~Damian~
Meskipun tidak ada banyak hal yang bisa aku lakukan di tempat ini, aku menggunakan fasilitas yang ada dengan baik. Aku membaca hampir semua buku yang ada di perpustakaan, berolahraga setiap pagi dan sore bersama teman-teman, menjauhi masalah, dan berkenalan dengan orang-orang baru. Sebagian besar dari mereka adalah orang baik yang terpaksa berbuat jahat karena keadaan.
Aku menyukai diriku yang baru. Aku mengetahui lebih banyak hal baru, bukan hanya yang telah aku pelajari selama ini di dunia jurnalistik. Ilmu yang aku dapat tidak hanya dari membaca, tetapi juga dari bicara dengan orang-orang yang ada di penjara.
Keluarga dan sahabatku tidak pernah datang berkunjung atas permintaanku. Walaupun ini adalah keinginanku sendiri, aku tidak mau mereka melihat aku dalam keadaan paling terpuruk. Aku lebih memilih menahan rasa rindu yang berat kepada istriku daripada melihatnya berduka setiap kali melihat aku berada di tempat yang tidak bisa dijangkaunya.
Terima kasih banyak untuk para pembaca yang sudah setia mengikuti cerita Brianna dan Damian. ♡ Cerita mereka berakhir sampai di sini. Semoga teman-teman terhibur. Bila ada kritik dan saran, jangan segan untuk disampaikan lewat kolom komentar. Jika ada pesan untukku selaku penulis, jangan segan juga, ya. ♡ Sampai ketemu pada ceritaku yang lain dan selamat berakhir pekan. Salam sayang, (。・ω・。)ノ♡ Meina H.
~Nia~ “Apa kau pikir ada orang yang mau menikah dengan perempuan macam kau ini?!” ucap Namboru* yang memaksaku untuk duduk. “Masih syukur ada orang kaya yang mau kawinkan anaknya sama kau. Ngga usah sombong dengan mukamu itu. Ngga ada gunanya cantik kalau ngga laku.” “Laki-laki itu sakit, Bou* bilang, aku seharusnya bersyukur?” Aku mendengus tidak percaya. “Aku tidak meminta untuk dinikahkan. Aku sudah bekerja dan hidup mandiri, aku bisa cari suamiku sendiri. Mengapa aku malah dipaksa untuk menikah begini?” “Heh, aku sudah membesarkan kau, berterima kasih sedikit. Apa kau pikir biaya hidup dan kuliahmu itu ngga mahal?” Dia menekan kedua bahuku saat aku berusaha untuk berdiri. Dia menatapku dengan garang dari cermin yang ada di hadapan kami. “Kalau kau macam-macam dan pernikahan ini batal, aku patahkan kedua kaki kau itu!” Tidak ada satu sen pun yang dia berikan untukku sejak dia mengambil aku secara paksa dari rumah Ompung** untuk tinggal bersamanya dan keluarganya di rumah ini. Sa
Tiba di Bandara Soekarno-Hatta, aku bergegas menuju tempat pengambilan bagasi. Penerbanganku berikutnya akan segera menutup waktu untuk check-in. Setelah mendapatkan koper, aku segera menuju konter dan baru bisa bernapas lega begitu menerima boarding pass. Aku membenci maskapai penerbangan ini karena selalu tepat waktu. Penerbanganku sebelumnya terlambat akibat cuaca buruk. Untung saja aku masih sempat mengejar pada detik-detik terakhir. Perjuangan selanjutnya adalah menuju ruang tunggu. Bandara ini sangat luas, jadi untuk sampai ke pesawat saja harus melewati begitu banyak gerbang pemeriksaan. “Maaf, Pak,” kataku saat seseorang mengambil wadah berisi barang pribadiku. Dia sedang sibuk bicara melalui ponselnya sehingga tidak melihat apa yang dipegangnya. “Oh. Maafkan saya.” Dia melepaskan wadah tersebut, lalu mencari miliknya. Aku menyandangkan tasku kembali, kemudian memegang ponsel, paspor, dan boarding pass, siap untuk me
“Aah, ternyata ada udang di balik batu.” Aku tersenyum mengerti. “Bagaimana dengan aku traktir makan sebanyak yang kamu mau di restoran yang tidak akan membuat kantongku jebol?” “Boleh. Aku suka makan.” Dia tersenyum bahagia. “Kamu menginap di hotel mana?” “Tidak. Jadwalku penuh dan aku hanya bisa menawarkan makan malam bersama setibanya kita di Bangkok.” Aku berharap dia akan menjawab tidak. “Baiklah,” katanya setuju. Ini terlalu mudah. Aku berharap setidaknya dia akan sedikit jual mahal. Ternyata aku masih punya pesona yang tidak bisa ditolak. Pramugari meminta perhatian kami untuk memperagakan regulasi penyelamatan diri bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dalam penerbangan. Aku memastikan bahwa ponselku sudah dinonaktifkan, lalu memasukkannya ke tas sandangku. Saat pesawat akan lepas landas, tiba-tiba saja Damian memegang tanganku. Aku menoleh ke arahnya dan melihat dia sedang memejamkan matanya dengan rapat. Tangannya yang lain meme
“Mudah saja. Kejadian pada usia sepuluh tahun itu tidak memakan korban jiwa. Pasti ada kejadian selanjutnya yang membuat kamu ketakutan setiap kali menumpang di pesawat,” kataku santai. Dia menatapku dengan kagum. Aku tertawa kecil melihatnya. “Ada sebuah kecelakaan pesawat tidak lama kemudian yang memakan banyak korban jiwa. Aku tahu bahwa aku beruntung. Tetapi membayangkan bahwa pesawat berikutnya yang aku naiki bisa saja mengalami kecelakaan yang sama membuatku sangat ketakutan. Keberuntungan tidak akan selalu ada di sisi kita,” jawabnya pelan. Aku mengangguk mengerti. “Lalu mengapa kamu terbang sendirian jika kamu setakut itu?” tanyaku bingung. “Teman perjalananku tiba-tiba membatalkan liburannya.” Dia memasang wajah cemberut. Aku mengulum senyumku. “Seorang Damian Yunadi yang mampu membuat pramugari tertarik kepadanya ternyata tidak bisa membuat teman perjalanannya rela meninggalkan segalanya demi berlibur bersamanya. Wah, ini hal yang sangat men
Damian tertawa kecil. “Apa kamu ingat apa yang kita ucapkan tadi saat meminta mereka untuk tidak meninggalkan kita?” tanyanya. Aku berpikir sejenak. Apa yang kami ucapkan tadi? “Kita berteriak, ‘tunggu, Pak, tunggu.’” Dia kembali tertawa. “Kita sedang berada di Bangkok, Nia. Bukan Jakarta.” Kini aku mengerti. Aku pun ikut tertawa bersamanya. Udara sejuk sungai menyegarkan tubuhku yang sempat berkeringat karena lari tadi. Tetapi aku tidak menolak saat Damian mengajakku untuk duduk. Orang-orang sudah tidak melihat ke arah kami lagi. Mereka juga sudah asyik menikmati perjalanan sambil mengobrol dengan orang di samping mereka. Kami menikmati pemandangan di sekitar kami. Ada beberapa candi yang kami lewati, hotel, juga mal. Kapal sesekali berhenti pada setiap dermaga yang tersedia untuk menjemput atau menurunkan penumpang. Seorang pemandu wisata menyebutkan nama-nama tempat yang kami lewati serta sejarah yang menarik mengenai beberapa bangunan tersebut. Tiba di de
~Damian~ “Maaf, Pak.” Aku menoleh mendengar suara merdu itu. Seorang wanita muda yang sangat cantik bicara dengan seorang pria yang memegang sebuah wadah. Wanita itu mengenakan baju berwarna hitam juga sepatu berhak tinggi bertali dengan warna yang sama. Dia akan menaiki pesawat dengan sepatu itu? Aku benar-benar tidak bisa memahami perempuan. Dua orang gadis melewatiku sambil tertawa cekikikan. Aku tersenyum kepada mereka, keduanya tertawa histeris. Mereka berjalan di depanku sambil berbisik dan sesekali menoleh ke arahku. Bukan hal yang baru lagi bagiku. Sebagai pembawa acara berita di televisi, wajahku sudah tidak asing lagi. Setiap pagi dan malam, aku membawakan berita utama pada saluran televisi tempatku bekerja. Aku berjalan menuju bagian imigrasi, mengisi formulir terlebih dahulu bersama penumpang lainnya. Wanita tadi bicara dengan salah satu pegawai di konter, lalu dengan wajah cemberut mendatangi meja di mana aku berada. Aku memberikan satu formulir
~Nia~ Aneh. Mengapa jantungku seolah-olah setuju dengan berdebar lebih kencang mendengar kalimat itu? Aku hanya menggodanya dengan mengajaknya bercanda. Aku tidak menganggap bahwa ucapannya itu tulus, ‘kan? Pria ini seorang pemain perempuan. Dia tidak mungkin serius. Bila aku tidak percaya kepadanya, lalu mengapa jantungku untuk pertama kalinya berdebar secepat ini? Aku tertawa kecil untuk menutupi apa yang aku rasakan. “Mengapa kamu malah tertawa?” tanyanya tersinggung. Kedua alisnya membentuk kerutan di puncak hidungnya yang mancung. “Sudah cukup, Damian. Kamu jangan bercanda terus.” Aku segera mengalihkan pembicaraan. “Ayo, kita segera menuju dermaga supaya bisa makan siang. Aku juga sudah lapar.” Dia mendesah napas pelan. Aku bersyukur dia menuruti permintaanku. Aku harus berhati-hati terhadap pria ini. Dia mudah saja mendapatkan perhatian dari para wanita yang terpikat pesonanya. Bisa jadi dia hanya merasa tertantang untuk menaklukkan aku karena
“Ada apa, Nia? Kamu kehilangan sesuatu?” tanya Damian yang melihat aku dengan bingung. Aku mengangkat kepalaku dan menatapku. “A-aku tidak bisa menemukan dompetku.” Aku mulai panik. “Sepertinya ada yang mengambilnya tanpa sepengetahuanku.” “Kamu yakin dompetmu tidak ada di dalam tasmu?” tanyanya lagi. “Coba periksa baik-baik.” Aku menuruti ucapannya dengan memeriksa lebih teliti. Dompetku tidak ada. “Bagaimana ini? Ada kartu identitasku di dalamnya. Aku punya paspor dan tidak akan membutuhkan kartu identitas itu sekarang. Tetapi kamu tahu sendiri betapa susah membuat kartu baru. Lalu kartu debit dan kreditku juga ada di dompet itu. Aku tidak akan punya uang pegangan sama sekali untuk keadaan darurat.” Aku berbicara sendiri begitu rasa panik menguasaiku. “Kamu tenang dahulu. Kita akan menemukan dompetmu itu.” Dia melihat ke arah dari mana kami tadi datang. “Kita coba periksa pelan-pelan. Kamu yang membayar crêpestadi, j