Share

Bab 3 - Manusia Biasa

“Aah, ternyata ada udang di balik batu.” Aku tersenyum mengerti. “Bagaimana dengan aku traktir makan sebanyak yang kamu mau di restoran yang tidak akan membuat kantongku jebol?”

“Boleh. Aku suka makan.” Dia tersenyum bahagia. “Kamu menginap di hotel mana?”

“Tidak. Jadwalku penuh dan aku hanya bisa menawarkan makan malam bersama setibanya kita di Bangkok.” Aku berharap dia akan menjawab tidak.

“Baiklah,” katanya setuju. Ini terlalu mudah. Aku berharap setidaknya dia akan sedikit jual mahal. Ternyata aku masih punya pesona yang tidak bisa ditolak.

Pramugari meminta perhatian kami untuk memperagakan regulasi penyelamatan diri bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dalam penerbangan. Aku memastikan bahwa ponselku sudah dinonaktifkan, lalu memasukkannya ke tas sandangku.

Saat pesawat akan lepas landas, tiba-tiba saja Damian memegang tanganku. Aku menoleh ke arahnya dan melihat dia sedang memejamkan matanya dengan rapat. Tangannya yang lain memegang erat sandaran lengan kursinya. Tunggu. Dia takut terbang?

Tidak mau membuatnya semakin panik, aku membiarkan dia menjadikan aku sebagai kekuatannya. Beberapa saat pesawat bergerak miring ke kiri, lalu ke kanan, sebelum akhirnya stabil. Terdengar bunyi pertanda sabuk pengaman boleh dilepaskan serta lampu kabin dinyalakan.

“Maafkan aku.” Dia melepaskan tanganku dengan wajah memerah. Aku baru tahu bahwa dia takut terbang. Apa yang membuatnya begini? Apakah ada trauma di masa lalu? Dan yang paling menarik, mengapa dia naik pesawat bila dia takut?

“Tidak apa-apa.” Aku meletakkan kedua tanganku di atas pangkuanku. Seorang pramugari datang dan menanyakan makanan dan minuman apa yang ingin kami pesan. Damian menyampaikan pesanannya, lalu mereka berdua menoleh ke arahku. Aku memesan hal yang sama.

Pramugari itu menyentuh lengan Damian terlalu sering. Senyum dan tatapan matanya juga terlalu menggoda. Seperti tidak pernah bertemu dengan pria tampan saja. Dia hanya tersenyum seadanya denganku sebelum pergi menyapa penumpang yang lain.

“Ada apa? Mengapa wajahmu bingung begitu?” tanya Damian membuyarkan lamunanku. Aku tidak mungkin mengatakan bahwa aku memerhatikan cara wanita itu memperlakukannya.

“Aku masih tidak habis pikir. Apa yang membuat mereka bersorak dan bertepuk tangan tadi? Aku tidak melakukan sesuatu yang heroik dengan meminta tempat dudukku,” kataku berbohong.

“Kamu serius tidak tahu apa yang membuat mereka bereaksi begitu? Nia, kamu sendiri yang bilang bahwa hanya orang bodoh yang menolak kesempatan untuk duduk di sini. Mereka semua melihat kamu keluar sebagai pemenang karena kamu bukan hanya mendapatkan tempat dudukmu kembali, tetapi juga naik ke kelas satu,” ucapnya.

“Wah. Kamu benar juga. Ternyata kamu bukan hanya pria sombong tetapi juga cerdas, ya,” pujiku. Dia kembali melakukan kebiasaannya, mengerutkan kening saat melihatku. “Ada apa?”

“Kamu benar-benar tidak kenal aku? Atau apa di sekitar sini ada kamera yang merekam reaksiku saat seseorang berpura-pura tidak mengenalku berada di dekatku?” Dia melihat ke sekeliling kami.

“Aku tidak mengerti apa maksudmu. Apa kamu artis? Itukah sebabnya para pramugari itu bersikap sangat ramah kepadamu?” tanyaku ingin tahu.

“Damian Yunadi. Apa kamu pernah mendengar atau membaca nama itu di suatu tempat?” tanyanya belum menyerah. Kini aku yang mengerutkan kening.

“Tidak.” Aku menggelengkan kepalaku.

“Tidak sama sekali?” tanyanya tidak percaya. Aku kembali menggeleng pelan. “Akhirnya, aku bisa menjadi manusia biasa juga.” Dia tersenyum bahagia.

Penerbangan yang panjang itu terasa singkat karena kami tidak kehabisan bahan pembicaraan. Aku membiarkan dia bicara mengenai banyak hal yang sedang terjadi akhir-akhir ini, baik di dalam maupun luar negeri. Dia juga tidak lupa menanyakan pendapatku. Aku bicara seminimal mungkin, tidak mau memberinya harapan yang lebih dari pertemuan singkat kami ini.

Dia kembali memegang tanganku ketika kami mendarat di Suvarnabhumi International Airport. Setelah dipersilakan untuk keluar dari kabin, kami menunggu sampai antrian berkurang, lalu berdiri. Aku sempat melihat seorang pramugari menyelipkan sesuatu di tangannya saat kami melewati mereka. Melihat respons Damian yang biasa saja, sepertinya hal itu sudah sering terjadi. Kami menunggu koper kami dengan sabar sebelum keluar dari terminal kedatangan.

“Aku menginap di hotel ini,” katanya tanpa aku minta. Dia menunjuk ke arah hotel yang kami lewati. “Jadi, aku akan bersikap egois dengan memilih restoran terdekat.”

“Tidak masalah.” Aku tersenyum penuh arti.

Sopir taksi menghentikan kendaraannya tidak jauh dari barisan restoran yang ada di dekat pasar malam. Meskipun orang mondar-mandir di trotoar, tidak ada yang memerhatikan kami. Mereka tetap berjalan atau berhenti untuk sekadar menawar dagangan yang ada di sepanjang jalan itu.

Damian memilih salah satu restoran lalu menitipkan koper kami kepada pelayan. Kami diantar ke lantai atas pada meja yang kosong. Aku mempersilakan dia untuk memilih makanan apa saja yang ingin dia santap. Aku hanya memesan fried spring roll dan tom yum. Dia memesan kari khas Thailand dengan nasi dan beberapa menu sampingan lainnya.

“Aku harap kamu masih punya uang sisa untuk menikmati liburanmu setelah mentraktirku makan.” Dia memberiku senyuman liciknya. Aku tertawa kecil.

“Kantor membayar penginapan dan makanku secara penuh, jadi aku tidak khawatir akan kelaparan selama berada di sini.” Aku mengangkat kedua bahuku dengan santai.

“Oh. Kamu datang ke sini untuk bekerja, bukan berlibur?” tanyanya ingin tahu.

“Keduanya.” Aku tidak mau memberitahu segala hal tentang diriku dalam pertemuan pertama. Kami belum tentu bertemu lagi pada keesokan harinya.

“Kamu tidak suka kita membicarakan hal pribadi, ya? Sejak dari pesawat tadi, kamu hanya mau bicara setiap kali membahas hal-hal yang umum.” Dia meletakkan kedua sikunya di atas meja lalu menggunakan telapak tangannya untuk menopang dagu.

“Apa kamu sering bertemu dengan orang yang langsung menceritakan secara jujur mengenai dirinya pada pertemuan pertama?” Aku tertawa kecil. Dia mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya, lalu memberikan secarik kertas kecil kepadaku.

“Bacalah.” Dia mempersilakan aku. Maka aku membuka lipatan kertas itu dan membaca nama seorang perempuan dengan barisan nomor.

“Wow. Apa kamu akan meneleponnya?” tanyaku sambil mengembalikan kertas tersebut.

“Dia hanya mencari teman tidur. Aku tidak membutuhkan hal itu. Sudah terlalu banyak drama dalam hidupku.” Dia meletakkan kertas itu ke dalam vas bunga sehingga air membuat tintanya larut.

“Salah satunya adalah yang membuat kamu takut terbang?” tanyaku. Dia tertawa.

“Kamu tidak suka membicarakan masalah pribadi tetapi kamu ingin mendengar pengalaman pribadi lawan bicaramu?” tanyanya menggoda. Aku mengangkat kedua bahuku.

“Aku hanya bertanya. Kamu punya hak untuk menjawab atau tidak.” Aku tersenyum semanis mungkin. Dia tertawa kecil.

“Cukup adil.” Dia meletakkan tangannya di atas meja, lalu memasang wajah serius. “Iya, aku punya trauma di masa lalu yang membuat aku takut terbang. Ketika aku berumur sepuluh tahun, kami sekeluarga pergi berlibur. Beberapa saat mengudara, kami mengalami guncangan hebat sampai harus mendarat secara darurat.

“Kami semua baik-baik saja, tidak ada korban jiwa atau luka. Tetapi peristiwa itu sangat membekas. Aku berusaha untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja, hasilnya nihil. Aku selalu ketakutan saat pesawat lepas landas, mendarat atau terjadi guncangan hebat,” katanya.

“Hanya itu alasannya? Tidak ada alasan yang lain?” tanyaku berusaha menggali informasi lebih banyak.

Dia menatapku tidak percaya. “Alasan yang lain. Bagaimana kamu bisa tahu bahwa ada alasan yang lain?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status