Share

5 | Pergi Bersama dan Bertengkar

Syaqila berjalan ke parkiran, menghampiri Raffael yang berdiri di samping mobil sambil menunduk, bermain dengan handphone-nya. Seolah menyadari kehadiran Syaqila, pria itu akhirnya mengangkat wajahnya.

Syaqila menahan napas sesaat. Pria itu selalu terlihat mempesona. Tapi dengan segera Syaqila menggelengkan kepalanya. Dia tidak boleh bertingkah memalukan lagi. Terakhir kali, Syaqila bahkan menatap adik tirinya itu dengan mulut menganga. Jika Syaqila mengingatnya, rasanya ia ingin mengubur kepalanya di tanah.

"Masuk!" Raffael mengedikkan kepalanya, meminta Syaqila masuk ke dalam mobil tanpa mau repot-repot membukakan pintu untuknya.

Syaqila melengos. Dia berusaha mengerti. Lagipula, Raffael tidak mungkin mau bersikap baik padanya. Untuk bicara dengannya saja sepertinya pria itu juga berusaha menahan kebencian di hatinya pada Syaqila.

Syaqila melirik pria di sampingnya. Sepanjang jalan, Raffael tidak bicara. Pria itu hanya fokus mengendarai mobilnya. Wajahnya datar, pandangannya dingin. Di samping auranya yang sedikit menakutkan, pria itu membuat dada Syaqila berdebar. Wajah yang dulu Syaqila rasa terlihat jelek dengan kaca mata bulat yang senantiasa bertengger di wajahnya kini sudah tak ada. Syaqila dapat melihat dengan jelas perbedaannya. Wajah Raffael bersih dan putih, bentuk wajahnya tegas. Rahangnya terlihat menggoda untuk diraba. Bahkan bibirnya saja tampak menarik untuk dicicip.

Sial! Sebenarnya apa yang ia pikirkan?! Syaqila menggelengkan kepalanya. Dia menepuk kedua pipinya dengan tangan, berusaha menyingkirkan pikiran kotornya tentang Raffael. Berada di dekat pria itu ternyata cukup berbahaya. Terlebih, aroma yang menguar dari tubuh pria itu membuat hasratnya tergelitik.

"Kenapa?"

Suara Raffael membuat Syaqila terkesiap.

Pria itu tampak menatapnya dengan heran. Sikap Syaqila memang terlihat aneh sejak tadi. Raffael bukannya tidak sadar saat Syaqila beberapa kali mencuri pandang padanya. Tapi ia membiarkannya. Lagipula, ia tak peduli.

Lalu tiba-tiba perempuan yang menjadi kakak tirinya itu menggelengkan kepala dan menepuk pipinya sendiri cukup keras. Raffael bertanya karena khawatir jika perempuan itu kerasukan. Jika benar, maka Raffael akan dengan senang hati menurunkannya sekarang.

"Aku baik-baik saja," jawab Syaqila. Dia merasa sedikit malu karena sikapnya tertangkap basah oleh Raffael. Bagaimana jika pria itu tahu apa yang sejak tadi dipikirkan olehnya?

"Apa otakmu bermasalah?"

Syaqila terperangah. Apa maksud pertanyaan pria itu?

Tapi ekspresi Raffael tampak tak main-main ketika menanyakan hal itu. Dia masih menatap Syaqila menunggu jawaban.

"Kau pikir aku gila?"

"Jadi benar?"

Sial! Rasanya Syaqila sangat ingin memukul kepala Raffael saat ini. Dia memejamkan matanya sesaat, berusaha menahan emosi yang bergemuruh di dadanya.

"Turunkan aku!" pinta Syaqila.

Meski bingung, Raffael menepikan mobilnya. Dengan cepat Syaqila turun dari mobil dan berjalan pergi.

Seolah baru tersadar apa yang ia lakukan, Raffael dengan cepat menyusul kakaknya itu. Bisa-bisa ayahnya marah besar jika tahu Raffael menurunkan kakaknya di tengah jalan.

"Syaqila!" Raffael mengejar. Dia menahan tangan perempuan itu hingga langkahnya berhenti. Tapi Syaqila justru meronta meminta dilepaskan.

"Sebenarnya ada apa denganmu?" Raffael sama sekali tidak mengerti. Kenapa Syaqila mendadak jadi marah? Apakah ada sikap atau kata-kata yang menyinggungnya?

"Aku tidak mau ikut denganmu!" pekik Syaqila. Meski dia tahu Raffael membencinya, tapi kata-kata pria itu juga bisa menyakitinya. Kenapa tiap kali bertemu, pria itu hanya bisa mengatakan sesuatu yang membuat Syaqila merasa terhina?

"Tidak bisa. Mama sudah menyuruhku untuk membawamu. Jika kamu tidak ikut, maka aku akan terkena masalah." Raffael mengeratkan pegangannya. Dia tak membiarkan Syaqila lepas dari cengkramannya. Tapi hal itu justru membuat Syaqila merintih kesakitan.

"Lepaskan aku, brengsek! Kau menyakitiku!"

Tersadar, Raffael segera mengendurkan pegangannya. Dia melihat bekas cengkramannya di pergelangan tangan Syaqila. Terlihat jelas warna merah di sana. Raffael benar-benar tidak sengaja. Kekeraskepalaan Syaqila-lah yang membuat ia melakukannya.

"Maafkan aku." Raffael berkata penuh penyesalan.

"Tidak apa." Syaqila menarik kasar tangannya hingga terlepas dari pegangan Raffael. Dia menatap pria itu dengan sengit. "Aku bisa ke tempat mama sendirian. Kau pergilah lebih dulu."

Raffael menghembuskan napas berat. Pria itu berkacak pinggang. "Bisakah kamu membuat ini menjadi mudah?"

"Kamu yang membuat ini jadi sulit," tukas Syaqila. "Jika kamu ingin ini segera selesai, maka biarkan aku pergi sendiri!"

"Keras kepala." Raffael menggeram marah. Dia memukul tengkuk Syaqila hingga perempuan itu jatuh tak sadarkan diri. Raffael sudah siap menahan tubuh perempuan itu.

Kenapa ia tidak melakukannya sejak tadi?

Raffael menggendong tubuh perempuan itu, membawanya masuk ke dalam mobil. Kini semua menjadi lebih mudah.

****

"Raffael?" Utari mengernyit heran saat melihat putranya datang dengan Syaqila di gendongannya. "Ada apa dengan kakakmu?"

"Dia tidur," jawab Raffael beralasan. Dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Bisa-bisa ia terkena masalah yang lebih besar lagi. "Dimana beruang besar ini harus kuletakkan, Ma?"

Raffael meringis kecil saat sebuah cubitan terasa di pinggangnya.

"Dia bukan beruang, Raffa. Dia kakakmu!" Utari menekankan. Ia memang tahu hubungan dua anaknya itu tidak begitu baik, jadi wajar saja saat Utari mendengar dua orang itu saling melempar ejekan. Utari hanya berharap ke depannya hubungan mereka bisa lebih baik dari ini.

"Terserah." Raffael menjawab tak peduli. "Jadi, harus kuletakkan di mana kakakku yang gemuk ini? Apa harus kujatuhkan? Tanganku mulai kebas."

"Ya Tuhan! Jangan sampai menjatuhkannya, sayang." Utari menjadi panik saat mengetahui jika Raffael sudah mulai pegal karena berat badan Syaqila. Padahal Raffael berbohong. Dia berkata seperti itu karena ia memang tidak ingin menggendong Syaqila lebih lama.

Terlebih, dengan keadaan pakaian perempuan itu yang sedikit berantakan. Pemandangan di depannya itu sangat mengganggu.

"Ini. Tidurkan dia di sini." Utari mengosongkan satu sofa panjang, membiarkan Raffael membaringkan Syaqila di sana.

"Aku ingin pergi sekarang."

"Tunggu dulu!" Utari menahan saat putranya itu sudah bersiap melangkahkan kaki untuk meninggalkan butik.

Raffael menatap ibunya itu dengan sorot malas. "Apa lagi?"

"Siapa yang mengijinkanmu pergi? Mama sudah bilang kan jika mama menyuruhmu dan Syaqila datang ke sini? Bukan berarti kamu bisa pergi setelah mengantarkan kakakmu itu."

"Aku tidak mau lebih lama di sini." Raffael melihat sekitarnya dengan tidak nyaman. Bukan hanya karyawan di butik itu, pengunjung di sana juga terus memperhatikannya dengan pandangan yang membuat Raffael bergidik ngeri. Mereka menatapnya seolah ia adalah makanan yang menggiurkan.

"Hanya sebentar, Raffa. Setelah itu kamu bisa pulang bersama kakakmu," ucap Utari membujuk.

"Kenapa harus denganku lagi?" Raffael memprotes. "Dia kan bisa pulang sendiri."

"Syaqila tidak bisa membawa mobil setelah kecelakaan dua tahun lalu. Dia selalu menggunakan taksi untuk pergi kemana pun." Utari menjelaskan supaya Raffael mengerti bagaimana keadaan Syaqila. "Jika kamu ada di sini, apakah mama tega membiarkan Syaqila pergi sendirian?"

Raffael mendengus kasar. Dia baru beberapa hari di sini, tapi tak terhitung berapa kali ia direpotkan oleh kakak tirinya itu. Jika saja bukan karena orang tua mereka, Raffael pasti sudah merundung perempuan itu sejak pertama kali mereka bertemu lagi setelah enam tahun lamanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status