Share

Misteri Guru Kia

"Ini kenapa pakaian Kia penuh darah?" 

Aku bergumam, sambil memasukkan sampah kembali ke dalam kantong hitam. 

Ah, ada benda aneh lagi. Aku mengangkat benda itu, menatapnya tajam. 

"Pakaian Mas Dion." 

Namun, pakaian Mas Dion tidak bersimbah darah. Pakaiannya sobek-sobek. Pantas saja tidak ada dicucian. 

Bergantian aku menatap pakaian Kia dan Mas Dion. Yang satu bersimbah darah, yang satu lagi sobek-sobek. 

Apakah ini ada hubungannya dengan meninggalnya Kia?

Aku menggelengkan kepala. Buru-buru memasukkan sampah ke dalam kantong hitam, kemudian merapikannya sama seperti semula. 

Sebentar lagi, Mas Dion mandi. Jangan sampai dia melihat aku mengambil dua pakaian ini. 

Kedua pakaian itu, aku simpan di kamar Kia. Biar Mas Dion tidak tahu. 

Ah, harusnya pakaian Kia dicuci dulu. Biar tidak bau amis lagi. Baunya benar-benar tidak enak. 

Mas Dion sepertinya sudah mandi. Aku bergegas keluar kamar, menatap Mas Dion. 

Entah kenapa, ada yang berbeda di diri Mas Dion. Tatapannya berbeda. Ada yang disembunyikannya dariku. 

"Kamu gak buka kantong hitam itu, 'kan?" 

Aku menggelengkan kepala. Wajah Mas Dion pucat. Dia sepertinya sedang mencari sesuatu di kantong hitam itu. 

"Kamu cari apa, Mas?" tanyaku pura-pura tidak tahu. 

Pasti Mas Dion mencari pakaian Kia dan pakaiannya. 

"Eh? Enggak, gak nyari apa-apa. Aku mau buang ini, siapa tahu ada yang keselip barang berharga."

Ah, alasan. Aku menatap Mas Dion. Dia kikuk memasukkan kembali sampah ke dalam kantong plastik. 

Entah apa yang kamu sembunyikan dariku, Mas. Yang perlu kamu tahu, rahasia yang disembunyikan, pasti akan terbongkar. 

***

Ini sudah malam, setengah jam lagi tahlilan. Aku berjalan ke ruang tamu, mengecek bagian sana. 

Sampai di depan, langkahku langsung memelan. Seorang wanita dengan pakaian hitam-hitam duduk di sofa. Dia tampak menunduk. 

Sepertinya tamu. Aku melanjutkan langkah, kenapa tidak ada suara?

"Maaf, Bu. Sudah menunggu dari tadi, ya?" 

Orang itu masih saja menunduk. Aku tersenyum, duduk di seberangnya. 

"Bi Jem, ambil minuman, ya." Aku melihat Bi Jem yang berdiri di ruang tengah. 

"Eh?" Bi Jem menatapku aneh. "Buat siapa, Bu?" 

"Buat tamu. Cepetan, ya, Bi."

Bi Jem langsung mengangguk, berjalan ke dapur. Masa tidak sadar ada tamu sejak tadi. Aku menggelengkan kepala, meminta maaf. 

Belum sempat berbicara, Bi Jem sudah kembali. Di belakang memang sudah ada minuman, siap disuguhkan untuk tamu. 

"Ini minumannya, Bu." Bi Jem meletakkan dua gelas minuman, di hadapanku. 

"Tamunya di sana, Bi. Masa ngasihnya ke saya." Aku tertawa pelan. 

Bi Jem menatapku aneh, tapi dia mengangguk saja. Meletakkan gelas di depan tamu. 

"Saya ke belakang, ya, Bu. Kalau ada apa-apa, teriak aja."

Aku mengernyit, agak aneh dengan kalimat Bi Jem, tapi buru-buru mengangguk. Bi Jem langsung kembali ke belakang setelah itu. 

Sebenarnya, aku belum tahu yang datang ini siapa. Temanku sudah datang semua kemarin, ditambah hari ini. Saudara juga. Tidak mungkin datang lagi. 

"Saya gurunya Kia."

Deg.

Tiba-tiba saja, wanita itu mendongak. Aku menelan ludah, ketika melihat wajahnya. Terlihat pucat. 

Dia mengulurkan tangan. "Widya."

Buru-buru aku mengangguk, membalas uluran tangannya. "Saya Via, Ibunya Kia."

Saat tangan kami bersentuhan, aku menelan ludah. Dingin sekali. Seperti habis masuk lemari pendingin.

Udara juga berbeda sekali. Aku mengusap tengkuk, buru-buru melepaskan tangan. 

"Saya turut berduka cita." Dia berkata datar, menatapku kosong.

Aku menganggukkan kepala, agak kikuk dengan gurunya Kia. "Kalau Kia ada salah, tolong dimaafkan, Bu."

Dia tersenyum tipis, tapi malah membuatnya terlihat lebih menyeramkan di mataku. 

"Saya yang punya banyak salah pada Kia."

Entah kenapa, ada sesuatu yang berbeda dari guru Kia ini. Aku mematikan kipas, sepertinya udara juga mulai dingin. 

Sebenarnya, aku hanya kenal wali kelas Kia. Tidak kenal dengan guru ini. Ah, mungkin Kia dekat dengan gurunya ini di sekolah. 

Maka nya, guru ini datang sendirian. Khusus untuk Kia.

"Kia anak yang baik. Dia bisa diandalkan." 

Ada bau-bau aneh. Aku jadi tidak bisa menyimak cerita gurunya Kia ini. Ah, sekarang jadi lebih terasa sesuatu yang berbeda. 

Bau bunga kantil. Aku mengusap hidung. Suasana yang cukup aneh.

"Tapi dia lebih sering kesakitan di sekolah." Suara itu terdengar gemetar.

Kali ini, aku menoleh serius ke Bu Widya. Kia sering kesakitan?

"Kesakitan bagaimana, Bu?" 

"Dia selalu bilang sama saya, sakit di pergelangan tangan. Seperti panas. Dua minggu sekali di sekolah."

Nada Bu Widya datar sekali. Jadi terdengar menyeramkan. 

Selanjutnya, kami membahas soal Kia. Bu Widya tahu banyak. Dia katanya bersahabat baik dengan Kia. 

Ah, Kia benar-benar dekat dengan guru di sekolah. 

"Saya permisi," katanya terburu-buru. Aku mengangguk, hanya mengantarkan sampai ke halaman rumah. 

Eh? Aku mengernyit, ketika mendapati buku tulis yang tertinggal di atas meja. Sepertinya, milik Bu Widya. 

Namun, saat melihat namanya, ternyata nama Kia. 

Mungkin, buku ini memang sengaja ditinggal. Milik Kia. Aku mengangkat bahu, bersiap-siap untuk tahlilan. 

***

Mas Dion sudah ke rumah sakit kembali. Menjaga Mamanya. Ini hari terakhir Mas Dion mengambil cuti. 

Masih pagi sekali. Aku menatap foto Kia. Sungguh, aku merindukan Kia. Tifa bermain di lantai, sesekali tertawa sendiri. 

"Assalammualaikum." 

Terdengar ramai sekali di halaman rumah. Aku berjalan ke depan, menggendong Tifa. Tersenyum melihat teman-teman dan wali kelas Kia. 

"Waalaikumsalam. Ayo masuk, Bu, anak-anak." 

"Maaf baru bisa datang, Bu. Saya turut berduka cita atas kejadian yang menimpa Kia. Semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah. Semoga Ibu dan keluarga diberikan ketabahan."

Aku mengangguk. Nah, ini Bu Septi—wali kelas Kia. Sering ketemu di sekolah. 

Kembali lagi aku membicarakan soal Kia. Meminta maaf pada semuanya, kalau Kia ada kesalahan. 

Saat menoleh ke anak-anak, aku melihat Kia. Wajahnya penuh darah. Entah ini halusinasi atau bukan. 

Aku menelan ludah, membuang pandangan, ketika dia melambaikan tangan. Ah, aku berharap ini hanya halusinasi, kemudian dia cepat berlalu dari sana.

Tercium bau amis. Aku jadi tidak bisa menyimak perkataan Bu Septi lagi. 

Jantungku berdegup tidak karuan. Sesekali melihat ke arah anak-anak. Kia berada di antara mereka. 

Bersimbah penuh darah, pakaiannya juga. Rambutnya benar-benar terlihat kusut. Dia menatapku tersenyum. Juga menatap Tifa. 

"Mama, Kia sakit." 

Terdengar bisikannya. Aku menahan napas, sesekali membaca surat pendek dalam hati, juga ayat kursi. 

"Yaudah, Bu. Kami pamit dulu."

Seperti tertarik dari dunia lain, aku mengerjap-ngerjap, menatap Bu Septi. 

"Ah, iya. Sekali lagi saya terima kasih sudah datang kesini, Bu."

Bu Septi mengangguk. Dia mengajak anak-anak berdiri dan menyalimiku. 

Sebelum Bu Septi pergi, aku menahannya sebentar. 

"Kalau Bu Widya mengajar apa di sekolah, ya, Bu?" 

Siapa tahu nanti aku bisa menemui Bu Widya, kalau ke sekolah Kia. 

Bu Septi terdiam mendengar perkataanku. Anak-anak yang mendengar malah bisik-bisik. 

"Tidak ada yang namanya Bu Widya di sekolah, Bu." 

Wajahku memucat mendengarnya. "Tapi tadi Bu Widya datang kesini. Cerita banyak soal Kia."

Kali ini, Bu Septi ikutan pucat. 

"Mungkin guru SD-nya Kia, Bu." 

"Bu Widya bilangnya guru SMP, Bu." 

Bu Septi mengusap wajahnya. Dia menatapku. 

"Ada satu guru namanya Bu Widya."

Ah, memang ada. Aku sudah yakin itu. Tidak mungkin aku salah. 

"T—tapi itu satu tahun yang lalu. Bu Widya dibunuh di sekolah, Bu. Pakaiannya penuh darah, juga wajahnya."

***

Ada yang bisa narik benang merahnyaa? 

Jangan lupa like dan komennnn

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status