Share

Anak Kecil di Luar Rumah

"Siapa yang melempar kertas ini?" 

 

Aku mencium kertas itu. Bau amis. Benar, ini ditulis menggunakan darah. Masih baru sekali. 

 

Kejadian tadi pagi teringat kembali. Saat piring Mas Dion ada darahnya. Aku bergidik ngeri. 

 

"Kia benci Papa?" 

 

Sekali lagi aku membaca tulisan itu. Sedikit aneh. Apa maksudnya? 

 

Atau malah ada yang mengisengi keluargaku?

 

Aku mengusap wajah, melipat kertas itu, kemudian memasukkannya ke dalam kantong celana. 

 

"Mama, Mama."

 

Eh? Aku buru-buru berjalan ke ruang keluarga. Tifa barusan memanggilku. 

 

"Kenapa, Sayang?" tanyaku sambil jongkok, menatap Tifa yang sedang bermain boneka. 

 

Tifa menunjuk-nunjuk lantai. Aku mengernyit, menatap jejak kaki seukuran anak kecil. Jejak kaki itu seperti bekas tanah. 

 

Aku mencolek bekas jejak kaki itu, menciuminya. Benar, itu bekas tanah. Tapi siapa yang berani masuk ke ruang keluarga? 

 

Lalu ini jejak anak kecil?

 

***

 

Terdengar ketukan pintu di depan. Aku buru-buru keluar dari kamar Tifa. Membukakan pintu. 

 

"Assalammualaikum, Adek." 

 

Kejutan. Aku langsung memeluk Bang Gery—abang kandungku.

 

"Kok sepi?" tanyanya ketika masuk ke rumahku. 

 

Aku mengangkat bahu. Membereskan mainan Tifa. Sebenarnya, aku juga merasa kesepian. Tidak ada yang menemani di saat paling rendah seperti ini. 

 

"Kamu lagi berduka atau gimana, Dek? Kenapa gak ada saudara yang nemenin?"

 

"Pada sibuk, Bang." 

 

Bang Gery menarik tanganku lembut. Menyuruh duduk. 

 

"Saudara Dion mana?" 

 

Mataku mulai berkaca-kaca. Teringat kejadian kemarin. Saat saudara Mas Dion benar-benar tidak peduli dengan meninggalnya Kia. 

 

Hanya kakak sepupu Mas Dion yang datang. Sendiri, itu saja langsung pulang. 

 

Sedangkan saudaraku yang lain sibuk sekali. 

 

"Terus suami kamu dimana?" 

 

Aku mendongak, menahan air mata. "Ke rumah sakit, Bang. Nemenin Mamanya."

 

Ah, aku teringat telepon Mama Mas Dion tadi pagi. Masih penasaran soal kejadian tadi malam. 

 

"Abang buru-buru banget, Dek. Langsung ke bandara, buat nemuin kamu."

 

Bang Gery memang kerja di Amerika. Dia tidak bisa langsung ke sini. Apalagi kabar duka kemarin sore-sore. 

 

Aku menatap Bang Gery. Sekarang, aku butuh bercerita dengan orang yang aku percaya. Dan Bang Gery adalah orangnya. 

 

"Eh, tapi Abang gak bisa lama-lama di sini. Mungkin tiga hari nemenin kamu, Abang langsung ke sana lagi."

 

Buru-buru aku mengangguk, tidak masalah. 

 

"Kamu kenapa? Kok kayak gak nyaman gitu?"

 

Aku berdeham. Baiklah, saatnya menceritakan kejadian aneh yang aku alami sejak tadi malam. 

 

Bang Gery menyimak. Sesekali, dia melebarkan mata, menatapku tidak percaya. 

 

"Kalau ini gak serius, Abang pasti bilang kamu bercanda, Dek."

 

Abangku mengusap wajah. "Tapi ini benar-benar serius."

 

"Via harus apa, Bang? Apa Kia di sana belum tenang?" 

 

"Kamu udah bicara sama Dion?"

 

Aku menggelengkan kepala. Baru Bang Gery yang tahu. Karena Mas Dion memang lumayan sibuk. 

 

"Boleh Abang lihat kertas darah tadi?" 

 

Mendengar itu, aku langsung merogoh kantong, mengeluarkan kertas bertuliskan darah. 

 

Bang Gery diam sejenak. Dia menghela napas pelan. 

 

"Abang tahu apa maksudnya, Dek."

 

Aku mengernyit. Menatap Bang Gery. 

 

"Sebenarnya, ini rahasia. Tapi memang sudah waktunya kamu tahu."

 

Perkataan Bang Gery itu membuatku semakin penasaran. Apa yang sebenarnya mereka sembunyikan dariku?

 

Bang Gery menghela napas pelan. Dia menatapku penuh luka. 

 

"Abang harap, kamu tidak pernah membenci Abang, apalagi Kia."

 

Eh? Aku mendadak merinding mendengar perkataan Bang Gery. 

 

Entah kenapa, jantungku berdetak kencang. Seperti akan terjadi sesuatu. 

 

"Sejak dulu, Abang ingin memberitahukan semuanya pada kamu. Tapi tidak jadi terus. Tidak sempat. Sekarang, sudah saatnya kamu tahu."

 

"Tahu apa, Bang? Apa yang Abang sembunyikan?" 

 

"Sebenarnya—"

 

Perkataan Bang Gery terhenti. Ponselnya berdering, dia menatapku sekilas. 

 

"Abang angkat telepon dulu."

 

Aku menganggukkan kepala. Menatap Bang Gery yang berdiri. Dia berjalan ke dapur. 

 

"Mama." 

 

Terdengar bisikan. Aku menoleh ke luar. Jantungku berdetak cepat. Bisikan itu seperti ditiupkan di telinga. 

 

"Mama."

 

Bisikan itu terdengar berkali-kali. Aku menelan ludah, berdiri untuk memastikan siapa yang ada di luar. 

 

"Ma, sakit, Ma." 

 

Sekarang, terdengar rintihan. Napasku memburu, berusaha menenangkan diri dengan mengembuskan napas berkali-kali. 

 

Jantungku seperti berhenti berdetak. Kakiku mendadak lemas melihat seorang anak kecil yang duduk di luar, dia duduk di pekarangan rumah. Pakaiannya penuh darah, rambutnya menutupi wajah. 

 

"Si—siapa kamu?"

 

***

 

Jangan lupa like dan komen, yaa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status