Sekitar dua puluh menit menempuh perjalanan. Amira dan Ramon akhirnya tiba di tempat tujuan. Sesigap dan segesit mungkin gerakan Amira dalam memperlakukan Ramon sebagai atasan. Membuka pintu mobil, membawa beberapa berkas, juga memegangi tab yang sudah diberikan Ramon saat berada di dalam mobil. Aura bos dalam diri Ramon memang tidak bisa diragukan lagi. Tepat saat profilnya muncul di gedung megah miliknya ini, seluruh miniatur bumi yang berbaris di posisi masing-masing, segera membungkuk kecil bentuk hormat pada sang atasan. Setiap langkah Ramon, tak satu orang pun terlihat absen dalam sapaan yang mungkin sudah di tegakkan sebelumnya. Amira bahkan kagum, menggelengkan kepala, melihat semua orang-orang yang begitu tunduk pada pria bengis ini. Ramon bahkan tetap menatap lurus ke depan, tanpa melirik kiri kanan. Kakinya melangkah tegas, dadanya membusung tegak, membuatnya tampak bak orang yang penuh wibawa. Padahal jika di koreksi lagi, Ramon hanya pria yang bermodalkan kekayaan. Anda
“Kevin, ibu sudah bilang padamu, tolak saja. Intext belum bisa memenuhi standar untuk masuk dalam Mettatech. Ibu, ‘kan sudah menjelaskan semua itu padamu sebelumnya.” “Bu, tenanglah. Iya, aku tahu semua itu. Aku juga paham kenapa ibu menolak bekerja sama dengan Intext. Tapi, Bu, setelah aku datang langsung ke tempat ini, aku rasa keputusan ibu harus dipikirkan lagi. Intex tidak seburuk itu. Kalau di lihat-lihat lagi, banyak aspek yang memenuhi standar Mettatech. Aku sangat yakin itu, Bu.”Suara napas yang berembus terdengar dari seberang telepon Kevin. Sosok yang dia hubungi itu adalah CEO Mettatech sekaligus ibunya. Seperti keputusan antara founder dan juga sang ceo, perusahaan Ramon memang belum sesempurna itu untuk masuk dan menjalin sebuah ikatan dengan perusahaan yang di pimpin orang tua Kevin.Masalahnya, Intext itu perusahaan yang sangat condong pada kuantitas dari pada kualitas. Sementara Mettatech, perusahaan yang bergerak di bidang yang sama, selalu memerhatikan setiap sis
Seruan Ramon dari ambang pintu ruangannya, membuat kedua perempuan itu kompak menatap. Farah dengan senyum kemenangan sementara Amira lagi-lagi harus menelan kekesalan. Dalam benak Amira terus saja memaki dan mencaci habis-habisan laki-laki tua itu. Sudah jelas-jelas Farah berniat buruk terhadapnya, tapi tetap saja memperlakukan perempuan itu layaknya putri dari kerajaan. Dan justru sebaliknya, Ramon bersikap bak malaikat maut kalau sudah berhadapan dengan Amira yang bahkan belum tahu apakah tujuan Amira menyesatkannya atau tidak.Farah berjalan melenggak-lenggok menghampiri Ramon. Tubuhnya yang sedikit berisi, bisa di bilang body goals dari culture Eropa. Bagian yang memang seharusnya berisi, di dapati perempuan usia tiga puluhan itu. Tubuh sempurna dibalut dres maroon dengan model lengan terbuka, amat membuat tampilan Farah begitu mencolok.Bukan apa-apa atau bukan sengaja, tapi begitulah karakter Farah. Siapa dia, dan bagaimana cara menyimpulkan wataknya, mungkin bisa di dikte dar
Tepat saat Farah pergi, Amira langsung memutar kepala menatap potrait Ramon yang masih terlihat mengerang dalam hati. Tangannya, matanya, mimik wajahnya, begitu tersirat kegusaran yang tiada tara. Detik itu juga, suara gaduh sebab hempasan Ramon pada barang-barang di atas meja membuat atmosfer semakin tegang. Amira ragu, apakah dia harus keluar atau tetap tinggal untuk menemani Ramon yang sedang kacau. “Kenapa kau selalu berusaha membuatku tidak yakin akan keberadaanmu, Tuhan?!” teriak Ramon, menumpahkan emosi. Tanpa sadar, atau mungkin sebab kekecewaan yang begitu menyayat, matanya berembun hingga akhirnya basah. Dua tangan itu menopang tubuh di atas meja, dengan kepala yang menunduk lelah. “Pak, tenanglah,” kata Amira, ragu.Hendak mendekat, langkah itu langsung terhenti, saat kepala Ramon terangkat menatapnya. Amira meneguk ludah berat, takut, was-was, langsung menyerangnya dalam waktu singkat. “Apa kau juga sedang ingin mempermainkanku? Apa manusia memang tidak pernah puas ji
Tubuh kekar dengan bentuk proposional itu akhirnya ambruk di atas ranjang. Amira segera menghela napas, ikut lelah membopong raga yang kalau di pikir-pikir lagi sudah mencapai umur kepala empat, tapi masih tetap saja terasa kuat. “Iya, baiklah. Aku akan ikut menunggu di luar setelah membenarkannya.” Amira menyahut saat salah satu anak buah itu pamit.Setelah pintu kembali di tutup, kini tinggal dua orang itu yang tersisa di dalamnya. Amira lagi-lagi mengembuskan napas, begitu nanar menatap Ramon yang berbaring tak sadar. Dalam benak Amira, apa sebaiknya dia meninggalkan Ramon saja? Karena sampai detik ini pun laki-laki itu belum juga menaruh rasa kepercayaan padanya.Dan untuk kejelasan tentang mencari kebenaran kematian kakaknya, masih sebatas tutur lisan saja. Itu juga Ramon masih bimbang dan ragu. Apa sebaiknya memang meninggalkannya adalah jalan satu-satunya? Dengan begitu Amira bisa lepas juga bisa bebas. Tidak ada lagi yang akan menindas juga menghakiminya secara eksternal jug
Angin malam perlahan membelah kegelapan dikikis purnama yang mulai kembali tenggelam. Sang fajar hampir terbit, menggantikan posisi rembulan yang semalaman terjaga dengan terang benderang. Belum cukup pagi atau bisa dibilang masih pagi buta. Pukul setengah empat. Atmosfer di kamar Ramon masih terasa hangat. Setelah kejadian singkat itu, Ramon tak lagi menyadari apa yang terjadi. Lelapnya kian membuncah hingga lupa akan keberadaan Amira juga ‘kesalahan’ yang dia perbuat.Dari dalam ruangan kecil yang diisi berbagai peralatan mandi, terdengar guyuran air shower yang terjatuh membasahi tubuh seorang perempuan yang sedang tersedu. Dia menangis, sesekali tersenyum miris. Entah kenapa, Amira tidak bisa menahan kepedihan untuk yang satu ini. Melebihi sakit di tinggal mati sang kekasih juga sang kakak yang telah lama bersama. Sakit ini terasa bak racun yang terus saja menggerogoti lalu berangsur melemah hingga terjatuh. Ya, dia Amira. Perempuan malang yang terus saja dihinggapi masalah hid
Lagi-lagi desisan napasnya kembali terdengar frustrasi. Mendengar penuturan Amira, membuat dada Ramon terasa membuncah resah akibat kesalahan yang dia lakukan. Tidak salah apa yang dia katakan dalam tangisnya ini. Ramon tahu, mana perempuan yang sudah tidak perawan dan mana yang masih.Ramon tak tahan. Dia akhirnya memecahkan kesunyian yang hanya di hinggapi Isak tangis adik angkat Sagha itu. “Jangan terlalu lama di sini. Sebentar lagi akan turun hujan.” Amira sontak saja melirik sana-sini, mencari sumber suara. Tak sadar rupanya Ramon ada di belakangnya. Segera kepala itu mendongak, menatap wajah yang sudah sangat akrab dalam kamus kebenciannya.“Pergilah. Aku sedang tidak ingin bertengkar denganmu,” usir Amira, memalingkan wajah. Ramon meneguk ludah. “Aku sedang tidak ingin membuat keributan denganmu. Aku hanya ingin memberitahu, kalau hujan akan segera turun. Sebaiknya kau berteduh atau kau akan kebasahan,” lanjut Ramon, masih kekeuh. Amira mendengus, tertawa singkat. “Setelah
Seorang ajudan berpakaian serba hitam terlihat rapi berjajar di depan pintu kamar. Sang atasan memerintah untuk selalu berjaga dan mengawasinya. Tidak boleh lengah barang satu detik pun.Di dalam kamar yang super mewah dengan gaya modern, terdapat seonggok daging utuh yang sedang menatap layar ponselnya begitu lamat. Dia duduk di kursi meja kerjanya sejak dua jam terakhir. “Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Siapa yang telah melenyapkan pria malang itu?” Perempuan itu bergumam.Di terus menggulir layar ponsel yang menampilkan beberapa artikel tentang seseorang yang masih sangat penasaran untuknya. Tentang calon anak tirinya dulu yang tiba-tiba saja lenyap begitu saja. Alasan melesatnya senjata api bukanlah sesuatu yang bisa anggap biasa. Siapa yang tidak tahu tentang olahraga ekstrim itu? Semuanya sudah menggunakan pengaman yang baik juga keselamatan yang cukup. Juga orang-orang yang masuk ke dalam sana tidaklah orang sembarangan. Orang awam akan olahraga tersebut, tidak pernah d