"Hai, My name is Violla. Teruntuk bab ini aku akan mengambil alih. Dari awal sampai akhir bab ke-61 ini sudah kubajak. Semoga kalian tidak keberatan ya," Salam damai dari Violla.***Musim salju tengah melanda kota Paris saat ini. Orang-orang sudah mulai mengenakan mantel musim dingin. Untungnya, ini baru hari pertama masuknya musim salju, jadi jalanan belum nampak adanya tumpukan salju yang menggunung.Dari dalam kedai kopi, Violla menghangatkan dirinya. Pemanas di dalam kedai juga sudah dinyalakan oleh pemiliknya. Sebenarnya ia tidak berencana untuk keluar di tengah salju seperti ini, tapi daripada hanya duduk di hotel, terasa membosankan.Dari ekor matanya, ia kadang mendapati beberapa pria asing melirik dirinya. Malas untuk diajak mengobrol, ia memilih untuk memainkan gawainya. Melihat obrolan dengan orang yang sedang ditunggunya saat ini, selama ini, lebih tepatnya."Nicho, kamu tidak lupa dengan janji kita esok hari kan? Jangan lupa pakai pakaian yang aku rekomendasikan kemarin
Gracia menghabiskan semangkuk besar salad buah. Jika perutnya tidak memberikan peringatan full tank, mungkin saja ia akan habiskan semangkok besar lagi."Badan kecil tapi perutnya besar," goda Nicho."Hei, ini kan nggak buat gendut,""Iya. Pasti dong. Emang apa sih yang bisa buat kamu gendut? Badan kamu kecil gini kok. Makan yang banyak saja. Jangan buang energi kamu untuk menyerap hal-hal negatif. Lebih baik isi dengan hal-hal positif,""Masa iya?""Ya, iya. Buktinya saya bisa sukses gini kan? Olah hal negatif itu jadi hal yang positif. Ambil hikmahnya. Lagian, ibu-ibu tetangga itu tidak tahu kejadian sebenarnya. Saya yakin mulai besok pagi mereka sudah akan lupa,""Bukan itu masalahnya. Kalau hal itu sih bodoh amat. Mau mereka jungkir balik, ngegosip sana-sini. Asalkan tak menganggu hidupku masih oke,""Ya elah...tapi tadi pagi ngurung diri di kamar tuh," Eric menyeletuk saat ia ke dapur. Mengambil segelas air putih."Berisik!" Gracia protes. Ia mencari sesuatu untuk dilempar. Ketem
"Ana, kamu kenapa? Dari tadi diam aja," Ia menatapnya lamat-lamat. "Entahlah. Hanya berpikir mengenai hal random," "Tentang hubungan kita?" "Untuk kali ini bukan itu. Ada lah masalah kantor," "Kenapa? Cerita lah!" "Nggak dulu ya. Aku mau beresin masalah ini dulu. Kalau sekarang aku cerita pasti kamu akan bela aku juga, dan aku nggak mau itu. Mana tahu ternyata aku yang salah," "Iya, nggak apa-apa kalau kamu belum siap cerita. Tapi untungnya kamu nggak galaukan hubungan kita," "Hei, jangan gitulah!" Ana tersenyum sesaat. Tak sengaja matanya bertemu dengan jam dinding yang tergantung di samping televisi. Pukul 20.00. "Ini udah jam delapan malam. Kamu pulang ya," "Yah, aku diusir lagi," "Hei, besok kamu kerja lagi," "Iya. Iya, bos! Peluk dulu ya." Ananta menerima pelukannya. Nyaman, namun belum ada rasa. Ia kembali masuk ke dalam kamar setelah Stanley pulang dengan motor ninjanya. Hatinya kembali kalut. Ia semakin khawatir tentang hubungannya dengan Gracia. "Jika kamu juga
Pagi telah datang. Di pagi hari ini cuacanya lebih dingin dan lebih lembab. Sejak dari jam dua subuh, hujan terus mengguyur kota Pontianak. Hujannya awet."Pagi-pagi malah udah hujan salju," Ananta menamainya hujan salju. Gerimis yang turunnya tidak menimbulkan bunyi dan nampak halus seperti turunnya salju.Ia sudah sadar 100% namun kali ini bangun saja terasa berat baginya. Ia memilih untuk berbaring sejenak di atas tempat tidurnya.Kira-kira sepuluh menit ia gunakan untuk merenungi lewat batinnya."Ini saatnya aku bangun, aku harus siap-siap ke rumah Gracia. Bodoh amat, aku diterima atau nggak," Ananta bangkit dari tempat tidurnya. Keluar dari kamar tidurnya menuju ke kamar mandi.***Malamnya dipenuhi dengan tangisan, sehingga cara tidurnya juga tidak menenangkan. Tapi Gracia belum mau bangun. Ia masih memaksakan matanya tetap terpejam. Selimutnya yang agak berantakan, dinaikkannya sampai menutupi badannya."Toh, jam masih menunjukkan pukul enam pagi. Tidur saja lah."Ia berguling-
Hujan masih saja awet menghujam bumi. Namun, setidaknya tidak separah tadi pagi. Ananta tidak perlu mengenakan mantel."Pagi-pagi kok udah mandi? Tumben? Nggak lupa kalau hari ini akhir pekan kan?" Ibu Ana berseru dari dapur. Ia melihat Ananta sekilas saat Ana keluar dari kamar mandi."Aku ingat kalau hari ini hari minggu kok, ma. Aku mau ke rumah Gracia,""Tumben? Harus sepagi ini? Nanti kamu ganggu tidurnya. Kan kamu pernah bilang kalau hari minggu gini biasa Gracia bangun siang?""Iya. Ada sedikit kesalahpahaman. Jadi, aku harus benar-benar menuntaskannya. Oh ya ma, nanti nasi gorengku taruh aja di meja. Setelah aku ganti baju, aku langsung makan kok. Jadi, mama nggak perlu repot-repot taruh di lemari makanan,""Iya, baiklah."Berselang tiga puluh menit kemudian, Ananta telah siap. Ia sudah tampil rapi dan sudah sarapan. "Ayo, Ana. Kamu pasti bisa,"Drrt.Sebuah pesan masuk ke gawai Ananta. Ia sadar jika ada pesan masuk, tapi ia tidak menaruh minat siapa yang mengirimkan pesan. Ota
"Hai, kamu disini pagi-pagi karena?" Nicho langsung bertanya to the point. Alangkah lebih baik kalau mereka ternyata sudah baikan kembali, pikirnya.'Bukannya seharusnya aku yang nanya ya? Kenapa Pak Nicho bisa kesini pagi-pagi? Eh..oh ya, Pak Nicho kan teman kecil Gracia. Wajar juga kalau dia pagi-pagi kesini. Tapi aku harus bilang apa sama Pak Nicho? Tak mungkin bilang tentang masalah kami kan?' Ananta berbicara dalam hati. Ia benar-benar bingung.Kali ini ia berhadapan dengan atasannya sendiri sekaligus teman kecil Gracia. Pasti Pak Nicho akan marahin dia besar-besaran. Apalagi kalau ternyata masalah ini bisa berdampak dengan pekerjaannya. Taruhannya besar dan buat merinding tentunya."Hei, kenapa ditanya diam aja?""Mm...saya mau...""Saya sudah tahu masalah kamu dan Gracia!"Ananta speechless. Kalau ditanya apakah dia kaget? Seratus persen. No debat. No excuse. Bahkan ia tak berani menatap mata Nicho."Apakah setiap orang yang bertanya, kamu akan mengacuhkannya?" Nicho berbalik. D
Pukul 11.00 mall belum ramai. Ada beberapa pekerja dari staff kebersihan sedang membersihkan beberapa area. Eskalator baru saja dinyalakan. Karena tadi sempat mati lampu, sepertinya.Ananta masih terduduk kaku. Namun, kepalanya sibuk untuk menoleh kesana-kemari. Berusaha mencari topik lain yang bisa mengubah arah pembicaraan."Ananta! Tatap mata saya. Apakah kamu tidak pernah diajarkan sopan santun?""Mm..maaf pak. Saya bukannya tidak sopan. Saya hanya..." Baru pertama kali, Ananta bertatapan langsung dengan seorang atasan. Lebih tepatnya seorang CEO.Karena selama ini, atasan yang pernah ia ajak bicara secara langsung yah setinggi-tingginya adalah Bu Lina. Mana ia pernah berpikir bisa berbicara langsung dengan CEO secara langsung. Bahkan Bu Pramita saja ia tak pernah."Hanya apa?" Nicho bertanya lantang. Namun, masih terkesan lembut.'Ini saatnya kamu harus lebih berani Ana! Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk mengaku atas semua kesalahanmu.'"Saya...""Nicho! Hei, kamu pagi-pa
"Pak, alamatnya sesuai titik lokasi ya,""Baik, mbak!"Ananta merebahkan badannya di kursi mobil barisan belakang. Ia memilih untuk memesan ojek mobil daring dibandingkan harus pulang dengan atasannya. Alasan lainnya adalah Nicho adalah teman kecil Gracia dan ia sangat yakin jika Nicho bisa saja mencintai Gracia. Mana ada sih cowok yang sepeduli itu dengan seorang cewek tanpa rasa? Mungkin ada, tapi kemungkinannya kecil.Ananta tak banyak bicara. Ia sedang mode malas untuk berbasa-basi dengan supir ojek."Pak, saya izin buka kaca jendela ya,""Baik, mbak. Silakan."Ia merasa sesak. Udara pagi menjelang siang ini semoga saja bisa membantu. Demi mengalihkan rasa bosan dalam perjalanan, ia memperhatikan setiap papan iklan. Yang tak lain tak bukan adalah iklan acara musik yang mengundang sejumlah penyanyi nasional sampai iklan kampanye yang berseliweran dimana-mana.Saat melewati kedai Koopi, matanya berhenti memperhatikan papan iklan. Kedai sudah buka dan sepertinya sudah ada konsumen, k