Suhu di luar terasa hangat. Sinarnya memberikan sensasi abstrak kala angin mulai ikut mendominasi. Sesekali sinar matahari menyeruak lewat gorden yang ditiup semilir angin. Membuat tubuh kekar yang terbaring lelap di atas dipan terusik. Hanya hitungan detik sang surya datang mengusik, namun erangan kecil dari dua daun bibir pria itu langsung mengudara. Dia menggeliat, meregangkan otot-otot. Tubuhnya seketika duduk di atas ranjang, lalu menoleh pada jam portabel di atas nakas. Sudah siang. “Amira,” panggil Sagha. Laki-laki itu sedang meneguk air dingin sambil duduk di kursi meja makan.Tak ada sahutan. Tak ada suara apa pun yang mengusik keheningan. Pemuda bernama lengkap Sagha Factur itu, mengerutkan dahinya, bingung. Ke mana adiknya pergi? Ini hari libur, mana mungkin Amira bekerja. Sagha beranjak berjalan ke kamar Amira. Tangannya terangkat, mengetuk pintu. Lagi-lagi, tak ada sahutan. Tak ada pilihan, langsung masuk dan memeriksa adalah jalan satu-satunya.“Amira, kau masih tidur
“Kau mau pergi?” tanya Ramon. Amira bergeming. Entah apa yang ada dalam pikirannya mendengar pertanyaan Ramon. Sebelumnya dia sudah pernah terjebak oleh kata-kata perintah laki-laki itu, dan kali ini Amira harus benar-benar menelaah baik-baik. Jangan sampai jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya. Buru-buru Amira menggeleng. “Tidak, Pak. Aku tidak berniat kabur atau pun pergi tanpa perintah darimu. Aku hanya ....” Ucapan Amira tak berlanjut, saat lembar uang yang baru saja di ambil dari dompet Ramon terhempas tepat di wajahnya.“Pergi dari sini. Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi,” kata Ramon, tak punya hati. Amira sejenak bergeming lalu meneguk ludah, kemudian tersenyum miris. Kepalanya perlahan mendongak ke atas, guna menahan terjangan air mata yang entah datang dari mana.Baru saja akan bersujud di hadapan Ramon untuk memohon, laki-laki itu sudah lebih dulu melongos melewatinya. Amira mengikuti dengan pasang mata ke mana Ramon melangkah. Tak pernah dibayangkan Amira se
Tepat saat Ramon meninggalkan Amira sendirian, saat itu juga Amira bergegas menemui Farah. Satu-satunya manusia yang masih ingin dimintai pernyataan, adalah perempuan itu. Amira tetap meneguhkan pendirian, kalau kematian Dired tetap Farahlah penyebabnya. Entah kebetulan, atau memang dia dikirim untuk membantu Ramon yang sedang dalam jeratan Farah. Di dalam bar yang tak lagi asing untuknya, Amira menyaksikan bagaimana terpuruknya Ramon dan bagaimana cara Farah menenangkan laki-laki itu. Amira sengaja untuk tidak langsung menghampiri Farah, karena dia yakin perempuan yang sudah dia kenal selama lebih sepuluh tahun itu, pasti tidak akan tinggal diam kalau menyerangnya sekarang. Amira sesekali mendengus merasa miris, melihat aksi Farah yang menyuruh salah satu pelayan untuk memasukkan sesuatu ke dalam minuman Ramon. Rendah! Kata itulah yang tercetak dalam dada Amira menggambarkan Farah. Amira juga segera menyembunyikan diri, saat sadar kalau Farah menyuruh anak buahnya untuk mencarin
Ramon terusik. Matanya mengerjap-erjap sembari meringis kecil. Tubuh kekar yang masih cukup kuat itu, memaksa bangun dari baring yang tak dia sadari kapan dan bagaimana dia bisa berada di sini. Sensasi nyeri di kepalanya, mengundang tangan untuk memijat pelipis. Ini bukan efek alkohol. Ramon sangat tahu itu. Ingatan datang membelah kepala Ramon. “Ternyata kau belum berubah, Farah,” desisnya.Tubuh itu beranjak dari atas ranjang beralih ke atas nakas yang terpatri air di atasnya. Ramon segera meneguk separuh gelas, berusaha menetralisir pusing yang masih menggerogoti. Tapi tunggu? Kalau Farah berniat lain padanya lalu siapa yang membawanya ke istananya?Kerutan dahi Ramon tercetak dalam pahatan wajahnya. Dia heran bagaimana bisa dia sampai ke sini, dan tidak terjadi apa-apa. Kakinya segera melangkah, mengikis jarak dari dalam kamar. Satu anak buah berjaga tepat saat dia keluar. “Apa yang terjadi? Siapa yang membawaku pulang?” tanya Ramon. “Amira, Pak. Dia juga menyuruh kami untuk
“Kau mengenalinya?” Amira ikut menatap. Ada laki-laki dengan gerak-gerik mencurigakan. Berpakaian hitam, topi hitam, juga kacamata hitam. Sebenarnya, sebelum Ramon menghampiri Amira tadi, dia sudah lebih dulu memerhatikan pria tersebut. Amira mengerutkan dahi. Sudut bibirnya terangkat, berdecak sebal, “Dia suruhan Farah. Perempuan itu benar-benar. Kapan dia selesai dengan dendamnya? Aku sudah muak!”Ramon menoleh sambil tersadar kalau jarinya masih terangkat. Tangan itu langsung turun, seraya bertanya, “Sebenarnya apa hubunganmu dengan Farah? Kenapa kau dan dia tampak tak akur?” “Farah adalah orang yang memperkerjakanku di bar juga merawatku sejak usia 12 tahun. Sejak aku dan Sagha memilih hidup sendiri, dan memilih abai tentang rencananya, sejak saat itu kami mulai bertentangan. Juga tentang masalah ....” Amira sengaja menjeda, untuk sebentar menatap Ramon. Apakah tidak masalah jika membahas Dired? Pikirnya. “Masalah apa?” tanya Ramon, penasaran. Ternyata laki-laki itu juga pu
Amira bergerak cepat menghampiri perempuan berbalut seragam hitam putih di sana. Segera kedua tangannya memapah untuk bangun, lalu membiarkan menepi dari Ramon. Selesai itu, Amira segera membalikkan badan untuk berhadapan dengan si biang masalah. Matanya kembali nyalang, tidak setuju dengan tindakan Ramon kali ini. “Pak, apa kau mabuk? Bagaimana bisa kau berbuat tidak baik seperti itu padanya?” hardik Amira. Ramon mengerang dalam dada, lagi-lagi harus berhadapan dengan Amira. Perempuan itu baginya terus menjadi penghalang amarah yang seharusnya sudah redah jika meluapkan seperti biasanya. “Jangan ikut campur! Kau kumasukkan ke dalam rumahku bukan untuk mencampuri urusanku!” balas Ramon, tidak peduli. Amira mendongak penuh. Wajah Ramon terlalu tinggi untuk di tatap dengan kepala datar. Mendengar jawaban Ramon, lagi-lagi membuat dada Amira terbakar. Apa benar kalau laki-laki di hadapannya ini adalah ayah dari kekasihnya? Bagaimana bisa mereka begitu berbeda watak? Bahkan sangat jauh
Sekitar dua puluh menit menempuh perjalanan. Amira dan Ramon akhirnya tiba di tempat tujuan. Sesigap dan segesit mungkin gerakan Amira dalam memperlakukan Ramon sebagai atasan. Membuka pintu mobil, membawa beberapa berkas, juga memegangi tab yang sudah diberikan Ramon saat berada di dalam mobil. Aura bos dalam diri Ramon memang tidak bisa diragukan lagi. Tepat saat profilnya muncul di gedung megah miliknya ini, seluruh miniatur bumi yang berbaris di posisi masing-masing, segera membungkuk kecil bentuk hormat pada sang atasan. Setiap langkah Ramon, tak satu orang pun terlihat absen dalam sapaan yang mungkin sudah di tegakkan sebelumnya. Amira bahkan kagum, menggelengkan kepala, melihat semua orang-orang yang begitu tunduk pada pria bengis ini. Ramon bahkan tetap menatap lurus ke depan, tanpa melirik kiri kanan. Kakinya melangkah tegas, dadanya membusung tegak, membuatnya tampak bak orang yang penuh wibawa. Padahal jika di koreksi lagi, Ramon hanya pria yang bermodalkan kekayaan. Anda
“Kevin, ibu sudah bilang padamu, tolak saja. Intext belum bisa memenuhi standar untuk masuk dalam Mettatech. Ibu, ‘kan sudah menjelaskan semua itu padamu sebelumnya.” “Bu, tenanglah. Iya, aku tahu semua itu. Aku juga paham kenapa ibu menolak bekerja sama dengan Intext. Tapi, Bu, setelah aku datang langsung ke tempat ini, aku rasa keputusan ibu harus dipikirkan lagi. Intex tidak seburuk itu. Kalau di lihat-lihat lagi, banyak aspek yang memenuhi standar Mettatech. Aku sangat yakin itu, Bu.”Suara napas yang berembus terdengar dari seberang telepon Kevin. Sosok yang dia hubungi itu adalah CEO Mettatech sekaligus ibunya. Seperti keputusan antara founder dan juga sang ceo, perusahaan Ramon memang belum sesempurna itu untuk masuk dan menjalin sebuah ikatan dengan perusahaan yang di pimpin orang tua Kevin.Masalahnya, Intext itu perusahaan yang sangat condong pada kuantitas dari pada kualitas. Sementara Mettatech, perusahaan yang bergerak di bidang yang sama, selalu memerhatikan setiap sis