“Aah, ternyata ada udang di balik batu.” Aku tersenyum mengerti. “Bagaimana dengan aku traktir makan sebanyak yang kamu mau di restoran yang tidak akan membuat kantongku jebol?”
“Boleh. Aku suka makan.” Dia tersenyum bahagia. “Kamu menginap di hotel mana?”
“Tidak. Jadwalku penuh dan aku hanya bisa menawarkan makan malam bersama setibanya kita di Bangkok.” Aku berharap dia akan menjawab tidak.
“Baiklah,” katanya setuju. Ini terlalu mudah. Aku berharap setidaknya dia akan sedikit jual mahal. Ternyata aku masih punya pesona yang tidak bisa ditolak.
Pramugari meminta perhatian kami untuk memperagakan regulasi penyelamatan diri bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dalam penerbangan. Aku memastikan bahwa ponselku sudah dinonaktifkan, lalu memasukkannya ke tas sandangku.
Saat pesawat akan lepas landas, tiba-tiba saja Damian memegang tanganku. Aku menoleh ke arahnya dan melihat dia sedang memejamkan matanya dengan rapat. Tangannya yang lain memegang erat sandaran lengan kursinya. Tunggu. Dia takut terbang?
Tidak mau membuatnya semakin panik, aku membiarkan dia menjadikan aku sebagai kekuatannya. Beberapa saat pesawat bergerak miring ke kiri, lalu ke kanan, sebelum akhirnya stabil. Terdengar bunyi pertanda sabuk pengaman boleh dilepaskan serta lampu kabin dinyalakan.
“Maafkan aku.” Dia melepaskan tanganku dengan wajah memerah. Aku baru tahu bahwa dia takut terbang. Apa yang membuatnya begini? Apakah ada trauma di masa lalu? Dan yang paling menarik, mengapa dia naik pesawat bila dia takut?
“Tidak apa-apa.” Aku meletakkan kedua tanganku di atas pangkuanku. Seorang pramugari datang dan menanyakan makanan dan minuman apa yang ingin kami pesan. Damian menyampaikan pesanannya, lalu mereka berdua menoleh ke arahku. Aku memesan hal yang sama.
Pramugari itu menyentuh lengan Damian terlalu sering. Senyum dan tatapan matanya juga terlalu menggoda. Seperti tidak pernah bertemu dengan pria tampan saja. Dia hanya tersenyum seadanya denganku sebelum pergi menyapa penumpang yang lain.
“Ada apa? Mengapa wajahmu bingung begitu?” tanya Damian membuyarkan lamunanku. Aku tidak mungkin mengatakan bahwa aku memerhatikan cara wanita itu memperlakukannya.
“Aku masih tidak habis pikir. Apa yang membuat mereka bersorak dan bertepuk tangan tadi? Aku tidak melakukan sesuatu yang heroik dengan meminta tempat dudukku,” kataku berbohong.
“Kamu serius tidak tahu apa yang membuat mereka bereaksi begitu? Nia, kamu sendiri yang bilang bahwa hanya orang bodoh yang menolak kesempatan untuk duduk di sini. Mereka semua melihat kamu keluar sebagai pemenang karena kamu bukan hanya mendapatkan tempat dudukmu kembali, tetapi juga naik ke kelas satu,” ucapnya.
“Wah. Kamu benar juga. Ternyata kamu bukan hanya pria sombong tetapi juga cerdas, ya,” pujiku. Dia kembali melakukan kebiasaannya, mengerutkan kening saat melihatku. “Ada apa?”
“Kamu benar-benar tidak kenal aku? Atau apa di sekitar sini ada kamera yang merekam reaksiku saat seseorang berpura-pura tidak mengenalku berada di dekatku?” Dia melihat ke sekeliling kami.
“Aku tidak mengerti apa maksudmu. Apa kamu artis? Itukah sebabnya para pramugari itu bersikap sangat ramah kepadamu?” tanyaku ingin tahu.
“Damian Yunadi. Apa kamu pernah mendengar atau membaca nama itu di suatu tempat?” tanyanya belum menyerah. Kini aku yang mengerutkan kening.
“Tidak.” Aku menggelengkan kepalaku.
“Tidak sama sekali?” tanyanya tidak percaya. Aku kembali menggeleng pelan. “Akhirnya, aku bisa menjadi manusia biasa juga.” Dia tersenyum bahagia.
Penerbangan yang panjang itu terasa singkat karena kami tidak kehabisan bahan pembicaraan. Aku membiarkan dia bicara mengenai banyak hal yang sedang terjadi akhir-akhir ini, baik di dalam maupun luar negeri. Dia juga tidak lupa menanyakan pendapatku. Aku bicara seminimal mungkin, tidak mau memberinya harapan yang lebih dari pertemuan singkat kami ini.
Dia kembali memegang tanganku ketika kami mendarat di Suvarnabhumi International Airport. Setelah dipersilakan untuk keluar dari kabin, kami menunggu sampai antrian berkurang, lalu berdiri. Aku sempat melihat seorang pramugari menyelipkan sesuatu di tangannya saat kami melewati mereka. Melihat respons Damian yang biasa saja, sepertinya hal itu sudah sering terjadi. Kami menunggu koper kami dengan sabar sebelum keluar dari terminal kedatangan.
“Aku menginap di hotel ini,” katanya tanpa aku minta. Dia menunjuk ke arah hotel yang kami lewati. “Jadi, aku akan bersikap egois dengan memilih restoran terdekat.”
“Tidak masalah.” Aku tersenyum penuh arti.
Sopir taksi menghentikan kendaraannya tidak jauh dari barisan restoran yang ada di dekat pasar malam. Meskipun orang mondar-mandir di trotoar, tidak ada yang memerhatikan kami. Mereka tetap berjalan atau berhenti untuk sekadar menawar dagangan yang ada di sepanjang jalan itu.
Damian memilih salah satu restoran lalu menitipkan koper kami kepada pelayan. Kami diantar ke lantai atas pada meja yang kosong. Aku mempersilakan dia untuk memilih makanan apa saja yang ingin dia santap. Aku hanya memesan fried spring roll dan tom yum. Dia memesan kari khas Thailand dengan nasi dan beberapa menu sampingan lainnya.
“Aku harap kamu masih punya uang sisa untuk menikmati liburanmu setelah mentraktirku makan.” Dia memberiku senyuman liciknya. Aku tertawa kecil.
“Kantor membayar penginapan dan makanku secara penuh, jadi aku tidak khawatir akan kelaparan selama berada di sini.” Aku mengangkat kedua bahuku dengan santai.
“Oh. Kamu datang ke sini untuk bekerja, bukan berlibur?” tanyanya ingin tahu.
“Keduanya.” Aku tidak mau memberitahu segala hal tentang diriku dalam pertemuan pertama. Kami belum tentu bertemu lagi pada keesokan harinya.
“Kamu tidak suka kita membicarakan hal pribadi, ya? Sejak dari pesawat tadi, kamu hanya mau bicara setiap kali membahas hal-hal yang umum.” Dia meletakkan kedua sikunya di atas meja lalu menggunakan telapak tangannya untuk menopang dagu.
“Apa kamu sering bertemu dengan orang yang langsung menceritakan secara jujur mengenai dirinya pada pertemuan pertama?” Aku tertawa kecil. Dia mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya, lalu memberikan secarik kertas kecil kepadaku.
“Bacalah.” Dia mempersilakan aku. Maka aku membuka lipatan kertas itu dan membaca nama seorang perempuan dengan barisan nomor.
“Wow. Apa kamu akan meneleponnya?” tanyaku sambil mengembalikan kertas tersebut.
“Dia hanya mencari teman tidur. Aku tidak membutuhkan hal itu. Sudah terlalu banyak drama dalam hidupku.” Dia meletakkan kertas itu ke dalam vas bunga sehingga air membuat tintanya larut.
“Salah satunya adalah yang membuat kamu takut terbang?” tanyaku. Dia tertawa.
“Kamu tidak suka membicarakan masalah pribadi tetapi kamu ingin mendengar pengalaman pribadi lawan bicaramu?” tanyanya menggoda. Aku mengangkat kedua bahuku.
“Aku hanya bertanya. Kamu punya hak untuk menjawab atau tidak.” Aku tersenyum semanis mungkin. Dia tertawa kecil.
“Cukup adil.” Dia meletakkan tangannya di atas meja, lalu memasang wajah serius. “Iya, aku punya trauma di masa lalu yang membuat aku takut terbang. Ketika aku berumur sepuluh tahun, kami sekeluarga pergi berlibur. Beberapa saat mengudara, kami mengalami guncangan hebat sampai harus mendarat secara darurat.
“Kami semua baik-baik saja, tidak ada korban jiwa atau luka. Tetapi peristiwa itu sangat membekas. Aku berusaha untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja, hasilnya nihil. Aku selalu ketakutan saat pesawat lepas landas, mendarat atau terjadi guncangan hebat,” katanya.
“Hanya itu alasannya? Tidak ada alasan yang lain?” tanyaku berusaha menggali informasi lebih banyak.
Dia menatapku tidak percaya. “Alasan yang lain. Bagaimana kamu bisa tahu bahwa ada alasan yang lain?”
~Damian~ Meskipun tidak ada banyak hal yang bisa aku lakukan di tempat ini, aku menggunakan fasilitas yang ada dengan baik. Aku membaca hampir semua buku yang ada di perpustakaan, berolahraga setiap pagi dan sore bersama teman-teman, menjauhi masalah, dan berkenalan dengan orang-orang baru. Sebagian besar dari mereka adalah orang baik yang terpaksa berbuat jahat karena keadaan. Aku menyukai diriku yang baru. Aku mengetahui lebih banyak hal baru, bukan hanya yang telah aku pelajari selama ini di dunia jurnalistik. Ilmu yang aku dapat tidak hanya dari membaca, tetapi juga dari bicara dengan orang-orang yang ada di penjara. Keluarga dan sahabatku tidak pernah datang berkunjung atas permintaanku. Walaupun ini adalah keinginanku sendiri, aku tidak mau mereka melihat aku dalam keadaan paling terpuruk. Aku lebih memilih menahan rasa rindu yang berat kepada istriku daripada melihatnya berduka setiap kali melihat aku berada di tempat yang tidak bisa dijangkaunya.
~Brie~ “Sayang, ayo, cepat!” seruku dari ambang pintu apartemen. Aku menepati semua kesepakatan yang kami bicarakan pada hari terakhir kami bersama. Aku tidak datang menjenguknya atau mengirim apa pun untuknya. Aku fokus menjalani hidup dan pekerjaanku. Setelah sahabatku menikah, aku yang bertanggung jawab penuh atas hotel. Sebagai seorang wanita yang jauh dari suami, tentu saja aku mengalami banyak godaan. Apalagi aku bekerja di hotel. Meskipun aku jarang bertemu dengan orang-orang karena aku mengangkat Gerald menjadi asistenku untuk urusan rapat dan bertemu dengan klien di luar hotel. Tetapi aku sering bertemu tamu hotel yang tertari kepadaku saat makan bersama Papa dan Saoirse di restoran. Waktu berjalan begitu cepat karena kesibukanku di hotel. Ditambah lagi putri kami yang sangat aktif menyita waktu luangku yang sepenuhnya aku curahkan untuknya. Hanya pada saat aku tidur seorang diri di kamar, aku merasakan kesepian yang tidak bisa ditutupi denga
~Damian~ Aku tidak pernah menyangka bahwa aku bisa jatuh cinta semakin dalam kepada istriku. Aku pikir rasa cintaku kepadanya sangat dalam dan tidak akan bisa lebih dalam lagi. Tetapi aku merasakan sendiri pada hari ini bahwa hal itu bisa terjadi. Dia duduk di sana, di kursi saksi dengan wajah yang berani, mata menatap tajam ke seluruh penjuru, saat menjawab satu per satu pertanyaan yang diajukan oleh jaksa penuntut, kuasa hukum yang membela kami para pelaku, bahkan hakim. Meskipun sesekali dia bersuara berat mengulang kembali kejadian menyakitkan itu, dia tidak gugup apalagi bicara dengan gagap. Mendengar semua kalimat itu, aku teringat pada peristiwa pada hari reuni tersebut. Malam di mana untuk pertama kalinya, aku tahu siapa dia yang sebenarnya. Sikap teman-temanku masih sama, merasa layak untuk menudingkan jari mereka menyalahkan dia. Hari ini aku tidak melihat tatapan arogan itu. Foto-foto bukti kekerasan yang kami lakukan sudah cukup untuk memb
Aku menatap putriku yang tertidur pulas setelah aku membacakan sebuah cerita untuknya. Dia anak yang baik, tidak pernah sekalipun aku mendengar dia mengeluh. Kami baru saja beberapa minggu bersama, bagaimana aku tega merebut kebahagiaan ini darinya? Dia telah kehilangan kasih sayang orang tuanya sejak dia lahir ke dunia. Setelah dia begitu bahagia bisa tinggal bersama kami, aku tidak sanggup memisahkan dia dari ayahnya sendiri. Aku tidak mau putriku menderita seperti aku. Papa dan Damian tidak bisa melakukan ini kepadaku, kepada putriku. Apa yang kami miliki sekarang telah kami perjuangkan dengan mahal. Aku menikah dengan laki-laki satu margaku dan menentang adat, kami menanggalkan nama keluarga kami, dan kami tinggal jauh dari komunitas yang menjadi identitas kami sejak lahir. Setelah melalui semua tantangan, aku tidak mau berpisah dari suamiku. Namun apa yang kami jalani saat ini juga tidak sehat. Dia tidak jauh dariku, dia ada di sini di dekatku. Tetapi ka
Kami baru menikah selama satu minggu, membicarakan banyak hal mengenai masa depan keluarga kecil kami, mendiskusikan yang terbaik untuk putri kami, dan dia meminta aku untuk melakukan hal yang akan merenggut dia dariku? Apa yang sedang dia pikirkan? “Apa kamu sadar dengan apa yang baru saja kamu katakan?” tanyaku yang menatapnya dengan saksama. Inikah hal yang beberapa hari ini meresahkannya? “Iya. Aku juga sudah membicarakan ini dengan psikolog. Dia mendukung keputusanku, tetapi keputusan terakhir tetap ada di tanganmu. Kamulah yang menentukan segalanya.” Dia menatapku penuh harap. Aku menarik kedua tanganku dari genggamannya. “Aku tidak mau melakukan itu. Aku tidak akan menuntut suamiku sendiri. Apalagi kasus ini sudah sangat lama dan kamu sudah mendapatkan balasannya. Kamu tidak punya hutang apa pun lagi padaku,” kataku menolak. “Itu bukan hukuman, Brie. Aku tidak bisa selamanya lari dari jerat hukum. Hal ini yang menghalangi aku untuk bahagia. Kam
Aku tidak membiarkan kekurangannya itu merusak suasana bulan madu kami. Ada banyak hal yang bisa kami lakukan bersama yang membuat pengalaman bercinta tetap menyenangkan. Beberapa kali dia berhasil membuatku mencapai puncak kenikmatan, dan wajahnya sangat bahagia. Bukan ini yang aku pikirkan sebagai solusi, tetapi dia tidak kelihatan keberatan hanya aku yang bisa menikmati setiap kali kami bercinta. Melihat wajah bahagianya, maka aku tidak mau membuatnya merasa sedih dengan merasa bersalah. “Aku mencintaimu, Ian. Apa adanya,” ucapku saat sekali lagi dia membuatku bahagia. “Aku tahu. Dan aku mencintaimu, istriku.” Dia mengecup keningku, lalu memeluk tubuhku saat kami berbaring bersama. Sesaat setelahnya, kami tertidur pulas. Bosan hanya berdua saja di dalam kamar dan melihat pemandangan itu-itu saja, maka pada Minggu malam itu, kami memutuskan untuk makan malam di restoran. Keluarga kami sedang makan juga, jadi kami segera bergabung bersama mereka.