PoV Ibu Ambarwati.Sultan menutup pintu kamar dengan kencang, lalu menguncinya agar Mila tak kabur sebelum polisi datang.Sementara di dalam Mila terus-terusan berteriak seperti orang kesetanan. "Biarkan dia teriak sendiri sampe capek sekalian," ujar Sultan penuh amarah.Aku bergidik ngeri sambil memegangi luka bekas sabetan pisau Mila. Wanita itu emang udah gak waras, hanya karena aku gak bisa membujuk anakku untuk menikahinya dia kalap dan gelap mata lalu tanpa ragu menyerangku dengan pisau cutter.Padahal aku sudah dengan besar hati tengah mencoba menerimanya karena ia sekarang sedang mengandung cucuku. Tapi rupanya aku salah, wanita seperti Mila itu memang pantasnya hidup di dalam penjara."Bu, Mila akan berikan bayi ini setelah ia lahir tapi Mila punya dua permintaan," ucapnya kemarin lusa, ketika aku dan Sultan menengoknya ke rumah sakit.Keningku mengerut, "permintaan apa?""Bebaskan Mila dari tuntutan Bani Azhar dan buatlah agar dia mau menikahi Mila," tegasnya menatapku seri
"Ya tap-" Ucapanku terhenti saat kulihat Mila sudah mengeluarkan pisau cutternya.Aku bergegas bangkit dan menjauh darinya meski mendadak kedua kakiku terasa lemas dan bergetar.Wajah Mila tampak tengah dibakar api amarah, rupanya ia tersinggung karena tadi aku sempat menyebut dan membandingkan dia dengan Nila menantuku."Kamu ini apa-apaan Mila? Jangan main-main, itu benda tajam," ujarku memasang wajah waspada."Memang, memang ini benda tajam dan aku sengaja ingin memberimu kenang-kenangan," ucapnya diiringi gelak tawa.Dadaku bergemuruh hebat, napasku mendadak tercekat. Kulambaikan tangan ini untuk mencoba membuatnya tenang."Tenang Mila, kamu jangan begini, ingat aku adalah calon mertuamu."Mila mendecih dan terus maju ke arahku dengan tatapan tajam."Cih dasar pembohong, kalau kau adalah calon mertuaku kenapa kau sebut-sebut nama orang lain hah?"Sethh. Cutter itu menggores tepat di bagian atas lengan kananku.Aku menjerit, sejurus kemudian ibu besan datang membuka pintu kamar."Ya
Mila melotot, wajahnya yang sedang marah tersorot cahaya bulan. "Ibu!" sentaknya tak suka."Kenapa? Kalau kau mau loncat, loncat saja! Hidupmu memang sudah tak ada gunanya!" besan kembali menantang.Segera kuelus pundak besan."Istighfar Bu besan, walau bagaimanapun dia anak Ibu," bisikku."Dia bukan anak saya lagi, Bu.""Ayo loncat Mila!" teriak besan lagi menatap tajam anak perempuannya itu."Tapi, Bu ... aaaaaa!" Suara Mila memekik langit dan malam yang hening."Milaaa!" Spontan mulutku berteriak saat melihat wanita itu terpeleset lalu jatuh ke sungai."Saudari Mila!" Bergegas para petugas juga maju ke sisi jembatan."Bu besan Mila jatuh Bu, Mila jatuh." Aku mengguncang kedua bahu besan.Bukannya beranjak ke tepi jembatan, besan malah ambruk di tempatnya dengan isak tangis yang mendadak pecah.Aku jadi bingung sendiri, tapi cepat kutinggalkan besan dan bergegas melihat ke tepi jembatan."Gimana Sultan?""Mila bener-bener jatuh, Bu.""Ya Allah ... nasibmu Mila." Aku menutup mulut.
Aku sama ngilunya juga, tak tega melihat jenazah Mila yang sangat mengkhawatirkan.Kedua matanya melotot, tubuhnya membiru dan lidahnya terjulur keluar. Tapi yang membuat kami makin ngilu adalah saat bagian dadanya sudah hilang sebagian."Kami perkirakan jenazah diserang binatang buas Bu, Pak," tutur seorang tim sar.Tubuhku meremang, bulu kuduk mendadak berdiri tak karuan.Segera seoranh petugas kembali menutup kantung itu.Setelah jenazah Mila ditemukan semua wargapun bubar. Tadinya petugas akan membawa jenazah Mila ke rumah sakit, tapi atas bantuan perangkat desa Sultan bisa meyakinkan mereka untuk langsung menyerahkan jenazah pada kami saja."Biar langsung kami makamkan di sini saja Pak, gak usah dibawa lagi ke rumah sakit dulu karena perjalanan cukup jauh."Dibantu orang yang sudah berpengalaman di desa ini, bu besan akhirnya mengurus jenazah Mila bersama mereka di rumahnya."Sabar Bu, sabar."Aku mengelus-ngelus pundaknya. Besan yang sedang memandikan jenazah Mila makin tertund
"Bi Sitah, Nila pulaaang!" teriak Sarah-sahabatnya Nila di pematang sawah.Aku yang tengah mencabut rumput hama di antara tanaman padi-padiku langsung menyisi mendekatinya."Ada apa teriak-teriak begitu Sarah?" tanyaku seraya membuka cetok yang menutup kepala dari terik matahari."Bi itu Bi, anu ...," jawabnya terengah-engah sambil memegangi dadanya yang tampak sesak."Apa? Ada apa Sarah? Kalau ngomong itu yang jelas." Aku mencecar tak sabar sebab saat melihat raut wajahnya perasaanku langsung berubah tak enak."Anu itu Bi, si Nila pulang."Mataku mendadak berbinar dengan senyuman lebar."Yang bener kamu Sarah? Anakku pulang?" Dengan semangat aku naik ke pematang sawah."Iya Bi, tapi anu Bi ....""Anu anu apa sih? Dari tadi kamu anu anu terus, ayo meningan kita balik aja, Bibi udah kangen banget rasanya sama si Nila," ucapku sambil melangkah tergesa-gesa melewati pematang sawah yang terbentang panjang itu."Tapi Bi, Biii tungguu." Si Sarah yang usianya sama dengan anakku itu berteria
"Ya Allah gustiii, Nila sayang anakku, kenapa kamu, Nak? Siapa yang sudah berbuat seperti ini padamu?" Aku kembali terisak sambil menciumi wajahnya yang sudah dingin dan kaku."Ada apa, Bi?" tanya Sarah yang baru saja masuk dengan wajah cemas."Lihat ini Sarah, lihat ini, ada luka sayatan di perut sebelah kirinya Nila, tubuhnya juga penuh lebam, benar 'kan dugaan Bibi pasti ada sesuatu yang tak beres sudah terjadi.""Ta-tapi siapa yang sudah melakukan ini, Bi?""Mungkin saja suami dan keluarganya."Anak itu mengangguk ragu."Ada apa, Bu? Kenapa belum selesai juga memandikannya? Semua orang sudah menunggu itu." Bapaknya Nila datang."Lihat ini, Pak, lihat ini anak kita kenapa?"Kutunjukan luka panjang sekitar 15 centi meter itu pada suamiku.Sontak ia juga terkejut bahkan sampai harus membekap mulutnya sendiri sebab merasa tak percaya dengan apa yang dilihatnya."Ya Allah, Nila kenapa ini, Bu?" "Ibu juga gak tahu Pak, pantas saja Ibu ingin sekali memandikannya, ternyata sesuatu memang
Pukul 10 malam aku masih termenung di kursi depan sambil memeluk lututku. Selain mataku yang tak kunjung terpejam lagi, aku juga sedang menunggu Mila datang.Akan langsung kuceritakan apa yang kulihat tadi, ada luka di sekujur tubuh Nila dan jenazahnya tidak diantarkan oleh keluarga suaminya yang bedebah itu."Hujan Bi, dingin," kata Sarah yang tiba-tiba datang dari dapur.Aku menoleh, wajahnya memang tampak pucat dan menggigil kedinginan."Ya ampun Sarah, ambil selimut di lemari Bibi dan tidur sana," sahutku tanpa beranjak dari kursi.Anak itu memang sengaja ingin menginap di sini untuk menemaniku katanya, karena bapaknya Nila seperti biasa, mereka melekan untuk menunggu makam baru sampai malam ke 3."Ayo tidur Bi, Sarah mau tidur sama, Bibi.""Bibi belum ngantuk Sar, kamu tidur duluan gih.""Jangan terlalu pikirin Nila, Bi."Aku mengangguk, anak itu pun beranjak pergi ke kamar.Dipikir-pikir, kenapa anak itu terlihat lemas sekali? Padahal kalau dia sakit tak usahlah dia menginap di
"Nila menangis dan melambai ke arah Bibi Sar, dia bilang sakit katanya.""Hah? Apa iya, Bi? Bibi cuma mimpi kali.""Iya, tapi mimpi itu kayak nyata Sar.""Mimpi cuma kembang tidur Bi, gak usah terlalu dipikirin."Aku mematung. Saat anak itu akan kembali tidur aku segera menariknya lagi."Sar, apa menurutmu orang yang sudah meninggal bisa meminta tolong lewat mimpi? Atau ini memang hanya sugesti Bibi yang terlalu kepikiran aja?" cecarku.Sarah menggeleng ragu."Besok antar Bibi ke makam Nila ya Sar, tapi tunggu Mila datang dulu."Anak itu mematung tak menanggapi."Sar, kamu malah bengong sih." Aku menyikut lengannya."Eh i-iya Bi, Sarah sampe kaget," katanya tergagap."Kamu ini mikirin apa sih Sar?""Emm enggak Bi, tadi Sarah cuma lagi mikir soal apa yang tadi Bibi ceritakan, apa iya orang yang sudah meninggal bisa meminta tolong?"Aku menggeleng tak paham, tentu saja, aku sendiri ragu menafsirkan mimpiku, di sisi lain aku melihat Nila tampak jelas sekali meminta tolong.Tapi di sisi