Share

7.

            Mobil Alpart tersebut menepi, tepat didepan gerbang kampus. Ana masih tetap menekuk wajahnya, membuat Angga terkekeh pelan. Tangan Ana sudah akan membuka pintu, namun ditahan oleh Angga.

            “Pamit dulu dong sama suaminya,” kata Angga. Yang membuat Ana semakin bad mood.

            Menghela napas, Ana kemudian meraih tangan kanan Angga ogah-ogahan. Mencium cepat punggung tangan Angga, lalu melepasnya. Namun tangan lembut tersebut tetap digenggam oleh Angga.

            “Jangan pulang malam-malam. Jangan pecicilan saat nggak ada gue,” mata Ana memicing tak suka.

            “Suka-suka mata gue, mau pecicilan atau nggak. Itu bukan urusan lo Om. Dan aturan yang lo buat waktu itu, masih berlaku ya,” kata Ana tegas.

            Angga tersenyum, “Diatas aturan itu, gue tetep suami lo Ana Pradipta Wiliam.” Angga menekankan nama belakang Ana. Yang sudah berganti setelah resmi menjadi istrinya.

Kemudian perlahan meraih kepala Ana, mencium keningnya. Ana menyorot Angga tajam, lalu menepis genggaman tangan Angga. Secepatnya beranjak keluar dari mobil, sebelum dia kecolongan lagi.

            Ana emosi, mengetahui bahwa Angga sudah dua kali merebut momen pertama darinya. Padahal Ana ingin memberikan semua itu kepada orang yang dia cintai. Ana berusaha untuk tidak berteriak, meluapkan kekesalannya. Masuk kelas Ana langsung menelungkupkan kepalanya ke meja. Nyebelin banget si, batinnya sambil memukul meja dengan kepalan tangannya.

.

            Angga menggeleng, melihat Ana sudah keluar dari mobilnya. Masih mengukir senyum, Angga menjalankan mobilnya ke kantor. Angga mengakui kalau dirinya mulai tertarik dengan Ana.

            “Ngegemesin banget si istri kecil gue,” gumamnya sendiri ditengah kemacetan.

            Walau terjebak dalam kemacetan. Angga tetap sesekali tersenyum, mengingat ekspresi kesal istrinya.

            “Kayaknya gue harus ambil tindakan ke Yuri,” katanya. Kembali melajukan mobilnya.

.

            “Lo kenapa dah Na?” Tanya Vita. Meletakkan sepiring siomay dihadapan Ana. “Jutek gitu mukanya,” kemudian duduk dihadapan Ana.

            Ana dan para sahabatnya tengah menghabiskan waktu istirahatnya dikantin. Dengan suasana yang penuh. Tak menyurutkan antusiasme mereka untuk ikut mengisi perut.

            “Senyum dikit kek, cantiknya ilang lo,” ujar Hana.

            Ana menghela napas, lalu menormalkan raut wajahnya. Minum es teh manis, selanjutnya menyantap siomay dihadapannya.

            “Eh Na, by the way lo udah jarang keliatan bareng sama Rama nih,” celetuk Tasya. Membuat Ana mendongak.

            “Ya gitu deh, kebanyakan tugas jadi lupa kalau punya pacar,” jawab Ana. Lalu melanjutkan kegiatan makannya.

            “Iya si, emang dosen pada nggak ngira kalau kasih tugas,” keluh Lira menyetujui perkataan Ana.

            “Ati-ati aja sih Na. Lo kan tau Elena masih gencer, ngedeketin pacar lo,” ucap Vita, yang sangat dipahami oleh Ana.

            “Gue nggak mau kepikiran banget si soal itu. Ya kalian kan pada tahu, kita udah semester akhir. Bentar lagi skripsi, nggak mau lah gue capek mikir gituan,” ucap Ana.

            “Bener si kata lo. Kita pada juga udah cukup lah main-main, ngarasain gimana serunya masa maba sampai sekarang, ya nggak,” kata Tasya menyeringai. Memandang satu persatu sahabatnya.

            Tawa lepas terdengar pecah diantara mereka. Mengingat kejadian-kejadian yang mereka alami bersama. Mulai dari bolos bersama buat liat konser. Dan masih banyak lagi kenakalan lainnya, yang sudah mereka lewati bersama. Pahit manisnya kenangan menjadi mahasiswa. Namun semua itu, tidak pernah menurunkan prestasi akademik mereka.

            “Walau gue nggak yakin si sama pernikahan gue. Tapi gue juga nggak bisa ngelawan pilihan orang tua,” ucap Ana pelan.

            Lira menepuk pundak Ana pelan, “Ada kita yang akan selalu ada buat lo Na.” Ucapan Lira. Menerbitkan senyum hangat Ana.

            “Bilang aja sama gue, kalau Om-om itu macem-macem sama lo,” ucap Vita sambil mengepalkan tangannya.

            Ana bersyukur memiliki mereka. Sahabat yang selalu membantu dan mendukungnya disituasi apapun. Bel tanda masuk berdering, sejenak memisahkan mereka dari keseruan. Harus kembali berkutat dengan banyak materi.

.

            “Sayang,” suara Yuri menghentikan aktivitas Angga menyuap nasi. Lalu kembali menikmati bekal buatan Ana. “Kan aku udah bilang, bakal nganterin makan siang buat kamu. Nih dari sapa?” Tanya Yuri. Menggeser bekal yang baru dihabiskan Angga.

            Angga acuh, melanjutkan aktivitasnya meneguk segelas air putih. Angga mencekal tangan Yuri, sebelum dia dapat membawa kotak makannya.

            “Mau ngapain?” Tanya Angga datar.

            ”Buang kotak inilah. Aku nggak mau ya, lihat kamu makan bekal selain dari aku,” ucap Yuri ketus. Angga merebut kotak tersebut, lalu menyimpannya kembali. “Ih Ga, kenapa si?, Spesial banget apa tuh kotak makan, sampai diamanin gitu,” cecar Yuri. Namun Angga masih enggan menjawabnya.

            Menuang kopi hangat dari termos ke cangkir. Lalu mulai kembali menikmati kopi hangat kesukaannya.

            “Angga,” teriak Yuri kesal karena diacuhkan. “Oh atau yang buatin bekal, begitu spesial buat lo hem,” kata Yuri dibatas kesebarannya. “Jawab Ga!!” tuntutnya lagi.

            Angga menatap Yuri malas lalu menyeringai, merendahkan. Melihat penampilan seorang Yuri, yang semakin berani mengekspos lekuk tubuh serta kulit mulusnya.

            “Kalau iya, kenapa hem?” Balas Angga tenang menatap Yuri datar.

            “Siapa Ga?” tanya Yuri. Dengan wajah memerah menahan amarah. Lalu kini beralih sendu, dengan mata berkaca-kaca.

            Angga menyeringai kejam, sudah tidak terpengaruh dengan akting Yuri. “Bukan urusan lo,” kata Angga. Sudah mengganti panggilan antara dia dan Yuri.

            “Ga, kalau kamu masih marah nggak apa-apa, tapi jangan kayak gini dong,” ucap Yuri. Dengan air mata yang perlahan menetes.

            “Ck, nggak usah lo pura-pura lemah dihadapan gue. Lo kira gue nggak tahu apa yang lo perbuat dibelakang gue,” ucap Angga tak peduli isak tangis Yuri. “Nggak usah munafik, sekarang pergi,” usir Angga. “Kita putus, gue nggak mau lihat muka lo dikantor gue,” tegasnya. Mengalihkan perhatian pada kopi hangatnya.

            “Aku kasih waktu kamu buat nenangin diri, dan ini makan siangnya. Gue yang masak sendiri,” kata Yuri. Kemudian mengecup sekilas pipi Angga, sebelum keluar dari ruangan.

            Suara cangkir keramik beradu sedikit mengusik kesunyian di ruangan Angga.

POV Angga.

            Sampai dikantor aku segera menuju ruanganku, sebelum meeting dimulai. Dimeja, sudah ada berkas yang aku minta untuk diselidiki oleh Gio. Masih dengan mood yang bahagia. Aku mulai memeriksa berkas tersebut. Yang perlahan menyurutkan senyum disudut bibirku.

            Ternyata sudah lebih dari setengah tahun, Yuri bermain dibelakangku. Aku yang sudah terlanjur percaya. Tidak mau dipusingkan dengan berbagai prasangka, menyebabkan rasa sakit ini. Aku kecolongan lagi, padahal sebelumnya aku mengira Yuri adalah perempuan yang berbeda. Bahkan setiap dia meminta sesuatu, entah itu uang atau barang. Aku akan dengan segera mengabulkannya. Karena kesibukan masing-masing, membuatku jarang bisa meluangkan waktu untuknya.

            Aku urut pelipisku. Padahal aku baru memikirkan alasan untuk mengakhiri hubungan dengannya. Dan secepat permintaanku terkabul, alasan itu ada didepan mataku. Aku lihat potret Yuri dan ibunya yang tengah berbelanja bersama. Ini yang dia katakan, kalau Ibunya tengah sakit. Dan lagi ini, foto Yuri sedang jalan dengan seorang pria. Hah memuakkan, batinku. Melemparkan foto-foto tersebut.

            Sekarang aku tahu, kalau dia tidak pernah tulus terhadapku. Egoku terluka, dihianati seperti ini. Pantas Mama tidak pernah menyukai Yuri. Beberapa kali dia, aku ajak untuk bertemu Mama. Namun Mama selalu saja menolak.  

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ovina Santi Sahabi
ini sbnrx ana msh sekolah apa udh kuliah sih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status