“Nona, kau mau ke mana?”
Amira terlojak, saat tiba-tiba seorang pria menghampirinya. Amira yang sebelumnya hilang kesadaran dibangunkan oleh mimpi buruk yang mampir di tengah lelapnya. Tak bisa tidur lagi, Amira segera bangun, meski masih dalam kondisi yang memprihatinkan.
“A-aku, aku mau keluar sebentar. Aku ingin menghubungi seseorang,” jawabnya, memang hendak melakukan hal tersebut.
“Tuan Ramon melarangmu ke mana-mana. Saya akan membawakan teleponnya ke dalam kamar. Silakan kembali ke sana, Nona.” Rupanya salah satu pengawal Ramon sengaja disuruh berjaga di salah satu bangsal VVIP yang di pesan oleh Ramon. Amira baru tahu, kalau Ramonlah yang membawanya dan bukan orang yang ada dalam benaknya sejak tadi. Perempuan itu lantas mendengus, tak percaya kalau Ramon rupanya belum cukup puas dengan menyiksanya kemarin malam. “Baiklah. Aku akan kembali ke kamar. Tapi tolong bawakan aku telepon. Aku ingin menghubungi seseorang,” sahut Amira, menyerah. Tidak ada tenaga jika harus melawan sekarang. “Baik, Nona.” Amira tidak mendengar jelas ucapan pria tadi. Indera pendengarannya sudah lebih dulu di penuhi suara derap langkah yang cukup banyak. Reflesk kepalanya memutar guna melihat ada apa di sana. Sejumlah perawat juga dokter dan beberapa petugas lainnya sedang menangani pasien yang urgent. Mereka mendorong brankar yang sempat melintas dari depan mata Amira yang transparan. Sosok laki-laki yang berbaring di sana sempat menjadi objek utama matanya memandang. Dalam dua detik terakhir, sebelum benar-benar mengenali sosok di sana, dia masih sempat akan berbalik sebelum akhirnya potrait pasien laki-laki itu kembali memenuhi otaknya. Tiba-tiba saja dunia seolah berjalan lambat. Seakan ada efek slomotion di mana Amira kembali memutar tubuh dan melihat ke arah sana tepat di mana brankar itu di ajak berlari sampai hilang ditikungan lorong rumah sakit. “Kak Sagha?” Kaki yang lemah itu segera berlari menghampri. Tenaga yang belum kembali utuh, harus kembali terkuras. Sisa air mata yang belum juga mengering, harus kembali menerpa membasahi wajah. Rasa sakit yang hendak dibagi, seolah ditumpuk dua kali setelah alam mengungkap alasannya.Tubuh Almira seketika meluruh kala mendengar petugas yang mendorong brankar menyatakan waktu kematian Sagha, kakaknya.
Almira meraung.“Tidak ....”
**
“Aku akan melakukan apa pun untukmu. Tapi tolong, bantu aku mencari kebenaran mengapa kakakku tewas? Aku bersumpah akan menjadi budakmu yang paling menjaga serta mengawasimu bahkan saat kau tertidur.”
Potrait Amira yang bersimpuh di depan Ramon benar-benar merebut seluruh pandangan pria itu. Rambut panjang, seragam rumah sakit, wajah lebam, juga mata merah yang tersimpan banyak luka, benar-benar disuguhkan sepenuhnya pada Ramon. “Apa Tuhan memaafkan manusia yang sudah mati?” gumam Ramon, bertanya. Dia duduk dengan gaya khasnya-satu kakinya menaik di atas kakinya yang lain. Amira mencoba menahan segala terjangan rasa yang campur aduk. Marah, kecewa, dendam, luka, tangis, lelah, semuanya menumpuk di dalam dada yang akhirnya menyebabkan sesak tiada tara. Meski masih dalam pengobatan karena kepalanya dan juga beberapa anggota tubuhnya lebam, Amira tetap memaksakan diri untuk bersimpuh di hadapan Ramon hanya untuk meminta bantuan agar mencari tahu bagaimana bisa kakaknya tewas begitu saja tanpa alasan yang kuat. “Tuhan akan meringankan siksa manusia, ketika salah satu anggota keluarga yang ditinggalkan melakukan kebaikan atas namanya. Aku akan melakukan kebaikan itu padamu, tapi tolong cari penyebab kematian Sagha, kakakku.” Ramon sejenak membisu. Tiba-tiba saja penggalan insiden di atap gedung pagi itu, melintas cepat dalam ingatannya. “Amira itu anak yang baik. Jika kau menatap matanya, tidak akan kau menemukan penderitaan apa pun di sana. Jika kau mendapatkan senyumannya, kau akan merasakan euforia yang bergelut dalam dada. Saat kau dapat merasakan belaiannya, maka kau tidak akan mencari alasan lagi, mengapa Tuhan merebut sosok yang harusnya berada di sampingmu.” Ramon hanya menatap nanar hamparan langit biru di depannya sambil memahami kata-kata Sagha. Dia melipat tangan di depan dada, masih meragu jika Sagha memang berani melakukan hal yang dia perintahkan. Dia tahu, bahwa mencintai orang memang sesakit itu, tapi untuk melakukan hal ‘konyol’ seperti yang dia suruh, mungkin akan mustahil dilakukan siapa pun itu, bahkan dia sendiri ragu apakah dia sanggup melakukan hal yang saat ini sedang Sagha hadapi untuk putranya. “Jika setelah nanti kau sadar bahwa Amira memang sebaik itu, tolong berjanjilah untuk menjaganya. Dia sudah kehilangan orang tuanya bahkan sebelum dia mengenalnya. Aku akan pergi dengan tenang, jika kau mau berjanji akan melakukan hal itu.” Ramon menoleh, menyadari wajah Sagha mulai memucat. Dia menangkap tatap laki-laki di sana, dan sungguh tidak ada tersirat keraguan apa pun. Namun, kebutaan yang di alami Ramon dalam sudut mana pun, menutup rapat-rapat fakta itu. “Aku akan berjanji, setelah kau melompat,” kata Ramon, tanpa beban. Brug!Satu jam setelah acara kremasi jenazah Dired kemarin, Ramon memerintahkan seluruh anak buahnya untuk membawa orang-orang yang bersama Dired pasca-insiden ke hadapannya. Tak butuh waktu lama. Mengingat Ramon adalah laki-laki yang dikenal bengis sebagai seorang atasan, hanya butuh hitungan menit saja dia dapat bertemu dengan sosok yang melayangkan tembakan ‘melesat’ itu pada Dired. “Katakan, kenapa kau membunuh putraku?” Kalimat itu masih terdengar rendah, namun mengintimidasi. “Ma-maaf, Pak. Sa-saya hanya di suruh. Saya tidak mempunyai alasan apa pun untuk membunuhnya, Pak.” Terbata-bata laki-laki itu menjawab. Ramon mengeraskan rahang, dengan sorot mata yang kian menajam. Dadanya rasanya dibakar, setelah mendengar pengakuan laki-laki ini. “Siapa? Siapa orangnya?” tanya Ramon lagi. “No-Nona A-Amira,” aku pria itu. Sejak detik itulah Ramon mulai menanam dendam pada Amira dan memberikan cap pembunuh padanya. Pengakuan laki-laki ini seolah menjadi alasan baginya untuk menghukum gadi
“Lepaskan!” desis Amira, masih menahan suaranya. “Kenapa? Kau mau membalasku? Kau mau membunuhku seperti yang kau lakukan pada Tuan Dired?”Tak tahan kepalanya terus saja mendongak, Amira pun membalas dengan melintir tangan sang lawan hingga tersungkur. Perempuan di sana meringis, kesakitan. “Kau tahu aku seorang pembunuh. Jadi jangan main-main denganku, atau kau akan mati seperti tikus di tanganku!” ancam Amira, lantas pergi melenggang begitu saja. Dia berjalan tegas mengangkat kepala, sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Jangan kira Amira adalah perempuan yang menerima segala perlakuan buruk. Dia bukan tokoh protagonis dalam drama, yang siap menerima segala perlakuan tidak etis dengan tabah dan senang hati. Tepat melintasi tikungan lorong lantai dua, potrait Ramon langsung saja tersuguh di depan matanya. “Akhirnya kau mengaku juga? Kukira statementmu tidak akan pernah berubah,” ujar Ramon, tepat saat dia menatap mata Amira. “Tidak ada yang bisa kulakukan selain m
Kedua kalinya suara tawa Riko mengudara. Betapa menggelitik baginya kekukuhan pendirian Amira, yang seolah menganggap bahwa Ramon itu adalah orang yang paling baik baginya. “Amira, sadarlah. Ramon itu monster. Tidak ada yang betah berada di dekatnya. Lihat saja sekarang, istrinya, orang-orang terdekatnya bahkan putranya di ambil Tuhan darinya. Karena apa? Karena Tuhan merasa menyesal telah menciptakan orang seperti–”Plak! Sebagian ucapan Riko kembali tertelan, sebab tamparan yang dilayangkan Amira. Jari telunjuk gadis itu mengacung tajam, sambil mengancam, “Jaga ucapanmu! Tidak ada yang berhak mendikte takdir seseorang termasuk kau!” Riko mendengus, mengusap pelan pipi kanannya. Sementara Ramon, bergeming. Tidak ada ekspresi juga reaksi. Laki-laki itu hanya memakukan tatapannya pada kepala bagian belakang Amira. Hanya itu yang bisa dia lihat. “Aku sudah bilang padamu, bukan? Salahku menanggapi perintah. Salahku tidak menelaah baik-baik titah atasanku. Jadi tolong, pergi dari sin
“Berjanjilah akan menjaga Amira. Aku akan melakukan apa yang kau perintahkan jika kau mau berjanji.” Ramon tersentak dari lelapnya yang singkat. Dia membuka mata menatap ke sekeliling. Tegukan ludah itu terasa berat, apalagi saat mengingat alasan terbangun adalah Sagha. Dia dibawa kembali pada saat Sagha terjatuh setelah mengucapkan janji. Laki-laki itu segera bangun dan berlari kecil keluar keluar dari ruangannya. Disela langkah Ramon meminta salah satu anak buahnya untuk mengambilkan ponsel. Pria berpakaian lengkap ala bodyguard itu langsung saja membawakan ponsel baru sesuai perintah. “Beri tahu aku di mana Riko.” Setelah mengetik beberapa nomor juga melakukan panggilan suara, Ramon terdengar memerintah orang yang dia hubungi. “Pak Riko sedang berada di hotel tak jauh dari Bar Farah, Pak.” “Cepat ke sana dan cari si Brengsek itu!” Ramon memutuskan panggilan, sebelum masuk ke dalam mobil. Jaraknya juga tempat Riko cukup memakan waktu. Memerintah anak buah akan memberinya sedik
“Pak Ramon. Pak! Pak!” Ramon terkesiap, secepatnya menyadarkan diri. “Ah, iya. Ada apa?” “Ini beberapa berkas yang Bapak minta kemarin. Kami sudah memastikan kevalidan isinya, Pak.” Seorang ajudan berpakaian formal tadi, menyerahkan pada Ramon sebuah map di atas meja. Ramon mengangguk-angguk, tak ada jawaban. Dia masih bingung, kenapa dia bisa lengah tadi. Apa yang membuatnya melamun hingga tidak sadar akan kedatangan anak buahnya. “Kau boleh pergi,” kata Ramon mengakhiri. Setelah tubuh jangkung tadi melengos dari hadapannya, dia segera menyugar rambutnya cukup kasar, seraya mendesah merasa frustrasi. Entah apa yang dipikirkan Ramon sampai lupa tentang dirinya sendiri.Deru napas itu kembali mengudara, mengenyahkan segala beban pikiran. Atensinya beralih pada berkas dalam map kuning di depannya, lalu membuka dengan segera. Tepat saat Dired memperkenalkan Amira secara tersirat waktu itu, saat itu juga Ramon meminta pada ajudannya untuk mencari tahu latar belakang Amira. Setela
Suhu di luar terasa hangat. Sinarnya memberikan sensasi abstrak kala angin mulai ikut mendominasi. Sesekali sinar matahari menyeruak lewat gorden yang ditiup semilir angin. Membuat tubuh kekar yang terbaring lelap di atas dipan terusik. Hanya hitungan detik sang surya datang mengusik, namun erangan kecil dari dua daun bibir pria itu langsung mengudara. Dia menggeliat, meregangkan otot-otot. Tubuhnya seketika duduk di atas ranjang, lalu menoleh pada jam portabel di atas nakas. Sudah siang. “Amira,” panggil Sagha. Laki-laki itu sedang meneguk air dingin sambil duduk di kursi meja makan.Tak ada sahutan. Tak ada suara apa pun yang mengusik keheningan. Pemuda bernama lengkap Sagha Factur itu, mengerutkan dahinya, bingung. Ke mana adiknya pergi? Ini hari libur, mana mungkin Amira bekerja. Sagha beranjak berjalan ke kamar Amira. Tangannya terangkat, mengetuk pintu. Lagi-lagi, tak ada sahutan. Tak ada pilihan, langsung masuk dan memeriksa adalah jalan satu-satunya.“Amira, kau masih tidur
“Kau mau pergi?” tanya Ramon. Amira bergeming. Entah apa yang ada dalam pikirannya mendengar pertanyaan Ramon. Sebelumnya dia sudah pernah terjebak oleh kata-kata perintah laki-laki itu, dan kali ini Amira harus benar-benar menelaah baik-baik. Jangan sampai jatuh di lubang yang sama untuk kedua kalinya. Buru-buru Amira menggeleng. “Tidak, Pak. Aku tidak berniat kabur atau pun pergi tanpa perintah darimu. Aku hanya ....” Ucapan Amira tak berlanjut, saat lembar uang yang baru saja di ambil dari dompet Ramon terhempas tepat di wajahnya.“Pergi dari sini. Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi,” kata Ramon, tak punya hati. Amira sejenak bergeming lalu meneguk ludah, kemudian tersenyum miris. Kepalanya perlahan mendongak ke atas, guna menahan terjangan air mata yang entah datang dari mana.Baru saja akan bersujud di hadapan Ramon untuk memohon, laki-laki itu sudah lebih dulu melongos melewatinya. Amira mengikuti dengan pasang mata ke mana Ramon melangkah. Tak pernah dibayangkan Amira se
Tepat saat Ramon meninggalkan Amira sendirian, saat itu juga Amira bergegas menemui Farah. Satu-satunya manusia yang masih ingin dimintai pernyataan, adalah perempuan itu. Amira tetap meneguhkan pendirian, kalau kematian Dired tetap Farahlah penyebabnya. Entah kebetulan, atau memang dia dikirim untuk membantu Ramon yang sedang dalam jeratan Farah. Di dalam bar yang tak lagi asing untuknya, Amira menyaksikan bagaimana terpuruknya Ramon dan bagaimana cara Farah menenangkan laki-laki itu. Amira sengaja untuk tidak langsung menghampiri Farah, karena dia yakin perempuan yang sudah dia kenal selama lebih sepuluh tahun itu, pasti tidak akan tinggal diam kalau menyerangnya sekarang. Amira sesekali mendengus merasa miris, melihat aksi Farah yang menyuruh salah satu pelayan untuk memasukkan sesuatu ke dalam minuman Ramon. Rendah! Kata itulah yang tercetak dalam dada Amira menggambarkan Farah. Amira juga segera menyembunyikan diri, saat sadar kalau Farah menyuruh anak buahnya untuk mencarin