Aku merasakan Damian mencium pundakku, lalu dia naik mencium leherku, pipiku, hingga akhirnya bibir kami bertemu. Aku tersenyum saat dia meletakkan salah satu tangan di belakang kepalaku, karena aku tahu dia tidak hanya sekadar memberi ciuman biasa.
Aku membuka diri untuknya, membiarkan dia mengenali aku lebih dalam. Tetapi tidak terlalu dalam agar dia tidak mengetahui semua rahasia yang belum saatnya dia ketahui. Tangannya masuk ke sela-sela kemejaku sehingga telapak tangannya bertemu dengan kulit punggungku.
Hangat. Hanya itu yang aku rasakan. Tidak ada rasa jijik, tidak nyaman, atau ingin menjauhkan diri darinya. Ini benar-benar aneh. Aku merasakan itu saat dekat dengan keenam temannya sehingga misiku nyaris tidak bisa aku selesaikan.
Namun bersama Damian, aku bukan hanya nyaman berada di dekatnya, aku juga tidak menolak setiap sentuhannya. Sebaliknya, aku menginginkan hal yang sama. Aku ingin memeluknya, terus berada di dekatnya, membalas ciumannya yang p
~Damian~ Aku hampir saja ketahuan. Aku berhasil menahan diri untuk tidak meringis kesakitan saat memeluk tubuhnya tadi. Untungnya, dia tidak meletakkan tangannya di leherku, tetapi melingkari badanku. Jadi, dia tidak menyentuh memar biru yang ada di lengan atas dan tanganku akibat pukulan Bapak. Namun saat dia memukul lenganku tepat di mana memar itu berada, lalu dia meremasnya karena berpikir bahwa aku berpura-pura, aku tidak bisa menahan rasa sakit itu. Aku tidak mau dia sampai mengetahui ini. Dia akan khawatir dengan keadaanku jika dia tahu aku dipukul ayahku sendiri. Ini adalah peristiwa kedua di mana aku dipukul habis-habisan oleh Bapak. Kejadian pertama saat aku masih muda sekali, masih bodoh dan tidak bisa menjaga diri. Aku pikir aku berteman dengan orang yang benar, ternyata aku salah pergaulan. Teman-temanku sendiri yang justru melemparku jauh ke dalam jurang gelap tanpa dasar. Bapak yang naik pitam memukul aku sampai babak belur. Mama dan ke
~Nia~ “Beberapa pembeli unit apartemen ingin mengembalikan apa yang sudah mereka beli. Sampai ada pemberitahuan selanjutnya, kalian tidak diizinkan untuk memberi respons kepada mereka yang ingin mengembalikan unit melalui kalian,” kata Sharon mengejutkan kami semua. Pembeli ingin mengembalikan unit apartemen yang sudah menjadi milik mereka? Apa mereka tidak salah? Semua syarat dan ketentuan ada pada surat serah terima unit, dan tidak ada alasan bagi mereka untuk mengembalikan bila tidak ada masalah dengan unit tersebut. Apa ini karena isu yang sedang beredar? Baru beberapa hari memiliki apartemen baru, mereka ingin mengembalikannya? Ini sangat aneh. Hubungan antara isu hubungan Damian dan aku dengan unit yang mereka beli sama sekali tidak ada. “Mereka pasti merasa dirugikan karena yang mempromosikan unit itu menjalin hubungan terlarang,” kata Bintang tanpa ditanya. “Ini peringatan terakhir untukmu, Bintang, dan aku tidak mau mendengar ocehanmu
Bintang adalah keponakan direktur utama? Itu artinya dia adalah sepupu Ishana. Pantas saja dia meminta aku untuk bersikap baik dengan rekan kerjaku. Ternyata dia tahu bahwa aku ditempatkan pada tim yang sama dengan sepupunya. Lalu apa itu artinya Bintang tahu bahwa aku dan Ishana bersahabat baik? Mungkin tidak. Karena kalau dia tahu, dia tidak akan melakukan ini kepadaku. Dia justru akan melindungi aku dari Dilan yang punya rencana jahat terhadapku sejak aku bergabung di tim ini. “Ada apa, sayang? Dari tadi kamu diam saja dan tidak mendengarkan aku.” Aku merasakan sentuhan pada tanganku, menarik aku kembali ke dunia nyata. Aku menoleh ke sisi kananku dan melihat Damian sedang mengendarai mobilnya. “Ng, tidak apa-apa. Hanya memikirkan kejadian di kantor,” jawabku dengan jujur. Dia menjemput aku dari tempat kerja seperti biasanya. Untuk menghindari wartawan, aku langsung menemuinya di mobil dari pintu samping gedung. “Ada masalah lagi?” tanya Damian kha
~Damian~ Dadaku meluap bahagia ketika Nia menjawab iya untuk menemani aku menghadiri acara reuni tersebut. Membujuknya sangatlah mudah. Aku cukup menciumnya saja sampai dia tidak bisa berpikir dengan jernih dan menuruti apa pun yang aku minta. Aku semakin bangga melihat penampilannya pada saat kami akan berangkat ke gereja. Dia memasak lagi untuk kami di apartemenku. Masakannya enak, jadi aku tidak perlu khawatir mengenai makanan setelah kami menikah nanti. Dia akan selalu menyajikan makanan sehat untuk kami, dan jika Tuhan berkehendak, anak-anak kami. Entah mengapa bayangan mengenai pernikahan dan semua problemanya tidak menakutkan bagiku bila Nia yang menjadi istriku. Sebelumnya, hal ini adalah momok yang mengerikan bagiku karena sebagian besar temanku di tempat kerja tidak bahagia dengan pernikahan mereka. Nia terlihat gugup saat kami tiba di hotel di mana reuni kampusku diadakan. Dia memijat-mijat kedua tangannya yang ada di pangkuannya. Aku menye
~Sepuluh tahun yang lalu~ “Brie!!” Aku menoleh mendengar namaku dipanggil. Chyntia dan Arini sedang berlari ke arahku dengan senyum bahagia menghiasi wajah mereka. “Mengapa kalian tidak pakai pengeras suara saja sekalian biar semua mahasiswa melihat ke arah kita?” ucapku geram menyadari orang-orang melihat ke arah kami dengan kening berkerut. Kedua teman baruku itu malah tertawa. “Kami punya kabar gembira!” pekik Chyntia senang. Dia melompat sambil menepuk tangannya. “Dimas mengundang kita ke pesta ulang tahunnya di rumahnya!” Chyntia menyukai pemuda itu sejak pertama kali kami mengikuti ospek. Aku tidak tahu apa yang membuat dia jatuh cinta kepadanya secepat itu. Iya, dia ganteng, tetapi tidak semenarik itu hingga akan membuat banyak gadis jatuh cinta. Reza dan Thomas adalah mahasiswa di kelas kami yang cukup menarik perhatian para gadis di kampus. “Kamu mau ikut dengan kami ke sana?” tanya Arini. Aku menatapnya tidak percaya. “Sekara
Seluruh tubuhku sakit. Mereka menghancurkan aku sekuat yang mereka bisa. Aku berusaha keras agar jiwaku tidak ikut remuk. Karena tanpa itu, aku tidak akan bisa keluar dari tempat terkutuk ini dan melaporkan perbuatan mereka yang lebih rendah dari binatang. Tujuh orang pemuda secara bergilir menggauli tubuhku. Teman satu kuliahku sendiri menggagahi aku tanpa izinku. Pada malam pertama, aku dalam pengaruh obat sehingga aku tidak sepenuhnya sadar apa yang telah mereka lakukan. Pada hari kedua, aku terbangun dengan teriakan kencang karena rasa sakit yang hebat di bagian paling pribadi tubuhku. Chyntia segera membekap mulutku, sedangkan Arini menggunakan sesuatu yang basah pada bagian tubuhku itu. Tidak pernah ada seorang pun yang menyentuh aku pada bagian itu dan mereka berani menyentuh di saat aku tidak sadar membuat aku memberontak sekuat tenaga. Dimas dan Reza datang ke kamar tanpa tahu malu. Aku dalam keadaan tanpa pakaian dan mereka masuk begitu saja. Karena
~Masa Sekarang~ Aku tersenyum kepada Damian yang wajahnya memucat seperti melihat hantu. Bisa jadi itulah aku baginya saat ini. Masa lalu yang bahkan tidak berani dia bicarakan pada Nia, wanita yang katanya ingin dia nikahi. Wanita mana yang mau menikah dengan pria yang pernah memerkosa wanita lain? “Ada apa kalian memanggil Ian ke sini? Hanya untuk memberitahu dia mengenai aku atau kalian ingin mengulang masa lalu?” tanyaku dengan senyuman termanisku. “Kamu sebaiknya tidak mengonfrontasi kami, Brie. Kamu sendirian sedangkan kami ada tiga belas orang. Kamu jelas kalah jumlah,” kata Dimas memberi peringatan. “Oh, ya? Apa perlu teorimu itu kita uji?” tanyaku sambil berjalan mendekati mereka. Dimas menoleh ke arah Reza, lalu mengangguk. Pria itu menutup pintu di belakangku. Aku tersenyum. “Apa kalian akan maju sekaligus atau bergiliran? Pasti tubuh kalian melonjak bahagia membayangkan bisa menyentuh aku lagi, ‘kan?” “Perempuan tidak tahu diri!” t
“Tu-tunggu sebentar,” ucap istri Dimas pelan. Dia melihat ke arahku dengan mata tidak fokus, lalu melihat ke sekitarnya. “Oh, Tuhan. I-ini sangat menjijikkan. Kalian, kalian bertujuh memerkosa dia secara bergiliran? Atau ada yang hanya memegang dia tetapi tidak menyetubuhinya sama sekali?” Ruangan itu berubah hening hingga bunyi kami menarik dan mengeluarkan napas bisa terdengar. Istri Reza yang pertama kali kehilangan kendali. Dia segera menjauh dari suaminya. Lalu berikutnya istri Thomas yang segera berdiri dan menjaga jarak dari suaminya. “Pa, tolong jawab aku. Sayang, katakan padaku bahwa kamu tidak melakukan itu. Kamu tidak menggilir dia dengan teman-temanmu ini, ‘kan?” tanya istri Dimas panik. “Mengapa kamu hanya diam saja? Jawab aku!” Para wanita yang lain mulai menanyakan hal yang sama kepada suami mereka. Beberapa bahkan berteriak semakin histeris mulai mengerti mengapa aku melakukan ini semua kepada mereka. Tetapi suami mereka hanya diam seribu baha