"Mama, Kia sakit."
Terdengar rintihan itu lagi. Aku menutup mulut, pandanganku tak lepas menatap anak kecil itu. Siapa anak kecil ini? Kenapa pakaiannya penuh dengan darah?"Tolong, Ma. Sakit."Aku mundur satu langkah. Menelan ludah, menatap anak kecil yang terus merintis itu. Suaranya suaranya benar-benar mirip dengan Kia.Ah, apakah janji hanya halusinasiku? Atau anak ini benar-benar nyata? Tapi siapa dia? Kenapa ada di depan rumahku?Dengan langkah pelan, aku mendekat. Menatap anak kecil itu cukup lama. Dia terus-terusan meringis. Aku mengusap tengkuk, mengedarkan pandangan sebentar. Tidak ada siapa-siapa di sini. Bahkan, tetangga yang biasanya ramai di jalan, tidak ada. Gemetar tanganku terangkat, hendak menepuk pundak anak kecil ini. Dari postur tubuhnya, mirip sekali dengan Kia. "Tolongin Kia, Mama."Tubuhku menegang mendengarnya. Kia? Mama? Belum sempat aku menjawab, ada kucing yang lompat ke wajahku. Dia hampir mencakar. Menatapku galak.Aku langsung berdiri setelah terjengkang jatuh. Darimana kucing ini? Kenapa bisa ada di rumahku?Saat melihat tempat anak kecil tadi, sudah tidak ada. Aku menelan ludah, mengusap tengkuk. Kemudian buru-buru menutup pintu. Entah siapa yang aku lihat tadi. Itu menyeramkan. "Siapa yang nelepon, Bang?" tanyaku sambil menatap Bang Gery yang terlihat pucat. Dia baru saja kembali setelah ditelepon seseorang."Mama, Dek." Abangku itu mengusap wajah, menatapku panik. Bang Gery tampak gelisah. Dia mengambil jaketnya yang ada di atas kursi. Bersiap untuk pergi kembali. Sebenarnya masih banyak sekali pertanyaan ku. Apalagi mengenai rahasia yang dibilangnya tadi. "Kenapa sama Mama, Bang?" tanyaku sambil mengikuti Bang Gery yang berjalan ke depan rumah. Dia memakai kaos kaki dan sepatunya. Mama dan Papa cukup jauh dari tempatku tinggal. Bang Gery mengacak rambutnya. "Papa masuk rumah sakit, Dek," jawabnya pelan.Aku terpaku. Papa?Kemarin Papa datang kesini. Sehat, kenapa bisa masuk rumah sakit? Kenapa mendadak sekali? Papa sakit apa?Aku menatap Bang Gery tidak mengerti. Ini benar-benar aneh. Berita yang mendadak sekali."Ada yang mau mencelakai keluarga kita," bisik Bang Gery membuat jantungku berdegup kencang. "Abang minta, kamu hati-hati. Abang nyusul Papa dulu." Bang Gery menepuk pundak ku. Kemudian berjalan keluar rumah. Aku menelan ludah, mengangguk menjawab perkataan Bang Gery. "Jagain Mama sama Papa, Bang. Tolong, jangan sampai Via kehilangan siapapun dekat-dekat ini." Gemetar aku mengatakannya.Bang Gery menatapku mantap. "Pasti, kamu jaga diri sendiri, ya."Setelah mengantarkan Bang Gery, aku kembali masuk ke rumah. Berjalan ke kamar Tifa. Pandanganku terhenti ke foto keluarga yang diletakkan di atas meja. Mama merindukanmu, Kia. Ah, aku masih bingung. Maksud Bang Gery tadi. Ada yang bermaksud buruk pada keluargaku?***"Sayang, buka pintunya."Terdengar ketukan pintu di depan rumah. Aku berjalan cepat, membukakan pintu untuk Mas Dion. Saat pintu terbuka, bau tanah masuk ke penciumanku. Pakaian Mas Dion penuh tanah. Aku mengernyit melihatnya, menatap Mas Dion aneh."Kemarin kamu pulang bau busuk. Sekarang, kamu pulang penuh tanah. Kamu habis ngapain, sih, Mas?"Sungguh, aku tidak habis pikir dengan Mas Dion. Kenapa dari kemarin dia aneh?"Tolong siapin air hangat, Vi." Mas Dion tidak menjawab pertanyaan ku, malah menyuruh menyiapkan air.Meskipun aneh, aku tetap mengangguk. Menyiapkan air hangat untuk Mas Dion. Di dapur, Bi Jem—pembantuku sedang sibuk memasak untuk tahlilan nanti malam. Dibantu beberapa tetangga. Jadinya tidak terlalu sepi. Banyak sekali kejanggalan di sini. Benar-benar aneh. Aku menghubungi Bang Gery. Menanyakan kabar Papa."Stabil kondisinya, Dek. Jangan terlalu dipikirin." Suara Bang Gery terdengar tenang. Tidak seperti dia bicara di rumah denganku tadi."Serius, Bang?" tanyaku tidak percaya."Iya. Kamu fokus buat Kia, ya. Ikhlasin dia, doa yang banyak. Nanti, kalau Abang ada waktu, Abang ke rumah kamu lagi."Sebenarnya, aku masih penasaran soal rahasia yang disimpan oleh Bang Gery. "Soal rahasia itu, Bang—"Belum selesai aku berbicara, ponselku seperti dilempar oleh batu. Masuk ke dalam bak air. "Mama sakit, Ma. Panas."Aku berusaha mencari sumber suara. Terdengar rintihan. Pandanganku terhenti di kantong plastik berwarna hitam. Ada bau aneh di sana. Aku dari kemarin belum memeriksa isinya. Rencananya nanti aku suruh Mas Dion untuk membuangnya. Sengaja diletakkan di kamar mandi, agar tamu tidak merasa terganggu. Biasanya, kantong hitam besar itu diletakkan di dapur.Gemetar aku membuka kantong plastik berwarna hitam itu. Ada sesuatu yang membuatku tertarik membukanya. Bau amis tercium. Aku mengernyit. Hawa dingin mulai terasa. "Apa yang ada di dalam plastik ini?" gumamku sambil menatap isi kantong. Tidak ada yang mencurigakan. Aku menggelengkan kepala. Untuk apa mencari sesuatu yang tidak penting?Saat hampir berdiri, aku merasa ada yang memanggil kembali. "Mama, buka kantong itu."Aku tertahan kembali. Menatap kantong hitam. Entah suara tadi halusinasiku atau bukan. Itu benar-benar terdengar nyata. Baiklah. Periksa satu kali lagi. Hampir lima menit aku memeriksanya. Tidak ada apa-apa. Namun, tetap saja aku lanjutkan sampai sampah berhamburan di lantai.Jantungku seperti berhenti berdetak ketika melihat ada pakaian Kia di dalamnya. Pakaian yang penuh dengan darah, juga banyak sobekan di sana.Aku tidak salah lihat. Ya, ini pakaian Kia. Bersimbah penuh darah. Terdengar rintihan menyayat hati. "Sakit, Ma." ***Jangan lupa like dan komen, yaa. 1 bab nya 5000 karakter lebih, besok aku panjangin lagi."Ini kenapa pakaian Kia penuh darah?" Aku bergumam, sambil memasukkan sampah kembali ke dalam kantong hitam. Ah, ada benda aneh lagi. Aku mengangkat benda itu, menatapnya tajam. "Pakaian Mas Dion." Namun, pakaian Mas Dion tidak bersimbah darah. Pakaiannya sobek-sobek. Pantas saja tidak ada dicucian. Bergantian aku menatap pakaian Kia dan Mas Dion. Yang satu bersimbah darah, yang satu lagi sobek-sobek. Apakah ini ada hubungannya dengan meninggalnya Kia?Aku menggelengkan kepala. Buru-buru memasukkan sampah ke dalam kantong hitam, kemudian merapikannya sama seperti semula. Sebentar lagi, Mas Dion mandi. Jangan sampai dia melihat aku mengambil dua pakaian ini. Kedua pakaian itu, aku simpan di kamar Kia. Biar Mas Dion tidak tahu. Ah, harusnya pakaian Kia dicuci dulu. Biar tidak bau amis lagi. Baunya benar-benar tidak enak. Mas Dion sepertinya sudah mandi. Aku bergegas keluar kamar, menatap Mas Dion. Entah kenapa, ada yang berbeda di diri Mas Dion. Tatapannya berbeda. Ada yang d
"Bi, tadi malam pas Bibi antar minum yang saya minta, Bibi lihatnya tamunya perempuan, 'kan?" Bi Jem menoleh. Di dapur sedang sibuk sekali. Apalagi kemarin belum sempat cuci piring. Pembantuku itu menatap lekat. Wajahnya tampak berbeda. "Saya minta maaf sebelumnya, Bu. Pas tadi malam ngantar minuman untuk tamu yang Ibu bilang, saya sama sekali gak lihat siapa pun, Bu. Gak ada orang, maka nya saya agak aneh sama Ibu. Mungkin, kemarin hanya halusinasi Ibu saja." Wajahku memucat mendengarnya. Berarti siapa yang datang tadi malam? Bu Widya. Ah, wanita yang mengaku guru Kia itu benar-benar misterius. Aku menggelengkan kepala. Itu bukan halusinasi. Lalu apa tadi malam itu nyata? "Saya permisi dulu, Bu. Nanti, kalau ada yang mau Ibu tanyakan, panggil saya saja."Bi Jem pamit kembali bersih-bersih. Sedangkan aku berjalan ke kamar Kia. Pasti ada yang Kia sembunyikan, apalagi mengenai gurunya itu, Bu Widya. Aku membuka pintu kamar. Aroma parfum yang biasa dipakai Kia, tercium pekat. Ah, a
"Bukunya akhirnya ketemu juga. Bibi ketemu di mana?" tanyaku sambil membereskan mainan Tifa."Di bawah kolong tempat tidur, Bu. Saya juga gak tahu kenapa Non Kia meletakkan buku hariannya di sana." Bi Jem menatapku, menjelaskan dimana dia mendapatkan buku harian milik Kia. Aku mengangguk, menyuruh Bi Jem kembali ke dapur. Aku meletakkan mainan Tifa ke atas meja, kemudian duduk di tempat tidur. Tifa sedang anteng. Pelan sekali aku membuka halaman pertama. Kosong, tidak ada tulisan apa pun. Aku membuka halaman kedua. Ada foto Kia, sedang tersenyum di sana. Setelah halaman pertama, aku membuka halaman kedua. Kosong juga, tidak ada apa pun. Halaman ketiga juga begitu, aku menggaruk kepala, bingung dengan buku harian ini. "Kakak, kakak." Eh? Aku menoleh ke Tifa yang berteriak barusan. Pandanganku teralih ke arah yang ditunjuk oleh Tifa. Tidak ada siapa-siapa di sana. Sampai di halaman terakhir, aku menemukan foto Kia dan Bu Widya. Mereka berfoto bersama. Ada senyuman, tapi terlihat k
"Kia? Siapa Kia?" tanyanya sambil menoleh padaku. Aku mengernyit. Sosok di hadapanku ini bukan halusinasi, dia nyata. Namun, kenapa Kia tidak mengenalku?"Sayang, kamu lagi sama siapa?" tanya seseorang yang datang dari arah lain. Aku mengernyit, bergantian memandang Kia dan wanita paruh baya itu. "Gak tahu, Bu. Tiba-tiba datang."Wanita paruh baya itu menatapku aneh, dia langsung memegang kursi roda Kia. Dia melihatku seperti penjahat saja. "Maaf, ya, Bu. Kami orang susah, gak punya apa-apa. Jadi, jangan culik anak saya." Benar saja. Aku menatap Kia lekat-lekat, dia anakku. Tidak salah lagi, pandanganku teralih ke wanita paruh baya itu, siapa wanita ini? Kenapa Kia seolah-olah tidak mengenalku?"Saya dan anak saya permisi." Ibu itu membawa Kia pergi. Aku menatap ruangan yang dimasuki mereka. Sungguh, aku yakin sekali. Anak itu adalah Kia, aku akan bilang pada Bang Gery dulu. Saat ini, tidak ada bukti yang jelas, apalagi aku hanya sendirian. Ada perawat yang lewat. Aku buru-buru
"Sering banget Kak Widya cerita sama aku, dia tersiksa terus-terusan. Dia depresi." Aku terdiam membaca kalimat terakhir di buku itu dan juga kalimat bertinta merah darah. Mas Dion menghancurkan hidup Bu Widya? Apa hubungannya? Apakah Bu Widya punya masa lalu dengan Mas Dion? Ah, besok aku harus mengunjungi rumah Bu Widya. Bertanya pada keluarganya. Tidak perlu ditunda-tunda lagi, harus secepatnya. Misteri ini. Sedikit demi sedikit, semuanya mulai terbongkar. Ya, tidak usah terlalu cepat. Yang penting terbongkar semuanya. Kalau benar Mas Dion di balik kasus pembunuhan Bu Widya, aku tidak akan tinggal diam. Ya, semuanya harus diusut sampai tuntas. ***Ponselku berdering saat sedang sarapan. Mas Dion hari ini sudah mulai bekerja. Cutinya selesai. Mas Dion bekerja di sebuah perusahaan, dia jadi mandor. "Aku angkat telepon dulu, Mas."Dari kepolisian. Aku mengangkat teleponnya di dapur. Menyapa duluan, sepertinya ada kabar baik. "Selamat pagi, Bu. Ini Bu Via? Orang tua dari Ananda
"Kita mau kemana ini? Kok gelap banget?" bisik Sari ketika kami memasuki ruangan serba gelap.Aku mengangkat bahu. Tidak tahu juga, Nenek Bu Widya hanya diam saja. Memimpin jalan kami, entah kami diajak kemana.Pintu terbuka sendiri. Aku mundur satu langkah, melongo melihat pintu besar itu. Bisa terbuka sendiri ternyata."Pasti udah modern banget di sini. Pintu aja bisa kebuka sendiri." Sari sejak tadi berbisik.Kami ikut berhenti setelah melangkah jauh. Entah ruangan apa ini, tampak rumput yang memanjang di tembok.Aku mengusap tengkuk. Sedikit merinding. Hawa di sini berbeda sekali."Tunggu sebentar." Nenek Bu Widya berjalan meninggalkan kami.Sari mengajakku mengikutinya, tapi itu tidak mungkin. Nenek it
"Serius? Kok kamu bisa nebak yang jadi dalangnya adalah Dion? Kenapa?" tanya Sari seakan tidak percaya dengan perkataanku.Aku masih menatap foto di bingkai besar itu. Menghela napas pelan.Sekarang, memang tidak ada buktinya. Namun, bisa ditebak dengan mudah. Aku menelan ludah, menoleh ke Sari yang masih menatapku bertanya-tanya."Korban pertama, Kakaknya Mas Dion. Korban pertama yang dibencinya."Sambil menganalisis, aku berusaha mengingat perkataan Nenek tadi. Dia beberkan semua korbannya. Aku mengalihkan pandangan dari Sari, menatap foto di bingkai itu kembali."Korban kedua, orang yang paling dekat dengan orang kesayangan pelaku, Bu Widya." Aku mengusap wajah.Entah kenapa, aku merasa bersalah. Bu Sari tidak ada sangkut pautnya di sini, tapi dia juga ikut menjadi korban.
"Iya, Abang sebenarnya udah tahu. Abang tahu semuanya, Dek."Mendengar itu, pandanganku menjadi kosong. Benar saja. Bang Gery memang sudah tahu semuanya."Abang pernah peringatin kamu untuk jangan menikah dengan si Dion bukan?"Ingatanku kembali ke beberapa tahun yang lalu. Beberapa hari sebelum pernikahanku dan Mas Dion terjadi. Bang Gery memang sempat melarang.Bang Gery menatapku. Tatapannya penuh rasa bersalah."Saat kamu menikah dengan Gery. Saat itulah kutukan itu semakin besar."Aku menelan ludah. Bang Gery mengatakannya santai sekali, tapi di wajahnya ada kecemasan luar biasa."Kamu belum punya Kia, Abang peringatin terus. Abang gak mau kamu juga kena, Vi."Ah, ini salahku atau bagaimana? Kenapa aku bisa mengabaikan perkataan Bang Gery?"Kia juga udah tahu. Mengenai kutukan itu. Maka nya Abang bilang, kamu jangan sampai membenci kami, karena kurang memperingati kamu. Tidak terbuka.""Kutukan itu—" Mataku berkaca-kaca. "Sebenarnya kutukan apa, Bang?"Bang Gery tersenyum lembut.