"Kita mau kemana ini? Kok gelap banget?" bisik Sari ketika kami memasuki ruangan serba gelap.Aku mengangkat bahu. Tidak tahu juga, Nenek Bu Widya hanya diam saja. Memimpin jalan kami, entah kami diajak kemana.Pintu terbuka sendiri. Aku mundur satu langkah, melongo melihat pintu besar itu. Bisa terbuka sendiri ternyata."Pasti udah modern banget di sini. Pintu aja bisa kebuka sendiri." Sari sejak tadi berbisik.Kami ikut berhenti setelah melangkah jauh. Entah ruangan apa ini, tampak rumput yang memanjang di tembok.Aku mengusap tengkuk. Sedikit merinding. Hawa di sini berbeda sekali."Tunggu sebentar." Nenek Bu Widya berjalan meninggalkan kami.Sari mengajakku mengikutinya, tapi itu tidak mungkin. Nenek it
"Serius? Kok kamu bisa nebak yang jadi dalangnya adalah Dion? Kenapa?" tanya Sari seakan tidak percaya dengan perkataanku.Aku masih menatap foto di bingkai besar itu. Menghela napas pelan.Sekarang, memang tidak ada buktinya. Namun, bisa ditebak dengan mudah. Aku menelan ludah, menoleh ke Sari yang masih menatapku bertanya-tanya."Korban pertama, Kakaknya Mas Dion. Korban pertama yang dibencinya."Sambil menganalisis, aku berusaha mengingat perkataan Nenek tadi. Dia beberkan semua korbannya. Aku mengalihkan pandangan dari Sari, menatap foto di bingkai itu kembali."Korban kedua, orang yang paling dekat dengan orang kesayangan pelaku, Bu Widya." Aku mengusap wajah.Entah kenapa, aku merasa bersalah. Bu Sari tidak ada sangkut pautnya di sini, tapi dia juga ikut menjadi korban.
"Iya, Abang sebenarnya udah tahu. Abang tahu semuanya, Dek."Mendengar itu, pandanganku menjadi kosong. Benar saja. Bang Gery memang sudah tahu semuanya."Abang pernah peringatin kamu untuk jangan menikah dengan si Dion bukan?"Ingatanku kembali ke beberapa tahun yang lalu. Beberapa hari sebelum pernikahanku dan Mas Dion terjadi. Bang Gery memang sempat melarang.Bang Gery menatapku. Tatapannya penuh rasa bersalah."Saat kamu menikah dengan Gery. Saat itulah kutukan itu semakin besar."Aku menelan ludah. Bang Gery mengatakannya santai sekali, tapi di wajahnya ada kecemasan luar biasa."Kamu belum punya Kia, Abang peringatin terus. Abang gak mau kamu juga kena, Vi."Ah, ini salahku atau bagaimana? Kenapa aku bisa mengabaikan perkataan Bang Gery?"Kia juga udah tahu. Mengenai kutukan itu. Maka nya Abang bilang, kamu jangan sampai membenci kami, karena kurang memperingati kamu. Tidak terbuka.""Kutukan itu—" Mataku berkaca-kaca. "Sebenarnya kutukan apa, Bang?"Bang Gery tersenyum lembut.
"Mari, Nak. Kakek sudah menunggu kalian sejak tadi. Akhirnya datang juga."Eh? Menunggu kami sejak tadi? Aku meremas tangan Sari yang dingin. Dia juga ketakutan. Aku menoleh ke makam Kia. Menelan ludah. Urusan ini rumit sekali, entah siapa kakek yang datang kesini, kemudian bilang kalau menunggu kami sejak tadi. "Nak? Kenapa diam saja? Ayo ke rumah kakek. Di dekat sini. Kalian sepertinya kelelahan sekali, biar beristirahat di rumah Kakek."Sari menatapku, dia meminta keputusan. Aku menggigit bibir, kemudian mengangguk. Tidak ada gunanya lagi menunggu saja di sini. "Ayo, Nak." Kami berdua berjalan mengikuti kakek bertongkat ini. Dia sesekali batuk-batuk. Aku mengusap tengkuk. Semakin malam di pemakaman ini, semakin mengerikan. Bau amis bahkan sudah sejak tadi menyeruak di penciuman. "Kapan sampainya, sih?" tanya Sari. Kami memang tidak sampai-sampai. Perasaan, makamnya tidak terlalu banyak seperti sekarang. Kenapa ini banyak sekali? Ah, aku tidak paham. Hanya mengikuti kakek in
Tidak ada yang menarik. Kakek itu menyuruh kami mengikutinya. Dia menatapku dan Sari bergantian, tersenyum simpul. "Kalian memang pemberani, Nak." Aku meremas jemari, berkali-kali menghela napas. Suasana di sini lebih tegang. Aku melirik panci besar di sana. "Ah, kalian mau makan dulu? Lapar?" Buru-buru kami berdua menggelengkan kepala. Jangankan untuk makan, tidur saja kami sudah tidak mau di sini. "Baiklah. Kalian memang tidak mau apa-apa. Kalian mau bertanya apa?"Bukankah Kakek ini sudah tahu pertanyaan kami apa? Kenapa pakai ditanya lagi? Aku melirik Sari yang mengangguk. Dia menyuruhku bertanya saja. "Soal kutukan yang terjadi, Kek. A—anak saya menjadi korbannya." Dapat aku lihat, mata Kakek itu langsung berwarna merah. Beberapa detik, dia tertawa. "Bagaimana rasanya, Nak? Anak sendiri menjadi korban. Menyakitkan atau malah menyenangkan?" Aku tersentak, meskipun sudah bisa menebak kalau Kakek ini pasti akan menanyakan soal kutukan itu. "Kakek tahu soal kutukan itu?" t
"Tolong bantu Nenek, Nak."Ragu-ragu aku membantu Nenek itu. Sedangkan Sari bisik-bisik menyuruhku untuk kabur."Kalian darimana?" tanyanya sambil batuk-batuk.Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, antara ingin menjawab atau tidak. Namun, kalau kami berada dengan Nenek ini, pasti ada informasi yang kami dapatkan.Sari menyenggol lenganku. Mengajak untuk pergi dari tempat ini."Ka—kami dari tempat jauh, Nek. Kami pamit dulu, Nek."Aku buru-buru menggandeng tangan Sari. Kami akan segera pergi dari hutan menyeramkan ini.Baru saja berjalan beberapa langkah, tiba-tiba langkah kami seperti melambat. Aku menelan ludah, Sari bahkan menatapku. Wajahnya ketakutan."Jangan cepat-cepat, Nak. Kalian butuh bermalam di sini rupanya."Eh? Aku mengusap dahi yang berkeringat. Kenapa hal-hal misterius seperti ini harus terjadi?"Kalian tadi sudah ke rumah Kakek, 'kan? Kenapa tidak mampir ke rumah Nenek juga? Ah, kalian tidak adil." Apanya, sih? Aku menatap Nenek itu tidak mengerti. Entah kenapa, di s
"Kalian serius langsung bertanya ke solusinya? Tidak mau bertanya soal kutukan itu dulu?"Aku dan Sari saling bertatapan. Kemudian kami menggelengkan kepala. Kami tidak perlu lagi bertanya soal kutukan itu. Kakek yang menjebak kami sudah menjelaskan cukup banyak. Tidak perlu lagi meminta penjelasan, kami harus cepat-cepat mencari cara agar bisa menghapuskan kutukan itu. "Kalian mau tahu, kenapa Kakek itu membawa kalian ke hutan terlarang ini?" tanya Nenek itu sambil menatapku dan Sari bergantian. Keningku mengernyit. Hutan terlarang? Bukankah ini masih di sekitar makam? "Tidak, Nak." Nenek itu seolah tahu ekspresi wajahku. "Kalian tidak berada di sekitar makam milik anak kamu yang menjadi korban itu. Kalian berada di hutan, tempat lain di dunia kalian."Eh? Aku melongo mendengarnya. Ini sama seperti di film-film atau cerita fantasi. Benar-benar lucu, mana ada yang beginian. Ah, aku tidak percaya. "Baiklah. Sepertinya kalian belum percaya, kalau belum melihat secara langsung." Nen
"Nenek bawa manusia biasa ke sini? Wah, parah, sih." Salah satu warga menceletuk. Aku dan Sari sejak tadi diam saja. Kami menunggu diselamatkan. Apakah Nenek itu berhasil menyelamatkan kami? Semoga saja. Warga sini sepertinya sangat membenci manusia biasa. Aku menepuk dahi, apa yang mereka takutkan dari kami? Padahal, sama saja. "Kalian tenang dulu! Mereka hanya sebentar. Untuk melakukan sesuatu, mengambil beberapa tanaman untuk penelitian di dunia mereka sendiri."Aku menggigil, ini dingin sekali. Kapan kami bisa pergi dari sini? "Tidak akan mereka membunuh kalian atau membawa pengaruh buruk, bahkan lebih parah lagi, mereka membawa sial. Tidak akan." "Apa jaminan nya? Kami tidak mau percaya begitu saja. Apalagi mereka tidak dikenal sama sekali." Aku menggigit bibir, menoleh ke Sari yang terdiam juga. Dia sedang berpikir. Dari tadi tidak banyak bicara. Kalau nantinya kami harus diusir dari kampung ini, tidak apa. Setidaknya, kami berhasil pulang selamat. Tapi yang jadi masalah