Share

2. Pertolongan Ayahanda

Perlahan tapi pasti api yang menyelubungi tubuh Aruna merambat ke bilah pedang milik Rara Sati. Tangkai pedang sudah menghangat, sebentar lagi akan terbakar. Putri Astakencana itu segera melepaskan pedangnya dan mundur beberapa langkah guna meningkatkan kewaspadaan. Kertajaya dalam jarak sepuluh tombak saja dapat diserang dengan sekali kedipan mata. Apa lagi dengan jaraknya kini.

“Aruna, apa kau tak puas sudah membunuh kakek? Apa aku juga harus mati? Hah?” seru Rara Sati sembari mengedarkan pandangan mencari pertolongan dari para prajurit. Gabungan prajurit Astagina dan Astakencana segera bergerak melindungi gadis itu.

Aruna mendengus, jilatan api keluar dari lubang hidungnya. Pemuda itu menengadah dan berteriak. Api menyembut dalam jumlah besar dan bertahan beberapa masa. Ia tak ubahnya seperti seekor naga dalam wujud manusia api. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Aruna hanya terus mendengus seolah tengah berusaha meredam amarah.

“Hei, kau, Prajurit Astagina, apa Pangeranmu pernah seperti ini di istana?” tanya Rara Sati pada salah satu prajurit Astagina di sisinya.

“Ampun, Gusti Putri, setahu hamba Gusti Pangeran tak pernah seperti ini di Astagina,” jawab prajurit itu.

“Jadi dia tak pernah marah selama di Astagina ya?” jawab Rara Sati setengah bergumam.

“Ampun, Gusti, hamba pernah melihat Gusti Pangeran marah kepada seorang prajurit. Lantas beliau membawanya ke belakang tempat penyimpanan senjata. Setelah itu hamba tak pernah lagi melihat prajurit itu,” adu prajurit yang lain.

Rara Sati hanya mengangguk-angguk beberapa kali. Dapat disimpulkan bahwa amarah akan membuat Aruna menjadi monster api. Gadis itu kembali teringat cerita ibundanya. Peristiwa yang terjadi di masa kanak-kanak mereka. Saat berebut boneka kayu, adiknya itu juga marah dan melemparkan gelas perunggu milik ayahanda mereka dan gelas itu membara. Beruntung ayahandanya sempat menangkap gelas itu.

“Lantas apa yang harus aku lakukan?” lirih Rara Sati dalam hati.

Aruna masih berdiri di tempatnya semula. Tak ada gerakan yang ia lakukan selain mendengus dan mengkontraksikan otot-otot lengannya. Ia seolah tengah menolak kekuatan api itu dan mencoba untuk meredamnya.

Para prajurit mencoba menjauhkan Putri Astakencana itu Aruna. Mereka berdiri melingkari Rara Anjani dan bergerak sesenyap mungkin agar Pangeran Astagina itu tak menyadarinya. Pedang dan tombak segera terhunus dengan perisai menutupi tubuh. Mereka tak ayal seperti tengah berada di medan perang.

“Prajurit, apa ada yang menyampaikan hal ini pada ayahanda atau ibundaku?” tanya Rara Sati lagi. Menurut hematnya, hanya ayahandanya lah yang mampu mengendalikan Aruna. Mereka sama-sama memiliki kekuatan api. Namun api milik Aruna belum mampu dijinakkan.

“Sudah, Gusti. Hamba rasa Gusti Arya dan Gusti Adipati Rara Anjani tengah menuju ke mari,” jawab prajurit itu sedikit melegakan.

“Syukur lah,” ucap Rara Sati.

Tiba-tiba Aruna bergerak. Ia seperti baru saja menyadari bahwa ayundanya dan para prajurit sudah pergi dari hadapannya. Hal yang membuatnya kembali berteriak dengan suara parau dan kembali menyemburkan api.

“Serangan tiba, angkat perisai kalian!” seru seorang prajurit yang menyadari bahwa Aruna akan segera menyerang.

Perisai-perisai setinggi tiga perempat tinggi manusia itu segera berjajar melingkupi Rara Sati. Ini adalah perlindungan standar yang dilakukan oleh pengawal raja dan keluarganya. Para prajurit itu tak paham bahwa serangan Aruna bukan lah serangan biasa. Perisai sekuat apa pun niscaya akan tertembus oleh kekuatan api itu. Dalam waktu yang begitu sempit itu, Rara Sati segera berguling menghindar di antara kaki-kaki para prajurit.

Beberapa prajurit terpental dan ambruk ke tanah tak bernyawa. Beberapa lagi terluka parah buah dari perisai yang hancur. Kebanyakan dari mereka kehilangan lengan kiri karena di tangan itu lah perisai dipasangkan. Lima orang prajurit tersisa segera mengambil kuda-kuda. Kini mereka akan berusaha mempertahankan hidup mereka sendiri, dibanding melindungi Putri Astakencana.

Aruna berbalik setelah serangannya tadi berhasil merobohkan perlindungan perisai ganda gabungan prajurit Astagina – Astakencana. Amarahnya masih sama. Gairah membunuhnya masih begitu tinggi. Bahkan dengus napasnya terlihat lebih besar dan kuat jilatan apinya. Ia sungguh benar-benar mengerikan.

“Dimana ayahanda? Apa selama ini tiba dari rumah?” Rara Sati mulai panik. Ia begitu yakin kelima prajurit itu akan dikalahkan dengan mudah. Lepas itu maka ia yang akan menjadi sasaran kemarahan Aruna.

Putri Arya dan Rara Anjani itu memperhatikan sebuah pergerakan dari arah rumah ayahandanya. Ia menghela napas manakala melihat ayahanda dan ibundanya serta ibunda Aruna berlari dengan wajah panik. Rara Anjani segera menghampiri jasad ayahandanya sedang Arya dan Jenar menghambur ke arah Aruna.

Kelegaan Rara Sati tak berlangsung lama. Teriakan kelima prajurit dan suara hantaman menandakan kelimanya sudah dikalahkan. Gadis itu baru saja akan beranjak manakala makhluk api itu sudah berdiri di hadapannya. Rara Sati sampai harus menutup wajahnya menggunakan selendang untuk menahan panas.

Kecepatan Aruna benar-benar tak masuk akal. Dengan jarak Arya dengan mereka berdua yang masih puluhan tombak, rasanya tak akan sempat Rara Sati diselamatkan. Gadis itu sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya. Kedua matanya terpejam menantikan eksekusi dari adik tirinya.

“Ayahanda! Tolong aku!” teriak Rara Sati. Rasa panas yang mendera tubuhnya semakin pekat. Pertanda Aruna sudah berdiri semakin dekat.

Aruna memandang telapak tangannya sendiri. Entah apa yang terjadi dan yang akan ia lakukan pada ayundanya. Nyala api di tangannya itu mendadak membesar. Ia seperti hendak membakar Rara Sati hidup-hidup.

“Aruna!”

Sebuah gerakan kilat mampu menghempaskan tubuh pemuda itu beberapa tombak ke belakang. Namun ia sama sekali tak roboh. Aruna segera berdiri tegak menatap ayahandanya seperti sama sekali tak mengenali.

“Kau tak apa-apa, Rara Sati?” tanya Jenar yang segera memeluk putri tirinya itu. Ia terkejut mendapati Rara Sati mendapatkan luka bakar di wajah kirinya.

“Ibunda ... Aruna tak terkendali. Ia membunuh Kakek Kertajaya,” adu Rara Sati sembari menunjuk jasad pria tua yang tengah di ratapi oleh Rara Anjani.

“Apa yang menyebabkan Aruna demikian marah, Sati?” lanjut Jenar. Ia sudah begitu paham bahwa putranya tak akan seperti ini bila tak ada pemicunya.

“Jenar! Bawa Rara Sati menjauh. Aku akan menangani Aruna, sepertinya tempat ini akan segera hancur!” titah Arya tanpa menoleh sedikit pun ke arah istri dan putrinya.

Jenar memandang suaminya dari belakang. Kedua tinju lelaki itu sudah membara. Perlahan warna jingga api Cundhamani menjalar ke sekujur tubuh Arya membentuk semacam baju zirah. Raja perempuan pertama Astagina itu memahami ini masalah serius, maka akan ditangani Arya dengan serius pula.

Membunuh mantan Adipati benar-benar tak bisa dimaafkan. Hubungan Astagina dan Astakencana akan goyah. Rara Anjani tentu tak akan mudah memaafkan Aruna. Belum lagi melukai wajah seorang Putri, sungguh dosa yang begitu besar. Meski dilakukan oleh seorang Pangeran.

“Jangan kau lukai anakku, Arya!” seru Jenar sebelum membawa Rara Sati pergi.

“Biarkan ini menjadi urusan kami sesama lelaki. Anak ini perlu diberi pelajaran! Pergi lah sejauh mungkin!” seru Arya begitu tegas.

Arya menyadari ia juga memiliki andil atas ketidakmampuan Aruna menguasai kekuatannya. Namun tabiat putranya itu yang pemarah adalah andil dari ibundanya dan perlakuan istimewa istana kepada Aruna. Maka kali ini Arya akan mengajarkan kedewasaan kepada Putra Mahkota Astagina itu.

“Aku lah lawanmu, Aruna!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status