H Setelah mengantarkan Gentara pulang kembali ke tepi danau di mana pohon itu berada, kini aku duduk melamun di meja belajar.
Pikiranku masih terganggu saat Gentara mengatakan jika ada seseorang yang mencari ku, dan tujuannya adalah mengatarkan buku biologiku yang hilang.
Aku semakin heran, siapa dia? Kenapa buku biologiku bisa ada padanya dan darimana dia tahu alamat rumah ku. Mengingat jika hanya beberapa saja teman sekolah yang tahu dimana aku tinggal.
Kecuali ... satu orang.
Miki! Hanya dia yang tahu, apa mungkin dia juga yang menyembunyikan buku milik ku? Lalu kenapa dia repot-repot mengembalikannya ke rumah.
"Arghhh!" aku berteriak frustrasi.
Dendam apa yang dia miliki sampai-sampai berniat jahat seperti itu, tindakannya memang tidak terlalu parah. Tapi, karena itu juga aku dihukum dan tidak mendapatkan nilai.
Mataku mengerjap beberapa kali, mencoba mengendalikan diri agar sepenuhnya bisa membuka mata. Aku merasa heran karena seluruh ruangan berubah menjadi putih, dan indra penciuman ku menangkap bau obat-obatan. Dimana ini? Setelah melihat ke sekitar ternyata aku berada di uks sekolah, lalu aku dikejutkan oleh Miki yang datang dengan segelas teh hangat. Dia menarik kursi dan duduk di atasnya. "Bangunlah, minum ini dulu." Miki meletakkan gelas itu diatas meja. Aku berusaha bangkit walaupun sedikit kesulitan, Miki bergerak hendak membantu, tapi aku langsung menepis tangannya. "Tidak perlu, aku bisa sendiri." Terdengar dia hanya menghela napas, lalu duduk kembali. Melihatnya, dadaku kembali merasakan sesak, kejadian di kelas tadi benar-benar membuat trauma di masa lalu kembali berputar di otak.
Sungguh, aku tidak mengerti dengan apa yang ia katakan. Apakah aku terlalu sering terluka saat berada di sekolah? Sampai-sampai Gentara bisa menyimpulkan hal tersebut."Ini hanya kebetulan. Tidak ada yang melukai ku.""Aku tidak percaya. Dulu saat pertama kali aku menolong mu di sekolah, waktu itu ada seseorang yang berniat buruk padamu 'kan."Senyumku perlahan luntur ketika mengingat kembali kejadian itu, saat dimana Zico dan kedua temannya hendak melecehkan ku di gudang.Rasa takut kembali hadir, karena di sekolah aku berusaha untuk tidak bertemu dengannya. Tapi, entah sampai kapan aku bisa melakukan itu."Ya, baiklah. Kehidupan ku di sekolah memang tidak terlalu baik, maka dari itu aku tidak punya teman." Perlahan aku mulai menjelaskan semuanya pada Gentara.Seperti biasa dia hanya mengangguk dan sesekali bertanya ketika
Setelah mengobati kakiku yang memar, aku memutuskan untuk menyusul ayah ke rumah sakit. Lagipula dari dulu aku tidak pernah absen untuk mengantarkannya cuci darah, maka setidaknya hari ini aku yang menjemputnya pulang.Gentara masih sibuk membereskan alat-alat menggambar, dia tidak mengizinkan ku untuk membantunya. Dia bilang, takut aku kelelahan."Ana, cuci darah itu apa?" Gentara bertanya dengan tangan yang masih sibuk merapihkan alat tulis.Tanganku bergerak untuk memegang dahu seraya berpikir. Aku harus memilih kata yang tepat agar dia mudah memahaminya."Eum ... semacam terapi yang dilakukan untuk kesembuhan orang-orang yang terkena penyakit."Benarkan? Sebenarnya terapi cuci darah juga tidak bisa menyembuhkan secara total, tapi setidaknya ini bisa membuat penyakitnya tidak bertambah parah. Dengan kata lain, kita memperlambat penyakit itu agar tidak s
Rasa cemas mulai menghampiri, aku bergegas turun ke bawah untuk mencarinya. Kemana dia? Sudah aku peringatkan supaya kembali sebelum senja menggantikan langit biru.Aku naik lift dan berdecak kesal karena di dalam sudah penuh. Tapi aku tetap nekat masuk meskipun tubuh kecilku harus berhimpitan dengan pengunjung lain.Setelah beberapa saat, aku keluar dari dalam lift dengan menahan napas. Aku tidak tahan dengan aroma parfum dari seorang wanita modis yang berada di dekatku tadi aromanya terlalu kuat hingga membuat isi perutku seperti ingin keluar."Huft, bau sekali. Apa dia menumpahkan satu botol secara langsung? Menyebalkan." Aku masih berusaha mengatur napas sambil berjalan ke arah pintu keluar.Ya, bagaimana sekarang. Ke mana aku harus mencari Gentara di tengah keramaian seperti ini. Aku berharap dia belum berubah ke dalam wujud aslinya, jika dia berubah dan disaksikan banyak
Pagi harinya, aku terbangun dengan peluh yang seakan membasahi tubuh. Kejadian semalam benar-benar membuatku merasa tertekan hingga tak bisa mendapatkan ketenangan untuk sekadar memejamkan mata.Kertas putih yang sudah lusuh itu masih ku genggam dengan erat, berpikir keras siapa pelakunya. Jika sudah ada teror seperti ini pasti akan ada banyak masalah yang akan datang."Aku harap ini bukan awal dari luka baru," ujarku dengan perasaan cemas.Pasalnya, akhir-akhir ini juga banyak bermunculan kejadian aneh. Dimulai dari sosok misterius yang aku jumpai di dalam lift rumah sakit waktu itu, lalu hadiah bangkai tikus yang mengerikan.Laras. Tiba-tiba pikiranku tertuju padanya, apa mungkin dia yang mengirimkan teor semacam ini? Tapi aku tidak bisa menuduh tanpa bukti."Arghhh!" Aku mengeram frustrasi.Masalah Gentara hilang juga belum ad
Bagaimana ini? Andre tidak boleh tahu tentang teror itu. Aku tidak ingin melibatkannya dalam bahaya, seharusnya kertas itu sudah ditempat sampah. Kenapa aku bisa sampai lupa masih membawanya di dalam ransel."Eum ... itu hanya kertas biasa. Kemari, berikan itu padaku." Aku menghampirinya dan hendak mengambil alih kertas tersebut.Namun, Andre malah menepis tanganku dan meremas kertas itu dengan raut wajah yang menyeramkan. Apa dia sempat membaca isinya? Oh ya ampun."Andre, aku .... " lirihku bingung.Dia menghembuskan napas kasar, membuatku tak berani untuk melanjutkan pembicaraan. Satu hal yang membuatku heran adalah, Andre seperti sedang memikirkan sesuatu."Maafkan aku."Alisku terangkat mendengar penuturannya, kenapa dia malah meminta maaf? Padahal tidak ada kesalahan yang dia lakukan."Maaf? Untuk
Tidak mungkin, mataku ini pasti sedang bermasalah. Seseorang tolong beritahu aku bahwa ini hanyalah ilusi saja. Ya, aku tidak boleh terkecoh dengan hal semacam ini. Mataku berkedip beberapa kali, memastikan mereka berdua itu nyata atau tidak. Dan, hatiku serasa dihujani ribuan paku saat salah satu dari mereka menoleh menampakan seluruh wajahnya. "Gentara ..., " lirihku tanpa sadar. Sekarang aku sudah yakin, dia adalah Gentara. Satu hal yang membuatku merasakan sakit adalah, karena dia sedang duduk berdua bersama Laras. Kenyataan macam apa ini? Kenapa Gentara bersama seseorang yang sangat aku benci. Laras adalah biang dari segala masalah dan luka yang aku alami. Namun, sekarang Gentara malah terlihat asik mengobrol dengannya. Rasa sakit ini sungguh membuatku sulit bernapas. Aku seakan tak percaya, kenapa dia setega ini? Aku
Malam harinya, aku terduduk di depan teras dengan pikiran yang berantakan. Siang tadi Biru mengatakan jika dia akan memberikan kado untuk Laras, berarti mereka sudah saling kenal 'kan?Sejak kapan, ya. Di sekolah aku sama sekali belum pernah melihat keduanya saling menyapa atau berinteraksi.Gentara, dia juga kemarin sedang sibuk membantu Laras. Lalu sejak kapan keduanya berteman? Kenapa aku tidak sadar akan hal itu.Aku mendesah pelan, lalu menatap sebuah undangan online yang Laras berikan di grup kelas, karena besok adalah hari ulang tahunnya maka dia ingin semua orang menghadiri pesta itu. Kecuali aku, ya! Aku tidak akan datang ke sana."Baguslah! Toh aku memang tidak diundang," ujarku kesal melihat list yang Laras buat berisi siapa saja yang diundang.Mataku naik-turun membaca beberapa pesan yang baru saja terkirim, aku memilih untuk mengabaikannya saj