Entah putranya itu mengerti atau tidak, Arya segera melesat menghantamkan tinjunya ke dada Aruna yang belum sempat bereaksi apa pun. Tubuh berselubung api itu terpental jauh hingga butuh beberapa pohon besar untuk membuatnya berhenti. Semua orang yang melihat peristiwa itu segera melarikan diri. Kecuali Sanggageni yang baru saja tiba dan Jenar. Keduanya mendekat namun dengan terus menjaga jarak.
Meski lebih dewasa, dengan api di tubuh, mau tak mau Arya pun tersulut emosi. Apa lagi melihat putranya yang justru semakin marah diperlakukan sedemikian rupa. Tak butuh waktu lama untuk ayah dan anak itu saling bertarung, menghantamkan energi yang begitu besar hingga membuat separuh desa terbakar.
“Arya! Kau harus membuatnya menjauh dari desa! Atau Girijajar akan hancur!” seru Sanggageni kepada putranya di tengah pertarungan.
Sanggageni amat memahami, bahwa Aruna bukan lah lagi cucunya bila tengah berada dalam wujud seperti ini. Pun sama dengan saat dirinya dulu, bedanya Aruna lebih kuat dan lebih tak terkendali.
Arya mendengar seruan ayahandanya dan segera menggangguk. Lelaki itu sekali lagi menghantam tubuh putranya dengan pukulan yang begitu kuat. Hempasan tubuh Putra Mahkota Astagina itu seketika telah berada di tepi desa. Arya sengaja membuat Aruna semakin marah, agar berusaha mengejarnya. Dengan demikian Aruna bisa dijauhkan dari desa.
“Jenar, apa yang kau lakukan di sini? Apa Rara Sati sudah diamankan?” tanya Sanggageni setelah menjumpai Raja Astagina itu bersisian dengannya mengejar Arya dan Aruna.
“Tentu saja mengawasi suami dan putraku, Kakanda!” sahut Jenar singkat. Meski sudah menikah dengan Arya, Jenar masih tak bisa mengubah panggilannya kepada Sanggageni yang juga mantan kakak iparnya.
“Biar aku saja!” cegah Sanggageni. Ia merentangkan tangan kanannya mencoba menghalangi laju Jenar dan kudanya.
“Tidak! Arya juga punya potensi untuk tak terkendali. Dan jika itu terjadi aku tak yakin kau mampu menangani mereka berdua!” sanggah Jenar dingin.
Sanggageni tak menjawab menantunya. Selain status mereka sebagai raja dan penasihat, kata-kata Jenar ada benarnya. Dengan kondisinya yang hanya memiliki satu tangan dan kekuatan yang jauh berkurang, bantuan Jenar terasa begitu membantu.
Gerakan Arya dan Aruna begitu cepat. Dalam waktu singkat keduanya sudah berada di bagian dalam Wana Payoda. Wilayah yang amat jarang didatangi manusia. Sekaligus membuat hutan di sebelah timur kerajaan Astagina itu menjadi neraka.
“Ini gila, mereka bisa menghanguskan hutan dan Gunung Payoda!” seru Sanggageni. Beberapa kali pria itu menyerap api dengan pedangnya demi mendapatkan jalan untuk dilewati.
“Aku tak peduli dengan dengan Payoda, aku hanya takut Aruna terluka!” ujar Jenar dengan wajah begitu cemas. Apa lagi tak lama setelahnya terdengar suara ledakan dari tempat yang tinggi. Sepertinya ayah dan anak itu sudah mulai naik ke tubuh Gunung Payoda.
“Kita harus cepat, Jenar!”
Sanggageni berteriak seraya mengibaskan pedangnya. Seketika api yang membentang di hadapan mereka berdua terbelah dan tampak jejak-jejak pertarungan dua kekuatan api itu. Pohon-pohon besar bertumbangan, hitam terbakar. Semak belukar tak lagi bersisa. Tanah pun sudah tak lagi berwarna semula.
Sanggageni dan Jenar bergegas memacu kudanya menuju arah timbulnya suara. Tanah yang mulai menanjak membuat laju kaki kuda mereka melambat. Namun api-api dan suara dentuman tak lagi terdengar. Sesuatu yang Sanggageni syukuri, namun Jenar khawatirkan.
“Sial! Aruna dalam bahaya!” rutuk Jenar. Ia terus berusaha memacu kudanya namun binatang berekor panjang itu seperti kehabisan tenaga.
“Apa yang terjadi, Jenar?” tanya Sanggageni tak mengerti.
“Wujud Aruna yang seperti itu tak akan bertahan lama. Sepertinya dia sudah kembali normal. Yang aku takutkan justru Arya yang masih diluputi amarah!” seru Jenar. Perempuan itu melompat turun dari kudanya dan meneruskan perjalanannya dengan berlari.
***
“Kesombonganmu sudah habis, Anak Nakal?” hardik Arya manakala mendapati selubung api yang menyelimuti tubuh putranya mulai meredup.
“Apa yang terjadi? Kau? Ayahanda?” tanya Aruna seolah baru saja terbangun dari tidurnya.
“Kau mengenaliku? Lalu dimana dirimu saat membunuh kakekmu sendiri? Hah?” cecar Arya. Lelaki itu tentu diliputi amarah. Melihat tingkah polos putranya yang seolah tak berdosa justru membuat amarahnya meninggi.
“Ampuni aku, Ayahanda.” Aruna bersimpuh di hadapan ayahandanya. “Aku tak bermaksud untuk membunuh Kakek Kertajaya. Ayahanda tahu bahwa aku tak bisa menguasai kekuatan ini.”
“Kau bukan tak bisa, tapi kau tak mau! Ini pasti karena Ibundamu terlalu memanjakanmu!” bentak Arya sembari mencengkeram leher putranya dan mengangkat tubuh pemuda itu ke atas dengan satu tangan.
Aruna meronta-ronta. Selain rasa panas api Cundhamani, ia juga kesulitan bernapas. Anehnya api itu sama sekali tak membakar kulitnya. Ia bahkan kini menggenggam pergelangan tangan ayahandanya mencoba memberikan sedikit perlawanan.
“Oh, kau belum menyerah rupanya. Cundhamani memang tak membakarmu, namun dalam kondisi seperti ini serangan Ayah mampu melukai organ dalammu!” ancam Arya sembari menyiapkan serangan berikutnya di tinju kanan.
“A-ayahanda! A-aku bisa mati!” seru Aruna terbata-bata.
“Huh! Kau tak akan mati. Ayah hanya ingin mengajarkanmu rasa sakit!”
Arya mengayunkan tinjunya tepat ke dada putranya sendiri. Aruna terhempas beberapa tombak menggusur semak-semak di belakangnya. Tubuhnya membentur sebuah pohon hingga menimbulkan suara yang cukup kuat. Ia menyemburkan cukup banyak darah.
Tak terdengar suaranya melenguh. Sebuah luka menganga di dadanya sudah cukup menggambarkan bagaimana dahsyatnya pukulan Ksatria Cundhamani dan rasa sakit yang di derita sang putra. Seseorang tanpa anugrah kekuatan api tak akan mungkin bertahan.
“Bangun!” seru Arya penuh amarah. Lelaki itu kemudian melompat dan mendarat tepat di hadapan putranya.
Luka di dada Aruna berdesis mengeluarkan asap tipis. Sekaligus menyembuhkan luka itu seperti sedia kala hanya dalam waktu singkat. Dalam hati sesungguhnya Arya takjub dengan kemampuan putranya. Mungkin saja dengan pukulan hebat kekuatan dalam diri Aruna bisa dikendalikan. Sama sepertinya dulu saat dihantam oleh Patih Waradhana.
Perlahan Aruna membuka matanya. Dua manik mata itu menyipit tersapu asap tipis dari luka di dadanya. Pemuda itu takjub sendiri dengan dirinya. Rasa sakit belum sepenuhnya hilang, namun lukanya sudah menutup dengan sempurna.
“Ayahanda, apa yang terjadi padaku?” tanya Aruna polos.
“Ayah sudah katakan padamu. Kau tak akan mati. Ayah hanya ingin mengajarkan padamu rasa sakit. Jadi kau akan berpikir seribu kali jika hendak melukai seseorang!” ucap Arya dingin.
“Tapi aku tak ingin kekuatan ini, Ayahanda!” sangkal Aruna.
“Bodoh! Kau pikir bagaimana Astagina bisa sebesar ini tanpa kekuatan api?” sahut Arya berusaha mengubah pemikiran putranya.
“Tidak, Ayah!” Aruna bangkit sembari mengamati kedua telapak tangannya. “Kekuatan ini hanya mampu menyakiti!”
“Rupanya rasa sakit tadi belum cukup untuk menyadarkanmu, Aruna.” Arya mendekat, jauh di dalam hati ia juga tak tega menghajar putranya sekali lagi. Namun bila itu bisa jadi titik balik, ia harus mampu melakukannya.
“Ayahanda....”
Tak sempat Aruna meneruskan kalimatnya, Arya kembali menghantam tubuh Aruna dengan kekuatan penuh. Aruna kembali memuntahkan darah sebelum tubuhnya terpental ke belakang.
“Apa yang kau lakukan, Arya?”
“Sendika, Tuanku!” sahut Lokawigna yang segera muncul dengan tampilan paling tampan. Makhluk itu tampak terkejut dengan keadaan di sekitarnya. Apa lagi setelah melihat Arya hanya memiliki satu tangan saja.“Lokawigna.”“Tuanku, apa yang terjadi dengan lengan Tuan?” tanya Lokawigna khawatir. Apa lagi terdapat banyak berkas darah di tubuh Arya.“Lupakan tentang aku. Aku butuh bantuanmu!” tandas Arya.“Sampaikan titahmu, Tuan,” ucap Lokawigna begitu patuh.“Kau lihat perempuan di atas kuda itu?” tanya Arya sambil menunjuk Rara Anjani.“Maksud Tuan, Gusti Rara Anjani?” tanya Lokawigna. Arya mengangguk cepat.“Pindahkan dia ke sini!” titah Arya.“Sendika, Tuan!”Lokawigna berkedip dan Rara Anjani beserta kudanya sudah berpindah tempat di belakang Arya. Perempuan itu tampak terkejut. Namun setelah melihat suaminya, ia paham bahwa lelaki itu lah yang telah memindahkannya, entah bagaimana caranya.“Apa ada lagi tugas untuk hamba, Tuan?” tanya Lokawigna. Selama ini Arya hanya meminta satu kali
“Kaki kanannya itu palsu. Sedang kaki kirinya tak menyentuh air. Alas kaki Raja Astagina terbuat dari kulit berkualitas tinggi hingga ia tahan air!” terang Arya menyampaikan analisanya.“Dia cukup cerdik. Pantas saja ibunda terpedaya hingga bisa dikudeta,” gumam Aruna. Entah Perdana mendengarnya atau tidak.“Oh, jadi bocah itu lah penyebab pasukanku kesakitan meski sama sekali tak terluka. Dan air ini menjadi penghantarnya,” batin Danapati. “Artinya aku harus melumpuhkan bocah itu dulu!”Danapati mengangguk dalam riuh suara erangan pasukannya. Ia memahami bahwa Perdana adalah pemilik ajian yang mampu menyebabkan rasa sakit meski tak terluka. Keadaan kini berbalik. Danapati harus menghadapi empat orang, meski ia sudah memilih siapa yang harus ia kalahkan lebih dulu.Danapati melompat ke dataran yang lebih tinggi. Tujuannya untuk menghindari air beku yang diciptakan Rara Sati. Meski belum tentu Mandaraji milik Perdana masih berguna, ia tetap harus hati-hati. Empat kepala lebih baik dari
Arya mendekat, bisa ia pastikan bahwa pria yang menyerupai Danapati memang lah Sakuntala. Pria itu pengguna Wikararupa meski Arya tak bisa menemukan alasan mengapa ia tak mati dalam pertarungan di menara utama Astagina.“Jika dia hanya menyerupai Danapati, lantas dimana Danapati yang asli?” gumam Arya.Lelaki itu mencari kemungkinan posisi Danapati mengingat Brajawidya Jatiwungu sudah memberi batas antara dirinya dan pasukan Astagina. Arya mendongak ke atas, ke arah Jatiwungu terakhir kali terlihat. Namun senopati itu tak ada di sana.“Tunggu, Jatiwungu tak ada di sana. Lantas bagaimana dengan Brajawidya-nya?” batin Arya. “Jika tak ada lagi Brajawidya mengapa mereka tak menyerangku?”“Arya sang Ksatria Cundhamani yang kehilangan lengannya,” sapa seorang yang muncul dari balik pasukan berkuda Astagina. “Apa benar karena tertebas salah satu istrimu yang tengah berkelahi, hah?” ledeknya.“Danapati,” lirih Arya. “Dimana Jatiwungu?”“Siapa? Jati ... Ah, maaf aku tak bisa menyebutkan nama m
“Aruna, urus jasad ibundamu!” titah Arya. Lelaki itu meraih tusuk konde emas dari genggaman lemah istrinya. Ia merasa sudah saatnya bertindak. Ia punya kepentingan dengan pelaku pembunuhan Jenar.“Apa yang akan kau lakukan, Ayahanda? Biar aku saja yang menghadapinya!” tolak Aruna.“Tidak, Aruna. Ayah yakin orang ini bukan Danapati. Biarkan Ayah menuntaskan dendam ini. Dia telah membunuh nenek dan ibundamu. Tak akan Ayah biarkan dia masih bernapas malam ini!” tandas Arya.Lelaki itu bangkit dan menghampiri Senopati Jatiwungu yang tertunduk lesu menyaksikan junjungannya tewas mengenaskan. Ia merasa gagal menyandang gelar Senopati. Tugasnya untuk melindungi Jenar kandas. Senopati macam apa yang tetap hidup sedang rajanya tewas.“Kuatkan hatimu, Jatiwungu. Sekarang tunjukkan padaku pelakunya!” pinta Arya sambil menepuk pundak Senopati Jatiwungu.“Sendika, Gusti!”Kedua lelaki itu melompat dan mendarat di atas dinding pagar istana. Mata Senopati Jatiwungu mengedar mencari keberadaan pria y
Tak ada yang lebih menggembirakan bagi Danapati selain melihat buruannya di depan mata. Jenar menggenggam tusuk konde emas yang berlumuran darah. Menatapnya penuh kebencian. Rambut hitamnya berkibar di tiup angin. Ia jauh lebih dingin dan kejam dari pada saat duduk di singgasana emasnya.Tak akan ada gerakan yang dilakukan Jenar selain berdiri di tempatnya. Selebihnya pun bila Suji Pati sudah dilepaskan, maka ia akan menari di atas dinding pagar istana. Ilmu jarak jauhnya itu akan sangat berisiko bila musuh cukup dekat. Sekali waktu ia pernah menggunakan Suji Pati di jarak dekat, itu pun dibantu dan dilindungi oleh mendiang Sanggageni dan Ki Bayanaka.“Ini sulit. Suji Pati membutuhkan jarak, sedang aku pasti akan kesulitan untuk didekati,” batin Danapati. Matanya terus mengedar mencari orang-orang yang berpotensi melindungi Jenar. Tak mungkin perempuan itu berdiri di atas dinding tanpa perlindungan.Danapati bergerak menjauh. Ia sendiri tak mengerti mengapa Jenar tak segera menyerang.
Berakhir sudah hidup Putra Mahkota Astagina. Itu lah hal yang diyakini Danapati. Lelaki itu begitu gembira melebihi kejumawaannya. Ia bahkan sempat memperhatikan lagi jasad Aruna untuk membuatnya yakin putra Arya itu sudah benar-benar mati. Kini ia merasa lebih mudah untuk menghancurkan Dipa Kencana.“Mulai saat ini, aku yang memimpin peperangan! Maju dengan kekuatan penuh! Serang!” seru Danapati seraya mengacungkan sebilah pedang yang tadi menebas leher Aruna.Teriakan Raja Astagina itu disambut dengan teriakan serupa oleh pasukannya. Meski sudah berkurang banyak, dua ratus ribu adalah jumlah yang luar biasa. Dengan asumsi pasukan Duwana dan Andanu semuanya gugur saja, ia masih memiliki pasukan berkuda dan pasukan udara yang melebihi kekuatan Dipa Kencana.Pasukan berkuda dan sedikit pasukan Andanu maju serentak. Mayoritas pasukan Duwana sudah masuk lebih dulu dan kini sedang mendesak pasukan Dipa Kencana yang terus mundur hingga nyaris sampai di pagar istana. Pasukan udara Astagina