Share

Bab 7: Dia lagi!

Aku terkejut bukan main saat mendapati salah satu teman kelasku berada disini. Dia Miki, seseorang lelaki pendiam yang menjabat menjadi ketua kelas. Miki sangat jarang berbicara, tapi kenapa sekarang dia tersenyum seperti ini. Jujur aku baru pertama kali melihatnya. 

"Oh, Miki. Kau mencariku?" Aku berusaha mengembalikan raut wajah yang semulanya terkejut. 

Bukannya menjawab, dia malah diam lalu senyumnya perlahan luntur. Sekarang wajahnya begitu dingin dan datar. Miki menatapku tanpa ekspresi tentu saja aku bingung dengan perubahan wajahnya yang tiba-tiba. 

"Dasar bocah nakal," ketusnya. 

Aku membulatkan mata sebenarnya apa yang terjadi pada Miki. Tumben sekali mengajakku berbicara. Selama hampir tiga tahun dia bahkan hanya mengatakan beberapa kalimat saja kepadaku. Lagipula, darimana dia tau aku berada disini. 

"Apa maksudmu?" 

"Kenapa tidak izin jika tidak masuk sekolah? Jika ingin bolos maka setidaknya buatlah surat palsu. Menyusahkan!" sentaknya kasar. 

Aku semakin heran dibuatnya. Bukannya tadi aku berangkat ke sekolah, tapi sewaktu kejadian aku akan dilecehkan oleh Zico ada portal yang menolongku. Alhasil aku menghilang dari sekolah. 

Namun, aku tidak mungkin menceritakan itu pada Miki. Dia pasti tidak percaya. 

"Tadi pagi aku berangkat ke sekolah, dan aku juga melihatmu sedang duduk mengamati sekitar. Aku pikir kau melihatku masuk," jelasku. 

"Bohong! Dari awal aku datang di jam enam pagi, aku sama sekali tidak melihatmu masuk kelas." 

"Kau tidak lupa kan? Jika sekolah kita menjunjung tinggi kedisiplinan. Jika salah satu siswa tidak masuk sekolah, maka harus ada surat izin yang diberikan pada guru." 

"Jika tidak ada surat izin kau tau kan? Ketua kelas lah yang harus bertanggungjawab untuk mencari penyebabnya!" 

"Ponselmu juga tidak bisa dihubungi, lalu bagaimana caraku untuk mengetahui alasanmu kenapa tidak masuk? Huh?" 

"Kau ini memang menyusahkan!" Ujar Miki mengakhiri perkataanya. 

Aku menelan ludah mendengar Miki berbicara panjang lebar seperti ini. Dia tampak sangat marah. Memang, di sekolahku ditetapkan banyak aturan. Salah satunya adalah ketika tidak bisa masuk kelas maka wajib ada surat izin. Jika tidak ada maka ketua kelas harus menghubungi atau mendatangi rumah siswa yang bersangkutan untuk menanyakan alasan mengapa tidak mengikuti pembelajaran. 

Pantas saja Miki terlihat kesal. Dia pasti datang ke rumahku tadi. Ponselku juga ada di dalam tas. Oh ya, tasku masih di sekolah. 

"Maafkan aku, tapi ada beberapa hal yang tidak bisa aku ceritakan. Sekali lagi maafkan aku karena sudah merepotkan mu." Aku menyatukan kedua tangan sambil terus meminta maaf. 

"Maaf mu tidak berguna! Setelah ini aku juga yang akan mendapatkan teguran," balas Miki. 

"Jika tidak mau membuat surat. Maka hubungi aku. Apa kau terlalu pendiam sampai-sampai mengirim pesan saja tidak berani?" 

"Maaf, tapi ponsel dan ranselku tertinggal di kelas. Aku lupa untuk mengambilnya," jawabku. 

"Tidak usah berbohong. Kau pikir aku bodoh? Dari pagi aku sama sekali tidak melihatmu, bagaimana mungkin ranselmu tertinggal di kelas, huh? Sedangkan kau saja tidak masuk kelas," jelas Miki yang semakin membuatku bingung. 

Ada apa lagi ini? Kenapa Miki tidak ingat jika aku sempat masuk ke kelas. Padahal kami juga sempat melakukan kontak mata meskipun hanya sekilas. Tapi mengapa dia bersikeras jika tidak melihatku. Sungguh aneh. 

"Ah sudahlah! Sekarang aku tidak heran kenapa semua orang membencimu. Itu karena kau memang pantas untuk mendapatkannya. Anak pelacur!" Setelah mengatakan itu Miki berlalu dengan menabrak pundak kanan ku. 

Aku terdiam. Dua kata terakhir yang Miki katakan seketika membuat hatiku berdenyut nyeri. Dia bukan orang pertama yang mengatakan bahwa aku adalah anak pelacur, tapi entah mengapa rasanya tetap sakit. Bibirku bergetar menahan tangis, memukuli dada yang kian tambah terasa sesak. 

Tiba-tiba Andre berlari menghampiriku. Dia langsung mengguncang tubuhku yang sedikit membungkuk. 

"Hey! Apa yang terjadi. Kenapa kau menangis?" 

Aku tidak menjawab, hanya isakan kecil yang mampu aku keluarkan. Andre lalu menuntunku untuk duduk di kursi depan toko. Lalu, dia kembali menanyakan hal yang sama. 

"Ana, jangan diam saja. Apa yang terjadi padamu." 

Aku mengangkat wajah, lalu menatap lekat mata Andre. Terlihat sangat jelas dari raut wajahnya jika dia menghawatirkan ku. Bibirku bergerak ingin mengatakan sesuatu. 

"Menjadi anak pelacur, apa itu sebuah kesalahan?" tanyaku padanya yang diakhiri dengan tangisan pilu. 

                    ••••

Dua jam yang lalu aku sudah pulang dari tempat bekerja. Aku izin pulang lebih awal karena alasan tidak enak badan. Padahal, hatiku yang sedang tidak baik-baik saja. Kini aku terduduk dilantai dengan pandangan kosong menatap langit malam yang gelap lewat jendela kamar. Aku bersandar pada ranjang sambil menekuk lutut. Pikiranku melayang membayangkan nasibku di hari esok yang akan datang. 

Bagaimana jika di depan sana banyak masalah yang sedang menunggu. Akankah aku siap untuk menghadapinya. Secara mendapatkan perkataan yang menyakitkan saja aku langsung merasa sedih seperti ini. 

Bruk! 

Aku terperanjat kaget mendengar suara benda jatuh. Seketika aku langsung menoleh ke sumber suara dan betapa terkejutnya aku melihat ranselku tergeletak dilantai. Buru-buru aku bangkit dan memastikan dari mana datangnya ransel ini, padahal tadi tidak ada. 

"Huh? Kenapa tiba-tiba ranselku ada disini?" gumanku pelan. 

Merasa aneh, aku melihat ke atap plafon. Tapi tidak ada lubang sama sekali. Pintu kamarku juga tertutup. Lalu ranselku jatuh darimana. 

Aku membuka ransel dengan terburu-buru dan mendapati semua alat sekolah ku masih utuh. Ponselku juga ada. Aku menggaruk tengkuk karena merasa ada yang tidak beres. Sebenarnya apa yang terjadi. 

"Aneh sekali! Miki bilang dia tidak melihatku, padahal aku masuk ke kelas. Sekarang ranselku ada di kamar? Padahal tadi tidak ada." 

Membuang nafas panjang, aku menarik kursi dan mendudukinya. Kenapa semenjak bertemu dengan Gentara banyak hal yang tidak masuk akal terjadi. Saat sedang melamun kedua mataku langsung melotot karena menyadari sesuatu. 

Aku mengangkat kakiku yang terluka guna memeriksanya. Lalu aku kembali dibuat terkejut untuk yang sekian kalinya. Luka di kaki kiri ku sudah sembuh bahkan tidak ada bekas sama sekali. Aku baru sadar jika saat tiba di alam peri aku sudah tidak merasakan sakit. Lagi-lagi ini membuatku bingung. 

"Apa! Kenapa kaki ku tiba-tiba sembuh. Secepat ini?" tanyaku keheranan. 

Terdiam sejenak. Aku mendengar jendela diketuk oleh seseorang, membuatku langsung berdiri dan beranjak menuju jendela. 

Namun, tidak ada siapa-siapa disini. Menelan ludah susah payah, aku mereasa seperti ada yang sedang memandangi ku dari berbagai arah. Tubuhku sekarang terasa dingin, apa mungkin di rumah ini ada hantu? 

"Siapa? Tolong jangan menggangguku." 

Tidak ada sahutan. Hanya ada suara jangkrik yang ditemani lampu remang-remang. 

Aku menghela nafas mungkin saja itu tetangga yang tidak punya kerjaan. Aku berniat untuk tidur, tapi saat membalikkan badan aku terkejut mendapati seseorang yang berdiri dibelakang ku. 

Aku terhuyung ke belakang karena terkejut lalu kepala ku malah menghantam tembok dengan sangat keras. Kepala ku terasa pening, pandanganku kabur, samar-samar aku mendengar suaranya yang memanggil namaku berkali-kali. Belum sempat aku melihat wajahnya, kesadaranku langsung hilang saat itu juga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status