Tiba di Bandara Soekarno-Hatta, aku bergegas menuju tempat pengambilan bagasi. Penerbanganku berikutnya akan segera menutup waktu untuk check-in. Setelah mendapatkan koper, aku segera menuju konter dan baru bisa bernapas lega begitu menerima boarding pass.
Aku membenci maskapai penerbangan ini karena selalu tepat waktu. Penerbanganku sebelumnya terlambat akibat cuaca buruk. Untung saja aku masih sempat mengejar pada detik-detik terakhir. Perjuangan selanjutnya adalah menuju ruang tunggu. Bandara ini sangat luas, jadi untuk sampai ke pesawat saja harus melewati begitu banyak gerbang pemeriksaan.
“Maaf, Pak,” kataku saat seseorang mengambil wadah berisi barang pribadiku. Dia sedang sibuk bicara melalui ponselnya sehingga tidak melihat apa yang dipegangnya.
“Oh. Maafkan saya.” Dia melepaskan wadah tersebut, lalu mencari miliknya.
Aku menyandangkan tasku kembali, kemudian memegang ponsel, paspor, dan boarding pass, siap untuk menuju bagian imigrasi. Saat tiba giliranku, seorang petugas mengatakan bahwa aku perlu mengisi secarik kertas di tempat yang telah tersedia, baru bisa datang ke konter lagi.
Birokrasi. Biasanya kertas itu bisa diisi di dalam pesawat setelah dibagi-bagikan oleh pramugari. Mengapa hari ini harus diisi sebelum melewati pemeriksaan imigrasi? Tetapi aku tidak bisa melawan petugas. Bila aku masih ingin terbang, maka aku harus menuruti peraturan.
“Penerbangan pertama keluar negeri?” kata seorang pria yang berdiri di sisiku. Dia sedang mengisi sesuatu pada secarik kertas. Dia memberikan kertas yang sama yang masih kosong kepadaku. Saat melihat kertas itu, aku tidak sengaja membaca nama pada formulir yang dia isi. Damian Yunadi.
“Terima kasih.” Aku memilih salah satu meja, membaca kertas tersebut, dan mengisi setiap titik dengan benar. Melihat barisan pada konter imigrasi, aku mendesah pelan harus mengantri lagi.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku,” kata pria tadi yang ikut mengantri di belakangku. Padahal antrian lain masih ada yang lebih pendek.
“Maaf, saya tidak bicara dengan orang asing,” tolakku dengan sopan. Dia mengulurkan tangannya dengan senyum masih menghiasi wajahnya. Aku harus mengacungkan jempol untuk usahanya itu.
“Damian.” Dia memperkenalkan dirinya. Aku menerima tangannya yang masih terulur.
“Nia.” Kami berjabatan tangan sesaat.
“Sekarang kita sudah bukan orang asing lagi.” Dia mengerutkan keningnya saat melihat wajahku dari dekat. Aku menarik tanganku dari genggamannya.
“Ini bukan perjalanan pertamaku.” Aku memamerkan salah satu halaman pasporku yang penuh dengan stempel dari berbagai negara yang sudah aku kunjungi. “Sebelumnya mereka tidak meminta formulir itu diisi di sini. Biasanya itu dilakukan di dalam pesawat sebelum mendarat.”
“Kamu pasti sudah lama tidak melakukan perjalanan keluar negeri.” tebaknya dengan cepat. Aku mengangguk. “Peraturan ini sudah lama diberlakukan.” Ah, begitu. Aku mengangguk mengerti.
Aku maju untuk diperiksa, kemudian diizinkan untuk melewati konter. Aku menuju gerbang yang tertera pada boarding pass dan duduk di kursi kosong yang barisannya tidak terlalu dipadati orang. Hanya beberapa menit lagi sebelum panggilan, tetapi aku tidak mau berdiri mengantri. Lebih baik duduk sejenak dan berdiri setelah antrian berkurang.
Karena mendapat kursi yang berada pada deretan depan di kelas ekonomi, aku dan beberapa penumpang melewati bagian kelas satu. Aku tidak akan pernah punya cukup uang untuk duduk di kursi itu dan menikmati penerbangan yang nyaman. Aku hanya bisa mengaguminya saja.
Hari ini sepertinya bukan hari baikku karena pria yang tadi salah mengambil wadah di bagian pemeriksaan sedang duduk di kursi yang bukan miliknya. Aku melihat boarding pass di tanganku. Benar. Akulah yang mendapat bagian di dekat jendela.
“Maaf, Pak. Itu tempat duduk saya.” Yang duduk di dekat lorong adalah seorang pria, aku tidak akan nyaman bila mereka mengapit aku. Akan lebih baik bila aku tetap duduk pada kursi di dekat jendela.
“Duduk di mana pun sama saja, Bu. Saya sudah duduk dan memasang sabuk pengaman. Ibu duduk di tempat yang kosong saja.” Dia menunjuk ke kursi kosong di sebelahnya.
“Tetapi itu bukan tempat duduk saya. Tolong pindah ke nomor kursi Bapak.” Aku bersikeras. Pria yang duduk di dekat lorong berdiri agar aku bisa masuk. Tetapi aku bergeming, menunggu sampai pria yang mencuri kursiku itu berdiri.
“Ada apa, Bu?” tanya seorang pramugari dari arah belakangku.
“Saya yang duduk di dekat jendela, tetapi bapak ini tidak mau pindah.” Aku menunjukkan boarding pass yang aku pegang kepadanya.
“Ibu ini benar. Mohon pindah ke kursi sesuai nomor Bapak.” Wanita itu tersenyum tetapi nada suaranya sangat serius dan tegas. Pria itu menelan ludah dan akhirnya menurut. Dia berdiri sambil , keluar dari barisan kursi agar aku bisa masuk.
“Oh. Sebentar,” kata pramugari itu sambil menyentuh sesuatu di telinganya. “Kursi Ibu dipindah ke kelas satu. Mari, ikut dengan saya.” Aku menatapnya dengan bingung. Tetapi menyadari betapa panjang antrian di belakangku, aku segera mengikutinya agar semua orang bisa lewat. Tiba-tiba saja terdengar suara sorakan dan tepuk tangan dari mereka. Aku menunduk malu.
Orang-orang yang aku lewati tidak marah karena harus berdiri lama akibat ulahku. Sebaliknya, mereka malah tersenyum dan mengucapkan kata-kata pujian penuh kekaguman. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Mengapa mereka mengatakan bahwa aku hebat, keren, dan sebagainya?
“Silakan duduk di sini, Bu.” Pramugari itu berhenti di sebuah kursi kosong di bagian tengah. Aku menoleh dan melihat ada seorang pria yang duduk di sebelah kursi tersebut. Kami bertemu pandang, lalu aku tertawa kecil begitu mengenalinya.
“Terima kasih atas bantuannya. Silakan duduk, Nia. Aku harap kamu tidak keberatan aku panggil kamu dengan nama itu.” Aku melihat pramugari itu pergi tetapi dia sesekali menoleh ke arah pria bernama Damian tersebut. Aku duduk dan memasang sabuk pengamanku.
“Aku tidak keberatan. Maaf, atas kehormatan apa kamu menaikkan kelas tiketku?” tanyaku tidak mengerti. Aku baru saja mengkhayalkan bisa duduk di sini dan impian itu terwujud? Wow.
“Kamu wanita yang menarik, Nia. Kamu menerima sebuah pemberian terlebih dahulu baru bertanya.” Dia tertawa kecil “Aku tadi mendengar dan melihat perdebatanmu dengan pria keras kepala itu. Aku tidak mau kamu duduk bersama dua laki-laki di tempat duduk serapat itu, jadi ini solusi yang terbaik.”
“Pertama, hanya orang bodoh yang menolak kesempatan sekali seumur hidup untuk bisa duduk di sini. Kedua, posisi di dekat jendela adalah dambaan hampir semua penumpang pesawat. Wajar saja jika menjadi rebutan. Aku hanya memperjuangkan hakku,” kataku dengan santai. “Oh. Satu lagi. Tempat duduknya tidak sesempit itu.”
“Setelah kamu merasakan sendiri dalam empat jam penerbangan kita nanti, kamu akan segera setuju denganku ketika kamu kembali duduk di kelas ekonomi.” Dia menatapku penuh arti.
“Aku akan berusaha sebaik mungkin agar tidak terbiasa dengan kenyamanan ini,” balasku. Dia tertawa kecil. “Ngomong-ngomong, terima kasih. Aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikanmu ini, tetapi terima kasih banyak sudah berbaik hati mengundangku ke kelas ini.”
“Jangan berpikir bahwa ucapan terima kasih saja sudah cukup, Nia.” Dia mengusap-usap dagunya dengan telunjuknya sambil mengamati tubuhku. Aku menelengkan kepalaku. “Tawaran terbaik apa yang bisa kamu berikan kepadaku sebagai ungkapan terima kasihmu?”
“Aah, ternyata ada udang di balik batu.” Aku tersenyum mengerti. “Bagaimana dengan aku traktir makan sebanyak yang kamu mau di restoran yang tidak akan membuat kantongku jebol?” “Boleh. Aku suka makan.” Dia tersenyum bahagia. “Kamu menginap di hotel mana?” “Tidak. Jadwalku penuh dan aku hanya bisa menawarkan makan malam bersama setibanya kita di Bangkok.” Aku berharap dia akan menjawab tidak. “Baiklah,” katanya setuju. Ini terlalu mudah. Aku berharap setidaknya dia akan sedikit jual mahal. Ternyata aku masih punya pesona yang tidak bisa ditolak. Pramugari meminta perhatian kami untuk memperagakan regulasi penyelamatan diri bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dalam penerbangan. Aku memastikan bahwa ponselku sudah dinonaktifkan, lalu memasukkannya ke tas sandangku. Saat pesawat akan lepas landas, tiba-tiba saja Damian memegang tanganku. Aku menoleh ke arahnya dan melihat dia sedang memejamkan matanya dengan rapat. Tangannya yang lain meme
“Mudah saja. Kejadian pada usia sepuluh tahun itu tidak memakan korban jiwa. Pasti ada kejadian selanjutnya yang membuat kamu ketakutan setiap kali menumpang di pesawat,” kataku santai. Dia menatapku dengan kagum. Aku tertawa kecil melihatnya. “Ada sebuah kecelakaan pesawat tidak lama kemudian yang memakan banyak korban jiwa. Aku tahu bahwa aku beruntung. Tetapi membayangkan bahwa pesawat berikutnya yang aku naiki bisa saja mengalami kecelakaan yang sama membuatku sangat ketakutan. Keberuntungan tidak akan selalu ada di sisi kita,” jawabnya pelan. Aku mengangguk mengerti. “Lalu mengapa kamu terbang sendirian jika kamu setakut itu?” tanyaku bingung. “Teman perjalananku tiba-tiba membatalkan liburannya.” Dia memasang wajah cemberut. Aku mengulum senyumku. “Seorang Damian Yunadi yang mampu membuat pramugari tertarik kepadanya ternyata tidak bisa membuat teman perjalanannya rela meninggalkan segalanya demi berlibur bersamanya. Wah, ini hal yang sangat men
Damian tertawa kecil. “Apa kamu ingat apa yang kita ucapkan tadi saat meminta mereka untuk tidak meninggalkan kita?” tanyanya. Aku berpikir sejenak. Apa yang kami ucapkan tadi? “Kita berteriak, ‘tunggu, Pak, tunggu.’” Dia kembali tertawa. “Kita sedang berada di Bangkok, Nia. Bukan Jakarta.” Kini aku mengerti. Aku pun ikut tertawa bersamanya. Udara sejuk sungai menyegarkan tubuhku yang sempat berkeringat karena lari tadi. Tetapi aku tidak menolak saat Damian mengajakku untuk duduk. Orang-orang sudah tidak melihat ke arah kami lagi. Mereka juga sudah asyik menikmati perjalanan sambil mengobrol dengan orang di samping mereka. Kami menikmati pemandangan di sekitar kami. Ada beberapa candi yang kami lewati, hotel, juga mal. Kapal sesekali berhenti pada setiap dermaga yang tersedia untuk menjemput atau menurunkan penumpang. Seorang pemandu wisata menyebutkan nama-nama tempat yang kami lewati serta sejarah yang menarik mengenai beberapa bangunan tersebut. Tiba di de
~Damian~ “Maaf, Pak.” Aku menoleh mendengar suara merdu itu. Seorang wanita muda yang sangat cantik bicara dengan seorang pria yang memegang sebuah wadah. Wanita itu mengenakan baju berwarna hitam juga sepatu berhak tinggi bertali dengan warna yang sama. Dia akan menaiki pesawat dengan sepatu itu? Aku benar-benar tidak bisa memahami perempuan. Dua orang gadis melewatiku sambil tertawa cekikikan. Aku tersenyum kepada mereka, keduanya tertawa histeris. Mereka berjalan di depanku sambil berbisik dan sesekali menoleh ke arahku. Bukan hal yang baru lagi bagiku. Sebagai pembawa acara berita di televisi, wajahku sudah tidak asing lagi. Setiap pagi dan malam, aku membawakan berita utama pada saluran televisi tempatku bekerja. Aku berjalan menuju bagian imigrasi, mengisi formulir terlebih dahulu bersama penumpang lainnya. Wanita tadi bicara dengan salah satu pegawai di konter, lalu dengan wajah cemberut mendatangi meja di mana aku berada. Aku memberikan satu formulir
~Nia~ Aneh. Mengapa jantungku seolah-olah setuju dengan berdebar lebih kencang mendengar kalimat itu? Aku hanya menggodanya dengan mengajaknya bercanda. Aku tidak menganggap bahwa ucapannya itu tulus, ‘kan? Pria ini seorang pemain perempuan. Dia tidak mungkin serius. Bila aku tidak percaya kepadanya, lalu mengapa jantungku untuk pertama kalinya berdebar secepat ini? Aku tertawa kecil untuk menutupi apa yang aku rasakan. “Mengapa kamu malah tertawa?” tanyanya tersinggung. Kedua alisnya membentuk kerutan di puncak hidungnya yang mancung. “Sudah cukup, Damian. Kamu jangan bercanda terus.” Aku segera mengalihkan pembicaraan. “Ayo, kita segera menuju dermaga supaya bisa makan siang. Aku juga sudah lapar.” Dia mendesah napas pelan. Aku bersyukur dia menuruti permintaanku. Aku harus berhati-hati terhadap pria ini. Dia mudah saja mendapatkan perhatian dari para wanita yang terpikat pesonanya. Bisa jadi dia hanya merasa tertantang untuk menaklukkan aku karena
“Ada apa, Nia? Kamu kehilangan sesuatu?” tanya Damian yang melihat aku dengan bingung. Aku mengangkat kepalaku dan menatapku. “A-aku tidak bisa menemukan dompetku.” Aku mulai panik. “Sepertinya ada yang mengambilnya tanpa sepengetahuanku.” “Kamu yakin dompetmu tidak ada di dalam tasmu?” tanyanya lagi. “Coba periksa baik-baik.” Aku menuruti ucapannya dengan memeriksa lebih teliti. Dompetku tidak ada. “Bagaimana ini? Ada kartu identitasku di dalamnya. Aku punya paspor dan tidak akan membutuhkan kartu identitas itu sekarang. Tetapi kamu tahu sendiri betapa susah membuat kartu baru. Lalu kartu debit dan kreditku juga ada di dompet itu. Aku tidak akan punya uang pegangan sama sekali untuk keadaan darurat.” Aku berbicara sendiri begitu rasa panik menguasaiku. “Kamu tenang dahulu. Kita akan menemukan dompetmu itu.” Dia melihat ke arah dari mana kami tadi datang. “Kita coba periksa pelan-pelan. Kamu yang membayar crêpestadi, j
Begitu kami sampai di lantai paling atas, semua orang di dalam elevator ikut keluar. Kami menuju arah yang sama dan saat melihat pemandangan di depanku melalui jendela kacanya, mulutku menganga lebar. Pemandangan malam kota Bangkok yang penuh dengan cahaya lampu, baik dari bangunan, jalan, maupun kendaraan yang melaju menyambutku. Segalanya terlihat semakin indah saat kami melewati pintu kaca tersebut. Bukan pemandangan itu saja yang menyambut kami, tetapi juga para pelayan yang sangat ramah. Aku tidak bisa berhenti kagum memandang indahnya suasana malam kota dari atas. Ada banyak orang yang berkumpul pada ujung bar ini yang berbentuk lingkaran. Mereka rata-rata memotret atau mengambil video pemandangan di sekitar mereka. Hal ini memang layak untuk diabadikan. “Kamu mau duduk atau berdiri di sana bersama mereka?” tanya Damian membuyarkan lamunanku. “Ini tempat duduk kita.” Dia menunjuk meja dengan dua kursinya yang masih kosong yang ada di depanku. Aku terlalu sibuk
~Damian~ Aku sangat terkejut dengan dorongan yang begitu kuat yang aku rasakan saat kami berdiri di pagar pembatas bar di atap hotel tadi. Aku tidak pernah begini sebelumnya. Berapa kali pun wanita menggoda dan memberikan diri mereka secara rela kepadaku, aku tidak tertarik. Apa yang ada pada diri seorang Nia sehingga aku begitu terpesona kepadanya? Aku seperti terbius tidak bisa membuang dia dari kepalaku. Wajah cantik, senyum manis, sikap yang sedikit menjaga jarak, dan suara indahnya selalu menghiasi benakku. Ini tidak mungkin. Apa iya aku sedang jatuh cinta? Secepat ini? Kami baru bertemu beberapa jam saja. Ini bahkan belum genap empat puluh delapan jam dan aku sudah menciumnya seperti remaja puber yang baru pertama kali jatuh cinta. Aku pria dewasa berusia dua puluh delapan tahun tetapi tidak bisa menahan keinginanku sendiri. Seandainya saja dia marah atau menamparku dengan keras, aku akan merasa lebih baik. Sayangnya, dia hanya marah sesaat dan