แชร์

Bab 7: Dia lagi!

ผู้เขียน: Desi Ratna
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2021-10-04 10:19:33

Aku terkejut bukan main saat mendapati salah satu teman kelasku berada disini. Dia Miki, seseorang lelaki pendiam yang menjabat menjadi ketua kelas. Miki sangat jarang berbicara, tapi kenapa sekarang dia tersenyum seperti ini. Jujur aku baru pertama kali melihatnya. 

"Oh, Miki. Kau mencariku?" Aku berusaha mengembalikan raut wajah yang semulanya terkejut. 

Bukannya menjawab, dia malah diam lalu senyumnya perlahan luntur. Sekarang wajahnya begitu dingin dan datar. Miki menatapku tanpa ekspresi tentu saja aku bingung dengan perubahan wajahnya yang tiba-tiba. 

"Dasar bocah nakal," ketusnya. 

Aku membulatkan mata sebenarnya apa yang terjadi pada Miki. Tumben sekali mengajakku berbicara. Selama hampir tiga tahun dia bahkan hanya mengatakan beberapa kalimat saja kepadaku. Lagipula, darimana dia tau aku berada disini. 

"Apa maksudmu?" 

"Kenapa tidak izin jika tidak masuk sekolah? Jika ingin bolos maka setidaknya buatlah surat palsu. Menyusahkan!" sentaknya kasar. 

Aku semakin heran dibuatnya. Bukannya tadi aku berangkat ke sekolah, tapi sewaktu kejadian aku akan dilecehkan oleh Zico ada portal yang menolongku. Alhasil aku menghilang dari sekolah. 

Namun, aku tidak mungkin menceritakan itu pada Miki. Dia pasti tidak percaya. 

"Tadi pagi aku berangkat ke sekolah, dan aku juga melihatmu sedang duduk mengamati sekitar. Aku pikir kau melihatku masuk," jelasku. 

"Bohong! Dari awal aku datang di jam enam pagi, aku sama sekali tidak melihatmu masuk kelas." 

"Kau tidak lupa kan? Jika sekolah kita menjunjung tinggi kedisiplinan. Jika salah satu siswa tidak masuk sekolah, maka harus ada surat izin yang diberikan pada guru." 

"Jika tidak ada surat izin kau tau kan? Ketua kelas lah yang harus bertanggungjawab untuk mencari penyebabnya!" 

"Ponselmu juga tidak bisa dihubungi, lalu bagaimana caraku untuk mengetahui alasanmu kenapa tidak masuk? Huh?" 

"Kau ini memang menyusahkan!" Ujar Miki mengakhiri perkataanya. 

Aku menelan ludah mendengar Miki berbicara panjang lebar seperti ini. Dia tampak sangat marah. Memang, di sekolahku ditetapkan banyak aturan. Salah satunya adalah ketika tidak bisa masuk kelas maka wajib ada surat izin. Jika tidak ada maka ketua kelas harus menghubungi atau mendatangi rumah siswa yang bersangkutan untuk menanyakan alasan mengapa tidak mengikuti pembelajaran. 

Pantas saja Miki terlihat kesal. Dia pasti datang ke rumahku tadi. Ponselku juga ada di dalam tas. Oh ya, tasku masih di sekolah. 

"Maafkan aku, tapi ada beberapa hal yang tidak bisa aku ceritakan. Sekali lagi maafkan aku karena sudah merepotkan mu." Aku menyatukan kedua tangan sambil terus meminta maaf. 

"Maaf mu tidak berguna! Setelah ini aku juga yang akan mendapatkan teguran," balas Miki. 

"Jika tidak mau membuat surat. Maka hubungi aku. Apa kau terlalu pendiam sampai-sampai mengirim pesan saja tidak berani?" 

"Maaf, tapi ponsel dan ranselku tertinggal di kelas. Aku lupa untuk mengambilnya," jawabku. 

"Tidak usah berbohong. Kau pikir aku bodoh? Dari pagi aku sama sekali tidak melihatmu, bagaimana mungkin ranselmu tertinggal di kelas, huh? Sedangkan kau saja tidak masuk kelas," jelas Miki yang semakin membuatku bingung. 

Ada apa lagi ini? Kenapa Miki tidak ingat jika aku sempat masuk ke kelas. Padahal kami juga sempat melakukan kontak mata meskipun hanya sekilas. Tapi mengapa dia bersikeras jika tidak melihatku. Sungguh aneh. 

"Ah sudahlah! Sekarang aku tidak heran kenapa semua orang membencimu. Itu karena kau memang pantas untuk mendapatkannya. Anak pelacur!" Setelah mengatakan itu Miki berlalu dengan menabrak pundak kanan ku. 

Aku terdiam. Dua kata terakhir yang Miki katakan seketika membuat hatiku berdenyut nyeri. Dia bukan orang pertama yang mengatakan bahwa aku adalah anak pelacur, tapi entah mengapa rasanya tetap sakit. Bibirku bergetar menahan tangis, memukuli dada yang kian tambah terasa sesak. 

Tiba-tiba Andre berlari menghampiriku. Dia langsung mengguncang tubuhku yang sedikit membungkuk. 

"Hey! Apa yang terjadi. Kenapa kau menangis?" 

Aku tidak menjawab, hanya isakan kecil yang mampu aku keluarkan. Andre lalu menuntunku untuk duduk di kursi depan toko. Lalu, dia kembali menanyakan hal yang sama. 

"Ana, jangan diam saja. Apa yang terjadi padamu." 

Aku mengangkat wajah, lalu menatap lekat mata Andre. Terlihat sangat jelas dari raut wajahnya jika dia menghawatirkan ku. Bibirku bergerak ingin mengatakan sesuatu. 

"Menjadi anak pelacur, apa itu sebuah kesalahan?" tanyaku padanya yang diakhiri dengan tangisan pilu. 

                    ••••

Dua jam yang lalu aku sudah pulang dari tempat bekerja. Aku izin pulang lebih awal karena alasan tidak enak badan. Padahal, hatiku yang sedang tidak baik-baik saja. Kini aku terduduk dilantai dengan pandangan kosong menatap langit malam yang gelap lewat jendela kamar. Aku bersandar pada ranjang sambil menekuk lutut. Pikiranku melayang membayangkan nasibku di hari esok yang akan datang. 

Bagaimana jika di depan sana banyak masalah yang sedang menunggu. Akankah aku siap untuk menghadapinya. Secara mendapatkan perkataan yang menyakitkan saja aku langsung merasa sedih seperti ini. 

Bruk! 

Aku terperanjat kaget mendengar suara benda jatuh. Seketika aku langsung menoleh ke sumber suara dan betapa terkejutnya aku melihat ranselku tergeletak dilantai. Buru-buru aku bangkit dan memastikan dari mana datangnya ransel ini, padahal tadi tidak ada. 

"Huh? Kenapa tiba-tiba ranselku ada disini?" gumanku pelan. 

Merasa aneh, aku melihat ke atap plafon. Tapi tidak ada lubang sama sekali. Pintu kamarku juga tertutup. Lalu ranselku jatuh darimana. 

Aku membuka ransel dengan terburu-buru dan mendapati semua alat sekolah ku masih utuh. Ponselku juga ada. Aku menggaruk tengkuk karena merasa ada yang tidak beres. Sebenarnya apa yang terjadi. 

"Aneh sekali! Miki bilang dia tidak melihatku, padahal aku masuk ke kelas. Sekarang ranselku ada di kamar? Padahal tadi tidak ada." 

Membuang nafas panjang, aku menarik kursi dan mendudukinya. Kenapa semenjak bertemu dengan Gentara banyak hal yang tidak masuk akal terjadi. Saat sedang melamun kedua mataku langsung melotot karena menyadari sesuatu. 

Aku mengangkat kakiku yang terluka guna memeriksanya. Lalu aku kembali dibuat terkejut untuk yang sekian kalinya. Luka di kaki kiri ku sudah sembuh bahkan tidak ada bekas sama sekali. Aku baru sadar jika saat tiba di alam peri aku sudah tidak merasakan sakit. Lagi-lagi ini membuatku bingung. 

"Apa! Kenapa kaki ku tiba-tiba sembuh. Secepat ini?" tanyaku keheranan. 

Terdiam sejenak. Aku mendengar jendela diketuk oleh seseorang, membuatku langsung berdiri dan beranjak menuju jendela. 

Namun, tidak ada siapa-siapa disini. Menelan ludah susah payah, aku mereasa seperti ada yang sedang memandangi ku dari berbagai arah. Tubuhku sekarang terasa dingin, apa mungkin di rumah ini ada hantu? 

"Siapa? Tolong jangan menggangguku." 

Tidak ada sahutan. Hanya ada suara jangkrik yang ditemani lampu remang-remang. 

Aku menghela nafas mungkin saja itu tetangga yang tidak punya kerjaan. Aku berniat untuk tidur, tapi saat membalikkan badan aku terkejut mendapati seseorang yang berdiri dibelakang ku. 

Aku terhuyung ke belakang karena terkejut lalu kepala ku malah menghantam tembok dengan sangat keras. Kepala ku terasa pening, pandanganku kabur, samar-samar aku mendengar suaranya yang memanggil namaku berkali-kali. Belum sempat aku melihat wajahnya, kesadaranku langsung hilang saat itu juga.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Antara Cinta dan Takdir   Bab 41: Masalah baru(2)

    Seberkas cahaya masuk ke netra mataku yang perlahan mulai terbuka, aku meringis kecil kala merasakan sakit dibagian kepala. Ada apa ini? Sepertinya sudah terjadi sesuatu padaku dan juga... Andre, dimana lelaki itu? Lekas aku langsung terjaga dengan degub jantung yang tak beraturan, aku menoleh ke sekitar dan menyadari bahwa kini aku sedang berada di sebuah kamar mewah. Itu terbukti dari barang-barang yang ada di sini, semua ini jelas merek terkenal dan harganya tidak main-main. Sejenak aku kembali memejamkan mata untuk mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu, siang tadi aku dan Andre sedang mengantarkan pesanan bunga disebuah perusahaan. Tapi saat hendak pulang, seseorang membekap mulutku hingga aku tidak sadarkan diri. Oh Tuhan ... lalu bagaimana nasib Andre sekarang? Kenapa dia tidak ada di sini. Juga, apa yang harus aku lakukan di tempat ini. Sepertinya seseorang dengan sengaja membawaku kemari dan berniat buruk. Karena aku baru sadar j

  • Antara Cinta dan Takdir   Bab 40: Masalah Baru

    Ketika hari menjelang siang, ada seseorang yang memesan banyak bunga untuk diantarkan sekarang juga. Orang tersebut hanya mencantumkan alamat tanpa pesan tersirat lain. Andre sedang bersiap menata sekitar sepuluh buket bunga dengan aneka warna ke atas ranjang, sedangkan aku masih merapihkan serpihan kelopak bunga yang berceceran di lantai toko. Aku berencana untuk ikut mengantarkan pesanan itu, karena tidak mungkin Andre bisa mengantarkan bunga itu sekaligus jika sendirian. Meskipun awalnya dia sempat menolak bantuanku, pada akhirnya Andre hanya bisa menghela napas karena aku yang keras kepala ini. "Sudah siap?" tanyanya. Tangan lelaki itu sudah membopong ranjang berisi bunga. "Sudah, kita antar sekarang saja." "Let's go .... " Aku menggelengkan kepala melihat dia yang berjalan sambil mengehentakkan kaki, persis seperti anak kecil yang bahagia karena hendak berlibur. Langkah ini mengikutinya keluar menuju pintu, sebelum berangkat aku

  • Antara Cinta dan Takdir   Bab 39: Rahasia terbongkar

    Tetesan air hujan terus membasahi wajahku yang sedang mendongak, menatap Zico dengan raut wajah yang penuh dengan tanda tanya. Kenapa dia bisa ada di sini? Terlebih lagi tangannya masih melekat dikedua pundakku dan perlahan mendekapnya dengan hangat. Dia menarik tubuhku agar berjalan menuju sebuah warung kopi yang terletak dipinggir jalan, aku bahkan tidak sadar jika hujan sudah turun dengan sangat deras. Kilatan putih juga saling menyambar membuat gemuruh yang menggetarkan jiwa. Zico masih diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun, dan aku juga tidak berminat untuk bertanya terlebih dahulu. "Sepertinya kau sedang tidak baik-baik saja," ujarnya yang sama sekali tidak aku tanggapi. Entah ini kebetulan atau memang takdir, tapi kenapa harus Zico yang datang dan memberiku pertolongan. Dengan bibir terbuka aku mulai menggigil karena kedinginan, tapi mataku tetap saja menatap jalanan basah itu dengan tatapan kosong. "Ingin minum sesuatu?" Di

  • Antara Cinta dan Takdir   Bab 38: Tangis di bawah gerimis

    Kerutan didahiku tercetak semakin dalam, mencoba memahami maksud dari perkataan Gentara. Hal bodoh apa lagi ini? Seharusnya aku sudah tidur pulas sedari tadi jika saja dia tidak datang dan mengganggu pikiranku. "Apa maksudmu?" Aku memilih untuk duduk agar bisa mendengarkan dengan seksama. "Sebelum pesta itu dimulai, Laras memintaku agar berpura-pura menjadi kekasihnya. Katanya, dia malu jika masih lajang saat umurnya sudah delapan belas tahun," jelasnya dengan panjang lebar. Gentara juga memberitahukan hal-hal yang harus dilakukan jika sedang bersama Laras, seketika aku merasa geram mengetahui kenyataan ini. Laras! Dia benar-benar bukan manusia, aku yakin semua ini pasti terjadi karena sudah direncanakan olehnya. Laras sengaja mencari kesempatan untuk mendekati Gentara, padahal tujuan utamanya adalah untuk membuatku semakin menderita. Tidak! Aku tidak bisa selalu dalam bayang-bayang ketakutan, aku harus bisa melawan sikap semena-mena yang dila

  • Antara Cinta dan Takdir   Bab 37: Sebuah penjelasan

    Lagi-lagi aku dibuat terdiam olehnya, entah apa maksud Biru berkata demikian. Yang jelas itu bukan untukku, mana mungkin dia mencintaiku 'kan? Demi apapun sekarang aku langsung merasa kesal. Mimpi apa yang sedang ia alami sampai mengigau seperti ini."Biru, bangunlah!" Aku menaikan nada bicara. Benar saja, lelaki itu perlahan membuka matanya diiringi erangan kecil khas orang bangun tidur. Dia terlihat masih belum sadar sepenuhnya, sedangkan aku mulai memasukan barang-barang dan bersiap untuk berdiri. Hatiku sangat dongkol, aku ingin cepat menyelesaikan kegiatan ini. "Apa aku tertidur di pundakmu? Ah maaf." "Tidak masalah. Ayo turun." Ajakku sambil berdiri dari kursi bus. Namun, bukannya memberi jalan untuk aku berlalu Biru malah tetap duduk dengan posisi terus menatapku. Kedua alisku saling bertaut, "Kenapa? Kau tidak mau turun?" tanyaku heran. "Kau yang kenapa? Sepertinya sedang marah." Aku mengalihkan p

  • Antara Cinta dan Takdir   Bab 36: Bolehkah aku menjadi Laras?

    Semua orang terperangah tak percaya, termasuk diriku sendiri. Tapi sedetik kemudian para tamu langsung bertepuk tangan dan berteriak histeris kala Gentara menganggukkan kepalanya. Aku terdiam dengan napas yang mulai tercekat, jantungku berdebar seakan dihujani ribuan anak panah. Sakit, hati ku seperti digores belati tajam yang mengandung racun. Untuk bergerak dari tempat ini saja sungguh terasa sulit, Gentara ... kenapa dia tega membuat luka baru untuk kedua kalinya. Tuhan! Takdir macam apa ini? Kenapa orang yang aku benci malah menjadi kekasih dari orang yang sangat aku percaya. Laras, kenapa dia secepat itu jatuh cinta pada Gentara? Rencana apa yang akan dia lakukan. "Kalian sangat serasi, tampak seperti raja dan ratu di dunia nyata," celetuk dari salah seorang remaja putri bergaun selutut. "Benar, yang satu tampan yang satu cantik." "Hubungan kalian pasti sangat romantis.""Sepertinya kalian memang ditakdirkan untuk bersa

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status