Home / Romansa / Api Dendam Brianna / Bab 2 - Pertemuan

Share

Bab 2 - Pertemuan

Author: Meina H.
last update Last Updated: 2021-12-14 03:25:31

Tiba di Bandara Soekarno-Hatta, aku bergegas menuju tempat pengambilan bagasi. Penerbanganku berikutnya akan segera menutup waktu untuk check-in. Setelah mendapatkan koper, aku segera menuju konter dan baru bisa bernapas lega begitu menerima boarding pass.

Aku membenci maskapai penerbangan ini karena selalu tepat waktu. Penerbanganku sebelumnya terlambat akibat cuaca buruk. Untung saja aku masih sempat mengejar pada detik-detik terakhir. Perjuangan selanjutnya adalah menuju ruang tunggu. Bandara ini sangat luas, jadi untuk sampai ke pesawat saja harus melewati begitu banyak gerbang pemeriksaan.

“Maaf, Pak,” kataku saat seseorang mengambil wadah berisi barang pribadiku. Dia sedang sibuk bicara melalui ponselnya sehingga tidak melihat apa yang dipegangnya.

“Oh. Maafkan saya.” Dia melepaskan wadah tersebut, lalu mencari miliknya.

Aku menyandangkan tasku kembali, kemudian memegang ponsel, paspor, dan boarding pass, siap untuk menuju bagian imigrasi. Saat tiba giliranku, seorang petugas mengatakan bahwa aku perlu mengisi secarik kertas di tempat yang telah tersedia, baru bisa datang ke konter lagi.

Birokrasi. Biasanya kertas itu bisa diisi di dalam pesawat setelah dibagi-bagikan oleh pramugari. Mengapa hari ini harus diisi sebelum melewati pemeriksaan imigrasi? Tetapi aku tidak bisa melawan petugas. Bila aku masih ingin terbang, maka aku harus menuruti peraturan.

“Penerbangan pertama keluar negeri?” kata seorang pria yang berdiri di sisiku. Dia sedang mengisi sesuatu pada secarik kertas. Dia memberikan kertas yang sama yang masih kosong kepadaku. Saat melihat kertas itu, aku tidak sengaja membaca nama pada formulir yang dia isi. Damian Yunadi.

“Terima kasih.” Aku memilih salah satu meja, membaca kertas tersebut, dan mengisi setiap titik dengan benar. Melihat barisan pada konter imigrasi, aku mendesah pelan harus mengantri lagi.

“Kamu belum menjawab pertanyaanku,” kata pria tadi yang ikut mengantri di belakangku. Padahal antrian lain masih ada yang lebih pendek.

“Maaf, saya tidak bicara dengan orang asing,” tolakku dengan sopan. Dia mengulurkan tangannya dengan senyum masih menghiasi wajahnya. Aku harus mengacungkan jempol untuk usahanya itu.

“Damian.” Dia memperkenalkan dirinya. Aku menerima tangannya yang masih terulur.

“Nia.” Kami berjabatan tangan sesaat.

“Sekarang kita sudah bukan orang asing lagi.” Dia mengerutkan keningnya saat melihat wajahku dari dekat. Aku menarik tanganku dari genggamannya.

“Ini bukan perjalanan pertamaku.” Aku memamerkan salah satu halaman pasporku yang penuh dengan stempel dari berbagai negara yang sudah aku kunjungi. “Sebelumnya mereka tidak meminta formulir itu diisi di sini. Biasanya itu dilakukan di dalam pesawat sebelum mendarat.”

“Kamu pasti sudah lama tidak melakukan perjalanan keluar negeri.” tebaknya dengan cepat. Aku mengangguk. “Peraturan ini sudah lama diberlakukan.” Ah, begitu. Aku mengangguk mengerti.

Aku maju untuk diperiksa, kemudian diizinkan untuk melewati konter. Aku menuju gerbang yang tertera pada boarding pass dan duduk di kursi kosong yang barisannya tidak terlalu dipadati orang. Hanya beberapa menit lagi sebelum panggilan, tetapi aku tidak mau berdiri mengantri. Lebih baik duduk sejenak dan berdiri setelah antrian berkurang.

Karena mendapat kursi yang berada pada deretan depan di kelas ekonomi, aku dan beberapa penumpang melewati bagian kelas satu. Aku tidak akan pernah punya cukup uang untuk duduk di kursi itu dan menikmati penerbangan yang nyaman. Aku hanya bisa mengaguminya saja.

Hari ini sepertinya bukan hari baikku karena pria yang tadi salah mengambil wadah di bagian pemeriksaan sedang duduk di kursi yang bukan miliknya. Aku melihat boarding pass di tanganku. Benar. Akulah yang mendapat bagian di dekat jendela.

“Maaf, Pak. Itu tempat duduk saya.” Yang duduk di dekat lorong adalah seorang pria, aku tidak akan nyaman bila mereka mengapit aku. Akan lebih baik bila aku tetap duduk pada kursi di dekat jendela.

“Duduk di mana pun sama saja, Bu. Saya sudah duduk dan memasang sabuk pengaman. Ibu duduk di tempat yang kosong saja.” Dia menunjuk ke kursi kosong di sebelahnya.

“Tetapi itu bukan tempat duduk saya. Tolong pindah ke nomor kursi Bapak.” Aku bersikeras. Pria yang duduk di dekat lorong berdiri agar aku bisa masuk. Tetapi aku bergeming, menunggu sampai pria yang mencuri kursiku itu berdiri.

“Ada apa, Bu?” tanya seorang pramugari dari arah belakangku.

“Saya yang duduk di dekat jendela, tetapi bapak ini tidak mau pindah.” Aku menunjukkan boarding pass yang aku pegang kepadanya.

“Ibu ini benar. Mohon pindah ke kursi sesuai nomor Bapak.” Wanita itu tersenyum tetapi nada suaranya sangat serius dan tegas. Pria itu menelan ludah dan akhirnya menurut. Dia berdiri sambil , keluar dari barisan kursi agar aku bisa masuk.

“Oh. Sebentar,” kata pramugari itu sambil menyentuh sesuatu di telinganya. “Kursi Ibu dipindah ke kelas satu. Mari, ikut dengan saya.” Aku menatapnya dengan bingung. Tetapi menyadari betapa panjang antrian di belakangku, aku segera mengikutinya agar semua orang bisa lewat. Tiba-tiba saja terdengar suara sorakan dan tepuk tangan dari mereka. Aku menunduk malu.

Orang-orang yang aku lewati tidak marah karena harus berdiri lama akibat ulahku. Sebaliknya, mereka malah tersenyum dan mengucapkan kata-kata pujian penuh kekaguman. Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Mengapa mereka mengatakan bahwa aku hebat, keren, dan sebagainya?

“Silakan duduk di sini, Bu.” Pramugari itu berhenti di sebuah kursi kosong di bagian tengah. Aku menoleh dan melihat ada seorang pria yang duduk di sebelah kursi tersebut. Kami bertemu pandang, lalu aku tertawa kecil begitu mengenalinya.

“Terima kasih atas bantuannya. Silakan duduk, Nia. Aku harap kamu tidak keberatan aku panggil kamu dengan nama itu.” Aku melihat pramugari itu pergi tetapi dia sesekali menoleh ke arah pria bernama Damian tersebut. Aku duduk dan memasang sabuk pengamanku.

“Aku tidak keberatan. Maaf, atas kehormatan apa kamu menaikkan kelas tiketku?” tanyaku tidak mengerti. Aku baru saja mengkhayalkan bisa duduk di sini dan impian itu terwujud? Wow.

“Kamu wanita yang menarik, Nia. Kamu menerima sebuah pemberian terlebih dahulu baru bertanya.” Dia tertawa kecil “Aku tadi mendengar dan melihat perdebatanmu dengan pria keras kepala itu. Aku tidak mau kamu duduk bersama dua laki-laki di tempat duduk serapat itu, jadi ini solusi yang terbaik.”

“Pertama, hanya orang bodoh yang menolak kesempatan sekali seumur hidup untuk bisa duduk di sini. Kedua, posisi di dekat jendela adalah dambaan hampir semua penumpang pesawat. Wajar saja jika menjadi rebutan. Aku hanya memperjuangkan hakku,” kataku dengan santai. “Oh. Satu lagi. Tempat duduknya tidak sesempit itu.”

“Setelah kamu merasakan sendiri dalam empat jam penerbangan kita nanti, kamu akan segera setuju denganku ketika kamu kembali duduk di kelas ekonomi.” Dia menatapku penuh arti.

“Aku akan berusaha sebaik mungkin agar tidak terbiasa dengan kenyamanan ini,” balasku. Dia tertawa kecil. “Ngomong-ngomong, terima kasih. Aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikanmu ini, tetapi terima kasih banyak sudah berbaik hati mengundangku ke kelas ini.”

“Jangan berpikir bahwa ucapan terima kasih saja sudah cukup, Nia.” Dia mengusap-usap dagunya dengan telunjuknya sambil mengamati tubuhku. Aku menelengkan kepalaku. “Tawaran terbaik apa yang bisa kamu berikan kepadaku sebagai ungkapan terima kasihmu?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Api Dendam Brianna   Bab 92 - Sayangku untuk Selamanya

    ~Damian~ Meskipun tidak ada banyak hal yang bisa aku lakukan di tempat ini, aku menggunakan fasilitas yang ada dengan baik. Aku membaca hampir semua buku yang ada di perpustakaan, berolahraga setiap pagi dan sore bersama teman-teman, menjauhi masalah, dan berkenalan dengan orang-orang baru. Sebagian besar dari mereka adalah orang baik yang terpaksa berbuat jahat karena keadaan. Aku menyukai diriku yang baru. Aku mengetahui lebih banyak hal baru, bukan hanya yang telah aku pelajari selama ini di dunia jurnalistik. Ilmu yang aku dapat tidak hanya dari membaca, tetapi juga dari bicara dengan orang-orang yang ada di penjara. Keluarga dan sahabatku tidak pernah datang berkunjung atas permintaanku. Walaupun ini adalah keinginanku sendiri, aku tidak mau mereka melihat aku dalam keadaan paling terpuruk. Aku lebih memilih menahan rasa rindu yang berat kepada istriku daripada melihatnya berduka setiap kali melihat aku berada di tempat yang tidak bisa dijangkaunya.

  • Api Dendam Brianna   Bab 91 - Pulang

    ~Brie~ “Sayang, ayo, cepat!” seruku dari ambang pintu apartemen. Aku menepati semua kesepakatan yang kami bicarakan pada hari terakhir kami bersama. Aku tidak datang menjenguknya atau mengirim apa pun untuknya. Aku fokus menjalani hidup dan pekerjaanku. Setelah sahabatku menikah, aku yang bertanggung jawab penuh atas hotel. Sebagai seorang wanita yang jauh dari suami, tentu saja aku mengalami banyak godaan. Apalagi aku bekerja di hotel. Meskipun aku jarang bertemu dengan orang-orang karena aku mengangkat Gerald menjadi asistenku untuk urusan rapat dan bertemu dengan klien di luar hotel. Tetapi aku sering bertemu tamu hotel yang tertari kepadaku saat makan bersama Papa dan Saoirse di restoran. Waktu berjalan begitu cepat karena kesibukanku di hotel. Ditambah lagi putri kami yang sangat aktif menyita waktu luangku yang sepenuhnya aku curahkan untuknya. Hanya pada saat aku tidur seorang diri di kamar, aku merasakan kesepian yang tidak bisa ditutupi denga

  • Api Dendam Brianna   Bab 90 - Penebusan Dosa

    ~Damian~ Aku tidak pernah menyangka bahwa aku bisa jatuh cinta semakin dalam kepada istriku. Aku pikir rasa cintaku kepadanya sangat dalam dan tidak akan bisa lebih dalam lagi. Tetapi aku merasakan sendiri pada hari ini bahwa hal itu bisa terjadi. Dia duduk di sana, di kursi saksi dengan wajah yang berani, mata menatap tajam ke seluruh penjuru, saat menjawab satu per satu pertanyaan yang diajukan oleh jaksa penuntut, kuasa hukum yang membela kami para pelaku, bahkan hakim. Meskipun sesekali dia bersuara berat mengulang kembali kejadian menyakitkan itu, dia tidak gugup apalagi bicara dengan gagap. Mendengar semua kalimat itu, aku teringat pada peristiwa pada hari reuni tersebut. Malam di mana untuk pertama kalinya, aku tahu siapa dia yang sebenarnya. Sikap teman-temanku masih sama, merasa layak untuk menudingkan jari mereka menyalahkan dia. Hari ini aku tidak melihat tatapan arogan itu. Foto-foto bukti kekerasan yang kami lakukan sudah cukup untuk memb

  • Api Dendam Brianna   Bab 89 - Keputusan yang Berat

    Aku menatap putriku yang tertidur pulas setelah aku membacakan sebuah cerita untuknya. Dia anak yang baik, tidak pernah sekalipun aku mendengar dia mengeluh. Kami baru saja beberapa minggu bersama, bagaimana aku tega merebut kebahagiaan ini darinya? Dia telah kehilangan kasih sayang orang tuanya sejak dia lahir ke dunia. Setelah dia begitu bahagia bisa tinggal bersama kami, aku tidak sanggup memisahkan dia dari ayahnya sendiri. Aku tidak mau putriku menderita seperti aku. Papa dan Damian tidak bisa melakukan ini kepadaku, kepada putriku. Apa yang kami miliki sekarang telah kami perjuangkan dengan mahal. Aku menikah dengan laki-laki satu margaku dan menentang adat, kami menanggalkan nama keluarga kami, dan kami tinggal jauh dari komunitas yang menjadi identitas kami sejak lahir. Setelah melalui semua tantangan, aku tidak mau berpisah dari suamiku. Namun apa yang kami jalani saat ini juga tidak sehat. Dia tidak jauh dariku, dia ada di sini di dekatku. Tetapi ka

  • Api Dendam Brianna   Bab 88 - Tidak Sehati

    Kami baru menikah selama satu minggu, membicarakan banyak hal mengenai masa depan keluarga kecil kami, mendiskusikan yang terbaik untuk putri kami, dan dia meminta aku untuk melakukan hal yang akan merenggut dia dariku? Apa yang sedang dia pikirkan? “Apa kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu katakan?” tanyaku yang menatapnya dengan saksama. Inikah hal yang beberapa hari ini meresahkannya? “Iya. Aku juga sudah membicarakan ini dengan psikolog. Dia mendukung keputusanku, tetapi keputusan terakhir tetap ada di tanganmu. Kamulah yang menentukan segalanya.” Dia menatapku penuh harap. Aku menarik kedua tanganku dari genggamannya. “Aku tidak mau melakukan itu. Aku tidak akan menuntut suamiku sendiri. Apalagi kasus ini sudah sangat lama dan kamu sudah mendapatkan balasannya. Kamu tidak punya hutang apa pun lagi padaku,” kataku menolak. “Itu bukan hukuman, Brie. Aku tidak bisa selamanya lari dari jerat hukum. Hal ini yang menghalangi aku untuk bahagia. Kam

  • Api Dendam Brianna   Bab 87 - Apa Adanya

    Aku tidak membiarkan kekurangannya itu merusak suasana bulan madu kami. Ada banyak hal yang bisa kami lakukan bersama yang membuat pengalaman bercinta tetap menyenangkan. Beberapa kali dia berhasil membuatku mencapai puncak kenikmatan, dan wajahnya sangat bahagia. Bukan ini yang aku pikirkan sebagai solusi, tetapi dia tidak kelihatan keberatan hanya aku yang bisa menikmati setiap kali kami bercinta. Melihat wajah bahagianya, maka aku tidak mau membuatnya merasa sedih dengan merasa bersalah. “Aku mencintaimu, Ian. Apa adanya,” ucapku saat sekali lagi dia membuatku bahagia. “Aku tahu. Dan aku mencintaimu, istriku.” Dia mengecup keningku, lalu memeluk tubuhku saat kami berbaring bersama. Sesaat setelahnya, kami tertidur pulas. Bosan hanya berdua saja di dalam kamar dan melihat pemandangan itu-itu saja, maka pada Minggu malam itu, kami memutuskan untuk makan malam di restoran. Keluarga kami sedang makan juga, jadi kami segera bergabung bersama mereka.

  • Api Dendam Brianna   Bab 86 - Menjadi Satu

    ~Brie~ Hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan bagiku. Pendeta yang baik hati itu mengumumkan bahwa aku dan keluargaku diterima sebagai anggota jemaat yang baru. Aku senang sekali karena pertemuan Papa dengan pendeta itu membuahkan hasil. Usai ibadah, aku dan Damian menemui pendeta tersebut di ruang rapat. Dia memberi kami daftar dokumen yang perlu kami siapkan sebagai syarat menikah. Begitu semua syarat dipenuhi, maka kami boleh menentukan tanggal. Sembari menunggu berkas dari orang tua Damian dikirim, dia memberi pilihan tanggal untuk melakukan konseling pranikah yang segera kami iyakan. Entah bagaimana Mama bisa membujuk papa Damian menandatangani surat persetujuan dari orang tua, kami menangis bahagia saat melihat tanda tangan dan namanya tersebut. Karena kami sudah mengikuti konseling dan tetap bertekad melangsungkan pernikahan, maka begitu berkas kami dinyatakan lengkap, pendeta setuju untuk menikahkan kami pada minggu berikutnya. Kami se

  • Api Dendam Brianna   Bab 85 - Kejutan

    ~Damian~ Saoirse berenang begitu bahagia dari satu tepi ke tepi lain kolam renang. Aku tidak menduga bahwa dia bisa berenang. Keahlian apa lagi yang dimiliki anak perempuan ini? Dia masih begitu muda, tetapi dia tidak berhenti membuat aku kagum pada bakatnya. Yang tidak terduga adalah bagaimana dia bisa menyayangi aku begitu cepat. Kami bertahun-tahun tidak pernah bertemu sepertinya bukan fakta yang menakutkan baginya. Iya bagiku. Mendadak menjadi seorang ayah bukanlah hal yang menyenangkan karena aku tidak siap dengan ini. Aku harus mengubah begitu banyak kebiasaan buruk agar dia tidak menirunya, dan aku harus belajar dengan cepat untuk memahami dia sekaligus ibunya. Mengerti hati seorang wanita saja menjadi tantangan besar bagiku, apalagi dua. Aku kagum melihat Papa bisa menangani kedua wanita rumit ini dengan baik. Wajar saja, mereka adalah anak dan cucunya. Aku menarik napas panjang saat putriku berjalan mendekati aku. “Sayang, jangan berjalan sec

  • Api Dendam Brianna   Bab 84 - Terlalu Baik

    Makanan sudah hampir siap, Damian keluar dari kamarnya dengan wajah masih mengantuk. Wajar saja. Dia tidak berhenti menciumku sampai lewat tengah malam. Dia menyapaku, lalu memberi kecupan di bibirku sebelum ke kamarku untuk membangunkan putri kami. “Jangan marah lagi kepadanya. Dia masih terlalu muda saat semua itu terjadi. Dan dia tidak bisa sendirian melawan kedua orang tuanya juga orang tua teman-temannya yang ingin melindungi reputasi mereka. Kamu tahu sendiri bahwa mereka melakukan segalanya untuk menyembunyikan perbuatan jahat anak-anak mereka.” Kalimat Papa tadi kembali terngiang di telingaku. Aku tidak marah lagi kepadanya, aku bahkan tidak kecewa saat tahu dia adalah ayah kandung Saoirse. Tetapi mengetahui semua ini membuat aku semakin mengerti beban yang telah dia tanggung sendirian selama ini. Dia dan aku berada pada posisi yang sama. Aku dijebak oleh dua sahabatku, sedangkan dia oleh teman-temannya. Kejahatan mereka semakin biadab karena membiark

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status