Share

Bab 5. Tuhan tidak Memaafkan Manusia yang Sudah Mati

“Nona, kau mau ke mana?”

Amira terlojak, saat tiba-tiba seorang pria menghampirinya. Amira yang sebelumnya hilang kesadaran dibangunkan oleh mimpi buruk yang mampir di tengah lelapnya. Tak bisa tidur lagi, Amira segera bangun, meski masih dalam kondisi yang memprihatinkan. 

“A-aku, aku mau keluar sebentar. Aku ingin menghubungi seseorang,” jawabnya, memang hendak melakukan hal tersebut.

“Tuan Ramon melarangmu ke mana-mana. Saya akan membawakan teleponnya ke dalam kamar. Silakan kembali ke sana, Nona.”

Rupanya salah satu pengawal Ramon sengaja disuruh berjaga di salah satu bangsal VVIP yang di pesan oleh Ramon. Amira baru tahu, kalau Ramonlah yang membawanya dan bukan orang yang ada dalam benaknya sejak tadi. Perempuan itu lantas mendengus, tak percaya kalau Ramon rupanya belum cukup puas dengan menyiksanya kemarin malam.

“Baiklah. Aku akan kembali ke kamar. Tapi tolong bawakan aku telepon. Aku ingin menghubungi seseorang,” sahut Amira, menyerah. Tidak ada tenaga jika harus melawan sekarang.

“Baik, Nona.”

Amira tidak mendengar jelas ucapan pria tadi. Indera pendengarannya sudah lebih dulu di penuhi suara derap langkah yang cukup banyak. Reflesk kepalanya memutar guna melihat ada apa di sana. Sejumlah perawat juga dokter dan beberapa petugas lainnya sedang menangani pasien yang urgent. Mereka mendorong brankar yang sempat melintas dari depan mata Amira yang transparan. Sosok laki-laki yang berbaring di sana sempat menjadi objek utama matanya memandang.

Dalam dua detik terakhir, sebelum benar-benar mengenali sosok di sana, dia masih sempat akan berbalik sebelum akhirnya potrait pasien laki-laki itu kembali memenuhi otaknya. Tiba-tiba saja dunia seolah berjalan lambat. Seakan ada efek slomotion di mana Amira kembali memutar tubuh dan melihat ke arah sana tepat di mana brankar itu di ajak berlari sampai hilang ditikungan lorong rumah sakit.

“Kak Sagha?”

Kaki yang lemah itu segera berlari menghampri. Tenaga yang belum kembali utuh, harus kembali terkuras. Sisa air mata yang belum juga mengering, harus kembali menerpa membasahi wajah. Rasa sakit yang hendak dibagi, seolah ditumpuk dua kali setelah alam mengungkap alasannya.

Tubuh Almira seketika meluruh kala mendengar petugas yang mendorong brankar menyatakan waktu kematian Sagha, kakaknya.

Almira meraung.

“Tidak ....”

**

“Aku akan melakukan apa pun untukmu. Tapi tolong, bantu aku mencari kebenaran mengapa kakakku tewas? Aku bersumpah akan menjadi budakmu yang paling menjaga serta mengawasimu bahkan saat kau tertidur.”

Potrait Amira yang bersimpuh di depan Ramon benar-benar merebut seluruh pandangan pria itu. Rambut panjang, seragam rumah sakit, wajah lebam, juga mata merah yang tersimpan banyak luka, benar-benar disuguhkan sepenuhnya pada Ramon.

“Apa Tuhan memaafkan manusia yang sudah mati?” gumam Ramon, bertanya. Dia duduk dengan gaya khasnya-satu kakinya menaik di atas kakinya yang lain.

Amira mencoba menahan segala terjangan rasa yang campur aduk. Marah, kecewa, dendam, luka, tangis, lelah, semuanya menumpuk di dalam dada yang akhirnya menyebabkan sesak tiada tara. Meski masih dalam pengobatan karena kepalanya dan juga beberapa anggota tubuhnya lebam, Amira tetap memaksakan diri untuk bersimpuh di hadapan Ramon hanya untuk meminta bantuan agar mencari tahu bagaimana bisa kakaknya tewas begitu saja tanpa alasan yang kuat.

“Tuhan akan meringankan siksa manusia, ketika salah satu anggota keluarga yang ditinggalkan melakukan kebaikan atas namanya. Aku akan melakukan kebaikan itu padamu, tapi tolong cari penyebab kematian Sagha, kakakku.”

Ramon sejenak membisu. Tiba-tiba saja penggalan insiden di atap gedung pagi itu, melintas cepat dalam ingatannya.

“Amira itu anak yang baik. Jika kau menatap matanya, tidak akan kau menemukan penderitaan apa pun di sana. Jika kau mendapatkan senyumannya, kau akan merasakan euforia yang bergelut dalam dada. Saat kau dapat merasakan belaiannya, maka kau tidak akan mencari alasan lagi, mengapa Tuhan merebut sosok yang harusnya berada di sampingmu.”

Ramon hanya menatap nanar hamparan langit biru di depannya sambil memahami kata-kata Sagha. Dia melipat tangan di depan dada, masih meragu jika Sagha memang berani melakukan hal yang dia perintahkan. Dia tahu, bahwa mencintai orang memang sesakit itu, tapi untuk melakukan hal ‘konyol’ seperti yang dia suruh, mungkin akan mustahil dilakukan siapa pun itu, bahkan dia sendiri ragu apakah dia sanggup melakukan hal yang saat ini sedang Sagha hadapi untuk putranya.

“Jika setelah nanti kau sadar bahwa Amira memang sebaik itu, tolong berjanjilah untuk menjaganya. Dia sudah kehilangan orang tuanya bahkan sebelum dia mengenalnya. Aku akan pergi dengan tenang, jika kau mau berjanji akan melakukan hal itu.”

Ramon menoleh, menyadari wajah Sagha mulai memucat. Dia menangkap tatap laki-laki di sana, dan sungguh tidak ada tersirat keraguan apa pun. Namun, kebutaan yang di alami Ramon dalam sudut mana pun, menutup rapat-rapat fakta itu.

“Aku akan berjanji, setelah kau melompat,” kata Ramon, tanpa beban.

Brug!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status