Share

Bab 6. Salah Tanggap

Satu jam setelah acara kremasi jenazah Dired kemarin, Ramon memerintahkan seluruh anak buahnya untuk membawa orang-orang yang bersama Dired pasca-insiden ke hadapannya.

Tak butuh waktu lama. Mengingat Ramon adalah laki-laki yang dikenal bengis sebagai seorang atasan, hanya butuh hitungan menit saja dia dapat bertemu dengan sosok yang melayangkan tembakan ‘melesat’ itu pada Dired.

“Katakan, kenapa kau membunuh putraku?” Kalimat itu masih terdengar rendah, namun mengintimidasi.

“Ma-maaf, Pak. Sa-saya hanya di suruh. Saya tidak mempunyai alasan apa pun untuk membunuhnya, Pak.” Terbata-bata laki-laki itu menjawab.

Ramon mengeraskan rahang, dengan sorot mata yang kian menajam. Dadanya rasanya dibakar, setelah mendengar pengakuan laki-laki ini.

“Siapa? Siapa orangnya?” tanya Ramon lagi.

“No-Nona A-Amira,” aku pria itu.

Sejak detik itulah Ramon mulai menanam dendam pada Amira dan memberikan cap pembunuh padanya. Pengakuan laki-laki ini seolah menjadi alasan baginya untuk menghukum gadis malang yang tadinya akan jadi calon menantunya.

Ramon adalah orang yang memiliki tingkat kepekaan yang luar biasa. Sebenarnya dia bukan orang yang mudah dikelabui. Sesuatu yang salah, akan ditelaah dua kali sebelum dia benar-benar memutuskan untuk mencap ‘salah’ pada kesalahan itu.

Namun kali ini konteksnya berbeda. Satu-satunya takhta yang dia miliki, kebahagiaan, kekayaan, juga alasannya hidup, telah direnggut begitu saja. Kepekaan itu tidak lagi berguna. Semua diganti oleh kepedihan yang memaksa kenyataan untuk melayangkan kesalahan pada orang yang tidak seharusnya.

Ramon membiarkan laki-laki itu bebas. Tapi jangan harap tidak ada balas untuk beri. Ramon membawa laki-laki itu ke tempat di mana Dired di temukan tak bernyawa. Dia memperagakan bagaimana ‘pelaku’ tersebut membunuh Dired. Dan jelas saja, Ramon menanam satu timah panas tepat sasaran–kaki kanannya.

**

“Aku tidak akan memaksamu untuk percaya padaku lagi, Pak. Aku tahu bagaimana rasanya jadi dirimu. Aku juga kehilangan Dired dan aku masih belum bisa merelakannya begitu saja. Sebagai ganti lukamu, kau boleh melakukan apa pun padaku. Tapi tolong, jangan sakiti aku atau ... membunuhku. Yakinlah padaku, aku akan sangat berguna untukmu, Pak,” mohon Amira lagi.

Dia masih bersikukuh untuk meyakinkan Ramon. Mata itu tetap basah, menatap nanar lantai, dan masih bersimpuh.

“Apa kau sedang melakukan negosiasi denganku? Manusia mana yang bertemu Tuhan dan meminta keringanan setelah berbuat dosa? Apa menurutmu keringanan itu akan diberikan pada manusia yang sudah dicabut jiwanya?” ucap Ramon, tidak akan membuka ruang maaf.

“Aku tahu. Sebenarnya aku tidak pantas berkata seperti ini. Tapi bukankah kau sudah bilang, jika langsung melihatku mati maka tidak akan setimpal dengan kejadian yang dialami putramu. Maka dari itu, tetap biarkan aku hidup. Aku berjanji, mulai detik ini kaulah alasanku hidup, Pak. Aku akan bersujud di kakimu, dan hanya padamu.”

Ramon membisu dalam hening yang sebentar. Ucapan Amira sungguh membuatnya mengubah keputusan dalam benak . Tadinya dia berniat akan memisahkan jiwa dari raga Amira dengan cara yang harus lebih sakit dari sekadar ‘mati’ yang begitu saja.

Namun, detik ini keputusan itu diubah.

Ramon akhirnya bangun dari duduknya, sambil memindai sosok Amira yang bersimpuh di bawah pandangannya. Ramon teringat, ada sesuatu yang mungkin bisa dilakukan Amira yang akan membuktikan seberapa kuat keyakinannya. Dan mungkin benar apa kata gadis ini, jika membunuhnya begitu saja, maka kepedihan Ramon tidak akan hilang begitu saja justru semakin terluka.

“Baiklah. Aku akan memberimu satu kesempatan untuk tetap hidup,” ungkap laki-laki itu. Kepala Amira mendongak cepat. “Perusahaan sedang membutuhkan investor yang besar. Dan sudah ada kandidat yang tepat untuk mengisi tempat itu. Tugasmu, bawa investor itu ke Intext, dan buat dia jadi bagian dari perusahaanku. Apa kau mengerti?”

Amira segera mengangguk cepat, tak memikirkan dua kali syarat yang diberikan Ramon. Apa pun itu, Amira percaya bahwa ini adalah pertolongan dari Tuhan yang masih memberinya kesempatan untuk menunjukkan keadilan.

“Aku bersedia, Pak. Aku akan membawanya padamu,” tegas Amira, yakin.

“Satu kali dua puluh empat jam. Dia harus sudah hadir dalam rapat besok pagi. Jangan sia-siakan kesempatan ini jika kau mau tetap hidup,” ingatkan Ramon, lantas melenggang pergi begitu saja.

Sementara itu, Amira mengembuskan napas yang serasa di tahan sedari tadi. Keputusan Ramon bukan hanya memberikannya kesempatan hidup, tapi juga kesempatan untuk mencari tahu tentang kebenaran. Dia harus bisa membuka fakta yang sebenarnya. Dired dan kakaknya tewas. Apalagi yang akan diharapkan Amira dalam dunia ini, jika dua bahagia itu telah usai?

**

Gulita kembali padam setelah mentari menyeruak menyinari bumi. Manusia kembali pada aktivitasnya. Burung-burung kembali beterbangan, sekadar mencari makan. Daun-daun yang kering berjatuhan, diganti dengan daun baru yang akan segera mendapati takdirnya.

Malam itu Amira sudah menyiapkan banyak hal tentang syarat yang diberikan Ramon. Amira bukanlah perempuan yang hanya berstatus seorang bar tender biasa. Dia itu lulusan universitas terbaik dengan nilai tertinggi. Meski bekerja di bar dan terkesan bukan siapa-siapa, namun otak Amira tidaklah sampai di situ saja. Ada banyak pengetahuan yang tersimpan dalam memori kepalanya.

Amira meringis kecil ketika membaluri luka dengan salep. Lukanya tidak terlalu lebar lagi. Hanya tersisa bekas jahitan di dahi, juga lebam di dua pahanya. Selesai membalut luka dengan plester, juga membungkus diri dengan tampilan yang baik, kakinya segera meninggalkan kediaman menuju kantor Intext, milik Ramon.

Katanya di sana dia akan dijelaskan, progres dan proses pekerjaan yang harus dia lakukan. Demi mengungkap siapa sebenarnya pembunuh dua orang yang dia sayangi, Amira berjanji akan melakukan apa pun meski harus di bayar nyawa sekali pun.

“Aku ingin bertemu dengan Pak Ramon. Apa dia ada?” tanya Amira pada meja penerima tamu.

“Maaf, beliau sedang tidak bisa di ganggu,” jawab petugas perempuan itu.

“Dia sudah berjanji akan bertemu di sini. Tolong katakan padanya kalau Amira mencarinya. Ini penting.”

“Amira?”

Beo nama Amira yang dituturkan petugas di depannya, membuat yang bersangkutan menatap penuh.

“Iya. Itu saya,” sahut Amira, ragu.

“Jadi kau perempuan yang merencanakan pembunuhan Tuan Dired itu? Kau masih punya nyali datang ke sini? Wah ... Kau luar biasa,” komentar perempuan itu, mencibir Amira.

“Bukan saya pelakunya. Itu salah paham.”

“Mana ada maling mengaku kejahatannya.”

“Terserah apa katamu. Yang terpenting sekarang, tolong panggilkan Pak Ramon. Saya ingin bicara,” tegas Amira, mencoba mengabaikan ejekan perempuan di depannya.

Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba saja tubuhnya terhuyung cepat sebab dorongan kuat dari sosok yang baru saja datang. Ringisan kecil itu lolos dari bibir Amira, kala kakinya yang masih lemah harus terbentur kursi tunggu tepat di depannya.

“Dasar pembunuh! Kau masih bisa menampakkan diri di sini setelah perbuatan burukmu? Dasar tidak tahu malu!” caci salah satu karyawan yang juga orang yang mendorong Amira.

“Pak Ramon memang orang yang punya hati seluas lautan. Pembunuh sepertimu masih dibiarkan hidup, meski yang dibunuh itu anaknya sendiri. Harusnya kau punya rasa malu, dengan tidak menginjakkan kaki di sini. Kantor ini jadi ternoda karenamu!” hardik yang lainnya.

Mereka berbondong-bondong datang untuk menghina dan mencaci Amira. Mereka tidak tahu, bahwa saat ini gadis itu juga sedang menahan luka yang luar biasa.

Amira masih berusaha menahan semuanya. Ralat! Dia harus bisa menahan untuk tidak gusar. Ini hanya kumpulan perempuan-perempuan yang sedang dimabukkan gosip juga emosi yang normal dalam gen manusia. Tidak masalah jika membiarkan ini berlangsung tanpa perlawanan.

Begitulah cara Amira menenangkan dirinya, membujuk emosi untuk tidak berontak membalas.

“Maaf. Saya akan menebus kesalahan saya,” tutur Amira, lirih. Tidak ada pilihan selain menempatkan diri sebagai penjahatnya.

“Cih! Maaf tidak akan mengubah fakta bahwa kau adalah seorang pembunuh. Dari mana kau berasal sebenarnya? Apa orang tuamu tidak mengajarkan hal baik padamu?”

“Aku rasa dia lahir dari orang tua pembunuh. Itu kenapa dia mudah melenyapkan nyawa orang lain.”

Tiap kali mereka membahas orang tua, dada Amira menggebu menahan gejolak kemarahan.

“Atau jangan-jangan kau lahir dari perempuan pelacur atau dari laki-laki yang gila seks?! Makanya lahir perempuan tak punya hati sepertimu!” celetuk yang lainnya, mengolok Amira begitu sarkas.

Suara decak hina itu, desis ejekan itu, bahkan kata-kata menyakitkan itu, tembus langsung ke dasar dada Amira. Tangannya mengepal kuat, melirik tajam perempuan-perempuan yang tertawa tanpa rasa bersalah di depannya ini.

“Jangan bicara seenakmu jika kau tidak tahu apa pun tentangku. Aku bisa membunuh orang, jika kau lupa itu,” tekan Amira gusar, demi membuang rasa terbakar di dadanya.

“Lihat dirimu. Apa kau sedang mengancam kami?”

“Jika kau berpikir seperti itu, maka diamlah sebelum ancaman itu benar-benar nyata.” Sepasang mata Amira menyorot tajam, mengancam.

Lawan bicara mengerang tak terima, hingga berakhir menjambak rambut Amira hingga gadis itu mendongak penuh ke langit-langit gedung. Tanpa sengaja, pasang bola mata Amira menangkap sosok pria jangkung bermata abu-abu sedang berpangku tangan menatapnya. Apa Ramon sedari tadi menonton aksi orang-orang yang sedang mengoloknya ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status