Mata ku mengerjap beberapa kali. Mencoba menghilangkan rasa pusing yang masih bersemayam di kepala. Aku bisa merasakan jika tubuhku sekarang berada di atas ranjang. Sekarang pandanganku mulai jelas dan saat aku melirik ke arah kanan aku dibuat terkejut oleh kehadiran seorang lelaki di kamar ku.
"Brengsek! Siapa kau!" Sontak aku berteriak dan melemparkan bantal ke arahnya.
Aku berdiri lalu memukulinya dengan bertubi-tubi, sedangkan dia hanya meringis kesakitan sambil menangkis seranganku menggunakan kedua tangannya.
"H-hentikan! Ini aku!"
Awalnya aku kesal dan tidak akan memberi ampun pada lelaki ini, tapi aku langsung berhenti saat menyadari bahwa pemilik suara itu seperti tidak asing bagiku.
Aku mundur beberapa langkah guna melihat wajahnya. Bersamaan dengan itu lelaki yang kini berhadapan denganku ikut mengangkat wajahnya. Aku kembali terduduk diatas ranjang sambil menutup mulut, ini tidak mungkin.
"Ge-ge-ntar
Gentara terdiam cukup lama, matanya lurus menatap ke jalanan yang ramai tanpa berkedip."Aku tidak bisa berada di dekatmu setiap saat."Memandanginya dengan tatapan bingung, apa maksudnya?"Saat matahari sudah terbenam dan langit tergantikan oleh malam. Maka disaat itu juga sayap peri ku akan keluar," tambahnya."Segera aku harus menjauh dari keramaian manusia."Aku mengangguk mengerti, jadi Gentara tidak bisa keluar jika malam hari tiba? Sebenarnya aku sedikit kecewa karena tidak bisa bermain dengannya di malam hari."Oh ... Begitu, ya?""Lalu, apa makanan para peri? Apa sama dengan makanan manusia?" tanyaku.Selama Gentara di bumi, maka aku harus menjaga dan merawatnya dengan baik. Terutama tentang makanan."Em ... Para peri makan sesuatu yang sehat. Seperti buah, biji bunga, kacang-kacangan, daun binahong, burung citila, buah azele, dan masih banyak lagi."Aku ter
Entah sial apa yang sedang menghampiri kami saat ini. Di depan sana terdapat dua ekor anjing besar yang sedang menatap ku dan gentara. Lidah panjangnya menjulur mengeluarkan air liur, tatapan mata kedua anjing itu membuatku panas dingin.Sekilas aku melirik Gentara yang nampak ketakutan, tangannya juga sedikit gemetar. "Jangan panik! Kau baik-baik saja?" tanyaku khawatir."Anjing adalah musuh terbesar para peri. "Guk! "Lari. " Gentara langsung menarik tanganku dan kami berlari memutar arah.Aku yang belum siap hanya bisa mengikuti langkahnya yang panjang. Dan kedua anjing itu ternyata mengejar, itu membuatku semakin mempercepat larian. Tapi apalah daya kakiku ini pendek. Sekarang aku seperti seekor domba yang dipaksa berlari. Kami terus berlari tanpa tentu arah, menabrak apapun yang menghalangi jalan. Sesekali aku menoleh ke belakang dan mendapati kedua anjing i
Di waktu jam istirahat pertama aku memilih berdiam diri di dalam perpustakaan. Bukan untuk membaca buku, melainkan untuk menjauh dari kerumunan para murid. Tapi beberapa orang yang berada di sini juga tetap berbisik buruk tentang diriku mereka seakan tidak peduli bagaimana perasaanku yang mendengarkannya. Tanganku memegang satu buku, tapi tatapanku justru kosong menatap hamparan buku yang tertata rapi di rak.Kenapa kehidupan sekolahku sangat pahit seperti ini, aku pikir selama ini sudah menjadi murid yang baik. Aku juga tidak berbuat semena-mena pada murid lain. Namun, kenapa semua orang membenciku hanya karena ibuku seorang pelacur. Ya, pekerjaan itu memang tidak baik, tapi apa pantas mereka ikut menghakimi aku yang statusnya anak pelacur. Itu pekerjaan ibuku, bukan aku yang melakukannya. Tapi kenapa aku juga ikut dibenci. Kenapa? Ini menyakitkan. Aku juga manusia biasa yang akan terluka jika dibenci dan dikucilkan s
Alih-alih membantu kakek Ridin, justru malah aku dan Gentara yang dikejar oleh induk ayam. Kami berlarian ke sana kemari menghindari kejaran ayam yang marah. Sesekali aku tertawa terbahak -bahak karena melihat Gentara sangat ketakutan dan terus membuntuti ku. Katanya, dia tidak ingin bertemu dengan ayam lagi. Dan disinilah aku dan Gentara melepas penat, disebuah kedai ice cream sederhana bernuansa biru laut. Aku mengajak Gentara untuk mencicipi ice cream, dia pasti suka. "Ayo! Coba makan," bujukku pada Gentara yang sejak tadi hanya diam. Matanya menjelajahi setiap sudut ice cream. Seolah-olah makanan itu adalah hal asing baginya. "Wah! Kenapa makanan ini begitu dingin?" Gentara menyendok satu suapan, tapi dia meniupnya terlebih dahulu sebelum memakannya. Sontak aku tersenyum geli melihatnya, kenapa harus ditiup? "Kenapa kau meniupnya? Ice cream itu tidak panas," ujarku sambil tertawa. "Oh, tapi
Aku berjalan tanpa tentu arah masih dengan mengandeng tangan Gentara. Dia hanya diam tanpa berbicara sedikitpun, aku lega karena Gentara tidak bertanya yang aneh-aneh. Jika iya, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana, karena perasaan ku sendiri sedang tidak baik. Namun, aku berhenti ketika merasakan adanya pergerakan di tanganku. Gentara seperti memberi kode agar aku berhenti. "Ana, sampai kapan kita akan berputar-putar di tempat yang sama?" Mendengar itu aku langsung menoleh ke belakang, sejenak terdiam mengamati sekitar. Oh, apa dari tadi aku dan Gentara hanya mengelilingi tempat yang sama? Pasalnya netra mataku menangkap bangunan yang berbentuk lingkaran, sedangkan ditengah-tengahnya terdapat banyak tanaman. Tanpa mengatakan apapun, aku langsung berjalan menuju bangku kayu yang tampak kotor. Aku tidak peduli dan langsung mendudukinya. Gentara yang peka juga langsung ikut duduk di samping ku. Aku mengehela nafas bera
Perlahan aku melangkahkan kaki mendekati Gentara, dia masih menunduk dengan tatapan kosong. Aku yang bingung langsung dikejutkan dengan sesuatu yang kini sedang Gentara cengkram. Apa aku tidak salah lihat? Salah satu sayap Gentara rontok. Entah apa sebabnya, tapi dari raut wajahnya Gentara nampak sedih dan kesakitan. Sekarang aku jadi panik apa ini tanda bahaya? "Gentara, apa yang terjadi padamu? Kenapa sayapnya rontok?" "Sa-sakit .... " lirihnya sambil memegangi bahu. Aku terdiam sejenak mencoba untuk mengikis jarak darinya. Sebenarnya apa yang terjadi, aku jadi tidak tega melihat Gentara kesakitan seperti ini. Pikiranku kembali pada saat pertama kali aku bertemu dengannya, waktu itu Gentara juga sedang kesakitan. Sekarang aku harus bagaimana, andai sa
Hangatnya mentari pagi membuat ku menyunggingkan senyum kecil, mungkin alam semesta juga sedang ikut berbahagia karena hari ini aku berangkat ke sekolah menggunakan sepatu yang diberikan ibuku.Dua tahun yang lalu ketika aku sedang duduk di teras kamar, ibuku datang dan membawa sepatu ini dengan riang. Dia sangat antusias karena hari esoknya adalah hari ulang tahunku, katanya dia ingin menjadi orang pertama yang memberikanku hadiah.Saat itu aku sangat bahagia dan bersyukur karena memiliki seorang ibu yang penyayang. Dia rela melakukan apapun untuk kebahagiaan ku, tetapi sekarang semua itu hanyalah kenangan. Ya! seperti yang kita tau kenangan hanya bisa diingat, tapi kita tidak bisa mengulanginya.Setibanya di sekolah tadi aku langsung beranjak menuju taman, daripada harus bertatap muka dengan teman-temanku lebih baik aku membaca buku.Membaca buku bagiku tidak cuk
"Maaf terlambat," ucap Biru saat sudah berdiri tepat disamping ku."Wah! Kau yang akan mewakili kelas XII IPA 1?" tanyanya, dan aku tau pertanyaan itu pasti ditunjukkan padaku.Mulutku langsung tertutup dengan cepat, karena sebelumnya aku masih tidak percaya jika Biru akan mengikuti acara ini."Em ... Iya. Teman-temanku yang memilih agar aku ikut dan menjadi perwakilan kelas." Jawabku sembari menutup botol dengan gugup.Tanpa sadar aku meremat botol dengan kuat, aku sangat senang karena bisa bertemu dengan Biru lagi. Dan mungkin saja kami akan terus berjumpa karena berada di kegiatan yang sama.Untuk kali ini aku beruntung bisa mengikuti kegiatan sekolah. Sudah sangat lama aku mengagumi Biru, dan sekarang aku bisa melihatnya dari jarak dekat. Oh Tuhan, hatiku seperti ingin loncat rasanya."Itu bagus. Aku senang karena kau mengikuti kegia