Satu jam setelah acara kremasi jenazah Dired kemarin, Ramon memerintahkan seluruh anak buahnya untuk membawa orang-orang yang bersama Dired pasca-insiden ke hadapannya.
Tak butuh waktu lama. Mengingat Ramon adalah laki-laki yang dikenal bengis sebagai seorang atasan, hanya butuh hitungan menit saja dia dapat bertemu dengan sosok yang melayangkan tembakan ‘melesat’ itu pada Dired.“Katakan, kenapa kau membunuh putraku?” Kalimat itu masih terdengar rendah, namun mengintimidasi.“Ma-maaf, Pak. Sa-saya hanya di suruh. Saya tidak mempunyai alasan apa pun untuk membunuhnya, Pak.” Terbata-bata laki-laki itu menjawab.Ramon mengeraskan rahang, dengan sorot mata yang kian menajam. Dadanya rasanya dibakar, setelah mendengar pengakuan laki-laki ini.“Siapa? Siapa orangnya?” tanya Ramon lagi.“No-Nona A-Amira,” aku pria itu.Sejak detik itulah Ramon mulai menanam dendam pada Amira dan memberikan cap pembunuh padanya. Pengakuan laki-laki ini seolah menjadi alasan baginya untuk menghukum gadis malang yang tadinya akan jadi calon menantunya. Ramon adalah orang yang memiliki tingkat kepekaan yang luar biasa. Sebenarnya dia bukan orang yang mudah dikelabui. Sesuatu yang salah, akan ditelaah dua kali sebelum dia benar-benar memutuskan untuk mencap ‘salah’ pada kesalahan itu.Namun kali ini konteksnya berbeda. Satu-satunya takhta yang dia miliki, kebahagiaan, kekayaan, juga alasannya hidup, telah direnggut begitu saja. Kepekaan itu tidak lagi berguna. Semua diganti oleh kepedihan yang memaksa kenyataan untuk melayangkan kesalahan pada orang yang tidak seharusnya.Ramon membiarkan laki-laki itu bebas. Tapi jangan harap tidak ada balas untuk beri. Ramon membawa laki-laki itu ke tempat di mana Dired di temukan tak bernyawa. Dia memperagakan bagaimana ‘pelaku’ tersebut membunuh Dired. Dan jelas saja, Ramon menanam satu timah panas tepat sasaran–kaki kanannya.**“Aku tidak akan memaksamu untuk percaya padaku lagi, Pak. Aku tahu bagaimana rasanya jadi dirimu. Aku juga kehilangan Dired dan aku masih belum bisa merelakannya begitu saja. Sebagai ganti lukamu, kau boleh melakukan apa pun padaku. Tapi tolong, jangan sakiti aku atau ... membunuhku. Yakinlah padaku, aku akan sangat berguna untukmu, Pak,” mohon Amira lagi.Dia masih bersikukuh untuk meyakinkan Ramon. Mata itu tetap basah, menatap nanar lantai, dan masih bersimpuh.“Apa kau sedang melakukan negosiasi denganku? Manusia mana yang bertemu Tuhan dan meminta keringanan setelah berbuat dosa? Apa menurutmu keringanan itu akan diberikan pada manusia yang sudah dicabut jiwanya?” ucap Ramon, tidak akan membuka ruang maaf.“Aku tahu. Sebenarnya aku tidak pantas berkata seperti ini. Tapi bukankah kau sudah bilang, jika langsung melihatku mati maka tidak akan setimpal dengan kejadian yang dialami putramu. Maka dari itu, tetap biarkan aku hidup. Aku berjanji, mulai detik ini kaulah alasanku hidup, Pak. Aku akan bersujud di kakimu, dan hanya padamu.”Ramon membisu dalam hening yang sebentar. Ucapan Amira sungguh membuatnya mengubah keputusan dalam benak . Tadinya dia berniat akan memisahkan jiwa dari raga Amira dengan cara yang harus lebih sakit dari sekadar ‘mati’ yang begitu saja.Namun, detik ini keputusan itu diubah.Ramon akhirnya bangun dari duduknya, sambil memindai sosok Amira yang bersimpuh di bawah pandangannya. Ramon teringat, ada sesuatu yang mungkin bisa dilakukan Amira yang akan membuktikan seberapa kuat keyakinannya. Dan mungkin benar apa kata gadis ini, jika membunuhnya begitu saja, maka kepedihan Ramon tidak akan hilang begitu saja justru semakin terluka.“Baiklah. Aku akan memberimu satu kesempatan untuk tetap hidup,” ungkap laki-laki itu. Kepala Amira mendongak cepat. “Perusahaan sedang membutuhkan investor yang besar. Dan sudah ada kandidat yang tepat untuk mengisi tempat itu. Tugasmu, bawa investor itu ke Intext, dan buat dia jadi bagian dari perusahaanku. Apa kau mengerti?”Amira segera mengangguk cepat, tak memikirkan dua kali syarat yang diberikan Ramon. Apa pun itu, Amira percaya bahwa ini adalah pertolongan dari Tuhan yang masih memberinya kesempatan untuk menunjukkan keadilan.“Aku bersedia, Pak. Aku akan membawanya padamu,” tegas Amira, yakin.“Satu kali dua puluh empat jam. Dia harus sudah hadir dalam rapat besok pagi. Jangan sia-siakan kesempatan ini jika kau mau tetap hidup,” ingatkan Ramon, lantas melenggang pergi begitu saja.Sementara itu, Amira mengembuskan napas yang serasa di tahan sedari tadi. Keputusan Ramon bukan hanya memberikannya kesempatan hidup, tapi juga kesempatan untuk mencari tahu tentang kebenaran. Dia harus bisa membuka fakta yang sebenarnya. Dired dan kakaknya tewas. Apalagi yang akan diharapkan Amira dalam dunia ini, jika dua bahagia itu telah usai?**Gulita kembali padam setelah mentari menyeruak menyinari bumi. Manusia kembali pada aktivitasnya. Burung-burung kembali beterbangan, sekadar mencari makan. Daun-daun yang kering berjatuhan, diganti dengan daun baru yang akan segera mendapati takdirnya.Malam itu Amira sudah menyiapkan banyak hal tentang syarat yang diberikan Ramon. Amira bukanlah perempuan yang hanya berstatus seorang bar tender biasa. Dia itu lulusan universitas terbaik dengan nilai tertinggi. Meski bekerja di bar dan terkesan bukan siapa-siapa, namun otak Amira tidaklah sampai di situ saja. Ada banyak pengetahuan yang tersimpan dalam memori kepalanya.Amira meringis kecil ketika membaluri luka dengan salep. Lukanya tidak terlalu lebar lagi. Hanya tersisa bekas jahitan di dahi, juga lebam di dua pahanya. Selesai membalut luka dengan plester, juga membungkus diri dengan tampilan yang baik, kakinya segera meninggalkan kediaman menuju kantor Intext, milik Ramon.Katanya di sana dia akan dijelaskan, progres dan proses pekerjaan yang harus dia lakukan. Demi mengungkap siapa sebenarnya pembunuh dua orang yang dia sayangi, Amira berjanji akan melakukan apa pun meski harus di bayar nyawa sekali pun.“Aku ingin bertemu dengan Pak Ramon. Apa dia ada?” tanya Amira pada meja penerima tamu.“Maaf, beliau sedang tidak bisa di ganggu,” jawab petugas perempuan itu.“Dia sudah berjanji akan bertemu di sini. Tolong katakan padanya kalau Amira mencarinya. Ini penting.”“Amira?”Beo nama Amira yang dituturkan petugas di depannya, membuat yang bersangkutan menatap penuh.“Iya. Itu saya,” sahut Amira, ragu.“Jadi kau perempuan yang merencanakan pembunuhan Tuan Dired itu? Kau masih punya nyali datang ke sini? Wah ... Kau luar biasa,” komentar perempuan itu, mencibir Amira.“Bukan saya pelakunya. Itu salah paham.”“Mana ada maling mengaku kejahatannya.”“Terserah apa katamu. Yang terpenting sekarang, tolong panggilkan Pak Ramon. Saya ingin bicara,” tegas Amira, mencoba mengabaikan ejekan perempuan di depannya.Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba saja tubuhnya terhuyung cepat sebab dorongan kuat dari sosok yang baru saja datang. Ringisan kecil itu lolos dari bibir Amira, kala kakinya yang masih lemah harus terbentur kursi tunggu tepat di depannya.“Dasar pembunuh! Kau masih bisa menampakkan diri di sini setelah perbuatan burukmu? Dasar tidak tahu malu!” caci salah satu karyawan yang juga orang yang mendorong Amira.“Pak Ramon memang orang yang punya hati seluas lautan. Pembunuh sepertimu masih dibiarkan hidup, meski yang dibunuh itu anaknya sendiri. Harusnya kau punya rasa malu, dengan tidak menginjakkan kaki di sini. Kantor ini jadi ternoda karenamu!” hardik yang lainnya.Mereka berbondong-bondong datang untuk menghina dan mencaci Amira. Mereka tidak tahu, bahwa saat ini gadis itu juga sedang menahan luka yang luar biasa.Amira masih berusaha menahan semuanya. Ralat! Dia harus bisa menahan untuk tidak gusar. Ini hanya kumpulan perempuan-perempuan yang sedang dimabukkan gosip juga emosi yang normal dalam gen manusia. Tidak masalah jika membiarkan ini berlangsung tanpa perlawanan.Begitulah cara Amira menenangkan dirinya, membujuk emosi untuk tidak berontak membalas.“Maaf. Saya akan menebus kesalahan saya,” tutur Amira, lirih. Tidak ada pilihan selain menempatkan diri sebagai penjahatnya.“Cih! Maaf tidak akan mengubah fakta bahwa kau adalah seorang pembunuh. Dari mana kau berasal sebenarnya? Apa orang tuamu tidak mengajarkan hal baik padamu?”“Aku rasa dia lahir dari orang tua pembunuh. Itu kenapa dia mudah melenyapkan nyawa orang lain.”Tiap kali mereka membahas orang tua, dada Amira menggebu menahan gejolak kemarahan.“Atau jangan-jangan kau lahir dari perempuan pelacur atau dari laki-laki yang gila seks?! Makanya lahir perempuan tak punya hati sepertimu!” celetuk yang lainnya, mengolok Amira begitu sarkas.Suara decak hina itu, desis ejekan itu, bahkan kata-kata menyakitkan itu, tembus langsung ke dasar dada Amira. Tangannya mengepal kuat, melirik tajam perempuan-perempuan yang tertawa tanpa rasa bersalah di depannya ini.“Jangan bicara seenakmu jika kau tidak tahu apa pun tentangku. Aku bisa membunuh orang, jika kau lupa itu,” tekan Amira gusar, demi membuang rasa terbakar di dadanya.“Lihat dirimu. Apa kau sedang mengancam kami?”“Jika kau berpikir seperti itu, maka diamlah sebelum ancaman itu benar-benar nyata.” Sepasang mata Amira menyorot tajam, mengancam.Lawan bicara mengerang tak terima, hingga berakhir menjambak rambut Amira hingga gadis itu mendongak penuh ke langit-langit gedung. Tanpa sengaja, pasang bola mata Amira menangkap sosok pria jangkung bermata abu-abu sedang berpangku tangan menatapnya. Apa Ramon sedari tadi menonton aksi orang-orang yang sedang mengoloknya ini?“Lepaskan!” desis Amira, masih menahan suaranya. “Kenapa? Kau mau membalasku? Kau mau membunuhku seperti yang kau lakukan pada Tuan Dired?”Tak tahan kepalanya terus saja mendongak, Amira pun membalas dengan melintir tangan sang lawan hingga tersungkur. Perempuan di sana meringis, kesakitan. “Kau tahu aku seorang pembunuh. Jadi jangan main-main denganku, atau kau akan mati seperti tikus di tanganku!” ancam Amira, lantas pergi melenggang begitu saja. Dia berjalan tegas mengangkat kepala, sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Jangan kira Amira adalah perempuan yang menerima segala perlakuan buruk. Dia bukan tokoh protagonis dalam drama, yang siap menerima segala perlakuan tidak etis dengan tabah dan senang hati. Tepat melintasi tikungan lorong lantai dua, potrait Ramon langsung saja tersuguh di depan matanya. “Akhirnya kau mengaku juga? Kukira statementmu tidak akan pernah berubah,” ujar Ramon, tepat saat dia menatap mata Amira. “Tidak ada yang bisa kulakukan selain m
Kedua kalinya suara tawa Riko mengudara. Betapa menggelitik baginya kekukuhan pendirian Amira, yang seolah menganggap bahwa Ramon itu adalah orang yang paling baik baginya. “Amira, sadarlah. Ramon itu monster. Tidak ada yang betah berada di dekatnya. Lihat saja sekarang, istrinya, orang-orang terdekatnya bahkan putranya di ambil Tuhan darinya. Karena apa? Karena Tuhan merasa menyesal telah menciptakan orang seperti–”Plak! Sebagian ucapan Riko kembali tertelan, sebab tamparan yang dilayangkan Amira. Jari telunjuk gadis itu mengacung tajam, sambil mengancam, “Jaga ucapanmu! Tidak ada yang berhak mendikte takdir seseorang termasuk kau!” Riko mendengus, mengusap pelan pipi kanannya. Sementara Ramon, bergeming. Tidak ada ekspresi juga reaksi. Laki-laki itu hanya memakukan tatapannya pada kepala bagian belakang Amira. Hanya itu yang bisa dia lihat. “Aku sudah bilang padamu, bukan? Salahku menanggapi perintah. Salahku tidak menelaah baik-baik titah atasanku. Jadi tolong, pergi dari sin
“Berjanjilah akan menjaga Amira. Aku akan melakukan apa yang kau perintahkan jika kau mau berjanji.” Ramon tersentak dari lelapnya yang singkat. Dia membuka mata menatap ke sekeliling. Tegukan ludah itu terasa berat, apalagi saat mengingat alasan terbangun adalah Sagha. Dia dibawa kembali pada saat Sagha terjatuh setelah mengucapkan janji. Laki-laki itu segera bangun dan berlari kecil keluar keluar dari ruangannya. Disela langkah Ramon meminta salah satu anak buahnya untuk mengambilkan ponsel. Pria berpakaian lengkap ala bodyguard itu langsung saja membawakan ponsel baru sesuai perintah. “Beri tahu aku di mana Riko.” Setelah mengetik beberapa nomor juga melakukan panggilan suara, Ramon terdengar memerintah orang yang dia hubungi. “Pak Riko sedang berada di hotel tak jauh dari Bar Farah, Pak.” “Cepat ke sana dan cari si Brengsek itu!” Ramon memutuskan panggilan, sebelum masuk ke dalam mobil. Jaraknya juga tempat Riko cukup memakan waktu. Memerintah anak buah akan memberinya sedik
“Pak Ramon. Pak! Pak!” Ramon terkesiap, secepatnya menyadarkan diri. “Ah, iya. Ada apa?” “Ini beberapa berkas yang Bapak minta kemarin. Kami sudah memastikan kevalidan isinya, Pak.” Seorang ajudan berpakaian formal tadi, menyerahkan pada Ramon sebuah map di atas meja. Ramon mengangguk-angguk, tak ada jawaban. Dia masih bingung, kenapa dia bisa lengah tadi. Apa yang membuatnya melamun hingga tidak sadar akan kedatangan anak buahnya. “Kau boleh pergi,” kata Ramon mengakhiri. Setelah tubuh jangkung tadi melengos dari hadapannya, dia segera menyugar rambutnya cukup kasar, seraya mendesah merasa frustrasi. Entah apa yang dipikirkan Ramon sampai lupa tentang dirinya sendiri.Deru napas itu kembali mengudara, mengenyahkan segala beban pikiran. Atensinya beralih pada berkas dalam map kuning di depannya, lalu membuka dengan segera. Tepat saat Dired memperkenalkan Amira secara tersirat waktu itu, saat itu juga Ramon meminta pada ajudannya untuk mencari tahu latar belakang Amira. Setela
Suhu di luar terasa hangat. Sinarnya memberikan sensasi abstrak kala angin mulai ikut mendominasi. Sesekali sinar matahari menyeruak lewat gorden yang ditiup semilir angin. Membuat tubuh kekar yang terbaring lelap di atas dipan terusik. Hanya hitungan detik sang surya datang mengusik, namun erangan kecil dari dua daun bibir pria itu langsung mengudara. Dia menggeliat, meregangkan otot-otot. Tubuhnya seketika duduk di atas ranjang, lalu menoleh pada jam portabel di atas nakas. Sudah siang. “Amira,” panggil Sagha. Laki-laki itu sedang meneguk air dingin sambil duduk di kursi meja makan.Tak ada sahutan. Tak ada suara apa pun yang mengusik keheningan. Pemuda bernama lengkap Sagha Factur itu, mengerutkan dahinya, bingung. Ke mana adiknya pergi? Ini hari libur, mana mungkin Amira bekerja. Sagha beranjak berjalan ke kamar Amira. Tangannya terangkat, mengetuk pintu. Lagi-lagi, tak ada sahutan. Tak ada pilihan, langsung masuk dan memeriksa adalah jalan satu-satunya.“Amira, kau masih tidur
“Kau mau pergi?” tanya Ramon. Amira bergeming. Entah apa yang ada dalam pikirannya mendengar pertanyaan Ramon. Sebelumnya dia sudah pernah terjebak oleh kata-kata perintah laki-laki itu, dan kali ini Amira harus benar-benar menelaah baik-baik. Jangan sampai jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya. Buru-buru Amira menggeleng. “Tidak, Pak. Aku tidak berniat kabur atau pun pergi tanpa perintah darimu. Aku hanya ....” Ucapan Amira tak berlanjut, saat lembar uang yang baru saja di ambil dari dompet Ramon terhempas tepat di wajahnya.“Pergi dari sini. Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi,” kata Ramon, tak punya hati. Amira sejenak bergeming lalu meneguk ludah, kemudian tersenyum miris. Kepalanya perlahan mendongak ke atas, guna menahan terjangan air mata yang entah datang dari mana.Baru saja akan bersujud di hadapan Ramon untuk memohon, laki-laki itu sudah lebih dulu melongos melewatinya. Amira mengikuti dengan pasang mata ke mana Ramon melangkah. Tak pernah dibayangkan Amira se
Tepat saat Ramon meninggalkan Amira sendirian, saat itu juga Amira bergegas menemui Farah. Satu-satunya manusia yang masih ingin dimintai pernyataan, adalah perempuan itu. Amira tetap meneguhkan pendirian, kalau kematian Dired tetap Farahlah penyebabnya. Entah kebetulan, atau memang dia dikirim untuk membantu Ramon yang sedang dalam jeratan Farah. Di dalam bar yang tak lagi asing untuknya, Amira menyaksikan bagaimana terpuruknya Ramon dan bagaimana cara Farah menenangkan laki-laki itu. Amira sengaja untuk tidak langsung menghampiri Farah, karena dia yakin perempuan yang sudah dia kenal selama lebih sepuluh tahun itu, pasti tidak akan tinggal diam kalau menyerangnya sekarang. Amira sesekali mendengus merasa miris, melihat aksi Farah yang menyuruh salah satu pelayan untuk memasukkan sesuatu ke dalam minuman Ramon. Rendah! Kata itulah yang tercetak dalam dada Amira menggambarkan Farah. Amira juga segera menyembunyikan diri, saat sadar kalau Farah menyuruh anak buahnya untuk mencarin
Ramon terusik. Matanya mengerjap-erjap sembari meringis kecil. Tubuh kekar yang masih cukup kuat itu, memaksa bangun dari baring yang tak dia sadari kapan dan bagaimana dia bisa berada di sini. Sensasi nyeri di kepalanya, mengundang tangan untuk memijat pelipis. Ini bukan efek alkohol. Ramon sangat tahu itu. Ingatan datang membelah kepala Ramon. “Ternyata kau belum berubah, Farah,” desisnya.Tubuh itu beranjak dari atas ranjang beralih ke atas nakas yang terpatri air di atasnya. Ramon segera meneguk separuh gelas, berusaha menetralisir pusing yang masih menggerogoti. Tapi tunggu? Kalau Farah berniat lain padanya lalu siapa yang membawanya ke istananya?Kerutan dahi Ramon tercetak dalam pahatan wajahnya. Dia heran bagaimana bisa dia sampai ke sini, dan tidak terjadi apa-apa. Kakinya segera melangkah, mengikis jarak dari dalam kamar. Satu anak buah berjaga tepat saat dia keluar. “Apa yang terjadi? Siapa yang membawaku pulang?” tanya Ramon. “Amira, Pak. Dia juga menyuruh kami untuk