Mobil Alpart tersebut menepi, tepat didepan gerbang kampus. Ana masih tetap menekuk wajahnya, membuat Angga terkekeh pelan. Tangan Ana sudah akan membuka pintu, namun ditahan oleh Angga.
“Pamit dulu dong sama suaminya,” kata Angga. Yang membuat Ana semakin bad mood.
Menghela napas, Ana kemudian meraih tangan kanan Angga ogah-ogahan. Mencium cepat punggung tangan Angga, lalu melepasnya. Namun tangan lembut tersebut tetap digenggam oleh Angga.
“Jangan pulang malam-malam. Jangan pecicilan saat nggak ada gue,” mata Ana memicing tak suka.
“Suka-suka mata gue, mau pecicilan atau nggak. Itu bukan urusan lo Om. Dan aturan yang lo buat waktu itu, masih berlaku ya,” kata Ana tegas.
Angga tersenyum, “Diatas aturan itu, gue tetep suami lo Ana Pradipta Wiliam.” Angga menekankan nama belakang Ana. Yang sudah berganti setelah resmi menjadi istrinya.
Kemudian perlahan meraih kepala Ana, mencium keningnya. Ana menyorot Angga tajam, lalu menepis genggaman tangan Angga. Secepatnya beranjak keluar dari mobil, sebelum dia kecolongan lagi.
Ana emosi, mengetahui bahwa Angga sudah dua kali merebut momen pertama darinya. Padahal Ana ingin memberikan semua itu kepada orang yang dia cintai. Ana berusaha untuk tidak berteriak, meluapkan kekesalannya. Masuk kelas Ana langsung menelungkupkan kepalanya ke meja. Nyebelin banget si, batinnya sambil memukul meja dengan kepalan tangannya.
.
Angga menggeleng, melihat Ana sudah keluar dari mobilnya. Masih mengukir senyum, Angga menjalankan mobilnya ke kantor. Angga mengakui kalau dirinya mulai tertarik dengan Ana.
“Ngegemesin banget si istri kecil gue,” gumamnya sendiri ditengah kemacetan.
Walau terjebak dalam kemacetan. Angga tetap sesekali tersenyum, mengingat ekspresi kesal istrinya.
“Kayaknya gue harus ambil tindakan ke Yuri,” katanya. Kembali melajukan mobilnya.
.
“Lo kenapa dah Na?” Tanya Vita. Meletakkan sepiring siomay dihadapan Ana. “Jutek gitu mukanya,” kemudian duduk dihadapan Ana.
Ana dan para sahabatnya tengah menghabiskan waktu istirahatnya dikantin. Dengan suasana yang penuh. Tak menyurutkan antusiasme mereka untuk ikut mengisi perut.
“Senyum dikit kek, cantiknya ilang lo,” ujar Hana.
Ana menghela napas, lalu menormalkan raut wajahnya. Minum es teh manis, selanjutnya menyantap siomay dihadapannya.
“Eh Na, by the way lo udah jarang keliatan bareng sama Rama nih,” celetuk Tasya. Membuat Ana mendongak.
“Ya gitu deh, kebanyakan tugas jadi lupa kalau punya pacar,” jawab Ana. Lalu melanjutkan kegiatan makannya.
“Iya si, emang dosen pada nggak ngira kalau kasih tugas,” keluh Lira menyetujui perkataan Ana.
“Ati-ati aja sih Na. Lo kan tau Elena masih gencer, ngedeketin pacar lo,” ucap Vita, yang sangat dipahami oleh Ana.
“Gue nggak mau kepikiran banget si soal itu. Ya kalian kan pada tahu, kita udah semester akhir. Bentar lagi skripsi, nggak mau lah gue capek mikir gituan,” ucap Ana.
“Bener si kata lo. Kita pada juga udah cukup lah main-main, ngarasain gimana serunya masa maba sampai sekarang, ya nggak,” kata Tasya menyeringai. Memandang satu persatu sahabatnya.
Tawa lepas terdengar pecah diantara mereka. Mengingat kejadian-kejadian yang mereka alami bersama. Mulai dari bolos bersama buat liat konser. Dan masih banyak lagi kenakalan lainnya, yang sudah mereka lewati bersama. Pahit manisnya kenangan menjadi mahasiswa. Namun semua itu, tidak pernah menurunkan prestasi akademik mereka.
“Walau gue nggak yakin si sama pernikahan gue. Tapi gue juga nggak bisa ngelawan pilihan orang tua,” ucap Ana pelan.
Lira menepuk pundak Ana pelan, “Ada kita yang akan selalu ada buat lo Na.” Ucapan Lira. Menerbitkan senyum hangat Ana.
“Bilang aja sama gue, kalau Om-om itu macem-macem sama lo,” ucap Vita sambil mengepalkan tangannya.
Ana bersyukur memiliki mereka. Sahabat yang selalu membantu dan mendukungnya disituasi apapun. Bel tanda masuk berdering, sejenak memisahkan mereka dari keseruan. Harus kembali berkutat dengan banyak materi.
.
“Sayang,” suara Yuri menghentikan aktivitas Angga menyuap nasi. Lalu kembali menikmati bekal buatan Ana. “Kan aku udah bilang, bakal nganterin makan siang buat kamu. Nih dari sapa?” Tanya Yuri. Menggeser bekal yang baru dihabiskan Angga.
Angga acuh, melanjutkan aktivitasnya meneguk segelas air putih. Angga mencekal tangan Yuri, sebelum dia dapat membawa kotak makannya.
“Mau ngapain?” Tanya Angga datar.
”Buang kotak inilah. Aku nggak mau ya, lihat kamu makan bekal selain dari aku,” ucap Yuri ketus. Angga merebut kotak tersebut, lalu menyimpannya kembali. “Ih Ga, kenapa si?, Spesial banget apa tuh kotak makan, sampai diamanin gitu,” cecar Yuri. Namun Angga masih enggan menjawabnya.
Menuang kopi hangat dari termos ke cangkir. Lalu mulai kembali menikmati kopi hangat kesukaannya.
“Angga,” teriak Yuri kesal karena diacuhkan. “Oh atau yang buatin bekal, begitu spesial buat lo hem,” kata Yuri dibatas kesebarannya. “Jawab Ga!!” tuntutnya lagi.
Angga menatap Yuri malas lalu menyeringai, merendahkan. Melihat penampilan seorang Yuri, yang semakin berani mengekspos lekuk tubuh serta kulit mulusnya.
“Kalau iya, kenapa hem?” Balas Angga tenang menatap Yuri datar.
“Siapa Ga?” tanya Yuri. Dengan wajah memerah menahan amarah. Lalu kini beralih sendu, dengan mata berkaca-kaca.
Angga menyeringai kejam, sudah tidak terpengaruh dengan akting Yuri. “Bukan urusan lo,” kata Angga. Sudah mengganti panggilan antara dia dan Yuri.
“Ga, kalau kamu masih marah nggak apa-apa, tapi jangan kayak gini dong,” ucap Yuri. Dengan air mata yang perlahan menetes.
“Ck, nggak usah lo pura-pura lemah dihadapan gue. Lo kira gue nggak tahu apa yang lo perbuat dibelakang gue,” ucap Angga tak peduli isak tangis Yuri. “Nggak usah munafik, sekarang pergi,” usir Angga. “Kita putus, gue nggak mau lihat muka lo dikantor gue,” tegasnya. Mengalihkan perhatian pada kopi hangatnya.
“Aku kasih waktu kamu buat nenangin diri, dan ini makan siangnya. Gue yang masak sendiri,” kata Yuri. Kemudian mengecup sekilas pipi Angga, sebelum keluar dari ruangan.
Suara cangkir keramik beradu sedikit mengusik kesunyian di ruangan Angga.
POV Angga.
Sampai dikantor aku segera menuju ruanganku, sebelum meeting dimulai. Dimeja, sudah ada berkas yang aku minta untuk diselidiki oleh Gio. Masih dengan mood yang bahagia. Aku mulai memeriksa berkas tersebut. Yang perlahan menyurutkan senyum disudut bibirku.
Ternyata sudah lebih dari setengah tahun, Yuri bermain dibelakangku. Aku yang sudah terlanjur percaya. Tidak mau dipusingkan dengan berbagai prasangka, menyebabkan rasa sakit ini. Aku kecolongan lagi, padahal sebelumnya aku mengira Yuri adalah perempuan yang berbeda. Bahkan setiap dia meminta sesuatu, entah itu uang atau barang. Aku akan dengan segera mengabulkannya. Karena kesibukan masing-masing, membuatku jarang bisa meluangkan waktu untuknya.
Aku urut pelipisku. Padahal aku baru memikirkan alasan untuk mengakhiri hubungan dengannya. Dan secepat permintaanku terkabul, alasan itu ada didepan mataku. Aku lihat potret Yuri dan ibunya yang tengah berbelanja bersama. Ini yang dia katakan, kalau Ibunya tengah sakit. Dan lagi ini, foto Yuri sedang jalan dengan seorang pria. Hah memuakkan, batinku. Melemparkan foto-foto tersebut.
Sekarang aku tahu, kalau dia tidak pernah tulus terhadapku. Egoku terluka, dihianati seperti ini. Pantas Mama tidak pernah menyukai Yuri. Beberapa kali dia, aku ajak untuk bertemu Mama. Namun Mama selalu saja menolak.
Sambil mengobrol, ibu dan menantu tersebut menyiapkan makan malam. Seperti sebuah reuni, Indira benar-benra bersuka cita menyambut kedatangan putra dan menantunya. Karena ini kunjungan pertama mereka setelah resmi menikah. Walau sempat tertunda, namun tak melunturkan kebahagiaan Indira. “Angga masih mandi An?” “Iya Ma,” Mulai menata hidangan dimeja makan. Henri, Papa Angga mulai bergabung dimeja makan. Melihat dihadapannya sudah tersaji berbagai makanan menggugah selera. Melengkungkan senyum tipis, melihat perempuan beda generasi tengah berbincang ria. Sudah seperti teman lama. Padahal seingatnya, Indira baru mengenal Ana. Tapi mereka bisa langsung akrab seperti ini. &nb
“Aku sudah sampai, kamu dimana An?” Sebuah pesan masuk, membuat Ana tidak lagi fokus pada obrolan Vita dan Tasya. Yang sibuk menceritakan bimbingan beberapa waktu lalu. “Gue balik dulu ya guys, kak Angga udah sampai katanya,” ujar Ana lalu membawa tasnya. Jangan lupa draft yang sudah penuh coretan Pak Hari. Tadi Ana sempat sedikit bercerita sikap dosen pembimbing pada para sahabatnya. Yang kemudian mendapat reaksi beragam dari mereka. Sekilas lebih banyak keterkejutan, beda dengan Rama yang datar saja mendengar cerita itu. Tidak memberi komentar lebih, tetapi menatap sedikit lama ke arah Ana. Yang jelas disadari oleh gadis itu. &
Vita sudah berpesan untuk menunggu di lobi apartemen saja. Padahal niatnya Ana ingin mengendarai mobilnya sendiri. Sebelumnya mereka kurang setuju jika hari ini mencari bahan. Karena pastinya mereka hanya akan sempat membeli bahan penelitian. Tidak sekaligus bisa hang out menjernihkan pikiran yang sudah kusut oleh proses penelitian dan bimbingan. Ana masih bersiap, setelah berendam air hangat dengan aroma terapi. Sedikit meringankan pikiran yang sebelumnya penat disebabkan Angga. Memakai dress selutut berlengan panjang. Dengan bahan yang dingin sungguh terasa nyaman memeluk kulitnya. Memakai make up natural seperti biasa, dia melirik lipstik baru yang belum pernah dipakai. Memakai lipstik warna marun yang cocok dengan hitam rambutnya. Memindahi penampilannya di depan cermin. &
Mendengar dering panggilan, Angga hanya melirik ponselnya yang tergeletak dinakas. Tanpa ada niat untuk melihat dari mana panggilan itu berasal. Ponsel itu kembali berdering, mendengus malas. Akhirnya Angga meraih ponselnya dengan penampilan yang masih berantakan. Kancing kemeja belum terpasang sempurna, apalagi dasi. Dasinya masih terlipat rapi diatas ranjang. Menggeser tanda hijau, sambil berlalu keluar dengan jas dan tas kerja di tangannya. Dia lebih terlihat seksi dengan tampilan berantakan seperti itu. ”Iya Dinar,” sapanya selagi berjalan mendekati meja makan. Meletakkan tas kerja dan jasnya di kursi. Ana melirik Angga yang masih berantakan, sambil menerima telpon. Melanjutkan pekerjaannya, menata hidangan di meja makan. Ana tinggal menunggu air
Menyelesaikan pekerjaan yang tersisa, Angga sesekali melirik Ana yang sudah terlelap. Tidak pernah terbayang jika Ana akan bermalam dikamarnya. Yang bahkan sebelumnya gadis itu tidak pernah tinggal setelah menyelesaikan urusannya. Bibirnya sedikit melengkung, ditengah kesunyian hanya ditemani suara ketikan keyboard. Hampir tengah malam ketika Angga selesai, membereskan berkas-berkasnya. Menatanya dimeja untuk besok dibawa ke kantor. Melangkah mendekati ranjang, Angga seakan belum percaya dengan pemandangan ini. Dengan lelap Ana tidur, menghadap ke arahnya. Angga bergerak naik, ikut bergabung disamping Ana. Berhadapan tepat, mereka berada dalam balutan selimut yang sama. Angga tidak bisa menjelaskan euforia dalam hatinya. Meski dalam diam, dia terus menatap istrinya lekat. Memastikan bahwa sosok didepan matanya ini nyata, bukan hayalan.
Mengartikan apa yang dia rasakan. Ana menikmati ritme detakan ini. Ikut menghangatkan suasana antara keduanya. Sampai kilasan para wanita yang dibawa Angga ke apartemen. Mengganggu pikiran sekaligus menyentil hatinya. Mendorong dada itu sampai tercipta jarak antara keduanya. Pandangan mereka saling menumbuk. Sungguh ada banyak tanya dalam hati Ana. Yang selama ini hanya berlalu, tanpa ingin diungkapkan. Berpikir semua itu bukan menjadi urusannya. Tapi setelah Angga menjelaskan demikian. Seakan menganggap kehadirannya adalah penting bagi kehidupan laki-laki itu. Membuatnya memikirkan kembali semua sikap acuhnya selama ini. “Apakah Nabila hanyalah sebatas mantan kekasih?” Tanya Ana seraya menaikkan salah satu alisnya. Mencoba tidak menunjukan keingintahuan yang mencolok.