paling parah diusir, apalagi Nenek itu terlihat emosian. "Kami pamit dulu, Nek. Terima kasih atas pinjaman senjatanya."Kami diantar sampai ke depan. Ketika keluar dari rumah itu, pintunya tertutup sendiri, membuatku lompat ke depan. Kaget sendiri."Duh, pintunya ngagetin. Kenapa bisa ketutup kayak gitu, sih. Nyebelin." Sari mendumal sendiri, dia membenarkan jilbabnya, berjalan duluan. "Namanya juga pintu rumah modern. Keren gitu."Bang Gery yang menjawab. Dia menyusulku dan Sari yang sudah duluan. Pistol itu, Bang Gery yang pegang. Aku masuk ke dalam mobil, mengembuskan napas lega. Sesuatu yang awalnya kami kira sulit, ternyata lumayan mudah. Aku membenarkan posisi duduk, Bang Gery sud

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status