Ayano Ruriko harus menghadapi kematian. Seorang malaikat yang bertugas untuk membawanya pergi dari dunia, malah mengijinkan gadis itu hidup kembali. Ruriko berhutang budi pada sang malaikat, namun ia tak bisa bertemu dengan makhluk itu. Enam tahun kemudian, sebuah penglihatan akan hujan bulu sayap membawa Ruriko pada sosok yang cari: Malaikat! Sosok pertama yang bisa ia lihat adalah Mirai, sang malaikat pelindung bayi. Dengan kemampuan itu, Ruriko pun berusaha mencari keberadaan malaikat maut penolongnya. Berhasilkah Ruriko menemukan keberadaannya?
Lihat lebih banyakFATE
Suara-suara di sekitar berhasil mengembalikan kesadarannya. Retinanya langsung menangkap sosok-sosok berseragam putih yang tengah mengerubungi suatu objek. Sayup-sayup, ia mendengarkan percakapan mereka.
"Beritahukan pihak keluarga, pasien Ayano Ruriko tak bisa tertolong." Ia tercenung mendengar seorang pria berjas putih menyebutkan namanya.
"Baik, dokter."
Ruriko langsung celingak celinguk sambil menunjuk dirinya sendiri. Tanpa pikir panjang, ia pun berseru memanggil sosok-sosok yang ada di dekatnya. Tetapi, sangat aneh, suaranya tak mampu menyadarkan mereka.
"Hei, aku di sini!"
Ia tak memanggil lagi, karena dari balik pintu, muncullah sosok familiar. Ayahnya dengan penuh isak tangis mendekat ke ranjang, tempat kerumunan suster dan dokter itu. Ia memanggil-manggil nama anak semata wayangnya dengan pilu.
"Ayah, aku di sini. Kenapa menangis?"
Penasaran apa yang ada di dalamnya, Ruriko pun mendekati kerumunan. Ia tak sempat untuk bilang permisi, karena mendapati tubuhnya mampu menembus kerumunan itu. Raut wajah Ruriko berubah tegang. Semakin dekat, semakin terlihat jelas sosok yang ditangisi ayahnya.
Terbaring di ranjang adalah gadis yang mirip dengannya. Bukan! Dia adalah Ruriko sendiri. Hanya berupa raga tanpa nyawa. Sepasang matanya terpejam. Bibirnya terkatup. Wajahnya pucat pasi.
Ruriko tentu tak bisa menerimanya. Ia berupaya memanggil ayahnya sampai menegur petugas medis, semata-mata hanya ingin memungkiri fakta yang terjadi. Tetapi, usahanya sia-sia. Tak ada yang merespon panggilannya. Terlebih, tak ada yang bisa ia lakukan untuk kembali ke raganya.
Dada Ruriko sesak, terhimpit oleh kesedihan. Ia belum mau mati. Ia masih berusia sembilan belas tahun. Masih banyak hal yang ingin ia lakukan. Ia belum lulus kuliah. Ia belum pernah berkencan. Terlebih lagi, ia belum bisa membahagiakan ayahnya. Kenapa kematian ini datang begitu cepat?
Ruriko mundur perlahan. Ia meninggalkan kerumunan lalu keluar ruangan. Di koridor, ia bertemu dengan sosok-sosok lain. Ada kerabatnya, ada pula teman kuliahnya. Semuanya membicarakan kematian Ruriko sebagai isu terhangat, tanpa menyadari kalau roh gadis itu tengah menyaksikan mereka.
"Meninggal. Kecelakaan tadi pagi," tukas wanita paruh baya yang adalah bibinya.
"Katanya tertabrak truk ya? Lalu langsung tak sadarkan diri?" Kasumi Shiraishi, salah satu teman dekat Ruriko menjadi lawan bicara bibinya.
"Ya, sampai di rumah sakit langsung mendapat pertolongan, tapi sayang sekali ...." Raut muka bibinya berubah sendu. "Kasihan dia sudah ditinggal istri, lalu anak semata wayangnya." Sang bibi melirik ke ruangan.
"Ah, saya turut prihatin," Kasumi menunduk sebagai tanda belasungkawa. Setelah mendengar percakapan itu, Ruriko langsung menggeleng pelan lalu menutup kedua telinganya. Ia menerawang saat sebuah ingatan membersit di pikirannya. Momen terakhir sebelum ia tersadar di ruangan tadi.
Kejadian itu berlangsung amat cepat, sehingga Ruriko merasa seperti bermimpi. Ia hendak berangkat ke kampus menggunakan sepedanya. Saat melaju ke jalan raya, Ruriko mendengar bunyi deru kendaraan. Belum sempat menoleh, sebuah truk keburu menghantamnya. Setelah itu, Ruriko tak mengingat apapun. Sepertinya ia tak sadarkan diri. Tetapi, siapa sangka kalau ia sudah menemui ajalnya?
Tidak! Aku belum mau mati!
Ruriko masih tak terima. Ia pun meninggalkan persemayamannya, berlari dari takdir kematiannya. Pasti ada cara untuk mengubah takdir itu. Pasti ada yang bisa menolongnya.
'Ruri-chan, kalau kau merasa kesusahan, minta tolonglah kepada malaikat.' Sebersit memori kembali melintas di pikirannya. Suara lembut yang menggema itu ia kenal sebagai suara mendiang ibunya.
'Malaikat selalu ada untuk menolong manusia.'
Malaikat!
Hati Ruriko merapal namanya seiring dengan laju gadis itu menelusuri koridor. Semua manusia yang lewat menembusnya, membuat Ruriko semakin kalut. Ia tak ingin terus berada dalam wujud ini.
"Malaikat! Malaikat!"
"Ayano Ruriko." Panggilan berintonasi formal menelisik di telinganya, mengalahkan bunyi hiruk pikuk lain. Ruriko langsung berhenti berlari. Ia memutar tubuhnya, sesuai dengan arah suara itu. Kedua matanya membesar saat melihat siapa sosok yang memanggilnya.
Wujudnya manusia, seorang pemuda, namun penampilannya terlalu menawan untuk dikatakan sebagai manusia. Ia terlihat sangat bercahaya dengan pakaian serba putihnya. Sepasang sayap berwarna senada terkembang indah di punggungnya. Semua ciri-ciri itu membuat Ruriko bisa menebak jenis makhluk apa yang mendatanginya.
Malaikat!?
Apakah panggilannya terjawab? Ia datang untuk menyelamatkan Ruriko, bukan?
"Ikut aku. Aku akan mengantarmu."
"Tu-Tunggu. Kau malaikat?" balas Ruriko. Sosok itu hanya bergeming sejenak lalu mengangguk pelan.
"Kau akan membuatku hidup lagi, kan?" Ruriko menaruh harapan besar melalui kata-katanya.
"Sayang sekali. Justru aku ingin menjemputmu." Ucapannya tenang namun pasti. Sebelum manusia di hadapannya kembali bereaksi, sang malaikat keburu mengulurkan tangan padanya.
"Ayo."
Ruriko hanya diam memperhatikan telapak tangan malaikat itu. Pandangannya bergulir ke wajahnya, memandangnya penuh harap. Sayangnya, malaikat itu tak goyah pada pendiriannya.
"Ayano Ruriko. Kau sudah mati. Jadi, ikutlah denganku," tukas malaikat itu lagi.
Raut wajah Ruriko getir. Ia menggeleng lemah untuk menolak ajakan malaikat itu.
"Aku tidak mau. Ku mohon, aku belum mau mati."
Malaikat itu menghela nafas, sepertinya ia kesal dengan sikap Ruriko, tetapi raut wajahnya tetap tenang.
"Kau sudah mati. Tugasku adalah menjemputmu, bukan menghidupkanmu."
"Ta-tapi ...."
"Kematian akan menimpa setiap orang, termasuk kau. Jadi, terimalah takdirmu."
Ucapan tegas dari sosok itu berhasil membungkam Ruriko. Gadis itu tak membantah lagi. Meskipun sulit, pada akhirnya ia memang harus menerima takdir kematiannya. Ia pun mengekori langkah sang malaikat menelusuri lorong rumah sakit.
Helai demi helai bulu sayap sang malaikat luruh menyentuh lantai lalu lenyap begitu saja. Seketika Ruriko merasa tertarik untuk mengambilnya. Sebelum menyentuh lantai, tangan Ruriko dengan cepat meraih benda itu. Ia langsung berlari kecil untuk menyamakan langkahnya dengan langkah sang malaikat, lalu menunjukkan bulu sayap yang ada dalam genggamannya.
"Pertama kali aku memegang bulu sayap malaikat. Indah dan lembut." Raut wajah Ruriko berubah antusias. Sang malaikat memperhatikan kesibukan sang gadis yang tengah meneliti bagian tubuhnya itu.
"Kalau dilihat, sayapmu bukan warna putih ya ...seperti abu-abu." Ruriko tak memiliki niat apapun di balik komentarnya. Tetapi entah kenapa raut wajah sang malaikat malah terlihat kelam.
"Eh! Tapi aku tak bilang jelek, loh. Bulu ini malah terlihat lebih bagus!" Melihat perubahan ekspresi makhluk di depannya, Ruriko langsung berusaha menghibur. Cengirannya membuat sang malaikat tersenyum tipis. Ia pun hanya mengangguk pelan, tanpa mengomentari kejadian tadi.
"Hei, ke mana kita akan pergi?” Gadis itu kembali mengajak sang malaikat bicara.
"Apa yang terjadi setelah aku mati?" Belum puas dengan pertanyaan tadi, Ruriko mencecar malaikat itu dengan pertanyaan lainnya. Sang malaikat menghela nafas lalu menatap mata Ruriko.
"Kau akan tahu nanti. Ikuti saja aku."
Ruriko menurut, walau berbagai pertanyaan masih berkecamuk dalam pikirannya. Sang malaikat membawanya hingga mencapai lobi rumah sakit. Ruriko masih menebak-nebak apa yang akan terjadi setelah mereka mencapai tempat ini. Ada portal dimensi-kah? Atau ada malaikat lain yang datang? Atau mungkin ada cahaya yang muncul tiba-tiba di hadapan mereka?
Mereka berdua saling berhadapan. Ruriko merasa gugup saat sepasang iris abu-abu makhluk itu menatapnya lekat, seolah menyimpan sesuatu yang ingin disampaikan. Tetapi, sepertinya makhluk itu masih ragu.
"Takdir. Menurutmu bisakah diubah?"
Ruriko heran mendapati pertanyaan itu. Ia tak langsung menjawab. Berpikir keras untuk menebak apa yang melatarbelakangi pertanyaan sang malaikat.
"Ayahmu masih membutuhkanmu. Kalau kehilangan dirimu, ia akan sangat bersedih." Raut wajah sang malaikat berubah sendu. Ruriko langsung terkejut mendengarnya.
"Ku mohon. Jangan sampai ayahku menderita," pinta Ruriko. Kalaupun bisa, ia ingin menangis. Malaikat itu kembali menatapnya lekat-lekat.
"Kau ingin mengubahnya?"
Tatapan Ruriko seketika yakin. Ia mengangguk mantap.
"Pergilah. Kau bisa hidup kembali." Sang malaikat membuat keputusan. Ia menadahkan tangannya, dari situ muncul sebuah buku. Benda itu langsung membuka di sebuah halaman. Ruriko kaget saat sang malaikat merobek halaman tersebut.
"Dengan begini, takdir akan berubah," ucapnya dengan senyuman lembut. "Sekarang pergilah."
"Tu-tunggu, bukankah itu tugasmu? Apa yang akan terjadi padamu kalau kau berani melepaskanku?"
Sang malaikat menatap Ruriko, masih tersenyum "Itu akan menjadi takdirku selanjutnya."
"Hei!"
"Cepat! Kembalilah! Mereka menunggu," Malaikat itu mendorongnya pelan. Ruriko mundur sambil terus menatap wajah malaikat itu. Beberapa saat kemudian, ia berbalik lalu berlari meninggalkannya.
***
Takdir itu akan ia ubah. Tekad Ruriko sembari menggenggam erat sebuah bulu sayap keabu-abuan, satu-satunya benda peninggalan sang malaikat.
Kini, ia sudah berada di lobi rumah sakit bersama ayahnya. Mereka berdua akan meninggalkan tempat itu setelah Ruriko dinyatakan hidup kembali dalam kondisi sehat walafiat.
Sebuah keajaiban terjadi. Sosok yang seharusnya sudah mati, kini bisa kembali hidup. Semua ini berkat kebaikan hati malaikat itu. Dengan mengijinkannya hidup kembali, ia sudah memberikan kesempatan kedua pada Ruriko. Ia bertekad untuk menjalani hidupnya dengan baik, bahkan mengubah takdir penderitaan ayahnya.
Di halaman rumah sakit, Ruriko berpaling untuk melihat gedung itu. Bola matanya mengedar ke setiap penjuru, tetapi tak ada sosok makhluk bersayap yang bisa ia tangkap dengan indera manusianya. Sayang sekali. Padahal Ruriko ingin bertemu lagi dengan malaikat itu.
"Ruriko, ayo." Panggilan sang ayah membuyarkan lamunannya. Mengikuti langkahnya, Ruriko menyimpan helai bulu sayap itu di dalam saku bajunya. Bulu ini harus ia jaga, sebagai simbol pertemuan mereka. Suatu saat, jika Ruriko bisa bertemu dengannya lagi, ia akan menunjukkan benda ini sembari menghaturkan terima kasih yang begitu dalam.
Aturan yang pertama, malaikat harus menyelesaikan tugas yang sudah dibebankan kepadanya. Aturan kedua, tiap malaikat tak boleh sering berhubungan dengan malaikat lain, apalagi manusia. Aturan ketiga ...."Ruriko-san!"Konsentrasi Ruriko terpecah oleh sebuah seruan. Tersentak, gadis itu mengedar pandangan untuk mencari siapa yang tengah memanggilnya. Sepasang mata gadis itu tertuju pada kerubungan anak-anak panti asuhan. Tampak Kazu yang berada di luar kerumunan, menyerukan nama Ruriko sembari melambaikan kedua tangannya."Ruriko-san! Michi terluka!"Ruriko yang tadinya menyendiri di salah satu ayunan seketika bergerak mendatangi kerumunan itu. Saat sosok dewasa mendatangi mereka, kerumunan anak-anak panti asuhan mulai renggang, seolah membiarkan Ruriko melihat k
“Jadi begitu. Karena malaikat itu, kau bisa hidup kembali.” Bibir Rio sedikit mengerut saat menggumamkan kesimpulan dari cerita Ruriko. Kontras dengan Mirai, reaksinya lebih kalem. Si malaikat berwujud wanita cantik itu juga tidak langsung menghakimi perbuatan salah satu kaumnya yang sudah berani melawan garis takdir.Sambil melajukan sepedanya perlahan, Ruriko mengangguk-angguk. Pandangan matanya tak lepas dari sosok yang melangkah di sampingnya.Pertemuan mereka tak disengaja. Ruriko tengah mengendarai sepedanya kembali ke rumah setelah menyambangi minimarket untuk berbelanja. Ia melihat sebuah bulu sayap terbang di antara sepasang ibu dan anak yang berjalan di depannya. Untung saja, Ruriko sudah terbiasa dengan penampakan itu sehingga responnya lebih tenang. Ditunggunya perubahan wujud bulu itu sampai menjadi malaikat. Tak disan
Denting piano menggema di penjuru aula, sebagai intro dari lagu yang dibawakan oleh paduan suara anak-anak panti asuhan. Erina sebagai pengiring musik ikut bernyanyi sambil sesekali melirik ke jajaran anak-anak berseragam merah. Mereka tampak menghayati lagu meski penontonnya hanya sedikit.Ada orang tua angkat Rio duduk berdampingan di barisan terdepan. Rio dipangku oleh sang ibu. Di belakang mereka, terdapat para pengurus panti asuhan. Sisanya, di baris terbelakang hanyalah kursi-kursi kosong. Sebenarnya, Ruriko yang menempatinya, tetapi ia malah ditunjuk menjadi seksi dokumentasi dadakan. Sejak tadi, Ruriko berpindah-pindah tempat untuk membidik gambar dari sudut terbaik, meski ia bukanlah fotografer profesional. Yang penting momen-momen penting ini bisa terekam.Sembari menjalankan tugasnya, sesekali mata Ruriko mengedari sekitar ruangan, mencar
Jika para manusia menganggap malaikat adalah makhluk superior, maka mereka salah besar. Mereka hanya sosok-sosok yang hidup untuk menjalankan tugas, soliter, bahkan tak berarti. Kehidupan mereka juga bergantung pada keberhasilan dalam melaksanakan tanggung jawab. Jika gagal, mereka akan menerima hukuman. Jika berhasil, ada tugas berikutnya yang menanti. Alur itu berulang terus sampai keberadaan sang malaikat lenyap secara perlahan tergerus oleh aliran waktu. Saat menjalani hidup sebagai malaikat, tugasnya adalah untuk menjaga ikatan manusia. Ketika manusia berselisih paham dengan manusia lain, ia berusaha untuk menyatukannya kembali. Caranya dengan mempengaruhi manusia melalui bisikan-bisikannya, yang dikenal oleh manusia sebagai nurani. Terkadang malaikat itu sering merasakan kesulitan dalam menjalankan tugasnya. Memang tidak mudah mempengaruhi p
Sudah hampir tengah malam, tetapi sosok Rio belum juga ditemukan. Ruriko, Erina, serta Kazu pun mulai putus asa. Padahal, Kazu sudah mencarinya ke tempat-tempat favorit Rio yang hanya ia ketahui, tetapi hasilnya tetap saja nihil. “Apa kita lanjutkan besok saja? Ada bantuan dari pihak keamanan juga. Mereka pasti tengah mencari Rio. Kita tunggu kabar dari mereka saja, ya,” usul Erina sambil melirik arlojinya. Mereka bertiga sudah sama-sama kelelahan sehingga ingin rasanya segera pulang dan melanjutkan pencarian esok hari. Tetapi, mereka takut terjadi sesuatu yang buruk menimpa Rio kalau mereka menjeda pencarian ini. “Tapi, Rio-chan. Aku cemas,” ucap Ruriko murung. Erina langsung menyentuh tangan Ruriko lalu menggeleng pelan. Ia sebenarnya juga takut, tetapi ia tak mau berpikir macam-macam. “Semua akan b
Ranting pohon adalah kuasnya. Pekarangan adalah kanvas kosongnya. Dua media itu sudah cukup untuk menuangkan kreativitas si anak berkuncir dua.Sambil berjongkok, sepasang mata kelerengnya bersorot serius menciptakan sebuah gambar berupa dua sosok berdampingan. Tangan berupa garis lurus itu terlihat tumpang tindih, seolah mereka sedang berpegangan erat. “Rio dan Kazu.” Ia bergumam. Tak lama kemudian, ia diam. Menggunakan ranting pohon, ia langsung menghapus gambar sosok yang berperawakan lebih besar. “Kazu membenci Rio,” bisik anak itu. Sorot matanya berubah sendu. Pikirannya memutar kembali kejadian beberapa hari lalu. “Pergi saja sendiri! Aku tak akan ikut!” “Tapi, bukankah kau mau bersama Rio-chan? Mereka akan mengadopsimu juga.”
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen