Juan tidak bisa tenang. Sejak tadi yang dilakukannya hanya melihat pergerakan jam dinding yang sangat lambat. Entah baterainya yang akan habis, apa memang kesabarannya yang mulai menipis. Rasanya dia ingin memutar jam secepat mungkin dan menunggu kedatangan sang adik. Sudah dua jam sejak kepergian Maya dan Joe, sampai saat ini belum ada tanda-tanda kepulangan keduanya. Juan makin gusar sendiri.
Dia jelas melihat penampilan gadis itu yang sangat cantik luar biasa. Padahal dia sering melihat penampilan Maya yang sejak lahir memang cantik, tapi kenapa malm ini terasa sangat berbeda. Maya memang bakat membuat orang terpikat, terjerumus pada pesona yang tidak mudah ditampik. Semakin Juan berusaha menghindar, jiwanya malah makin terikat tanpa sadar. Entah kenapa Juan baru menyadari beberapa hari ini.
“Sialan! Kenapa mereka lama sekali.” Juan makin gusar. Dia tidak bisa tinggal diam saja sedangkan perasaannya makin resah begini. Ingin sekali dia menjemput Maya dan memaksany
Bisa kita bertemu? Mulan membaca pesan itu dengan seksama. Setelah mengetik balasan dan mengirimkannya, dia segera bersiap-siap. Siang ini dia akan bertemu dengan Maya di kafe biasanya. Kebetulan keadaan rumah cukup sepi. Semua orang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Apalagi Juan yang biasanya selalu memantau kesehariannya sedang tidak di rumah. Setidaknya dia memiliki waktu bebas tanpa tatapan tajam pria itu. Mulan memakai pakaian santai yang nyaman. Karena dominan baju di lemarinya adalah gaun, Mulan tidak memiliki pilihan lain. Sepertinya dia harus menyuruh beberapa pelayan menyiapkan kaos dan celana nanti. Dia sudah gerah dengan gaun yang terlalu feminim seperti ini. Setelah penampilannya sempurna, Mulan segera meraih tas selempang dan keluar dari kamarnya. Dia melihat-lihat keadaan sekitar. Beruntung tidak ada pelayan yang berkeliaran seperti biasanya. Dia bisa pergi tanpa ada hambatan. Namun sialnya, Mulan melupakan satu
“Kamu mau langsung pulang?” tanya Maya yang sedang membereskan barang-barangnya. Sudah hampir dua jam mereka berbincang. Maya yang menjawab beberapa pertanyaan ringan yang Mulan ajukan. Apalagi terkait dengan Alfa dan beberapa teman lain yang dikenalnya. Jelas tanpa mengungkit kembali masalah perasaannya pada Juan. Maya sudah memberikan respon apatis untuk sebagai tanda larangan.Mulan menoleh sebentar dan menggeleng. “Tidak. Ada tempat yang harus aku datangi setelah ini,” jawabnya dengaan jujur.“Kamu sudah izin ke Kak Juan atau Bruce?”“Tidak juga.”Maya memelotot mendengarnya. “Kamu serius?” pekiknya tanpa sadar. Beberapa pengunjung di sana langsung menatapnya dengan ekspresi terganggu. Maya meringis dan memohon maaf lewat tatapannya.Sedangkan Mulan yang sudah selesai memasukkan barangnya ke dalam tas, menatap Maya dengan lekat. Sebelah alisnya naik ke atas, “Aku tidak perlu izin
“Istri sialan! Mati kau ke neraka!” Plak. Ringan sekali Robin melayangkan tamparannya. Wajah Lucy sampai terlempar ke samping, sudut bibirnya sudah robek dan terluka dengan cukup parah. Entah sudah keberapa kali tamparan itu didapatkannya, Lucy tidak bisa melawan. Lebih tepatnya tidak akan melawan. Karena dia sadar dirinyalah yang bersalah di sini. Dia yang mematik api lebih dulu. “Robin, maafkan aku.”“Maaf? Maaf setelah kamu melakukan sejauh ini?” Robin menatap sengit pada wanita di bawahnya. Tatapannya sungguh bengis, kedua tangannya mengepal. Rasanya tak puas hanya menampar wanita itu. Setiap hari emosinya tidak pernah reda. Lucy masih bersimpuh di kaki sang suami, memeluknya dengan erat. Tatapannya memohon belas kasih yang tidak akan pernah ada lagi. Robin seakan manusia tanpa hati. Lantaran hatinya pun terkikis oleh penghianatan orang yang dicintainya. &l
Sesuai dengan kesepakatan mereka. Pagi setelah sarapan, mereka akan menjemput sang ayah di bandara. Mulan terpaksa satu mobil dengan Juan lantaran Julian dan Joe sudah tiba lebih dulu di sana.Sepanjang perjalanan, tidak ada satupun yang membuka mulut. Juan masih kesal dengan kepergian sang adik yang tak meminta izinnya. Padahal dia sangat panik di rumah saat mendapat kabar dari Bruce. Pengawal itu mengaku ditipu habis-habisan. Juan jadi berpikir, sejak kapan sang adik pintar berbohong? Apalagi Bruce sangat pintar, kenapa sampai bisa ditipu? Dia bahkan melampiaskan amarahnya pada Bruce, memukuli pengawal yang tidak becus menjaga sang adik.Sedangkan Mulan sejak tadi berkali-kali mencuri pandang ke arah Juan. Dia melirik pria itu dengan penuh penilaian. Memang dari ketiga pria itu, Juan memiliki tubuh yang lebih matang dan mempesona. Diam saja sudah mampu memikat banyak perempuan dengan tatapannya. Mata biru safir dengan wajah tampan. Mulan bahkan tidak menyangkal sempa
Mulan makin pias saat lelaki itu melangkah lebar, mempersempit jarak mereka hingga tanpa aba-aba tubuhnya tertarik dalam sebuah pelukan yang sangat erat. Tubuhnya mematung, Mulan seakan kehilangan kinerja sarafnya, Mulan merasa lumpuh total. Kedua tangannya terkulai, tak bertenaga untuk membalas pelukan yang sarat akan kerinduan tersebut.Kriss Walter, lelaki paruh baya yang hampir menginjak setengah abad. Usianya memang sudah cukup tua, tapi kewibawaan dan gurat ketampanannya belum juga luntur. Merasakan pelukannya tidak terbalas, Kriss merenggangkannya. Dia menatap gadis yang dikiranya adalah Maya Walter, si bungsu yang paling dimanjanya. Tatapannya sangat lekat dan penuh rasa khawatir. Dia menangkup kedua pipi itu dengan lembut.“Hey, kamu tidak apa-apa, Sayang?” tanyanya, penuh dengan kekhawatiran.Mulan berusaha mengumpulkan kesadarannya. Dia memaksakan senyum di bibirnya yang pucat. Dengan tak ketara, dia mundur selangkah, seraya membebaskan wa
“Anak tidak tahu diri. Harusnya kamu mati saja!” maki Robin dengan tangan yang tak berhenti mengayunkan ikat pinggannya. Bunyinya cukup nyaring, saling berlomba dengan teriakan Mulan yang kesakitan.“Ampun, Papa, sakit,” ringis Mulan, sesegukan dengan tubuh yang bergetar hebat,Robin seakan tuli. Dia tetap memecut bocah yang terus meringkuk, berusaha menghindar yang tidak dibiarkannya begitu saja. Bara api seakan berkobar di kedua mata tajamnya. Tidak ada belas kasihan sediki pun.Padahal bocah itu tidak melakukan kesalahan fatal. Hanya kasalahan anak kecil yang tidak sengaja menabraknya hingga gelas kopinya jatuh, isinya tumpah dengan gelas yang pecah. Mulan sudah menunduk ketakutan, sadar sedikit kesalahannya akan membuat murka lelaki itu. Dan benar saja, Robin membuka ikat pinggangnya dan memburu Mulan dengan lecutan keras. Jangan bilang Mulan hanya diam saja. Dia sempat melarikan diri, menghindari kemarahan sang ayah yan
Juan tidak tahu apa yang salah dengan otaknya. Bisa-bisanya dia membiarkan perempuan tidur di ranjang yang sama dengannya. Bahkan terlelap dan memeluknya dengan sangat erat. Dia bahkan bisa merasakan napas teratur yang menggelitik tengkuknya.Juan lelaki normal. Dipeluk seerat ini jelas menjadi siksaan terberat baginya. Dia tidak bisa sedikitpun terlelap atau memejamkan mata barang sebentar saja. Bahkan sepanjang malam yang dilakukannya hanya menatap langit-langit kamar, seakan menghitung domba-domba yang terlelap. Namun percuma, keberadaan perempuan itu jelas mengusiknya. Padahal dulu, dia tidak masalah seranjang dengan Maya, bahkan mereka sering tidur seperti ini.Hingga matahari masuk lewat sela-sela jendela kaca, matanya masih terbuka lebar. Rasa kantuk yang semalam ditahan, mulai menyerang di pagi ini. Namun Juan memilih diam, seperti patung yang kaku. Dia tidak bisa bergerak sekecil apa pun. Takut-takut perempuan dalam pelukannya terbangun.Ralat, sebenarn
Tidak sulit berkerja sebagai pelayan di sini. Maya hanya perlu mengantar minuman di meja-meja pengunjung dan kembali ke bartender yang sedang meracik. Seperti itu berulang kali. Rasanya dia akan betah berkerja di sini. Tidak sulit, meski dia akan pulang larut bahkan menjelang pagi. Maya bisa istirahat di siang harinya.Maya tersenyum melihat lautan manusia yang sedang bersenang-senang. Bahkan tatapannya sering menangkap beberapa pasangan yang sedang make out. Sepertinya tidak ada rasa malu atau canggung di sini. Tanpa sadar, Maya mengulum senyum. Dia menyentuh bibirnya sendiri, membayangkan berada di posisi itu dengan Juan.‘Kenapa ingat dia lagi,’ rutuknya pada diri sendiri. Tidak mudah menghilangkan bayangan pria yang dicintainya. Maya seakan terkurung dalam perasaan dan ambisinya.“Kamu ingin juga?” tanya si bartender dengan senyum jail.Maya menoleh, menautkan alisnya dengan ekspresi bingung. Si bartender menu