Beranda / Thriller / Anakku Bermain dengan Siapa? / Anak Kecil di Luar Rumah

Share

Anak Kecil di Luar Rumah

Penulis: Rahma La
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-14 21:53:49

"Siapa yang melempar kertas ini?" 

 

Aku mencium kertas itu. Bau amis. Benar, ini ditulis menggunakan darah. Masih baru sekali. 

 

Kejadian tadi pagi teringat kembali. Saat piring Mas Dion ada darahnya. Aku bergidik ngeri. 

 

"Kia benci Papa?" 

 

Sekali lagi aku membaca tulisan itu. Sedikit aneh. Apa maksudnya? 

 

Atau malah ada yang mengisengi keluargaku?

 

Aku mengusap wajah, melipat kertas itu, kemudian memasukkannya ke dalam kantong celana. 

 

"Mama, Mama."

 

Eh? Aku buru-buru berjalan ke ruang keluarga. Tifa barusan memanggilku. 

 

"Kenapa, Sayang?" tanyaku sambil jongkok, menatap Tifa yang sedang bermain boneka. 

 

Tifa menunjuk-nunjuk lantai. Aku mengernyit, menatap jejak kaki seukuran anak kecil. Jejak kaki itu seperti bekas tanah. 

 

Aku mencolek bekas jejak kaki itu, menciuminya. Benar, itu bekas tanah. Tapi siapa yang berani masuk ke ruang keluarga? 

 

Lalu ini jejak anak kecil?

 

***

 

Terdengar ketukan pintu di depan. Aku buru-buru keluar dari kamar Tifa. Membukakan pintu. 

 

"Assalammualaikum, Adek." 

 

Kejutan. Aku langsung memeluk Bang Gery—abang kandungku.

 

"Kok sepi?" tanyanya ketika masuk ke rumahku. 

 

Aku mengangkat bahu. Membereskan mainan Tifa. Sebenarnya, aku juga merasa kesepian. Tidak ada yang menemani di saat paling rendah seperti ini. 

 

"Kamu lagi berduka atau gimana, Dek? Kenapa gak ada saudara yang nemenin?"

 

"Pada sibuk, Bang." 

 

Bang Gery menarik tanganku lembut. Menyuruh duduk. 

 

"Saudara Dion mana?" 

 

Mataku mulai berkaca-kaca. Teringat kejadian kemarin. Saat saudara Mas Dion benar-benar tidak peduli dengan meninggalnya Kia. 

 

Hanya kakak sepupu Mas Dion yang datang. Sendiri, itu saja langsung pulang. 

 

Sedangkan saudaraku yang lain sibuk sekali. 

 

"Terus suami kamu dimana?" 

 

Aku mendongak, menahan air mata. "Ke rumah sakit, Bang. Nemenin Mamanya."

 

Ah, aku teringat telepon Mama Mas Dion tadi pagi. Masih penasaran soal kejadian tadi malam. 

 

"Abang buru-buru banget, Dek. Langsung ke bandara, buat nemuin kamu."

 

Bang Gery memang kerja di Amerika. Dia tidak bisa langsung ke sini. Apalagi kabar duka kemarin sore-sore. 

 

Aku menatap Bang Gery. Sekarang, aku butuh bercerita dengan orang yang aku percaya. Dan Bang Gery adalah orangnya. 

 

"Eh, tapi Abang gak bisa lama-lama di sini. Mungkin tiga hari nemenin kamu, Abang langsung ke sana lagi."

 

Buru-buru aku mengangguk, tidak masalah. 

 

"Kamu kenapa? Kok kayak gak nyaman gitu?"

 

Aku berdeham. Baiklah, saatnya menceritakan kejadian aneh yang aku alami sejak tadi malam. 

 

Bang Gery menyimak. Sesekali, dia melebarkan mata, menatapku tidak percaya. 

 

"Kalau ini gak serius, Abang pasti bilang kamu bercanda, Dek."

 

Abangku mengusap wajah. "Tapi ini benar-benar serius."

 

"Via harus apa, Bang? Apa Kia di sana belum tenang?" 

 

"Kamu udah bicara sama Dion?"

 

Aku menggelengkan kepala. Baru Bang Gery yang tahu. Karena Mas Dion memang lumayan sibuk. 

 

"Boleh Abang lihat kertas darah tadi?" 

 

Mendengar itu, aku langsung merogoh kantong, mengeluarkan kertas bertuliskan darah. 

 

Bang Gery diam sejenak. Dia menghela napas pelan. 

 

"Abang tahu apa maksudnya, Dek."

 

Aku mengernyit. Menatap Bang Gery. 

 

"Sebenarnya, ini rahasia. Tapi memang sudah waktunya kamu tahu."

 

Perkataan Bang Gery itu membuatku semakin penasaran. Apa yang sebenarnya mereka sembunyikan dariku?

 

Bang Gery menghela napas pelan. Dia menatapku penuh luka. 

 

"Abang harap, kamu tidak pernah membenci Abang, apalagi Kia."

 

Eh? Aku mendadak merinding mendengar perkataan Bang Gery. 

 

Entah kenapa, jantungku berdetak kencang. Seperti akan terjadi sesuatu. 

 

"Sejak dulu, Abang ingin memberitahukan semuanya pada kamu. Tapi tidak jadi terus. Tidak sempat. Sekarang, sudah saatnya kamu tahu."

 

"Tahu apa, Bang? Apa yang Abang sembunyikan?" 

 

"Sebenarnya—"

 

Perkataan Bang Gery terhenti. Ponselnya berdering, dia menatapku sekilas. 

 

"Abang angkat telepon dulu."

 

Aku menganggukkan kepala. Menatap Bang Gery yang berdiri. Dia berjalan ke dapur. 

 

"Mama." 

 

Terdengar bisikan. Aku menoleh ke luar. Jantungku berdetak cepat. Bisikan itu seperti ditiupkan di telinga. 

 

"Mama."

 

Bisikan itu terdengar berkali-kali. Aku menelan ludah, berdiri untuk memastikan siapa yang ada di luar. 

 

"Ma, sakit, Ma." 

 

Sekarang, terdengar rintihan. Napasku memburu, berusaha menenangkan diri dengan mengembuskan napas berkali-kali. 

 

Jantungku seperti berhenti berdetak. Kakiku mendadak lemas melihat seorang anak kecil yang duduk di luar, dia duduk di pekarangan rumah. Pakaiannya penuh darah, rambutnya menutupi wajah. 

 

"Si—siapa kamu?"

 

***

 

Jangan lupa like dan komen, yaa.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Ledakan Berbahaya

    "Nyumput, Vi." Bang Gery menarik tanganku. Kamu bersembunyi di bawah meja. Pintu terbuka. Ada cahaya masuk, terdengar langkah kaki. Aku menelan ludah, jangan sampai kami ketahuan di sini. "Mana, ya, ditaruh." Terdengar benda beruntung jatuh. Aku tersentak sendiri. Jantungku berdegup kencang, seperti sedang menguji mental di sini. Bang Gery memegangi tanganku. Ini salah kami, kenapa juga berkunjung ke rumah Mama sekarang. Benar-benar berbahaya. Hampir setengah jam kami di sini dan Mas Dion belum juga keluar. Aku mengembuskan napas berkali-kali, kesal. "Ah, akhirnya." Terdengar suara senang di sana. Aku dan Bang Gery berpandangan. Apa yang Mas Dion dapatkan? Kenapa terdengar senang sekali?Mas Dion bergegas pergi setelahnya. Pintu ditutup, kami keluar dari meja itu. Untung tidak ketahuan. Jangan sampai kami ketahuan sebelum waktunya. Begitu kata Bang Gery. Bisa-bisa, kami kalah dari Mas Dion. "Dia ngambil padi itu. Ah, kenapa tadi aku gak sembunyiin berasnya."Aku mendekati Ban

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Mas Dion di Kampung Kematian

    "Orang penting, maksudnya bagaimana, Nek?" Nenek itu tersenyum. Dia beranjak. "Kalian tanya saja sendiri. Nenek ke belakang dulu. Masih ada kerjaan. Anggap rumah sendiri, ya, Nak. Kalau mau istirahat langsung ke kamar aja. Jangan malu-malu."Setelah Nenek itu pergi, aku menoleh ke Bang Gery. Dia harus menjelaskan semuanya, lengkap dan detail. "Ya, kayak kata Nenek itu. Abang kunci di kampung ini, apalagi kalau ada masalah." Suara Babg Gery benar-benar kecil, untung tetap terdengar olehku. "Abang sebenarnya bisa saja menyembunyikan masalah ini, tapi karena si Dion menyebalkan itu, Abang sendiri harus turun tangan."Aku mengepalkan jemari, sedikit demi sedikit, aku bisa menyimpulkan semuanya. "Gak bakalan mudah, apalagi lawannya si Kakek itu. Tapi Abang pernah lawan dia sekali kalau gak salah dan itu seri. Gak ada yang menang atau kalah. Udah biasa di kompetisi itu, mah.""A—apa Bang Gery asli kampung ini? Abang bukan manusia biasa?" tanyaku pelan. Wajah Bang Gery tampak terkejut.

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Bang Gery Sebenarnya adalah ....

    "Kami pamit, Nek."Meskipun masih banyak pertanyaan di kepalaku, tapi aku tetap mengikuti Bang Gery dari belakang.Kami masuk ke dalam mobil. Bang Gery sempat menoleh ke aku sebentar, kemudian tersenyum. Dia menginjak pedal gas."Dion bakalan bunuh siapa aja yang menghalanginya. Termasuk kamu, Vi."Aku menganggukkan kepala. Jangankan aku, membunuh darah dagingnya saja, Mas Dion berani sekali."Abang serius bisa ke kampung itu? Kan, susah kalau mau kesana dengan metode manusia biasa.""Gampang itu, mah."Sikap Bang Gery cukup aneh, tapi aku tetap mengangguk saja. Biarkan dia mencobanya.Perjalanan yang cukup panjang sepertinya. Bahkan, di mobil ini Bang Gery sudah siap sedia makanan.Mobil memasuki wilayah pemakaman umum. Aku mengernyit, menatap area sekitar. Ini tempat makam Kia dan Tifa. Ada apa?"Hubungi Dion dulu, biar dia gak curiga, Dek."Aku menoleh, kemudian mengangguk. Menghubungi Mas Dion dengan ponsel yang diberikan Nenek itu. Terdengar nada sambung."Halo, Sayang.""Halo, M

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Target Berikutnya ....

    "Engga! Enggak mungkin Kia meninggal, Bang."Bang Gery memelukku. Dia membisikkan kalimat menguatkan. Ya Allah, dalam satu bulan ini, aku kehilangan dua orang yang berarti dalam hidupku. Kenapa ini bisa terjadi? Aku memegangi kepala, merasa gagal sebagai Ibu. "Ayo, pulang. Mayat Tifa udah di rumah. Kamu mau lihat Tifa yang terakhir kalinya atau enggak?" Aku mengangguk, Bang Gery membantu berdiri. Kami membayar administrasi terlebih dahulu, baru kemudian ke parkiran mobil. "Siapa yang ngambil mayat Tifa, Bang?" Bang Gery menoleh. "Dion."Mendengar nama itu disebut, aku memalingkan wajah. Aku tahu, ada yang Mas Dion lakukan. Pasti meninggalnya Tifa kali ini ada hubungannya dengan dia. "Ingat, sampai di rumah, kamu harus jaga emosi, ya. Jangan sampai keceplosan tentang kutukan kematian itu."Kami memang harus merahasiakan semua itu. Aku mengangguk, mengusap pipi. Masih belum percaya dengan kabar ini. Benarkah Tifa sudah meninggal?***Mobil berhenti di halaman rumahku. Banyak tetan

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Korban-Korban Akan Kembali Berjatuhan

    "Engga! Enggak mungkin Kia meninggal, Bang."Bang Gery memelukku. Dia membisikkan kalimat menguatkan. Ya Allah, dalam satu bulan ini, aku kehilangan dua orang yang berarti dalam hidupku. Kenapa ini bisa terjadi? Aku memegangi kepala, merasa gagal sebagai Ibu. "Ayo, pulang. Mayat Tifa udah di rumah. Kamu mau lihat Tifa yang terakhir kalinya atau enggak?" Aku mengangguk, Bang Gery membantu berdiri. Kami membayar administrasi terlebih dahulu, baru kemudian ke parkiran mobil. "Siapa yang ngambil mayat Tifa, Bang?" Bang Gery menoleh. "Dion."Mendengar nama itu disebut, aku memalingkan wajah. Aku tahu, ada yang Mas Dion lakukan. Pasti meninggalnya Tifa kali ini ada hubungannya dengan dia. "Ingat, sampai di rumah, kamu harus jaga emosi, ya. Jangan sampai keceplosan tentang kutukan kematian itu."Kami memang harus merahasiakan semua itu. Aku mengangguk, mengusap pipi. Masih belum percaya dengan kabar ini. Benarkah Tifa sudah meninggal?***Mobil berhenti di halaman rumahku. Banyak tetan

  • Anakku Bermain dengan Siapa?   Tifa Meninggal?

    "Nenek tau aja." Bang Gery nyengir, dia menggaruk kepala, bingung harus bereaksi apa. "Sudah mengenal tabiatmu. Juga kalian, Nak."Nenek itu menatap kami. Dia tersenyum penuh rahasia. "Nenek yakin, kalian bisa menghancurkan kutukan itu."Aku menghela napas lega. Kukira tadi, kami akan dimarahi atau paling parah diusir, apalagi Nenek itu terlihat emosian. "Kami pamit dulu, Nek. Terima kasih atas pinjaman senjatanya."Kami diantar sampai ke depan. Ketika keluar dari rumah itu, pintunya tertutup sendiri, membuatku lompat ke depan. Kaget sendiri."Duh, pintunya ngagetin. Kenapa bisa ketutup kayak gitu, sih. Nyebelin." Sari mendumal sendiri, dia membenarkan jilbabnya, berjalan duluan. "Namanya juga pintu rumah modern. Keren gitu."Bang Gery yang menjawab. Dia menyusulku dan Sari yang sudah duluan. Pistol itu, Bang Gery yang pegang. Aku masuk ke dalam mobil, mengembuskan napas lega. Sesuatu yang awalnya kami kira sulit, ternyata lumayan mudah. Aku membenarkan posisi duduk, Bang Gery sud

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status