Raka menatap tidak mengerti wanita dewasa di depannya.
“Untuk apa, Ma? Doni sudah cukup untuk menjadi asisten Raka. Tidak perlu orang lain lagi.” Ia benar-benar tidak paham maksud sang mama. Menerima seorang asisten lagi?
“Kamu akan menolak lagi?” Ratih kini tidak lagi bersikap ramah. Ia sendiri mulai gemas dengan putranya sendiri.
“Bukan begitu, Ma. Tapi, apa alasannya? Raka tidak perlu asisten lagi. Doni sudah lebih dari cukup untuk membantu Raka bekerja.”
Ratih menatap tajam putranya itu. Ingatannya kembali pada percakapan dengan suaminya beberapa jam yang lalu. Mungkin ini adalah salah satu cara agar Raka tidak lagi bergantung pada mereka, juga salah satu usaha mereka, agar Raka bersedia menikah, bersedia menerima seorang wanita untuk menemani hidupnya.
“Ingat kata mama barusan. JANGAN MEMBANTAH! Atau mama tidak akan lagi datang menjengukmu sekali pun menemuimu ketika kamu datang ke rumah mama?!” ancam Ratih.
Raka tidak berkutik. Ini adalah ancaman yang sangat mengerikan baginya. Tidak mendapatkan perhatian dari Ratih bagaikan kiamat baginya. Ratih adalah penyokong terbesarnya. Ratih adalah bidadari yang akan selalu melindunginya dari amarah Widjanarko. Ratih adalah penyelamatnya. Bagaimana bisa ia diabaikan oleh wanita penuh kasih itu? Mamanya sendiri?
Tidak! Ia tidak akan bisa melakukan apa pun jika sampai wanita yang begitu ia sayangi mengabaikannya. Batin Raka bergejolak. Mungkin persyaratan ini lebih ringan daripada sebelumnya. Mungkin ini lebih baik daripada perjodohan gila itu.
“Ba-Baik. Raka akan menerima persyaratan mama. Tapi, jangan sampai dia ikut menemani Raka kemana pun Raka pergi.”
Ratih mendelik. “Mengapa sekarang kamu justru memberi persyaratan kepada mama?”
Nyali Raka menciut demi melihat wajah seram Ratih.
“I-Iyaa… Terserah Mama. Semua terserah mama.” Akhirnya Raka menyerah. Ia putus asa karena tidak bisa lagi menolak keinginan mamanya itu.
“Jika sampai mama mendapat laporan tentang sikapmu, maka jangan salahkan jika semuanya hangus dalam waktu singkat,” ancam Ratih penuh penekanan.
Ratih melenggang anggun, meninggalkan ruangan kerja Raka. Meninggalkan putranya yang kini hanya bisa menyesali keputusannya.
-0-
“Akhirnya, selesai juga.”
Seorang gadis menggeliatkan tubuhnya, merenggangkan otot-otot badannya yang selama satu bulan ini terus duduk di depan computer, membuat laporan dari hasil penyelidikannya di lapangan.
“Akan lebih baik laporan ini aku serahkan terlebih dahulu sebelum aku membeli tiket pulang,” gumamnya lagi sembari menata kertas-kertas laporan dalam satu map berwarna hijau.
Ponsel yang ada di sakunya bergetar.
“Selamat Siang, Tuan.” Gadis itu menjawab dengan begitu sopan panggilan itu.
*Apakah laporanmu sudah selesai?
Suara di ujung sana terdengar begitu berat.
“Sudah, Tuan. Laporan akan saya kirim sebentar lagi ke email Tuan, sedangkan berkasnya akan saya bawa dan saya serahkan begitu saya tiba di kantor Tuan.”
*Kamu tidak perlu datang ke kantor. Aku akan menyuruh Doni untuk mengambil laporanmu. Ada tugas lain untukmu dan aku harap kamu mau menerimanya.
Gadis itu tertegun. Tugas baru lagi? Haruskah? Ia sangat ingin beristirahat barang seminggu atau dua minggu.
*Halo? Ra, kamu masih di sana kan?
“Oh-Eh, siap, Pak.” Gadis itu terpaksa menyanggupi permintaan dadakan sang atasan.
*Tidak usah khawatir. Aku tahu kamu membutuhkan waktu untuk beristirahat. Tugas kali ini bisa kamu lakukan sambil bersenang-senang.
Terdengar suara kekehan di ujung sana. Gadis yang bernama Rara itu terkejut. Suara tawa tuan besarkah? Apa sebenarnya yang menjadi tugasnya kali ini?
*Segera pesan tiket pulang malam ini. Begitu kamu sampai langsung datang ke rumah saya. Kamu mengerti?
“Baik, pak.”
-0-
Taksi online yang membawa Rara dari bandara menuju kediaman Widjanarko sudah berhenti tepat di depan gerbang tinggi berwarna putih. Gadis itu segera keluar dari mobil, berjalan memasuki pintu gerbang yang tidak dikunci.
“Malam, Mbak Rara. Sudah ditunggu Tuan Besar sejak tadi,” sapa Eko begitu ramah, satpam kediaman Widjanarko yang diam-diam menaruh hati kepada Rara.
“Terima kasih.” Rara melangkah masuk ke halaman luas itu hingga dirinya dapat menangkap siluet dua orang yang sedang duduk di teras luas.
“Maaf, Tuan agak terlambat. Jalanan sangat macet menjelang malam seperti ini.”
“Tidak apa-apa. Untungnya bocah ingusan itu batal datang kemari. Jadi setidaknya kita bisa lebih leluasa untuk berbicara di sini. Bukan begitu, Ma?” tanya Widjanarko kepada Ratih, istrinya.
Ratih mengangguk setuju. “Lama tidak bertemu, Ra. Kamu baik-baik saja kan di sana?” senyum Ratih mengembang begitu tulus. Ia sangat menyayangi Rara, asisten suaminya yang sudah ia anggap seperti putrinya sendiri.
“Baik, Bu. Terima kasih atas semua bantuan Tuan dan Ibu selama ini.” Rara menunduk takzim.
“Ssshh. Berapa kali aku harus mengatakan padamu untuk berhenti memanggilku Tuan Besar. Jika kamu bisa memanggil istriku dengan panggilan Ibu, maka mulai malam ini panggil aku dengan panggilan Bapak, atau Ayah.”
Rara terkesiap. Ia tidak menyangka jika dua orang di hadapannya ini begitu menerima dirinya, yang hanya berasal dari keluarga biasa, setidaknya itu yang ia ketahui untuk saat ini.
Mereka berkenalan delapan tahun lalu. Saat itu pasangan Ratih dan Widjanarko mendaftarkan diri mereka untuk menjadi orang tua asuh Rara, yang kala itu masih duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama. Rara adalah siswa yang berprestasi namun berasal dari keluarga kurang mampu, dan ia membutuhkan biaya untuk menunjang pendidikannya. Selama empat tahun Ratih dan Widjanarko menjadi orang tua asuh Rara selama gadis itu duduk di bangku sekolah pertama sampai menengah atas sekolah unggulan di kota tempatnya tinggal. Dan hal itu kembali berlanjut hingga perguruan tinggi. Rara mengambil kuliah jurusan manajemen hingga meneruskan pendidikan S2-nya di Inggris.
Itulah mengapa Ratih begitu ingin menjadikan Rara sebagai putrinya. Rara yang pintar, sopan dan begitu patuh kepada orang tuanya termasuk mereka orang tua asuhnya. Sekarang, Ratih tidak ingin lagi menjadikan Rara sebagai putri angkatnya, melainkan menjadikan gadis itu sebagai menantunya. Meski itu masih sebatas keinginannya saja.
“Tidak usah kaget begitu. Bukankah kita sudah saling mengenal lebih dari delapan tahun? Sudah sewajarnya hubungan kita tidak lagi hanya sebatas orang yang baru kenal, atasan dan bawahan. Kita adalah partner kerja sekarang. Apakah kamu mengerti?” Ratih menatap Rara begitu dalam. Ingin rasanya ia menikahkan Rara dengan Raka. Eh? Ratih kaget sendiri dengan sekelebat keinginan yang melintas di benaknya. Mungkinkah suaminya memiliki rencana itu? Seketika Ratih menatap Widjanarko, yang masih memperhatikan penampilan Rara yang tampak sangat lelah.
“Pa?” Ratih masih menatap Widjanarko dengan begitu intens.
“Ada apa, Ma?” Widjanarko tidak juga memahami arti tatapan Ratih.
“Apakah ada rencana Papa yang Mama tidak ketahui?”
“Tidak ada. Mama tahu semua yang ada di pikiran Papa.” Senyum simpul Widjanarko kembali terbit di sudut bibirnya.
“Jadi, apakah karena plan A tidak berjalan sesuai rencana, maka papa sudah menyiapkan plan B? Tebakan Mama tidak salah?” Ratih harap-harap cemas mendengar jawaban suaminya itu.
“Tidak. Sama sekali tidak salah.”
Wajah Ratih seketika berubah. Ia tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya. Semoga saja rencana dirinya dan suami bisa berjalan sempurna. Kedua orang itu tersenyum bahagia, tanpa memedulikan Rara yang merasa heran dengan ekspresi keduanya.
“Baiklah. Sekarang tugas baru untukmu adalah, tolong ajari putraku yang bodoh itu menjadi pria seutuhnya.”
Glek. Rara meneguk air liurnya begitu cepat. 'Pri-Pria se- seutuh-nya? Apa maksudnya itu?' Kedua bola mata Rara membesar, berputar ke sana kemari.
Ratih tergelak demi melihat wajah bingung Rara. “Pa, bahasamu itu loh. Kasian Rara. Dia gadis baik-baik. Jangan kotori otaknya dengan bahasa-bahasa yang tidak jelas begitu.”
“Oh, iya. Maafkan Bapak, Ra. Maksudnya, ajari Raka untuk mengerti bagaimana seorang pria harus bersikap. Jangan hanya bersenang-senang saja yang ia tahu. Meski anak bodoh itu tidak pernah bermain wanita seperti teman-temannya, tapi kebiasaannya yang hanya bersenang-senang ke sana kemari itu sangat buruk bagi dirinya, yang seorang pemimpin sebuah perusahaan.”
Rara tercenung mendengar penjelasan Widjanarko.
“Apakah kamu sudah paham?”
Sudah satu tahun, Rara menjalankan tugas barunya sebagai direktur. Dan selama itu juga ia membantu dan membimbing Raka, untk memahami dengan jelas pekerjaan seorang direktur. Raka sendiri, setelah berjanji pada kedua orang tuanya, sedikit demi sedikit berubah. Salah satu alasan dirinya berubah, karena ia memiliki dua pesaing tangguh di perusahaannya. Dan dirinya tidak mau mengalah. Tidak akan ia biarkan dirinya hanya menjadi penonton saja. Ia harus menjadi tokoh utama dalam drama di perusahaannya. Melihat kemajuan dan semangat Raka untuk menambah ilmunya, membuat Rara yakin jika dirinya tidak akan berlama-lama di perusahaan ini. Semakin cepat tranfer ilmu yang mereka lakukan, maka semakin cepat pula ia mengembalikan posisi direktur ini kepada Raka. Dan kini sudah genap satu tahun. Saatnya untuk mengembalikan jabatan direktur kepada Raka Orang-orang yang melakukan kecurangan sudah mendapatkan hukuman masing-masing. Mereka dipecat dari perusahaan, kecuali satu orang, sesuai dengan
Rara menendang batu kerikil yang berserakan di jalan masuk rumah kontrakannya. Kepalanya mendadak pusing. Baru kali ini ia merasakan tekanan batin yang luar biasa menyiksanya. Inilah yang ia takutkan sejak dulu. Ketika kehadirannya justru menjadi awal pertengkaran orang-orang di sekitarnya. Padahal Rara sangat sadar diri. Ia tidak pernah mengharapkan perhatian lebih dari seseorang. Ia selalu berusaha menutup dirinya dari yang namanya cinta. Kini, dirinya justru terjebak dalam masalah yang berpusar pada hal yang sangat ia hindari. Rara duduk sejenak di kursi di teras kecilnya. Ada tukang bakso yang sedang berjalan ke arahnya. Mungkin semangkuk bakso dengan sedikit sambal bisa mengurangi kegundahan hatinya. Rara berjalan ke pagar, menunggu gerobak bakso itu berhenti di depan rumahnya. Sedangkan di seberang, ada gerobak es teler yang sedang mangkal. Tanpa pikir panjang, Rara melambaikan tangannya, memesan satu gelas es teler. Sore ini, dia ingin memanjakan dirinya dengan semangkok
Penampilan Raka benar-benar kacau pagi itu. Setya sendiri terkejut dengan kedatangan Raka yang tidak biasa. Raka sudah begitu lama tidak lagi main di bar nya. Teman kuliahnya itu hanya mampir tapi tidak pernah lagi memesan minuman berwarna kuning itu. Akan tetapi, pagi itu begitu aneh. "Berikan minuman favoritku?" teriak Raka. Kepalanya terasa berat. Ia ingin membuang sesuatu dalam kepalanya tapi tidak bisa. Tangannya memegangi kedua sisi kepalanya. "Hah?" Setya terkejut. Ia tidak segera membuat pesanan Raka. Ia mencoba menerka penampilan sahabatnya itu. Masih begitu pagi, tapi mengapa wajahnya sudah sangat suntuk. "Set!! Apa telingamu sedang bermasalah?" Nada bicara Raka mulai meninggi. Ia sangat tidak sabar, seakan ingin segera membuang sesuatu yang sangat mengganjalnya. "Eh. Aku baik-baik saja. Tentu aku tidak ada masalah. Ada apa denganmu? Hari masih begitu pagi. Tidak baik untuk mengkonsumsi minuman ini. Kau pasti belum sarapan, bukan? Aku sarankan untuk sarapan dulu, maka ak
"Jadi anak itu datang sendiri? Apakah mungkin dia sudah menguntitmu?" "Mungkin, Pa. Raka juga tidak tahu." "Nekat juga orangnya ya? Untung kamu tolak perjodohan itu. Bisa mati berdiri mama kamu, berhadapan dengan mantu seperti dia" Widjanarko menggelengkan kepalanya. "Benny pasti sudah tahu cerita ini. Kalau sampai dia berani menelpon Papa, berarti dia sudah tidak butuh uang lagi. Tapi, kalau dia masih waras dan masih membutuhkan uang untuk hidup, dia pasti akan memilih damai, tidak akan berani memperpanjang masalah ini, apalagi melanjutkan perjodohan ngawur ini." "Oh iya, Ka. Besok lagi kalau kamu ke rumah Rara, bawa semua hadiah yang diberikan Benny kemarin. Daripada di sini tidak dimakan, lebih baik di rumah Rara. Biar anak gadis itu tambah gemuk, dan tambah imut. Mama suka sekali melihat pipi Rara yang chubby." Yang dipuji Rara, yang merah padam wajahnya justru Raka. Ia merasa pilihannya tidak salah. "Ka. Mumpung kamu ada di sini, Papa ingin bertanya sesuatu hal sama kamu."
Rara memilih untuk menghindar dari pertengkaran kecil itu. Ia sama sekali tidak berminat untuk ikut campur. Tidak ada untungnya sama sekali. Rara hendak menelpon Wisnu tapi ia ternyata salah memilih nama. Yang ia tekan justru nama Widjanarko. Tanpa sengaja, Rara menekan tombol video, dan menyorot langsung ke arah Raka dan gadis itu. Raka yang yang berjalan ke arahnya dan gadis bernama Icha itu terlihat jelas dalam video. Kejadian dimana dirinya disiram air oleh Icha juga terekam hingga akhirnya air membuat ponselnya basah. Rara yang terkejut dan panik langsung meraih ponsel dan mengelapnya dengan ujung tuniknya. Malang nian dirinya. Apa ini resiko yang harus ia terima karena berjalan bersama Raka? "APA YANG KAMU LAKUKAN??!!! seru Raka begitu keras. Pria itu mendorong Icha hingga terjungkal nyaris menabrak meja makan di belakangnya. Raka langsung menghampiri Rara yang terlihat begitu kaget dan masih mengelap ponselnya dengan ujung tuniknya. "Ayo, kita pergi dari sini!" ajak Raka.
"Kamu ada waktu malam ini?" Keduanya, tanpa sengaja, mengucapkan kalimat yang sama secara bersamaan. Rara tergelak. Begitu juga dengan Raka. Keadaan kemudian menjadi hening. Mereka berdiri di depan pintu lift, menunggu datangnya lift yang baru saja bergerak dari lantai satu. "Silakan. Pak Raka dulu, ada yang mau ditanyakan?" Rara mempersilakan Raka berbicara lebih dulu. "Tidak. Kamu saja dulu. Lady first, pria belakangan." "Tidak. Bapak saja dulu. Saya tidak begitu penting." "Hmm. Ya sudah kalau begitu." Raka berdeham sebentar. "Apakah kamu ada waktu luang malam ini?" Rara berpikir sejenak. Tidak mungkin ia langsung memberi jawaban. "Kelihatannya saya punya waktu kosong nanti malam. Ada apa?" "Hmm. Aku ingat-ingat, selama kita berhubungan satu dengan yang lain, kita belum pernah sekalipun makan malam bareng'kan?" Rara diam sambil berpikir. "Perasaan kita pernah keluar makan bareng, Pak. Ada Pak Wisnu juga."" "Tsk. Itu bukan makan malam. Kopi bareng itu. Kopi anti ngantuk k