"Dyan mau kemana pagi begini,"tanya Harsa yang tengah membaca koran di ruang tamu. Wah enak sekali dosen senior bersantai sembari menikmati kopi. Sedangkan aku seperti tertimpa tangga saja karena kesiangan. "Mau ke kampus Pak. Dyan pamit ya. Udah telat.
Assalamu'alaikum,"ucapku buru-buru berlari keluar.
"Ini gara-gara tentara sok puitis makanya telat 5 menit dari jam biasanya aku berangkat kan,"ucapku bergegas mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata membelah kota Samarinda dengan perasaan panik.
Baru aja sampai di depan gedung jurusan, langsung ku ambil tas berjalan seolah normal memasuki lab yang sudah ramai. Iyalah biasanya aku datang itu sepi sekali karena masih pagi buta. Ini termasuk terlambat bagi ku dan aku ngga suka itu.
"Bu Dyan," aku menoleh melihat Keyla yang memanggil ku dari belakang. "Iya kenapa Bu,"tanya ku. "Hmm pantas agak siangan, ini kah penyebab nya. Oiya sama tentara ya Bu,"ucap Keyla menyentuh cincin di tangan kiri ku.
"Wihh mana nih yang sudah tunangan,"ucap Augitra heboh. "Pelan aja Bu malu sama mahasiswa,"ucapku beranjak. "Mahasiswa kabar baik buat kalian. Bu Dyandra akhirnya acc lamaran yang datang,"ucap Angela membuat ku makin ingin tenggelam saja di palung Mariana.
"Siapa Bu calonnya,"tanya mahasiswa yang sedang ada urusan di ruang dosen. "Awas kalian macam-macam ya mahasiswa. Nanti di tembak kalian sama bapak tentara,"ucap Rafka ikut bergabung dengan keriuhan pagi ini.
Bosan mendengar riuh, ku langkahkan kaki seperti biasa dengan jas lab tersemat rapi di tubuh kecil ku. Apalagi kalo ngga periksa kotak lab dan perlengkapan lain sebelum masuk lab proses. Siapa juga sih yang mau nikah sama tentara aneh itu.
Ralat aku memang ngga mau nikah dengan sama siapapun. Parahnya ngebet sekali menyisakan masa lajang ku selama sebulan. Mirisnya harus ikut pindah ke Malang. Mau ngga mau juga harus pindah juga dari Politeknik Negeri Samarinda ke Politeknik Negeri Malang.
Sudah cukup nanti lagi aja, aku ngga mau membuang waktu selama di Politeknik yang sudah membesarkan nama ku ini. "Dek mana kalkulator nya,"ucapku menatap nya dingin. "Siap Bu,"ucapnya mengeluarkan kalkulator dari dalam tas nya.
"Lain kali masukkan dalam kotak lab Ashira,"ucapku sambil melirik name tag nya. "Baik Bu,"ucapnya sumringah. Kesambet apa dia jadi seneng sekali gitu. Mengabaikannya dan melanjutkan ke mahasiswa lain yang sudah berbaris rapi.
---
"Dek bukan gini caranya pakai bulp,"ucapku mengajarkan cara memakai bulp dengan benar. "Nih di kempes kan dulu terus tekan yang ini buat sedot. Ini buat keluar sama pastikan lurus antara mata dengan garis pipet,"ucapku tenang sembari menyerahkan pipet ukur.
Mahasiswa kayaknya ngga ada habisnya buat ulah. Ada aja yang dibuatnya dengan berbagai cara aneh mereka yang jelas ngga sesuai dengan aturan.
"Permisi Bu mau tanya,"ucap gadis yang girang ketika ku tegur tadi pagi. "Iya silahkan,"ucapku. "Tadi kan di atas perlu aquadest dimana ya Bu ambil nya,"ucap Ashira membuat ku tercengang. "SEMESTER 5 NGGAK TAU AMBIL AQUADEST DIMANA!!?? SELAMA INI YANG PRAKTIKUM SIAPA DEK,"ucapku mengambil nafas panjang.
"Pindahan dari mana? Sudah dapat pengenalan lab,"tanyaku mengatur emosi. "Siap belum Bu saya pindahan dari Politeknik Negeri Malang, "ucap Ashira membuat ku memijat kening ku. "Ikut saya,"ucapku memutar arah ke ruangan ketua jurusan, Rafka Almaden Inggrid.
"Permisi Pak,"ucapku masuk ke dalam ruangan nya bersama Ashira. "Iya ada apa Bu Dyan ehh sama calon adik ipar,"ucap Rafka membuat ku agak tercengang. "Adik ipar?,"tanyaku bingung sembari menatap Ashira. "Bu Dyan memang ngga tau. Dhita mahasiswi pertukaran pelajar?,"tanya Rafka.
"Saya kurang informasi terkait Pak. Mohon maaf atas keteledoran saya Pak,"ucapku jujur. "Tidak papa. Mungkin ada beberapa hal yang mengganggu. Bu Dyan padat jadwal hari ini,"tanya Rafka. Jangan bilang aku lagi yang disuruh kasih pengarahan lab.
"Free Pak,"ucapku langsung mendapatkan jempol dari Rafka. "Nah Bu Dyan yang beri pengarahan biar makin akrab sama adik ipar,"ucap Rafka lagi-lagi membuat ku kayak kena badai Katrina. Ngga bisa nolak juga, ya udahlah orang tinggal kasih pengarahan...
---
"Ini lab dasar. Di sini tempat ambil aquadest nya ya. Bawa botolnya baru isi di sini,"ucapku menunjukkan tangki aquadest.
"Anj***,"
"SIAPA YANG NGGA PUNYA ETIKA DI DALAM LAB ANGKAT TANGAN!!???,"ucapku emosi begitu mendengar sumpah serapah tak pantas keluar dari bibir mahasiswa. Bukannya menjawab malah saling tatap satu sama lain.
"SAYA TIDAK BUTUH TATAPAN!!?? SAYA BUTUH JAWABAN,"ucapku tak lagi di hiraukan.
"Saya Bu,"ucap mahasiswa dengan masker karbon. "NGGAK TAU ETIKA DEK!!??,"tanya ku menaikkan sebelah alis. "Saya tau dan saya paham tapi tadi hanya mengucapkan nama hewan. Apa itu salah?,"ucap nya sangat pelan.
"Siapa nama mu?,"tanya ku melihat name tag yang kosong hanya ada nama jurusan saja. "Masa ibu nggak kenal? Saya Bu,"ucap nya membuat ku makin sebal. "MAHASISWA YANG LAIN SILAHKAN DI LANJUTKAN. Dek Ashira silahkan kembali. Nanti saya lanjutkan lagi. Kamu ikut ,"ucap ku dengan nada judes di akhir kata.
Sekarang gimana sih mahasiswa ini? Etika aja perlu ditindaklanjuti lagi kayak gini. Melalui ruang antar ruang hingga sampai di salah satu ruang kelas. "Apa maksud mu ngomong kasar di lab?,"tanya ku tanpa tedeng aling-aling.
"Hanya menyebut nama hewan Bu. Nggak salah kan. Oiya Bu di kelas sepi kayak enak ya kalo buat skandal,"ucap nya membuat mata ku menatap nyalang ke arahnya. Tak bisa lagi menangani dan justru aku yang merasa di lecehkan.
Tanpa peduli kalimat ngga ada akhlaq, aku masih tercengang mendengar kalimat mahasiswa yang secara blak-blakan menghina dosen nya sendiri. Masih menjaga kode etik dengan tidak memukul atau menampar nya.
"Punya ibu atau saudara perempuan,"tanya ku menahan amarah. "Punya dong Bu,"ucapnya santai. "Mau adek atau ibunya di lecehkan orang nggak tau aturan seperti kamu?,"tanyaku dengan tatapan sinis. "Tapi apa salahnya kalo saya buat skandal dengan ibu,"ucapnya makin memancing amarah.
"KAMU NGGAK SADAR SEBAGAI MAHASISWA. SAYA DOSEN MU, PEMBIMBING MU DI KAMPUS BUKAN PACAR ATAU WANITA SEWAAN,"ucap ku berteriak kencang. "Justru itu saya mau buat keturunan bersama dosen sendiri biar cerdas anak-anak ku,"ucap nya membuat tangan ku terangkat ke udara.
"Makanya terima dulu lamaran ku,"ucap nya membuka masker karbon sontak membuat ku tercengang.
"Ck gila,"ucapku berlalu keluar dari ruangan. Sia-sia aku emosi kayak orang gila ternyata ulah manusia sengklek satu itu. "Bu Dyan saya mau Konsul,"ucapnya tak ku pedulikan dan tetap jalan ke ruang dosen. "Bu Dyan cantik banget hari ini,"ucapnya buaya.
Bukan wajah baper tentunya. Gila aja sampai sebucin itu untuk seorang Dyandra ngga mungkin percaya dengan bibir buaya yang seliweran. Begitu sampai di ruangan ada beberapa mahasiswa yang sudah menunggu ku untuk acc laporan. "Loh Bu Dyan ngga jadi keluar sama Pak tentara,"tanya Angela.
"Saya? Nggak Bu. Mungkin salah info,"ucapku tak mau berkelit. "Bu untuk perhitungan nya yang benar seperti apa?,"tanya mahasiswa yang sedang konsul laporan. "Ini sudah benar tapi coba lain kali yang rapi ya dek tulisannya. Masa mau buat laporan tulisan naik turun bukit. Ada lagi,"ucapku mengoreksi. "Tidak ada Bu. Terimakasih Bu,"ucap mereka berlalu.
"Permisi Bu. Ada Bu Dyandra Androdiaz Zhafira Rajasa,"ucap suara bariton tegas namun sarat akan norma kesopanan.
Bukannya berminat, aku malah muak denger suaranya. "Loh bapak tentara kok pakai jas lab,"tanya Angela. "Saya tadi habis dari lab. Niatnya mau jemput malah kena semprot,"ucap Chandra seolah menjadi korban. "Duh Bu Dyandra memang tegas Pak,"ucap Keyla.
"Masuk lah Pak. Jangan di pintu gitu kayak mahasiswa beneran,"ucap Augitra. "Memang boleh jadi mahasiswa beneran Bu. Boleh dong jadi mahasiswanya Bu Dyan,"ucap Chandra membuat seisi ruangan riuh. "Bu Dyan ini diam-diam dapat yang ganteng gini. Oiya pak katanya mau keluar, ada urusan sama Bu Dyan,"ucap Angela.
"Hah saya Bu,"tanyaku menunjuk diri sendiri. "Iya Bu. Silahkan menikmati suasana bertemu dengan kekasih,"ucap Augitra dengan kedipan mata yang menyebalkan. Dasar licik. Mau nggak mau harus pergi kan kalo begini, ngga pakai penolakan.
---
"Mau kemana? Kalo nggak penting mending ngga usah,"ucapku membenarkan posisi jam tangan. "Wow sejak kapan manusia pecicilan kayak kamu jadi tegas begini Yan,"tanya Chandra. "Mau kemana? Jangan menambah pertanyaan tanpa jawaban,"ucapku dingin menatap kaca jendela mobil.
"Kakak,"
"Hah kakak?,"ucapku terkejut mendapati Ashira ikut masuk ke dalam mobil. "Iya. Bu Dyan lupa? Saya Dhita yang suka ngobrol dengan kakak tiap kali ada kerkel di rumah,"ucap Ashira. "Ouh beda aja. Dulu kamu masih terlalu kecil dan sekarang sudah besar,"ucapku berpikir.
"Ehehe iya kak. Sebenarnya aku ngga sengaja daftar pertukaran pelajar. Asli seneng banget kayak mimpi. Sumpah. Waktu Bunda bilang calon istri kak Chandra itu kakak,"ucap Dhita membuatku turun dan berpindah ke belakang.
"Kamu seneng, aku yang nggak,"ucapku dalam hati. "Bu Dyan. Kayak aneh ngga sih Kak. Masa iya aku panggil kakak ipar ku Bu Dyan,"ucap Ashira. "Nggak lah Dhit. Panggil Kak aja,"ucapku bersandar. "Yan ngapain kamu duduk di belakang,"tanya Chandra menoleh ke arah ku.
"Beda server ngomong sama kamu,"ucapku dingin. "Ahaha baru kali ini aku liat pesona seorang Chandra Alklartha Maurya di tolak mentah-mentah cewek,"ucap Dhita tergelak. "Bukan di tolak hanya butuh waktu yang tepat,"ucap Chandra menjalankan mobil nya.
"Mau kemana kita Dhit,"tanyaku. "Ehm mau culik kak Dyan,"ucap Dhita. "Serius Dhit,"ucapku. "Iya ini adalah hari kakak bersama adik ipar yang paling comel,"ucap Dhita merangkul ku. "Hmm parfum kak Dyan ngga pernah berubah ya,"ucap Dhita.
"Aku nggak suka perubahan pribadi terkait hal yang berhubungan dengan ku Dhit,"ucapku. "Tapi kakak kok bisa dingin banget kayak tadi,"ucap Dhita. "Itu karena mahasiswa hanya mengerti kedisiplinan dengan dingin. Bayangin gimana tuh kalo misalnya gara-gara ngga tegas malah ada kecelakaan di lab.
Siapa lagi yang bertanggung jawab. Pasti dosen lagi kan,"ucapku menjelaskan. "Uh apapun kakak, aku tetep suka. Kak habis nikah kak Dyan ikut ke Malang kan,"tanya Dhita. "Ya iya Dhit,"ucap Chandra. "Yes. Untung di bawa juga Kak Dyan,"ucap Dhita.
"Kamu beneran kuliah di Polnema Dhit,"tanya ku mengalihkan. "Aku semester akhir kak, jurusan teknik kimia di Polnema,"ucap Dhita. "Beneran? Aku juga mau mutasi kesana Dhit,"ucapku. "Yes. Nanti kita jalan-jalan di Malang Kak. Lupakan saja Kak Chandra baru ku bawa pulang ke rumah Bunda.
Paling Kak Chandra juga sibuk dengan kerjaan nya,"ucap Dhita. "Dhit. Dyan kan istri kakak. Buat apa kamu bawa pulang ke rumah Bunda. Nggak nggak,"ucap Chandra. "Ehh sebelum kakak bilang aku sudah beraksi. Ehh Kak Dyan keren banget tau tadi lewat jembatan Mahakam,"ucap Dhita membuat ku menoleh keluar.
"Aku malah nggak suka Dhit,"ucapku. "Ya kan kakak sering. Kalo aku kan baru kali ini. Kak bukannya dulu suka sekali jembatan ya,"ucap Dhita. "Tapi bosan juga. Orang tiap hari aku lewatin,"ucapku. "Iya juga sih. Ehh apa ini dosen tersayang malah kirim tugas,"ucap Dhita bergegas membuka laptop untuk mengerjakan tugas nya.
Sejenak suasana riuh menjadi benar-benar sepi, hanya terdengar suara lalu lalang dari luar. Sementara Dhita fokus dengan memakai headset, Chandra menyalakan musik dari Spotify.
Disetiap langkahku
Kukan s'lalu memikirkan dirimuMendengar lagu yang terputar membuat ku seolah mengalami transisi ke dimensi lalu. Namun kegelisahan itu hanya sebatas diam tanpa diketahui orang lain. "Masih dengar lagu ini Yan,"tanya Chandra. "Nggak. Cuma membuang waktu dengan denger lagu begituan,"ucapku santai.
Padahal rasanya sudah mau meledak begitu mendengar lagu ini. Ingin rasanya berteriak namun apa daya, aku cuma bisa menahannya saja. Menyembunyikan sisi lemah tanpa berkata-kata. Hanya bisa diam tak peduli.
Kau genggam tanganku
Saat diriku lemah dan terjatuhKau bisikkan kata dan hapus semua sesalku"Diam mu itu sudah terbaca. Taktik menghindari sisi lemah mu,"ucap Chandra. "Tapi Anda salah. Saya memang bukan penikmat kesenduan. Ada mahasiswa yang senantiasa berseliweran jadi untuk apa bersikap sendu,"ucapku dingin.
Suasana kembali hening meninggalkan lagu yang terputar berulang tanpa henti. Namun kerasnya watak membuat ku tak tersentuh sedikit pun. Justru lebih ke muak mendengar lagu yang isinya tentang perasaan. Ck tanpa perasaan pun manusia bisa hidup. Buktinya aku masih berdiri di sini hingga saat ini tanpa mendengar sendu.
Hanya berteman dengan diri sendiri jauh lebih menyenangkan daripada harus berteman dengan sesuatu yang asing seperti hubungan aneh yang tanpa sengaja ku iyakan...
Suasana ramai yang tengah begitu semarak tidak mengindahkan ku dari tatapan tajam pada Daffa. Pria itu hanya menatapku dengan tatapan tenang. Seolah memang dirinya tidak ada sangkut pautnya dengan para taruna itu."Siapa kamu,"Mataku menelisik berusaha mencari kebenaran dari setiap gerak-geriknya. Aku pernah membaca sedikit artikel tentang gerakan seseorang. Lagipula aku memang tidak terbiasa mudah percaya dengan setiap pria sepertinya."Apa Mbak? Saya dosen yang Anda kenal,"ucap Daffa masih membela diri. "Aku mungkin tidak pernah menjalani pendidikan di bawah naungan Swa Bhuwana Paksha. Tapi jangan lupakan satu hal, Pak Daffa. Aku mengenal Chandra dari semenjak SMA sampai lulus pendidikan. Taruna tidak banyak mengenal tentara yang sudah aktif dan dilantik.Bahkan hanya beberapa saja yang dihormati dan kamu? Katakan siapa kamu sebenarnya atau aku cari tau sendiri?"tanyaku menodongkan pulpen membuat dagunya terangkat. Meskipun pahit rasanya kembali menyebut pria brengsek itu. Saat i
Detik jam yang berbunyi begitu lirih di keheningan malam masih saja membuatku terjaga. Di depan ku gadis kecil yang tengah asyik terlelap begitu tenang tak bisa membuatku begitu heboh. Ingatanku masih berkeliaran pada pria itu.Bukan Chandra tentunya tapi Daffa. Mengapa akhir-akhir ini tanpa sengaja malah banyak kalimat seolah begitu sengaja merujuk pada kode yang bisa ku pahami secara jelas maksudnya. Apa dia tidak malu jika mengatakan itu secara serius? Masalahnya aku itu janda dan sudah punya anak dari pria lain. Bagaimana dia bisa berpikir demikian?Seperti beberapa menit lalu saat dirinya mengantar makanan. Aku tidak bermasalah tentang makanannya hanya dengan kedekatan kami terutama masalah ku dan Chandra baru juga usai itu terlalu memancing bahan pembicaraan orang lain. Mungkin dia tidak salah mendekati jika ingin membantu ku mengasuh Alandra. Hanya saja ini Indonesia yang kental dengan budaya dan tata krama."Bu Dya
Tangisan Alandra memecah keheningan malam. Semenjak tadi sore sepertinya dirinya terlalu sensitif. Hanya menangis dan enggan menyusu. "Boleh saya yang gendong Mbak,"tanya Daffa sedari tadi melihat Alandra yang terus menangis di gendongan ku."Eh udah nanti cantiknya hilang loh. Cantiknya Om udah ya,"ucap Daffa mulai kehilangan akal. Namun justru kalimat itu yang seolah magnet membuat Alandra tenang hingga perlahan mereda. "Alandra capek ya?,"tanya Daffa hanya ku gelengkan sejenak.Dia masih lajang tapi ilmu parenting nya sudah mumpuni. "Mbak sudah makan?,"tanya Daffa ku gelengkan pelan. "Alandra dari tadi nangis gimana mau makan?,"tanyaku. "Nah itu. Menyusui harus rajin makan Mbak,"ucap Daffa membuka rantang berisi makanan dari Mayang."Mas sudah makan?,"tanyaku di angguki mantap membuatku kembali melanjutkan makan malam ku. "Mbak saya masih belum bisa memenuhi kualifikasi jadi suaminya kah?,"tanya Daffa mencairkan suasana
Daffa POV"Bercanda mu Mas,"ucap perempuan di depan ku yang kembali tersenyum lebar. Entahlah kejujuran ku mungkin belum tampak nyata di matanya. Mayor Chandra, apapun alasan mu membawa pulang wanita lain. Tetap saja kau lupa ada berlian yang kau sia-sia kan.Melihatnya harus berjuang untuk orang yang paling dia benci sampai bertaruh nyawa itu sudah sangat hebat. Aku yang terlambat menemukannya. Seharusnya aku menemukan saat dirinya masih kabur di Bandara Adisutjipto. Namun sayang sekalipun aku menemukannya yang selalu tertulis dalam benaknya hanya Chandra.Tidurnya tampak begitu tentram sama saat dirinya jatuh koma. Ku naikkan selimut yang membalut tubuhnya, sembari membenarkan letak selang infus sebelum bermasalah. "Aneh kamu Mas. Dia sekarang masih istri orang tapi jauh lebih memilih dia,"ucapan itu membuatku menghentikan kegiatan ku.Ku tatap wanita dengan perut sedikit membuncit yang tengah mena
Danau dengan air jernih begitu memukau mata tampak nyata di depan mata ku. "Kenapa cepat sekali kamu datang kemari Dy?,"tanya seorang gadis dengan kulit putih porselen. "Apa aku ngga boleh kemari juga Ra? Kamu ke tempat bagus ngga pernah ngajak lagi. Aku rindu dengan setiap hari yang pernah terlewat dengan manis selama di MIT,"ucapku menggosok pelan lengan ku. "Hmn sama Dy. Tapi pernah nggak kamu begitu rindu dengan sosok sosok yang selalu membuatmu jatuh dan bangun,"tanya Laura. "Ada. Kenapa memangnya,"tanyaku menaikkan sebelah alisku bingung. "Apa kau enggan berdiri dengannya lagi sampai kemari?,"tanya Laura. "Iya Ra. Aku hanya sanggup menemani saat itu saja. Aku sudah mengajukan gugatan cerai. Buat apa dia menjalani hidup yang bukan menjadi harapan. Dengan tinggal dengan Divyan akh tidak merusak hubungan yang sebenarnya lebih dari cinta masa muda. Aku sudah mengikhlaskan sebelum pergi kesini,"ucapku. "Okelah. Kau pan
Tuhan dia sedang berjuang, jaga dia, lindungi dia. Karena ada yang menunggu nya untuk pulang. Kita memang sedang berduka. Bukan berarti kita menyerah. Kita harus saling menjaga dan menguatkan hingga Tuhan menolong kitaAlunan lagu Doa Untuk Kamu terdengar begitu ringan. Setelah tanda tangan ku bubuhkan, aku bukan lagi orang yang berdiri di belakangnya. Suasana lingkungan yang tengah tenang menambah kesan lega. Sebuah buket mawar merah yang ku terima dari Nafisa masih harum mewangi.Biasanya akan ada tetangga yang menyapa ku. Namun kini hanya ada aku di sini. Mereka semua tengah di kesatuan untuk memperingati HUT PIA Ardhya Garini. Hah betapa lucunya dulu saat aku selalu saja mencari destinasi baru bersama Shyndhica dan Erma. Shyndhica dengan cerita masa lalu selalu mengejar Kapten Hercules No 1 Skuadron