Malam itu, setelah menghabiskan beberapa waktu dengan membaca jurnal ayah yang memiliki bahasa tinggi, aku terlelap begitu saja.
Dan mataku terbuka.
Namun, gelap. Tidak ada cahaya sama sekali.
Di sekitar tidak terlihat apa pun, baik itu langit-langit, tempat berpijak, atau apa pun. Kosong seperti hampa. Hanya kegelapan mencekat.
Tubuhku agaknya berdiri. Namun, aku ingat tertidur di meja dengan posisi kacau. Tanganku terasa ringan seperti sehabis mengangkat beban berat.
Dan tiba-tiba aku merasa perlu meraba saku celana. Aku menemukan ponsel dan menyalakannya. Cahaya itu menerangi ruang kosong. Aku tidak tahu mengapa, tetapi cahaya mulai mengarah ke sekitar. Tubuhku bergerak sendiri. Dan cahayanya bergetar, seolah aku takut dan tubuh ini seperti bukan milikku lagi.
Aku berjalan, dan di langkah pertama, terdengar suara seperti besi terjatuh.
Jadi, aku memberanikan diri menyinari benda yang kuinjak.
Itu rantai—
—
Jantungku melompat.Aku membuka mata, melihat kilasan bahwa kepalaku akan menanduk meja. Selang sedetik, keningku membentur meja, dan rasa sakit di kepalaku terasa nyata.Mimpi.Begitu menyadarinya, seseorang meremas lenganku. Aku menoleh, mendapati Rena yang panik luar biasa. Dia menatapku—cemas. Dan dalam masa yang sulit untuk kuterima, dia mendekat. Aku masih sulit menggapai sekitar, ketika dia mulai melingkarkan lengan ke punggungku.“Kau di sini,” katanya, memelukku. “Charlie, kau di sini.”Entah bagaimana perasaan lega menguasaiku. Aku tidak tahu apa yang dia lihat, tetapi tubuhku kaku layaknya disengat listrik. Pandanganku kaku menatap lurus. Seluruh tubuhku bergetar. Keringat menyelimutiku. Aku tahu ketakutan itu kembali menguasai segala hal tentang benakku.Jadi, suaraku bergetar kuat. “Aku kembali.”“Kau tidak pernah pergi,” katanya, di pundakku.“Kau terluka
Itu pertama kalinya aku mengalami mimpi buruk sejak Rena bersamaku.Entahlah, aku tidak terlalu ingin memikirkan itu. Yang jelas: aku punya niat meledakkan diri kalau mengingat itu. Sebenarnya ada suatu perjanjian tidak tertulis kalau dia tidak boleh menangis di depanku lagi, dan, ya, kami sama-sama berjanji karena topik masa lalu bisa menyinggung kami berdua—sekaligus. Namun, siapa yang menyangka kalau janji itu dipecahkan olehku?Belum lagi, dia Rena. Gadis yang, kau tahu, kalau ingin jail, dia akan benar-benar jail sampai ubun-ubun. Selama dua hari ini, dia tidak berhenti menggoda. Dia akan berhenti di dekatku, memasang senyum sangat lebar, lalu berkata, “Kau imut kalau menangis. Mau menangis lagi di pelukanku?”“Tutup mulutmu atau aku menangis setiap hari.”“Kalau mau memelukku, belikan aku donat paling enak di muka bumi.”Di sisi lain, aku juga semakin dalam menyelidiki kecelakaan Rena bersama Louist.
Aku memutuskan ke toko kelontong, meminjam motor butut Kakek. Di sana ada Louist. Jadi, aku meminta bantuannya agar memberi pengamanan ekstra selama kami berada di Kawasan Normal.“Rasanya aku jadi budakmu,” katanya. “Kau yakin?”“Selama aku bisa membuatnya tertutup, kurasa aman.” Dia memberi kunci motor. “Sudah waktunya dia tahu semua ini.”“Yah, aku tahu ini akan terjadi.” Dia memberiku bola karet. “Bom asap dan sedikit gas air mata. Kau bisa membayarnya dengan jam kerja.”“Ini kerja rodi,” kataku. Namun, kami sepakat.Jadi, aku kembali dengan motor yang memiliki knalpot tidak bersuara. Aku meminta Rena memakai hoodie, dan dia tertawa saat aku memberinya topi.“Penyamaran ini lagi. Kau suka, ya?”“Sepertinya satu minggu berdiam di satu tempat membuatmu gila.”Dan tiba-tiba aku mencium aroma tertentu yang cukup mengusik
Begitu meletakkan bunga di makam ayahku, Rena terdiam begitu lama dan aku hanya membisu saat dia mulai menangis. Aku tidak yakin gagasan apa yang membuatnya seperti ini, tetapi tampaknya dia memang akan seperti ini.“Kurasa aku juga akan menangis meminta restu ibumu,” kataku.Dia menendang bokongku.Sayangnya, suasana bersahabat itu tak bertahan lama. Saat di depan makam ibuku, giliranku yang merasa sedih. Benak kecilku tahu kalau selalu memendam—bahwa aku gagal mengikhlaskan kepergiannya. Mungkin aku melupakannya, tetapi rasa sakitnya membekas seolah aku tidak mau itu hilang. Dan tampaknya itu sudah tergambarkan di wajahku karena Rena mulai menyandarkan kepalanya.“Astaga. Kau semakin berani saja,” kataku, mengusap mata meskipun tidak menangis. “Aku punya dua pertanyaan untukmu.”“Kuharap kau tidak sedang menggodaku karena situasinya seperti ini.”“Pertanyaan ibuku. Apa orang yang
Hari kedua belas Rena di Rumah Pohon, segalanya meledak.Tepat setelah periode keempat, Regan Reeves mencegatku keluar dari kelas fisika, lalu sekonyong-konyong menonjokku dengan telak. Biasanya dia tak pernah bisa menyentuh wajahku, tetapi kali ini dia berhasil. Aku menabrak pintu, bahkan terbanting hingga kembali masuk ke kelas.Harga diri membuatku segera bangkit, tetapi sungguh, ini menyakitkan.“KAU MENCULIK RENA!” Dia langsung menuduh, berniat menghajarku lagi, tetapi Sir Bram merelai kami tepat sebelum tinjuku bersarang. Dia menahanku, sementara murid-murid lain menahan Regan Reeves.Aku berniat melawan Sir Bram karena akal sehat para penghuni Akademi Grinover pasti sudah hilang untuk menghadapiku. Jadi, aku berontak, berniat lepas dari genggamannya. Namun, tiba-tiba Sir Bram berbisik.“Kalau kau punya waktu melawan, lebih baik pergi dari sini.”Itu membuatku membeku. Sir Bram terkesan bicara di telingaku. Maka
Aku tidak tahu apa yang terjadi antara Helva dengan Bu Hiroko. Yang aku tahu: Bu Hiroko tidak kembali sejak bicara dengan Helva.Dia baru muncul lagi saat jam pulang sekolah.Pada waktu itu juga Bu Hiroko langsung menyerangku dengan raut cemas bercampur emosi. Kerutan di keningnya seperti akan menamparku, dan tangannya seperti akan menonjokku. Aku sedang membaca majalah, hingga refleks menjauh begitu melihatnya menghampiriku seperti itu.Aku terhimpit antara tembok dengan Bu Hiroko, ketika dia mencengkeram kausku dengan tatapan sangat tajam.“Charlie, kau tahu apa yang sudah kau lakukan?”“Tidak tahu,” kataku, panik. “Yang mana?”“Kau tahu posisimu sudah terpojok? Apa yang akan kau lakukan?”Aku berusaha berpikir jernih. Sebenarnya aku tidak terlalu khawatir tentang ke depannya. Namun, kupikirkan Bu Hiroko—sudah semestinya dia cemas.Aku menelan ludah. “Kurasa aku haru
Area 7 Distrik Lockwood. Ramai. Aku menunggu di persimpangan yang dikelilingi pusat perbelanjaan sembari sesekali melirik ke arah kafe. Ternyata kafe itu tutup. Baru dibuka sekitar pukul 17:30. Helva memperhitungkan segalanya. Dia pasti punya rencana, meski aku tak tahu itu untukku, atau untuk dirinya sendiri, atau untuk tahu tentang Rena. Aku tak punya tempat lain untuk melihat, jadi aku berdiri di halte persimpangan, titik yang paling bisa dilihat kamera pengawas.Kalau Rena iseng melihat layar, ada kemungkinan dia melihatku.Pukul 17:35. Seolah tahu mobil boks yang melintas pelan itu dirinya, aku mengacungkan jempol ke jalan, selayaknya orang mencari tumpangan.Dan dia berhenti. Jendelanya terbuka. Tampaknya dia juga sudah mengerti soal titik buta kamera pengawas. Dari sudut ini, meskipun duduk di kursi sopir, dia tidak akan terlihat. “Masuk,” katanya.Aku baru naik, duduk, dia langsung memerintah. “Matikan ponselmu.”&ld
Pada akhirnya, aku kembali ke Rumah Pohon melebihi jam sebelas. Semua itu karena Louist melarang Helva pergi. Maksudku, ya, begitu malam tiba, sembari memastikan tidak ada yang mengikuti, kami pergi ke toko kelontong.Dan Louist menyambut kami, yang cukup membuat Helva takut.Namun, setelah beberapa perbincangan—aku tidak tahu bagaimana—tetapi selama aku tetap di sana, Helva bisa menenangkan diri. Jadi, Louist ingin bertanya banyak hal terkait kecelakaan Redie Lockwood, dan—tentu saja, Helva tidak tahu apa-apa. Dia seperti Bu Hiroko, bahkan balik bertanya, “Itu pembunuhan?”Jadi, kami menjelaskan beberapa hal tentang perkembangan penyelidikan yang membuat Helva terheran-heran. “Kalian menyelidiki semua itu? Sungguh?”“Dia yang paling banyak menemukan petunjuk,” kata Louist, menunjukku.“Bukan hal yang patut dibanggakan,” komentarku.Helva terlihat penasaran denganku. Jadi, kam