"Ternyata keluarga Pak Vano memang menyenangkan, nggak beda jauh sama keluarga saya, kirain bakal kaku," kata Mita jujur.
Dia duduk di sebelah Vano yang sedang fokus menatap kedepan.Mereka sedang dalam perjalanan pulang, namun karena tadi sudah mendung, alhasil sekarang hujan deras pun turun.Wiper pun bergerak seirama untuk membersihkan air hujan yang terus menetesi kaca depan.Dengan suasana yang dingin ditemani dengan suara rintikan hujan, gadis bermata sipit itu nyatanya nggak bisa benar-benar diam. Bibirnya gatal ingin sedikit berbincang dengan bosnya. Lagian ada rasa nggak enak juga, ketika tadi Mita dengan semangat ikut ceng-cengin Vano, namun ketika hanya berdua gadis itu merasa nggak bisa lagi melakukan hal serupa. Dia nggak bisa bercanda, nggak akan ada yang membelanya, bahkan aura Vano kembali menjadi serius dan kaku, maka mau nggak mau Mita harus mempertegas bahwa hal tadi hanya candaan semata. Sudah belalu, jadi dia ingin terlihat santai dan membuka"Bawa." Vano mengangsurkan plastik berlebel merk makanan kepada Mita sebelum gadis itu keluar.Raut wajah Mita terlihat masih mengantuk. Sebab Vano seperti biasa membangunkannya dengan brutal."Ini apa Pak?" tanyanya yang sudah menggenggam plastik dari Vano. Sebenarnya dia sudah bisa mengerti makanan apa yang ada didalamnya. Dari merk nya saja nggak asing yaitu martabak terkenal dengan cita rasa yang banyak disukai orang-orang. Mita dan Bianca pun sering memakan martabak itu. Hanya saja, gadis itu nggak paham dengan maksud Vano memberikan kepadanya."Buat Ibu, Bapak dan Hansel.""Eh nggak usah pak, jangan repot-repot." Mita ingin mengembalikannya kepada Vano namun raut laki-laki itu semakin dingin dan semakin nggak enak dilihat."Itu buat mereka, bukan buat kamu, saya nggak repot."Saat Mita akan kembali menyanggah, laki-laki itu kembali berkata dengan nada mengusir. "Sana, keluar, saya mau pulang. Kalau mau ikut ngomong dari tadi biar nggak mampir."
Hari yang cerah. Mentari pagi bersinar indah. Seolah memang sedang menyambut pagi yang menyenangkan untuk Mita. Senyumnya pun menawan di bibir sedikit tebalnya. Sorot mata sipitnya juga bersinar terang, siapapun pasti tau jika gadis itu sedang berbahagia.Terlebih senandung-senandung kecil sering dia gumamkan. Sehingga aura bahagiannya kian terasa.Vano hanya menatap asistennya itu datar. Walaupun dia bisa merasakan kebahagiaan Mita, namun dia sudah tau apa penyebab yang membuat Mita bisa sebahagia itu.Mita itu ibaratkan sebuah cerita yang mudah ditebak. Dari tindakan, sikap dan perkataan, Vano dapat dengan mudah menebak apa yang sedang dirasakan oleh asistennya itu."Nah, sudah." Mita memundurkan tubuhnya untuk melihat dengan jelas laki-laki didepannya. "Sudah rapih, Pak Vano semakin ganteng deh," komentar Mita mengerlingkan mata sipitnya.Laki-laki di depannya mendengus. Kemudian melonggarkan dasi yang telah dipakaikan oleh Mita. "Terlalu mencekik," katanya datar y
Tau dementor? Itu loh tokoh fiksi karangan J. K. Rowling di serial Harry Potter. Dementor digambarkan sebagai makhluk menyeramkan yang bisa menyedot kebahagiaan manusia. Dah lah, emang persis banget dengan Vano. Hanya beda wujud saja, sebab Vano lebih enak dipandang dibanding si dementor. Tapi pada intinya keduanya sama, yaitu sama-sama penyedot kebagaiaan orang disekitar. Awal-awal, Mita sih masih punya sihir Expecto Patronum untuk menangkal si dementor alias Vano. Agar kebahagiaan yang dia rasakan nggak tersedot. Gadis itu sudah berusaha untuk menjaga moodnya dengan baik. Namun kekuatan sihir Expecto Patronum nya semakin mengikis akibat bertubi-tubi mendapat nyinyiran bosnya. Heran banget, kenapa nggak bisa lihat Mita bahagia sedikit saja sih. Sepanjang pagi hingga menjelang siang, Vano terus membuat gara-gara dengan asistennya. Ya yang menyuruh Mita untuk ikut meeting, bolak-balik keluar ruangan untuk koordinasi dengan Billy, menyur
Kesunyian melanda di dalam mobil Mercedes-Benz GLB-Class yang melaju pelan.Mang Joko yang menyupir beberapa kali melirik ke belakang untuk melihat Tuan Muda serta asistennya itu.Suasana seakan mencekam dan Mang Joko sangat merasakan betul aura kegelapan antara Vano dan Mita. Bahkan sejak baru masuk ke dalam mobil untuk pulang. Biasanya Vano berbasa-basi sedikit dengan Mang Joko. Dan Mita akan mengajak mengobrol sang sopir. Namun kali ini memang jauh berbeda.Mereka sama-sama diam dan nggak saling mengeluarkan sepatah katapun. Mita yang biasa cerewet juga diam saja. Sehingga Mang Joko mau nggak mau juga ikut terdiam dan berusaha untuk memfokuskan diri menyetir.Ada yang salah.Benar, memang ada yang salah.Tentu saja salahkan Vano jangan Mita. Gadis itu jengkel dengan kepribadian nyinyir bosnya. Dia merasa sakit hati telah dibilang nggak becus bekerja.Jadi, selama seminggu ini siapa yang menyiapkan segala perlengkapan kerja bosnya, siapa yang mem
"Saya nggak suka dengan orang yang mengganggu disaat saya lagi sibuk, sedangkan Bunga tadi merecoki saya." Vano kembali berbicara. Raut wajahnya datar tanpa emosi."Bunga kan pacar bapak," timpal Mita langsung. Sebab dia masih menganggap wajar jika perempuan seperti Bunga ingin mendapat perhatian lebih dari pacarnya yang kaku dan dingin.Tapi kayaknya si kembang yang salah mendapat pacar. Laki-laki macam Vano nggak akan bisa diandalkan untuk bisa perhatian dan peduli. Berarti Bunga saja yang salah memilih pacar."Pacar, terus berhak merecoki kerja di jam kerja?" Vano bertanya.Sedangkan Mita tertohok nggak bisa menjawab. Benar yang dikatakan Vano. Harusnya Bunga peka terhadap kesibukan pacarnya. Jangan mengganggu disaat yang nggak pas.Tetapi kalau dua-duanya benar, lalu yang salah siapa? Duh, kok Mita yang jadi pusing mengurusi percintaan bosnya.Mendapati asistennya yang hanya terdiam membuat Vano kembali mengeluarkan perkataannya. Entahlah, dia meras
"Jadi, lo baru pulang ngantor apa gimana Lang?" tanya Mita kepada Gilang disampingnya.Mereka menyantap menu yang sama di bawah langit malam kota Jakarta. Tempat yang sederhana akan menjadi romantis jika bersama doi. Apalagi doi nya Gilang. Laki-laki manis nggak ngebosenin yang bisa membuat Mita bahagia hanya melihat senyum dan tawanya saja.Ih, kok jadi lebay."Iya, barusan aja dan langsung mampir," jawab Gilang, kemudian memasukkan sesendok nasi beserta sate taichan ke dalam mulutnya.Perutnya lapar. Gilang kalau lapar makannya jadi seperti kuli, cepat dan banyak."Laper banget masnya," kata Mita menoleh pada Gilang. Ekspresinya seperti jijik, tapi nggak jijik. Kayak apa ya, heran saja gitu dengan Gilang yang makan seperti orang kelaparan.Mendapati ekspresi Mita yang seperti itu membuat Gilang sedikit meringis. "Sorry Mit, gue emang lagi laper banget."Mita terkekeh. "Yaudah, lanjutin aja, gue juga mau lanjut makan, ngobrolnya bisa nanti."
Kini Mita menatap langit-langit kamarnya. Jam di dinding sudah menunjuk angka sepuluh malam dan dia nggak bisa tidur padahal tubuhnya terasa lelah sekali.Pikirannya mulai menerawang kemana-mana akibat nggak bisa tidur.Baik mengenai Gilang ataupun Vano yang sikapnya berbeda jauh. Kemudian Mita teringat tentang ucapan Vano yang ingin mengakhiri hubungan dengan Bunga.Mita nggak habis pikir saja, mengapa dia bisa mendengar pengakuan bosnya yang datar. Apalagi hal itu mengarah ke urusan pribadi bosnya.Dan ketika sehabis gadis itu mendengar pengakuan Vano, dia nggak bereaksi apa-apa. Tertegun, bingung dan nggak tau harus mengatakan apa. Mita dan Vano terjebak dalam keterdiaman agak lama sebelum Mang Joko datang dengan membawa dua kopi cup merk terkenal.Bahkan sampai rumah, Mita dan Vano pun nggak mengucapkan apa-apa, hingga Mita memutuskan pulang setelah berpamit dengan Bik Muti dan Mang Joko.Gadis bermata sipit itu semakin dibuat bingung dengan tingkah
Memasukkan pakaian sudah, menata barang dan dokumen yang dibutuhkan juga sudah. Menyiapkan pakaian ganti sudah, merapihkan kamar Vano juga sudah. Lalu, Mita memperhatikan pintu kamar mandi yang masih tertutup rapat. Gemericik air terdengar disana. Dia berdecih sengit, kemudian menuju ranjang Vano kembali.Betapa sibuknya gadis itu di pagi buta seperti ini. Packing barang-barang bosnya dengan diawasi Vano sendiri. Mita bahkan nggak habis pikir, dia yang memasukkan juga pakaian pribadi a.k.a dalaman bosnya.Mita dan Vano bahkan sempat berdebat karna hal itu. Mita yang nggak mau kalah dan Vano juga yang nggak mau ngalah."Apa salahnya, ambil dan masukkan? Itu cuman kain dan nggak lagi saya pakai," ucap Vano cuek kala itu, tanpa mengalihkan pandangan dari tabletnya di meja kerja."Ya bukan gitu pak, itu barang pribadi Pak Vano sendiri, masa saya pegang-pegang?""Yang kamu akan pegang itu celana bersih, bukan pegang-pegang alat vital saya."Astaga, kalau Mita inga