Aku terkejut bukan main saat mendapati salah satu teman kelasku berada disini. Dia Miki, seseorang lelaki pendiam yang menjabat menjadi ketua kelas. Miki sangat jarang berbicara, tapi kenapa sekarang dia tersenyum seperti ini. Jujur aku baru pertama kali melihatnya.
"Oh, Miki. Kau mencariku?" Aku berusaha mengembalikan raut wajah yang semulanya terkejut.
Bukannya menjawab, dia malah diam lalu senyumnya perlahan luntur. Sekarang wajahnya begitu dingin dan datar. Miki menatapku tanpa ekspresi tentu saja aku bingung dengan perubahan wajahnya yang tiba-tiba.
"Dasar bocah nakal," ketusnya.
Aku membulatkan mata sebenarnya apa yang terjadi pada Miki. Tumben sekali mengajakku berbicara. Selama hampir tiga tahun dia bahkan hanya mengatakan beberapa kalimat saja kepadaku. Lagipula, darimana dia tau aku berada disini.
"Apa maksudmu?"
"Kenapa tidak izin jika tidak masuk sekolah? Jika ingin bolos maka setidaknya buatlah surat palsu. Menyusahkan!" sentaknya kasar.
Aku semakin heran dibuatnya. Bukannya tadi aku berangkat ke sekolah, tapi sewaktu kejadian aku akan dilecehkan oleh Zico ada portal yang menolongku. Alhasil aku menghilang dari sekolah.
Namun, aku tidak mungkin menceritakan itu pada Miki. Dia pasti tidak percaya."Tadi pagi aku berangkat ke sekolah, dan aku juga melihatmu sedang duduk mengamati sekitar. Aku pikir kau melihatku masuk," jelasku.
"Bohong! Dari awal aku datang di jam enam pagi, aku sama sekali tidak melihatmu masuk kelas."
"Kau tidak lupa kan? Jika sekolah kita menjunjung tinggi kedisiplinan. Jika salah satu siswa tidak masuk sekolah, maka harus ada surat izin yang diberikan pada guru."
"Jika tidak ada surat izin kau tau kan? Ketua kelas lah yang harus bertanggungjawab untuk mencari penyebabnya!"
"Ponselmu juga tidak bisa dihubungi, lalu bagaimana caraku untuk mengetahui alasanmu kenapa tidak masuk? Huh?"
"Kau ini memang menyusahkan!" Ujar Miki mengakhiri perkataanya.
Aku menelan ludah mendengar Miki berbicara panjang lebar seperti ini. Dia tampak sangat marah. Memang, di sekolahku ditetapkan banyak aturan. Salah satunya adalah ketika tidak bisa masuk kelas maka wajib ada surat izin. Jika tidak ada maka ketua kelas harus menghubungi atau mendatangi rumah siswa yang bersangkutan untuk menanyakan alasan mengapa tidak mengikuti pembelajaran.
Pantas saja Miki terlihat kesal. Dia pasti datang ke rumahku tadi. Ponselku juga ada di dalam tas. Oh ya, tasku masih di sekolah."Maafkan aku, tapi ada beberapa hal yang tidak bisa aku ceritakan. Sekali lagi maafkan aku karena sudah merepotkan mu." Aku menyatukan kedua tangan sambil terus meminta maaf.
"Maaf mu tidak berguna! Setelah ini aku juga yang akan mendapatkan teguran," balas Miki.
"Jika tidak mau membuat surat. Maka hubungi aku. Apa kau terlalu pendiam sampai-sampai mengirim pesan saja tidak berani?"
"Maaf, tapi ponsel dan ranselku tertinggal di kelas. Aku lupa untuk mengambilnya," jawabku.
"Tidak usah berbohong. Kau pikir aku bodoh? Dari pagi aku sama sekali tidak melihatmu, bagaimana mungkin ranselmu tertinggal di kelas, huh? Sedangkan kau saja tidak masuk kelas," jelas Miki yang semakin membuatku bingung.
Ada apa lagi ini? Kenapa Miki tidak ingat jika aku sempat masuk ke kelas. Padahal kami juga sempat melakukan kontak mata meskipun hanya sekilas. Tapi mengapa dia bersikeras jika tidak melihatku. Sungguh aneh.
"Ah sudahlah! Sekarang aku tidak heran kenapa semua orang membencimu. Itu karena kau memang pantas untuk mendapatkannya. Anak pelacur!" Setelah mengatakan itu Miki berlalu dengan menabrak pundak kanan ku.
Aku terdiam. Dua kata terakhir yang Miki katakan seketika membuat hatiku berdenyut nyeri. Dia bukan orang pertama yang mengatakan bahwa aku adalah anak pelacur, tapi entah mengapa rasanya tetap sakit. Bibirku bergetar menahan tangis, memukuli dada yang kian tambah terasa sesak.
Tiba-tiba Andre berlari menghampiriku. Dia langsung mengguncang tubuhku yang sedikit membungkuk.
"Hey! Apa yang terjadi. Kenapa kau menangis?"
Aku tidak menjawab, hanya isakan kecil yang mampu aku keluarkan. Andre lalu menuntunku untuk duduk di kursi depan toko. Lalu, dia kembali menanyakan hal yang sama.
"Ana, jangan diam saja. Apa yang terjadi padamu."
Aku mengangkat wajah, lalu menatap lekat mata Andre. Terlihat sangat jelas dari raut wajahnya jika dia menghawatirkan ku. Bibirku bergerak ingin mengatakan sesuatu.
"Menjadi anak pelacur, apa itu sebuah kesalahan?" tanyaku padanya yang diakhiri dengan tangisan pilu.
••••Dua jam yang lalu aku sudah pulang dari tempat bekerja. Aku izin pulang lebih awal karena alasan tidak enak badan. Padahal, hatiku yang sedang tidak baik-baik saja. Kini aku terduduk dilantai dengan pandangan kosong menatap langit malam yang gelap lewat jendela kamar. Aku bersandar pada ranjang sambil menekuk lutut. Pikiranku melayang membayangkan nasibku di hari esok yang akan datang. Bagaimana jika di depan sana banyak masalah yang sedang menunggu. Akankah aku siap untuk menghadapinya. Secara mendapatkan perkataan yang menyakitkan saja aku langsung merasa sedih seperti ini.Bruk!
Aku terperanjat kaget mendengar suara benda jatuh. Seketika aku langsung menoleh ke sumber suara dan betapa terkejutnya aku melihat ranselku tergeletak dilantai. Buru-buru aku bangkit dan memastikan dari mana datangnya ransel ini, padahal tadi tidak ada.
"Huh? Kenapa tiba-tiba ranselku ada disini?" gumanku pelan.
Merasa aneh, aku melihat ke atap plafon. Tapi tidak ada lubang sama sekali. Pintu kamarku juga tertutup. Lalu ranselku jatuh darimana.
Aku membuka ransel dengan terburu-buru dan mendapati semua alat sekolah ku masih utuh. Ponselku juga ada. Aku menggaruk tengkuk karena merasa ada yang tidak beres. Sebenarnya apa yang terjadi."Aneh sekali! Miki bilang dia tidak melihatku, padahal aku masuk ke kelas. Sekarang ranselku ada di kamar? Padahal tadi tidak ada."
Membuang nafas panjang, aku menarik kursi dan mendudukinya. Kenapa semenjak bertemu dengan Gentara banyak hal yang tidak masuk akal terjadi. Saat sedang melamun kedua mataku langsung melotot karena menyadari sesuatu.
Aku mengangkat kakiku yang terluka guna memeriksanya. Lalu aku kembali dibuat terkejut untuk yang sekian kalinya. Luka di kaki kiri ku sudah sembuh bahkan tidak ada bekas sama sekali. Aku baru sadar jika saat tiba di alam peri aku sudah tidak merasakan sakit. Lagi-lagi ini membuatku bingung."Apa! Kenapa kaki ku tiba-tiba sembuh. Secepat ini?" tanyaku keheranan.
Terdiam sejenak. Aku mendengar jendela diketuk oleh seseorang, membuatku langsung berdiri dan beranjak menuju jendela.
Namun, tidak ada siapa-siapa disini. Menelan ludah susah payah, aku mereasa seperti ada yang sedang memandangi ku dari berbagai arah. Tubuhku sekarang terasa dingin, apa mungkin di rumah ini ada hantu?"Siapa? Tolong jangan menggangguku."
Tidak ada sahutan. Hanya ada suara jangkrik yang ditemani lampu remang-remang.
Aku menghela nafas mungkin saja itu tetangga yang tidak punya kerjaan. Aku berniat untuk tidur, tapi saat membalikkan badan aku terkejut mendapati seseorang yang berdiri dibelakang ku.Aku terhuyung ke belakang karena terkejut lalu kepala ku malah menghantam tembok dengan sangat keras. Kepala ku terasa pening, pandanganku kabur, samar-samar aku mendengar suaranya yang memanggil namaku berkali-kali. Belum sempat aku melihat wajahnya, kesadaranku langsung hilang saat itu juga.
Mata ku mengerjap beberapa kali. Mencoba menghilangkan rasa pusing yang masih bersemayam di kepala. Aku bisa merasakan jika tubuhku sekarang berada di atas ranjang. Sekarang pandanganku mulai jelas dan saat aku melirik ke arah kanan aku dibuat terkejut oleh kehadiran seorang lelaki di kamar ku."Brengsek! Siapa kau!" Sontak aku berteriak dan melemparkan bantal ke arahnya.Aku berdiri lalu memukulinya dengan bertubi-tubi, sedangkan dia hanya meringis kesakitan sambil menangkis seranganku menggunakan kedua tangannya."H-hentikan! Ini aku!"Awalnya aku kesal dan tidak akan memberi ampun pada lelaki ini, tapi aku langsung berhenti saat menyadari bahwa pemilik suara itu seperti tidak asing bagiku.Aku mundur beberapa langkah guna melihat wajahnya. Bersamaan dengan itu lelaki yang kini berhadapan denganku ikut mengangkat wajahnya. Aku kembali terduduk diatas ranjang sambil menutup mulut, ini tidak mungkin."Ge-ge-ntar
Gentara terdiam cukup lama, matanya lurus menatap ke jalanan yang ramai tanpa berkedip."Aku tidak bisa berada di dekatmu setiap saat."Memandanginya dengan tatapan bingung, apa maksudnya?"Saat matahari sudah terbenam dan langit tergantikan oleh malam. Maka disaat itu juga sayap peri ku akan keluar," tambahnya."Segera aku harus menjauh dari keramaian manusia."Aku mengangguk mengerti, jadi Gentara tidak bisa keluar jika malam hari tiba? Sebenarnya aku sedikit kecewa karena tidak bisa bermain dengannya di malam hari."Oh ... Begitu, ya?""Lalu, apa makanan para peri? Apa sama dengan makanan manusia?" tanyaku.Selama Gentara di bumi, maka aku harus menjaga dan merawatnya dengan baik. Terutama tentang makanan."Em ... Para peri makan sesuatu yang sehat. Seperti buah, biji bunga, kacang-kacangan, daun binahong, burung citila, buah azele, dan masih banyak lagi."Aku ter
Entah sial apa yang sedang menghampiri kami saat ini. Di depan sana terdapat dua ekor anjing besar yang sedang menatap ku dan gentara. Lidah panjangnya menjulur mengeluarkan air liur, tatapan mata kedua anjing itu membuatku panas dingin.Sekilas aku melirik Gentara yang nampak ketakutan, tangannya juga sedikit gemetar. "Jangan panik! Kau baik-baik saja?" tanyaku khawatir."Anjing adalah musuh terbesar para peri. "Guk! "Lari. " Gentara langsung menarik tanganku dan kami berlari memutar arah.Aku yang belum siap hanya bisa mengikuti langkahnya yang panjang. Dan kedua anjing itu ternyata mengejar, itu membuatku semakin mempercepat larian. Tapi apalah daya kakiku ini pendek. Sekarang aku seperti seekor domba yang dipaksa berlari. Kami terus berlari tanpa tentu arah, menabrak apapun yang menghalangi jalan. Sesekali aku menoleh ke belakang dan mendapati kedua anjing i
Di waktu jam istirahat pertama aku memilih berdiam diri di dalam perpustakaan. Bukan untuk membaca buku, melainkan untuk menjauh dari kerumunan para murid. Tapi beberapa orang yang berada di sini juga tetap berbisik buruk tentang diriku mereka seakan tidak peduli bagaimana perasaanku yang mendengarkannya. Tanganku memegang satu buku, tapi tatapanku justru kosong menatap hamparan buku yang tertata rapi di rak.Kenapa kehidupan sekolahku sangat pahit seperti ini, aku pikir selama ini sudah menjadi murid yang baik. Aku juga tidak berbuat semena-mena pada murid lain. Namun, kenapa semua orang membenciku hanya karena ibuku seorang pelacur. Ya, pekerjaan itu memang tidak baik, tapi apa pantas mereka ikut menghakimi aku yang statusnya anak pelacur. Itu pekerjaan ibuku, bukan aku yang melakukannya. Tapi kenapa aku juga ikut dibenci. Kenapa? Ini menyakitkan. Aku juga manusia biasa yang akan terluka jika dibenci dan dikucilkan s
Alih-alih membantu kakek Ridin, justru malah aku dan Gentara yang dikejar oleh induk ayam. Kami berlarian ke sana kemari menghindari kejaran ayam yang marah. Sesekali aku tertawa terbahak -bahak karena melihat Gentara sangat ketakutan dan terus membuntuti ku. Katanya, dia tidak ingin bertemu dengan ayam lagi. Dan disinilah aku dan Gentara melepas penat, disebuah kedai ice cream sederhana bernuansa biru laut. Aku mengajak Gentara untuk mencicipi ice cream, dia pasti suka. "Ayo! Coba makan," bujukku pada Gentara yang sejak tadi hanya diam. Matanya menjelajahi setiap sudut ice cream. Seolah-olah makanan itu adalah hal asing baginya. "Wah! Kenapa makanan ini begitu dingin?" Gentara menyendok satu suapan, tapi dia meniupnya terlebih dahulu sebelum memakannya. Sontak aku tersenyum geli melihatnya, kenapa harus ditiup? "Kenapa kau meniupnya? Ice cream itu tidak panas," ujarku sambil tertawa. "Oh, tapi
Aku berjalan tanpa tentu arah masih dengan mengandeng tangan Gentara. Dia hanya diam tanpa berbicara sedikitpun, aku lega karena Gentara tidak bertanya yang aneh-aneh. Jika iya, aku tidak tahu harus bersikap bagaimana, karena perasaan ku sendiri sedang tidak baik. Namun, aku berhenti ketika merasakan adanya pergerakan di tanganku. Gentara seperti memberi kode agar aku berhenti. "Ana, sampai kapan kita akan berputar-putar di tempat yang sama?" Mendengar itu aku langsung menoleh ke belakang, sejenak terdiam mengamati sekitar. Oh, apa dari tadi aku dan Gentara hanya mengelilingi tempat yang sama? Pasalnya netra mataku menangkap bangunan yang berbentuk lingkaran, sedangkan ditengah-tengahnya terdapat banyak tanaman. Tanpa mengatakan apapun, aku langsung berjalan menuju bangku kayu yang tampak kotor. Aku tidak peduli dan langsung mendudukinya. Gentara yang peka juga langsung ikut duduk di samping ku. Aku mengehela nafas bera
Perlahan aku melangkahkan kaki mendekati Gentara, dia masih menunduk dengan tatapan kosong. Aku yang bingung langsung dikejutkan dengan sesuatu yang kini sedang Gentara cengkram. Apa aku tidak salah lihat? Salah satu sayap Gentara rontok. Entah apa sebabnya, tapi dari raut wajahnya Gentara nampak sedih dan kesakitan. Sekarang aku jadi panik apa ini tanda bahaya? "Gentara, apa yang terjadi padamu? Kenapa sayapnya rontok?" "Sa-sakit .... " lirihnya sambil memegangi bahu. Aku terdiam sejenak mencoba untuk mengikis jarak darinya. Sebenarnya apa yang terjadi, aku jadi tidak tega melihat Gentara kesakitan seperti ini. Pikiranku kembali pada saat pertama kali aku bertemu dengannya, waktu itu Gentara juga sedang kesakitan. Sekarang aku harus bagaimana, andai sa
Hangatnya mentari pagi membuat ku menyunggingkan senyum kecil, mungkin alam semesta juga sedang ikut berbahagia karena hari ini aku berangkat ke sekolah menggunakan sepatu yang diberikan ibuku.Dua tahun yang lalu ketika aku sedang duduk di teras kamar, ibuku datang dan membawa sepatu ini dengan riang. Dia sangat antusias karena hari esoknya adalah hari ulang tahunku, katanya dia ingin menjadi orang pertama yang memberikanku hadiah.Saat itu aku sangat bahagia dan bersyukur karena memiliki seorang ibu yang penyayang. Dia rela melakukan apapun untuk kebahagiaan ku, tetapi sekarang semua itu hanyalah kenangan. Ya! seperti yang kita tau kenangan hanya bisa diingat, tapi kita tidak bisa mengulanginya.Setibanya di sekolah tadi aku langsung beranjak menuju taman, daripada harus bertatap muka dengan teman-temanku lebih baik aku membaca buku.Membaca buku bagiku tidak cuk