Share

6. Mimpi Buruk

"Tidak seperti yang kau pikir, aku baru saja pulang dari olahraga tenis malam, apa kau tidak lihat bajuku ?"

"Ya, tentu saja aku bisa melihatnya tapi kau selalu hadir dalam hidupku. Kenapa ? Apa kau sengaja melakukannya ?"

"Tidak sepenuhnya tapi memang ada benarnya."

"Apa maksudmu ?"

"Ya, aku memang sengaja hadir dalam hidupmu untuk menghantuimu."

"Tidak lucu !"

"Karena aku memang bukan pelawak."

Anneth berusaha mengendalikan nafasnya.

"Siapa kau sebenarnya ? Jawab aku sekarang atau jangan pernah lagi menemui dan mendekatiku."

"Apa kau mengancam ?"

"Iya, anggap saja ini ancaman. Aku tidak pernah mengenalmu dan tiba - tiba saja kau sering datang dalam hidupku seolah kau ini seperti Spiderman yang sok pahlawan."

"Santai, Ann. Akan kujelaskan semuanya tapi kurasa tidak hari ini. Kulihat kau begitu kelelahan. Kuantar kau dengan motorku, bagaimana ?"

"Baiklah. Tolong jawab satu pertanyaanku dulu, siapa itu Lea ? Kenapa kau memberi satu nama yang orangnya bahkan sudah meninggal."

"Akan kujelaskan semuanya, Ann. Tidak ada rahasia diantara kita, kau bisa pegang janjiku tapi tidak hari ini."

"Lalu kapan ? Apa menunggu aku mendapat suatu musibah dulu baru kau datang menemuiku seperti yang selama ini kau lakukan ?"

"Kenapa kau bicara seperti itu ? Minggu depan, aku sendiri yang akan menemuimu. Tunggu saja, aku akan datang."

Mereka berboncengan naik motor Harley milik pria misterius itu dalam suasana hening. Anneth tak tahan dengan keheningan. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan dan mulai membuka suara.

"Jadi, dimana rumahmu ?"

"Di perumahan area barat."

"Apa sesekali aku boleh mampir ke rumahmu ? Kurasa sekarang kita bisa teman yang baik, kalau kau mau. Kau juga telah sering menolongku."

Wajah Anneth yang lembab berusaha menyingkirkan semua kecurigaaan pada pria misterius tak bernama itu.

"Ya baiklah kalau itu maumu. Kita bisa jadi teman yang baik dan minggu depan kita akan ke rumahku."

"Hari minggu."

"Apa ?"

"Iya, kubilang hari minggu saja kita ke rumahmu. Aku akan mendaftar ke kampus dan perkuliahannya bisa berlangsung kapan saja. Kalau kau mau menjemputku aku sudah berada di Sakura House sesuai brosur yang kau berikan padaku, kalau tidak mau aku bisa naik bus sendiri."

"Baiklah, nona, aku akan menjemputmu. Kurasa ide yang bagus juga jika kita bisa menghabiskan waktu yang panjang bersama."

"Ya, tapi jangan berpikir macam - macam."

Pria misterius itu tertawa terkekeh - kekeh dan untuk pertama kalinya Anneth mendengar suara tawa pria berambut mohawk itu. Harley terus melaju diantara kesunyian malam menuju penginapan Anneth.

Usai membersihkan tubuh di air pancuran, Anneth menyantap nasi dengan lauk dan sayur yang telah dibelinya tadi. Ia sudah menghangatkan sup kacang merah sebelum menghabiskan dengan lahap makanan yang tersedia seperti orang kelaparan. Anneth melanjutkan membereskan barang - barang yang tersisa dan menumpuk kardus - kardus yang masih berserakan kemudian menghabiskan malamnya dengan tidur nyenyak.

Tidakkkk… Tolonggg.... Jangannnnn… Bedebahhh… Sialannnn kaliannn… Terkutuklah kalian semuaaa....

Beragam sumpah serapah dan kata - kata terucap dari mulut Anneth. Dari  dalam tubuhnya mengucur deras keringat dan membasahi T- shirt ketatnya. Bibirnya masih saja meracau tak jelas. Adrenalin tubuhnya memacu begitu keras lalu kaku dan menegang. 

Beberapa saat kemudian…

Anneth membuka matanya perlahan dengan nafas terengah - engah seolah telah berlari beribu - ribu kilometer jauhnya. Ia mengusap keningnya yang telah basah dengan kedua telapak tangannya lalu menyusuri rambut pendeknya yang tergerai dan terasa lepek karena keringatnya. Suasana kamar yang gelap menambah kesuraman keadaan. Anneth segera menyalakan lampu meja. Ia menatap alarm, jarum jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Setelah merasa sudah mampu mengendalikan diri dan keadaan, ia menarik selimut dari tubuhnya dan bangkit menuju wastafel. Langkahnya goyah dan lunglai. Anneth menatap dirinya di cermin tampak begitu kacau dengan rambut pendeknya yang berantakan. Ia mengambil kuncir di wastafel dan mengikat rambutnya ala kadar. Anneth memutar kran wastafel lalu menguncurlah air darisana. Ia menampung air dengan kedua telapak tangan yang disatukan lalu membasuh mukanya dengan air itu. Anneth mendesah perlahan. Ia merasakan kesegaran mengalir dari tiap tetesan air  dan dapat sejenak melupakan mimpi - mimpi buruk yang telah menghantuinya. Anneth mengayunkan pelan kakinya menyusuri lantai berkeramik putih menuju kembali ke ranjangnya. Ia mengambil wadah botol kapsul dari laci, membuka tutupnya lalu menelan dua butir kapsul kemudian meneguk sisa air dalam gelas di meja yang letaknya berdekatan dengan ranjang. Ia menekan tombol off lampu mejanya lalu mencoba membaringkan kembali tubuhnya dan menutup perlahan kedua matanya.

Matahari telah menyingsing saat Anneth membuka jendela kamar. Ia memicingkan mata saat sinar matahari menyinari jendela kamarnya dan mengenai wajah mulusnya. Anneth berbalik badan dan melihat tumpukan kardus dan barang - barang yang sepertinya sudah bersiap untuk menjadi penghuni baru tempat selanjutnya. Ia pun melangkah untuk mengambil handuk di gantungan dan bra serta celana dalam di lemari lalu  melanjutkan langkah kakinya menuju kamar mandi sebelum berangkat kerja. Pagi ini tidak tampak ketegangan yang menyelimuti sekujur tubuhnya seperti kemarin malam. Sejenak ia telah melupakan mimpi buruknya meski tak seutuhnya. Anneth tahu sampai kapanpun mimpi buruk itu akan terus menggelayuti dirinya meski ia mencoba melupakannya. Namun, dirinya tahu ia takkan pernah mengubur kejadian yang kembali muncul dalam mimpinya itu. Tak akan pernah. Seumur hidupnya. 

Anneth menerima voucher kupon dari Savvy saat bertemu di koridor kamar hotel. Sungguh Anneth tak tahu kenapa atasannya itu begitu baik dengannya. Kupon untuk makan pizza di resto pizza terkenal, sungguh menarik. Anneth tersenyum dan mengucapkan terima kasih atas pemberian kupon itu, tak mungkin baginya menolak karena rasa sungkan. Sejenak terbesit pikiran di benak Anneth apakah Savvy mempunyai perasaan suka pada dirinya karena kebaikan yang diberikan pada dirinya. Namun, cepat - cepat Anneth menepis pikirannya itu. Mustahil, pikirnya. Savvy pun menghilang di balik pintu ruangannya

Samara mengambil voucher kupon dari jemari Anneth. Ia mengamati kupon itu lalu beralih ke wajah Anneth. Tubuh Anneth jadi kikuk dibuatnya. Senyum mengintimidasi tersungging di bibir Samara.  

"Aku benar - benar kehilangan akal. Bisa coba kau jelaskan padaku, kenapa Savvy bisa sebaik itu padamu ? Tertarik padamu ? Apakah itu hal yang sempat terbesit di benakmu ? Hahaha… Jangan konyol, Ann. Savvy berbeda kelas denganmu. Sekalipun dia tidak tertarik padamu tapi kau menyimpan sedikit perasaan suka padanya, kau harus segera menghapus perasaan itu."

"Kenapa ?"

"Karena Savvy akan menikah denganku. Orang tua kami telah menjodohkan kami. Jadi, lupakan semua mimpi - mimpimu untuk menjadi istri pemimpin Hotel Pandawa ini."

Anneth terhanyut sesaat dengan kata - kata yang dilontarkan Samara. 

Istri pemimpin hotel ? Bukannya Pemimpin hotel ini Pak Devisser ? Aku bahkan melihat dengan langsung raut muka istrinya atau jangan - jangan  maksud Samara adalah Pak Savvy memang benar anak Pak Devisser seperti gosip yang selama ini beredar ? Apakah aku perlu mencari buktinya tapi untuk apa. Meski Savvy memang anak Pak Devisser apa urusannya denganku. Toh, dia juga tidak menyukaiku, dia hanya baik saja padaku dan mungkin semua orang. Titik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status