Di balik pintu, permadani bak sutra tergelar diatas kaki para bangsawan yang saling bercengkrama dengan segelas wine di tangan mereka. Kenyataan bahwa pakaian rakyat yang bahkan tak seindah apa yang mereka injak tersebut membuat tuan muda itu terdiam.
"Zeindalr Elmardillo!" Seruan seseorang langsung membuat pandangannya beralih. Terlihat pria berbadan gempal tengah tersenyum lebar kepadanya dari atas tangga. "Pewaris tunggal keluarga Elmardillo Fanarlta!" Lanjutnya, kemudian turun dengan cepat.
Beberapa orang menoleh ke arahnya karena penasaran, ingin melihat secara langsung bagaimana rupa tuan besar paling muda yang berhasil memegang kekuasaan di salah satu wilayah terbesar mereka.
Tertawa bangga setelah berhasil mengumpulkan bangsawan berpengaruh ke dalam pertemuan, pria bertubuh gempal itu kemudian menepuk bahunya bagaikan teman lama. Zein membalas dengan senyum ramah.
"Apa kabar, tuan Henry Grandes?" Tanya Zein, tuan pemilik acara itu terlihat begitu senang.
"Oh, aku sangat baik tuan Zein. Aku tidak menyangka dapat bertemu denganmu secara langsung." Gelaknya, "kau lebih muda dari dugaanku."
Zein tertawa kecil. Pin kecil yang dikenakan Henry sedikit menarik perhatiannya. "Senang bertemu denganmu. Ku harap hubungan kita terjalin semakin baik." Usai berkata demikian, tiba-tiba desis penuh amarah terdengar di daun telinga, Zein melirik sekilas.
"Apakah dia.." Batin Zein, menelisik pandangan arwah yang sedari tadi mengikutinya itu pada Henry. Sekelebat bayangan tentang dua orang yang hampir menabraknya di gang tadi mengingatkannya pada pin kecil yang Henry kenakan. Pin yang menunjukkan identitas sebagai salah satu anggota pemerintahan Grandes.
Sosok hitam itu terus menggeram dibalik bahunya. Mata merah itu terlihat menyala-nyala, menahan benci yang begitu membara saat melihat manusia gempal itu masih dapat tersenyum begitu lebar setelah apa yang ia perbuat.
"Belum saatnya." Bisikan lembut Zein berhasil membuat arwah itu kembali tenang.
Mereka membicarakan banyak hal, "Baiklah, selamat menikmati acara ini Zeindalf. Aku akan kembali menyapa yang lain." Ucap Henry kemudian. Mengundurkan diri tanpa menyadari sebuah rencana mengiringi senyum tipis dibibir sang tuan muda.
-0-
Anak-anak itu berlarian dengan nafas tersengal-sengal. Satu persatu dari mereka berhasil lolos dari kejaran dua orang lelaki dewasa yang mengenakan seragam aparatur keamanan. Membuat mereka berdecih kesal.
"Hoi, berhenti!" Seru salah seorang dari mereka. Berdalih para anak kecil itu begitu mengganggu jalanan kota karena mengemis iba, mereka mengejarnya hanya untuk memukuli anak-anak itu agar kembali ke lingkungan kumuh. Tempat seharusnya mereka berada.
Anak-anak yang tersisa masih berusaha lari dari kejaran. Tubuh kecil dan kurus mereka gesit hingga membuat pria-pria dewasa itu kelelahan. Namun sial akhirnya mereka memasuki sebuah gang buntu, dan merekapun terkepung.
"Mau lari kemana lagi kalian, hah?!" Bentak pria dengan wajah garang. Nafasnya terengah, tapi rautnya nampak puas karena berhasil menangkap buruan. Lima anak kecil yang berada dihadapan mereka hanya bisa menangis sembari beringsut menjadi satu, saling memeluk dengan pandangan takut.
"Kemari!" Teriaknya lagi. Tak ada satupun yang bergerak, hingga harus ditarik paksa dan diangkat dengan kasar.
"Dasar anak-anak hina, sekarang kalian tidak bisa lari lagi hahaha!" Tertawa keras tanpa rasa bersalah, bocah yang masih terangkat itu menatap bengis penuh kebencian. Tangan kecilnya berusaha menggapai wajah si prajurit, ingin sekali mencakar rupa jeleknya. Tapi tak cukup sampai dan malah makin membuat pria sangar itu tertawa senang.
Sosok prajurit lainnya nampak menatap satu persatu anak-anak itu. Kemudian matanya menyipit ketika mendapati seorang gadis kecil diantara mereka. Senyumnya mengembang menakutkan. Bocah lelaki yang menyadari adiknya tengah diincar, semakin mempererat dekapan. Tak akan membiarkan siapapun menyentuh adik perempuannya.
"Kak Vinz, aku takut.." Bisik gadis kecil itu, ketakutan. Badannya bergetar didalam pelukan sang kakak.
Perlahan, prajurit itu mendekati mereka. Kemudian menarik gadis kecil itu dengan paksa.
"Lepaskan adikku!"
"Kakak tolong aku!"
Mereka memberontak. Anak lelaki itu berusaha keras menarik sang adik dari cengkraman pria yang terus saja tersenyum jahat. Namun badannya yang lebih pendek tak mampu meraih sang adik, kepalanya ditahan oleh telapak yang memiliki tenaga jauh lebih besar darinya.
Dengan bejat, lelaki itu mulai mendekatkan wajahnya ke anak perempuan itu. Sang kakak secara spontan menggigit tangan prajurit sampai lelaki itu berteriak kesakitan. Merasa emosi, pria itu langsung menendangnya hingga terpental dan menabrak dinding.
Rasa sakit yang mendera kepala dan tubuhnya membuat ia tak mampu bergerak. Tangisan demi tangisan memenuhi gang buntu tersembunyi itu. Satu persatu anak-anak tak berdosa dihukum dengan cara yang keji, dilukai kejam hanya karena mengiba demi dapat mengisi perut yang kelaparan.
Sakitnya pukulan dan tendangan tak terasa ketika mata bocah lelaki itu menatap sang adik diperlakukan tak senonoh oleh salah satu prajurit. Gadis kecil itu tak berdaya dibawah kungkungan pria bejat yang tak berhenti melakukan hal hina padanya. Teriakannya terus menggema tanpa bisa diselamatkan oleh sang kakak, hingga perlahan tangisannya mulai melemah. Dan sang kakakpun melihat adiknya meregang nyawa.
"GRETTA...!"
Bayang-bayang kematian adiknya yang mengenaskan terus menerus terulang dipikiran Vinz. Anak lelaki itu diam tak bergerak memendam rasa benci dan kemarahan yang teramat sangat.
Sedangkan sang penjaga-Martin berdiri menyandar di pagar, hanya memperhatikan anak itu yang terus mengusap air matanya dari balik kaca kereta. Ia tak ingin bertanya, bahkan dia tak punya niatan sedikitpun untuk mencampuri urusannya. Tetapi setelah terikat sebagai bawahan Zein, tuannya itu mau tak mau harus membuatnya berperan untuk menuntaskan masalah-masalah tidak penting manusia.
"Hah, merepotkan." Keluhnya, menggaruk kepala. Rasanya ia ingin pergi dan menjelajahi gunung di depan sana. Mencari beberapa rusa, lalu mencabiknya, dan memakannya dengan nikmat.
Namun tentunya Zein tidak akan membiarkannya pergi disaat seperti ini. Tuan mudanya itu pasti sudah membuat sebuah rencana untuk mengatasi para manusia yang mengganggu sisi kemanusiaannya.
Ntah apa yang Zein pikirkan, tapi dia tak pernah puas dengan apa yang telah ia dapatkan. Manusia itu tidak mencari harta dan kekayaan seperti manusia lainnya. Alih-alih mengikat Demon untuk membantunya melebarkan kekuasaan, pria muda itu malah menjadikan mereka menjadi anak buah untuk membantunya membasmi kejahatan. Harga dirinya sebagai The king of Horse Demon harus ia relakan ketika Zein berhasil mengalahkannya dan menyegel namanya dalam sebuah kitab perjanjian.
"Martin." Panggilan mendadak seperti biasanya. Martin berdiri meregangkan tubuhnya. Setelah melakukan perbincangan dengan kuda kereta-yang tentunya hanya dia dan kuda-kuda itu yang mengerti, ia kemudian menghampiri bocah yang masih saja menangis di dalam kereta. Mengintip nya dengan mata merah menyala.
"Hey bocah, keluarlah. Misi kita akan dimulai."
Dua orang itu masih setia berdiri berhadapan. Berdikusi mengenai satu hal, sedangkan Harss tidak bergabung karena harus menangani Gyor yang mendadak tidak terkendali. "Sekarang apa?" Tanya Gerald. Edrich sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Dia juga masih belum menemukan solusi. "Jika berhubungan dengan medis, kita mungkin bisa membawanya pada dokter spesialis jiwa, bukan?" Benar, memang benar. Saran Gerald tidak ada salahnya sama sekali. Tapi penyembuhannya akan memakan waktu lama. "Kalau ada solusi kedua yang lebih praktis, aku akan sangat menerimanya karena waktu kita tidaklah banyak, Gerald." Ucapan Edrich membuat pria itu merenung sekian menit. Berjalan kesana kemari sembari menggaruk rambutnya yang memang sudah acak-acakan. Pandangannya lalu jatuh pada Sin yang tengah berjongkok, memainkan bangkai kupu-kupu di atas tanah. "Oh," Pekikan Gerald itu menarik perhatian. "Bagaimana jika kau mencari jejak dimana hantu Kurt berada? K
"Jadi kau sudah menangkapnya?!" Harss berteriak di tengah kerumunan. Membuat orang-orang menyingkir keheranan, sedangkan Edrich mau tak mau harus berbohong agar keanehan yang ada pada Sin tidak membuat orang itu mencurigai mereka. "Ya, aku menemukannya di suatu tempat. Jadi sekarang ikutlah denganku, malam ini juga kita akan mengintrogasinya."Harss terlihat puas sekali. Berjalan mendahului Edrich dan meninggalkannya di belakang. Mengekor sembari melihat punggung itu sayu, Edrich sedikit ragu ingin menanyakan sesuatu di benaknya. Apalagi kalau bukan soal anak itu. "Tuan Harss.""Hm?" Pria itu menoleh sekejap, memperhatikan Edrich yang diam saja. "Ada apa Edrich?"Tapi nampaknya dia masih belum ingin bertanya. Urusan ini akan ia bahas nanti saja. "Tidak apa, mari bergegas." Mereka masih menghadapi kasus nyata sekarang. Jika membicarakannya saat ini, pikiran Harss akan terbagi dan mungkin mereka tidak akan fokus menyelesaikan masalah setelahnya."Sete
Gyor berhenti di sebuah bangku kecil. Menarik nafas dalam-dalam dan beristirahat di bawah pohon rindang setelah berlari dari orang-orang yang sebenarnya tidak mengejar. Dia takut mereka akan menanyainya mengenai Kurt ataupun mengenai kekasihnya. Dia memiliki janji dengan Kurt, dan sampai kapanpun dia tidak akan mengingkari janjinya."Hah.. Huufft.."Sin duduk diantara batang pohon. Memperhatikan Gyor dari atas kemudian turun dan duduk di sampingnya tanpa pria itu sadari. "Hei.""Huaaaargh!!" Gyor terlonjak, menjerit kaget dan seketika berdiri menjauh dari sana. "K-kau! Kau anak yang tadi!"Gyor menunjuk anak yang berjongkok di atas bangku itu dengan tangan gemetaran, sedangkan mata bulat Sin menatap tanpa ekspresi ke lawan bicaranya. "Sejak kapan kau mengikutiku, hah?!"Bocah itu perlahan berdiri. "Kenapa kau kabur, Gyorgie?" Matanya yang tidak berkedip itu membuat Gyor bergidik."N-namaku Gyor bukan Gyorgie! Kemana ayahmu
Sin menghela nafas lelah. Seharian dia memutari banyak desa untuk mencari pos-pos surat bersama pria besar bernama Gerald ini. Meskipun juga sedikit bersyukur setidaknya dia tidak disandingkan dengan pak tua Harss yang mengerikan. Omong-omong soal kantor pos, Edrich berencana untuk mencari informasi lebih lanjut mengenai orang bernama Kurt dan kekasihnya itu. Katanya jika dia bisa menemukan alamat Elena, dia bisa menginvestigasi lebih lanjut atau apalah itu - ke tempat dimana pelaku utama berada. Sebenarnya dia tidak mau ikut melakukan hal rumit seperti ini. Dengan sekali jentik jaripun, sebenarnya dia bisa mengetahui apapun jika sang tuan mau. Tapi seperti yang pernah ia katakan dulu, Edrich belum memberinya sesuatu paling penting untuk membayar dirinya. Apa itu? Tentu saja sebuah kontrak. Selain kontrak apalagi? Tubuhnya. Ya, Sin butuh tubuh pria itu. Namun bukan fisiknya yang payah itu, tapi inti dari tubuhnya. Dia punya kekuata
Harss melangkah ke arah rumah Edrich. Rekannya Gerald itu memberitahu kalau Edrich ingin membicarakan sesuatu ketika mereka bertemu di pasar. Sekarang dia bergegas kesana sembari berdoa semoga pemuda itu mendapat informasi yang membantu kasus mereka.Tok tok tokk!! "Edrich!"Tak lama setelah diketuk, pintu terbuka perlahan tanpa seorangpun yang terlihat. Harss melirik keheranan sebelum suara mencicit di bawah membuat pria tua itu menunduk. "Kau siapa ya?"Bocah tidak sopan. Tapi bukan itu yang membuat Harss terdiam. Namun wajah anak itu yang sekejap membuat bulu kuduknya meremang. Apakah itu dia? Tapi tidak mungkin karena anak itu sudah lama mati. Jadi Harss putuskan menatapnya cermat, memastikan apakah benar dia sosok yang pernah hidup itu atau hanya mirip saja."E-eh..." Sin beringsut menempel tembok, keringat dingin bercucuran saat pria berjenggot tebal memelototinya lekat-lekat sampai membuat jantungny
"Keith, Chloe, makan malam sudah siap!"Sosok perempuan yang sudah memiliki banyak uban di rambutnya itu berjalan ke luar dapur sembari mengelap tangan di celemek yang ia kenakan. Namun sampai beberapa kali panggilan, kedua putranya itu tidak juga muncul seperti biasanya. "Chloe? Kurt?" Tangannya yang penuh dengan piring saji terpaksa menaruh makanan itu kembali. Dahinya mulai mengkerut curiga saat tak mendengar suara apapun dari kedua kamar anak-anaknya.Akhirnya wanita itu berjalan ke kamar mereka satu persatu. Kakinya bergegas berjalan ke kamar Kurt, namun yang ia temukan malah anak itu tengah tertidur di atas nakasnya sendiri. Tangannya menggelantung bersama pena yang sudah terjatuh di lantai. Mungkin dia kelelahan karena belajar."Kurt.. Apa kau tertid-" Kelopak mata Rose tiba-tiba melebar. Seluruh tubuhnya bagai membeku di tempat kala menemukan remaja lelaki itu telah sekarat dengan busa yang mengalir di sela