MELIHAT Ranasura terengah-engah mengatur napas, Tumanggala sunggingkan seringai. Sembari melangkah mendekati lawan, pedang di tangannya dibolang-balingkan sedemikian rupa. Sehingga menimbulkan suara berkesiuran menggidikkan bulu roma.
Ranasura menggeram marah. Setelah meludah ke tanah untuk melampiaskan kekesalan, pemimpin Begal Alas Wengker itu bergerak hendak bangkit berdiri. Namun saat itu pula wajahnya mengernyit kesakitan. Gerakannya sontak berhenti.
"Keparat! Kenapa dadaku terasa sangat sakit sekali?" tanyanya di dalam hati. Napasnya terdengar semakin engap-engap.
Rasa sesak yang dialami Ranasura bukan semata-mata akibat tendangan Tumanggala. Yang membuat keadaan gembong begal itu lebih parah adalah jantungnya berdegup lebih kencang akibat menahan kantuk.
Alih-alih tidur seperti kebiasaannya, pada pagi hari itu Ranasura justru harus mengerahkan banyak tenaga untuk bertarung. Gabungan kedua hal tersebut memaksa jantungnya bekerja lebih keras da
TEPAT saat matahari sepenggalah, Wipaksa membawa pasukan kecilnya meninggalkan sarang begal Begal Alas Wengker. Dua pondok kayu milik para begal sudah habis, tinggal abu dan onggokan-onggokan arang menghitam yang berserakan di tanah. Sedangkan seluruh begal yang berada di tempat tersebut dihabisi oleh para prajurit Kerajaan Panjalu. Mereka sebelumnya diberi kesempatan menyerah, namun tak seorang pun yang mau ditangkap dan dibawa ke Kotaraja. Alih-alih menyerah, para begal justru terus berusaha melawan. Merek terus mencari-cari kesempatan untuk melukai bahkan membunuh para prajurit Panjalu yang mengepung mereka. Akhirnya, dengan seizin Wipaksa para begal itu pun dihabisi tanpa ampun. Beruntung sebelum dihabisi, salah seorang begal mau buka suara terkait tempat gerobak upeti disembunyikan. Wipaksa memerintahkan lima prajurit untuk mencari ke tempat yang disebutkan. Gerobak upeti tersebut benar ada di sana. "Bawa kepala Ranasura. Kau harus menunjukkannya
TEPAT pada saat matahari senja bersiap tenggelam di balik ufuk barat, Kridapala dan pasukannya tiba di Kotaraja. Pasukan berkekuatan tiga lusin prajurit itu bergerak ke sisi utara Dahanapura. Kridapala ingin langsung menghadap Senopati Arya Lembana di kediamannya. Begitu melintasi gerbang Kotaraja, Kridapala dan Wipaksa saling pandang. Dan seolah sudah sepakat, keduanya lantas sama-sama melirik ke arah Tumanggala. Bungkusan berisi kepala Ranasura tergantung di leher kuda yang ditunggangi prajurit tersebut. "Prajurit malang. Dia tidak tahu nasib buruk apa yang tengah menyambutnya dalam beberapa saat lagi," batin Kridpala sembari menatap wajah Tumanggala diam-diam. Seulas seringai tipis terkembang di wajahnya. Usai membatin demikian, dalam benak Kridapala tahu-tahu saja kembali terbayang sesosok wajah ayu. Sontak sang bekel menghela napas panjang, sembari memejamkan kedua matanya. Mengenangkan kembali masa-masa indah yang pernah ia lalui bersama pemilik wajah a
GEROBAK berisi upeti yang dirampas Begal Alas Wengker merupakan milik Baginda Raja. Upeti itu dikirim oleh penguasa Wurawan sebagai tanda setia pada Panjalu. Kembali ditemukannya upeti tersebut merupakan satu hal yang bakal sangat menyenangkan hati Sang Prabu. Di pelupuk mata Arya Lembana seketika terbayang, penghargaan seperti apa yang bakal diberikan oleh Sang Prabu padanya atas keberhasilan menemukan upeti tersebut. Belum lagi berbagai macam harta benda yang akan diterimanya sebagai hadiah. Sembari terus mengulum senyum, di dalam hatinya Arya Lembana mulai menyusun cerita yang hendak ia jadikan sebagai laporan pada Sang Prabu. Pada saat itulah sang senopati tiba-tiba saja teringat pada Tumanggala. "Lalu, apa yang dilakukan oleh prajurit bernama Tumanggala itu terhadap Ranasura?" tanya Arya Lembana kemudian. Kridapala melirik ke arah Wipaksa, memberi isyarat agar lurah prajurit tersebut yang memberi jawaban. Yang diberi isyarat segera menangkap maks
SEMENTARA itu, Senopati Arya Lembana yang masih berdiri di tempatnya berteriak memberi perintah. Suara lelaki tersebut terdengar menggelegar bak petir di siang bolong."Panggil prajurit bernama Tumanggala itu kemari!"Dua prajurit jaga langsung membungkuk hormat dan keluar meninggalkan ruangan tersebut. Berselang beberapa saat, keduanya kembali dengan mengapit Tumanggala yang menenteng bungkusan kain berisi kepala Ranasura.Tumanggala diantar kedua prajurit jaga hingga berdiri beberapa langkah di hadapan Arya Lembana. Begitu berhadap-hadapan dengan sang senopati, prajurit tersebut menghaturkan sikap menghormat."Saya datang memenuhi panggilan, Gusti Senopati," ujarnya sembari membungkukkan badan dan menundukkan kepala.Arya Lembana tak menanggapi. Tatapan mata sang senopati tertuju pada bungkusan kain berbau anyir darah yang ditenteng Tumanggala."Apa yang kau bawa itu, Prajurit?" tanya sang senopati kemudian.Tumanggala telan ludahny
TUMANGGALA tentu saja tak mau mengakhiri hidup di atas batu pancung. Ia sungguh tidak rela mati terhina sebagai seorang terhukum. Terlebih hukuman itu dijatuhkan untuk perbuatan yang tidak pernah ia lakukan.Hukuman yang diberikan semata-mata berdasarkan syak wasangka. Entah apa alasannya Tumanggala tak mengerti. Dugaan tersebut hanya didasarkan pada prasangka, tapi sudah dianggap sebagai kebenaran oleh Senopati Arya Lembana.Tumanggala jelas tidak dapat menerima hal itu. Prajurit tersebut harus melawan. Ia harus menunjukkan bahwa dirinya benar-benar tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan padanya."Gusti Senopati, mohon ampunkan saya jika berkata lancang. Tapi saya harap Gusti berlaku bijaksana dengan tidak menjatuhkan tuduhan hanya berdasarkan prasangka," ucap Tumanggala seraya bersimpuh di hadapan Arya Lembana."Saya berani bersumpah, saya tidak berkomplot dengan gerombolan begal yang dipimpin Ranasura itu!" lanjut sang prajurit dengan suara bergetar
DUA prajurit jaga ruangan Senopati Arya Lembana cepat-cepat berusaha mengelak. Namun gerakan tersebut sudah sangat terlambat. Tendangan yang dilepas Tumanggala tahu-tahu saja sudah berada di depan mata!Tanpa ampun hantaman kaki Tumanggala pun mendarat telak di pipi kedua prajurit jaga tersebut secara bergantian. Membuat kepala mereka terpuntir seolah hendak copot dari batang leher.Pekik kesakitan terlontar dari mulut kedua prajurit jaga. Lalu mulut mereka tiba-tiba saja terasa asin. Pertanda ada darah di sana. Sementara itu tubuh keduanya terlempar ke belakang akibat begitu kerasnya tendangan yang dilepas Tumanggala.Bukk!Suara bergedebukan keras memenuhi lorong manakala tubuh kedua prajurit jaga itu jatuh terkapar tanpa daya. Sekali lagi mereka mengaduh, merasakan sakit akibat menghantam kerasnya permukaan lantai."Bedebah kurang ajar!" maki salah satu dari dua prajurit jaga tersebut seraya cepat-cepat bangkit berdiri. "Kau minta mati rupanya,
TUMANGGALA menyeringai senang menyaksikan keadaan kedua lawan. Masih dengan terus mengembangkan seringai, sang prajurit Panjalu langkahkan kakinya perlahan mendekati dua prajurit jaga.Kaki Tumanggala berhenti sejarak satu setengah depa dari hadapan kedua orang tersebut. Sepasang tangannya ditekuk ke pinggang. Sementara matanya memandangi keadaan mereka yang kepayahan dengan tatapan mengejek."Tahu rasa kalian sekarang," gumam Tumanggala, masih sembari menyeringai lebar.Meski hanya berupa gumaman, tapi kedua prajurit jaga yang tengah terduduk di lantai dapat mendengar ucapan itu. Salah seorang dari mereka menggeram marah. Namun tak dapat melakukan apa-apa."Kau yang akan tahu rasa, Tumanggala. Jangan kau pikir Gusti Senopati akan diam saja saat mengetahui perbuatanmu ini," sahut prajurit jaga tersebut, seraya berusaha berdiri dengan susah payah.Ketika kemudian dapat berdiri tegak, tubuh dua prajurit jaga itu terhuyung-huyung bagaikan orang mabuk.
TINGGAL seujung jari lagi ujung pedang Tumanggala mengenai sasaran, tahu-tahu saja terdengar suara bentakan keras menggelegar. Diiringi munculnya kelebatan senjata yang kemudian mematahkan serangan Tumanggala. Suara berdentrang nyaring terdengar memenuhi sepanjang lorong. Mengagetkan siapa pun yang berada di sana. Tumanggala terbeliak kaget. Tangannya yang memegang pedang bergetar hebat. Wajahnya berubah ketika kemudian melihat sosok Senopati Arya Lembana, diikuti segerombolan prajurit bersenjata tombak panjang. "Apa yang telah kau lakukan di sini, Tumanggala?" bentak Arya Lembana dengan sepasang mata berkilat-kilat. Tumanggala telan ludah sejenak, baru memberanikan diri menjawab, "Ma-maafkan saya, Gusti Senopati. Saya hanya mencoba membela diri." "Membela diri, katamu?" ulang Arya Lembana, menggeram. "Be-benar, Gusti. Dua prajurit ini telah berlaku seenaknya pada saya, sehingga saya merasa perlu memberi pelajaran," sahut Tumanggala.