Share

Bab 2 - Pertemuan

Tiba di Bandara Soekarno-Hatta, aku bergegas menuju tempat pengambilan bagasi. Penerbanganku berikutnya akan segera menutup waktu untuk check-in. Setelah mendapatkan koper, aku segera menuju konter dan baru bisa bernapas lega begitu menerima boarding pass.

Aku membenci maskapai penerbangan ini karena selalu tepat waktu. Penerbanganku sebelumnya terlambat akibat cuaca buruk. Untung saja aku masih sempat mengejar pada detik-detik terakhir. Perjuangan selanjutnya adalah menuju ruang tunggu. Bandara ini sangat luas, jadi untuk sampai ke pesawat saja harus melewati begitu banyak gerbang pemeriksaan.

“Maaf, Pak,” kataku saat seseorang mengambil wadah berisi barang pribadiku. Dia sedang sibuk bicara melalui ponselnya sehingga tidak melihat apa yang dipegangnya.

“Oh. Maafkan saya.” Dia melepaskan wadah tersebut, lalu mencari miliknya.

Aku menyandangkan tasku kembali, kemudian memegang ponsel, paspor, dan boarding pass, siap untuk menuju bagian imigrasi. Saat tiba giliranku, seorang petugas mengatakan bahwa aku perlu mengisi secarik kertas di tempat yang telah tersedia, baru bisa datang ke konter lagi.

Birokrasi. Biasanya kertas itu bisa diisi di dalam pesawat setelah dibagi-bagikan oleh pramugari. Mengapa hari ini harus diisi sebelum melewati pemeriksaan imigrasi? Tetapi aku tidak bisa melawan petugas. Bila aku masih ingin terbang, maka aku harus menuruti peraturan.

“Penerbangan pertama keluar negeri?” kata seorang pria yang berdiri di sisiku. Dia sedang mengisi sesuatu pada secarik kertas. Dia memberikan kertas yang sama yang masih kosong kepadaku. Saat melihat kertas itu, aku tidak sengaja membaca nama pada formulir yang dia isi. Damian Yunadi.

“Terima kasih.” Aku memilih salah satu meja, membaca kertas tersebut, dan mengisi setiap titik dengan benar. Melihat barisan pada konter imigrasi, aku mendesah pelan harus mengantri lagi.

“Kamu belum menjawab pertanyaanku,” kata pria tadi yang ikut mengantri di belakangku. Padahal antrian lain masih ada yang lebih pendek.

“Maaf, saya tidak bicara dengan orang asing,” tolakku dengan sopan. Dia mengulurkan tangannya dengan senyum masih menghiasi wajahnya. Aku harus mengacungkan jempol untuk usahanya itu.

“Damian.” Dia memperkenalkan dirinya. Aku menerima tangannya yang masih terulur.

“Nia.” Kami berjabatan tangan sesaat.

“Sekarang kita sudah bukan orang asing lagi.” Dia mengerutkan keningnya saat melihat wajahku dari dekat. Aku menarik tanganku dari genggamannya.

“Ini bukan perjalanan pertamaku.” Aku memamerkan salah satu halaman pasporku yang penuh dengan stempel dari berbagai negara yang sudah aku kunjungi. “Sebelumnya mereka tidak meminta formulir itu diisi di sini. Biasanya itu dilakukan di dalam pesawat sebelum mendarat.”

“Kamu pasti sudah lama tidak melakukan perjalanan keluar negeri.” tebaknya dengan cepat. Aku mengangguk. “Peraturan ini sudah lama diberlakukan.” Ah, begitu. Aku mengangguk mengerti.

Aku maju untuk diperiksa, kemudian diizinkan untuk melewati konter. Aku menuju gerbang yang tertera pada boarding pass dan duduk di kursi kosong yang barisannya tidak terlalu dipadati orang. Hanya beberapa menit lagi sebelum panggilan, tetapi aku tidak mau berdiri mengantri. Lebih baik duduk sejenak dan berdiri setelah antrian berkurang.

Karena mendapat kursi yang berada pada deretan depan di kelas ekonomi, aku dan beberapa penumpang melewati bagian kelas satu. Aku tidak akan pernah punya cukup uang untuk duduk di kursi itu dan menikmati penerbangan yang nyaman. Aku hanya bisa mengaguminya saja.

Hari ini sepertinya bukan hari baikku karena pria yang tadi salah mengambil wadah di bagian pemeriksaan sedang duduk di kursi yang bukan miliknya. Aku melihat boarding pass di tanganku. Benar. Akulah yang mendapat bagian di dekat jendela.

“Maaf, Pak. Itu tempat duduk saya.” Yang duduk di dekat lorong adalah seorang pria, aku tidak akan nyaman bila mereka mengapit aku. Akan lebih baik bila aku tetap duduk pada kursi di dekat jendela.

“Duduk di mana pun sama saja, Bu. Saya sudah duduk dan memasang sabuk pengaman. Ibu duduk di tempat yang kosong saja.” Dia menunjuk ke kursi kosong di sebelahnya.

“Tetapi itu bukan tempat duduk saya. Tolong pindah ke nomor kursi Bapak.” Aku bersikeras. Pria yang duduk di dekat lorong berdiri agar aku bisa masuk. Tetapi aku bergeming, menunggu sampai pria yang mencuri kursiku itu berdiri.

“Ada apa, Bu?” tanya seorang pramugari dari arah belakangku.

“Saya yang duduk di dekat jendela, tetapi bapak ini tidak mau pindah.” Aku menunjukkan boarding pass yang aku pegang kepadanya.

“Ibu ini benar. Mohon pindah ke kursi sesuai nomor Bapak.” Wanita itu tersenyum tetapi nada suaranya sangat serius dan tegas. Pria itu menelan ludah dan akhirnya menurut. Dia berdiri sambil , keluar dari barisan kursi agar aku bisa masuk.

“Oh. Sebentar,” kata pramugari itu sambil menyentuh sesuatu di telinganya. “Kursi Ibu dipindah ke kelas satu. Mari, ikut dengan saya.” Aku menatapnya dengan bingung. Tetapi menyadari betapa panjang antrian di belakangku, aku segera mengikutinya agar semua orang bisa lewat. Tiba-tiba saja terdengar suara sorakan dan tepuk tangan dari mereka. Aku menunduk malu.

Orang-orang yang aku lewati tidak marah karena harus berdiri lama akibat ulahku. Sebaliknya, mereka malah tersenyum dan mengucapkan kata-kata pujian penuh kekaguman. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Mengapa mereka mengatakan bahwa aku hebat, keren, dan sebagainya?

“Silakan duduk di sini, Bu.” Pramugari itu berhenti di sebuah kursi kosong di bagian tengah. Aku menoleh dan melihat ada seorang pria yang duduk di sebelah kursi tersebut. Kami bertemu pandang, lalu aku tertawa kecil begitu mengenalinya.

“Terima kasih atas bantuannya. Silakan duduk, Nia. Aku harap kamu tidak keberatan aku panggil kamu dengan nama itu.” Aku melihat pramugari itu pergi tetapi dia sesekali menoleh ke arah pria bernama Damian tersebut. Aku duduk dan memasang sabuk pengamanku.

“Aku tidak keberatan. Maaf, atas kehormatan apa kamu menaikkan kelas tiketku?” tanyaku tidak mengerti. Aku baru saja mengkhayalkan bisa duduk di sini dan impian itu terwujud? Wow.

“Kamu wanita yang menarik, Nia. Kamu menerima sebuah pemberian terlebih dahulu baru bertanya.” Dia tertawa kecil “Aku tadi mendengar dan melihat perdebatanmu dengan pria keras kepala itu. Aku tidak mau kamu duduk bersama dua laki-laki di tempat duduk serapat itu, jadi ini solusi yang terbaik.”

“Pertama, hanya orang bodoh yang menolak kesempatan sekali seumur hidup untuk bisa duduk di sini. Kedua, posisi di dekat jendela adalah dambaan hampir semua penumpang pesawat. Wajar saja jika menjadi rebutan. Aku hanya memperjuangkan hakku,” kataku dengan santai. “Oh. Satu lagi. Tempat duduknya tidak sesempit itu.”

“Setelah kamu merasakan sendiri dalam empat jam penerbangan kita nanti, kamu akan segera setuju denganku ketika kamu kembali duduk di kelas ekonomi.” Dia menatapku penuh arti.

“Aku akan berusaha sebaik mungkin agar tidak terbiasa dengan kenyamanan ini,” balasku. Dia tertawa kecil. “Ngomong-ngomong, terima kasih. Aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikanmu ini, tetapi terima kasih banyak sudah berbaik hati mengundangku ke kelas ini.”

“Jangan berpikir bahwa ucapan terima kasih saja sudah cukup, Nia.” Dia mengusap-usap dagunya dengan telunjuknya sambil mengamati tubuhku. Aku menelengkan kepalaku. “Tawaran terbaik apa yang bisa kamu berikan kepadaku sebagai ungkapan terima kasihmu?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status