Mempunyai paras cantik serta karir sebagai seorang pramugari, tak memudahkan Meinar untuk menemukan lelaki yang menjadi pelabuhan hatinya. Semenjak di tinggal Dendra, lelaki yang pernah menjalin hubungan sepuluh tahun yang lalu dengannya, membuat Meinar menutup hati dan sulit untuk menerima hati yang lain. Kemudian pertemuan tak sengaja dengan Dedra, serta pengakuan Dendra yang masih mencintainya, membuat Meinar gamang. Akankah ia akan menerima Dendra kembali dengan menjadi orang ketiga dalam rumah tangga lelaki itu, atau memilih untuk meninggalkan lelaki itu?
View More"Mei?" Terdengar suara berat yang tak asing di telinga dari arah belakangku.
Aku berbalik memastikan bahwa telingaku tidak sedang berhalusinasi.
"Oh ... Hei, Dendra?" sapaku berusaha untuk membuat nada suara terdengar biasa.
"Ah! Ternyata benar kamu." Ada bias rindu yang menggantung di kedua belah mata teduhnya.
Satu dekade sudah aku tak melihat tatapan mata teduh itu. Senyumnya masih sama, caranya memandangku juga masih sama, bahkan rasa sakit yang kurasakan juga masih seperti terakhir kali melihatnya.
"Apa kabar? Ah basa-basi banget ya!" gelaknya memamerkan sederet gigi putih yang bersusun rapi di balik bibirnya.
"Ahaha ... Iya! Kalau sudah lihat seperti ini, tak perlu tanya kabar kan?" balasku masih berusaha menetralkan gemuruh yang berdesakkan di dada.
"Pah, sudah beres check-in nya?" Sesosok wanita dengan gamis ungu dan kerudung bewarna senada datang dari belakang Dendra. Pakaian yang di pakainya jelas menampilkan tampilan wanita sosialita. Sebuah tas keluaran perancang ternama tersampir indah di lengannya yang jenjang.
"Oh, sudah. Kebetulan aku bertemu teman lama. Mei ini istriku Nisya, Mah ... Ini Meinar teman seangkatanku ketika SMA dulu."
"Halo, Mei ... Senang bertemu dengan teman lama suamiku." Nisya mengulurkan tangannya yang putih bersih.
Senyum tulus terkembang di bibirnya yang dipoles lipstik berwarna mauve. Iris mata yang ditutupi lensa kontak berwarna hijau membuat wajah cantiknya terlihat bagai manekin yang sempurna.
"Senang berkenalan denganmu," sahutku meredam rasa perih yang tiba-tiba muncul mendengar kata 'Teman lama' dari bibir Dendra.
Aku tak lebih dari teman lama yang bisa dilupakan begitu saja keberadaanku, karena kisah kami tak berlanjut sebab terhalang restu orangtua.
"Eh, pesawatku sudah mau boarding. Aku duluan ya," pamitku kepada kedua orang yang masih berdiri anggun di hadapanku. Penampilan mereka bak model majalah fashion, tampak serasi, membuat hatiku makin terasa perih.
"Eh ... Oh iya ... Sampai ketemu lagi, Mei." Dendra melambaikan tangannya yang terbalut kemeja lengan panjang biru langit yang mencetak otot lengannya yang kokoh.
"Ya ... Bye Nisya ...." Aku menyempatkan diri berpamitan pada wanita dengan sosok sempurna di hadapanku.
Wanita itu hanya membalas dengan seulas senyum yang begitu manis. Pantas saja Dendra lebih memilih wanita pilihan orangtuanya daripada memilihku yang telah membersamainya selama lima tahun.
Tatkala melewati toko yang menjual souvenir, aku melirik tampilanku yang terpantul pada cermin yang ada di toko kecil itu. Tampak sesosok perempuan dengan tampilan ala kadarnya, memakai celana kulot denim selutut, dengan kemeja berwarna putih longgar. Rambut panjang yang ku warnai burgundy, kuikat asal ke atas tengkuk. Wajahku polos tanpa riasan apa-apa, hanya memakai pelembab bibir yang memberikan sedikit warna pada kulit ku yang pucat. Tas ransel menggantung di pundak, dan sepatu kets putih membungkus kedua belah kakiku. Jauh dari kesan feminim.
Walaupun aku berprofesi sebagai pramugari, namun ketika sedang tidak bertugas, aku lebih memilih tidak menggunakan riasan apapun. Bagiku jika sedang tidak bertugas, lebih nyaman dengan tampilan apa adanya tanpa riasan.
Aku melesat masuk gate menuju pesawat yang akan membawa ku ke kampung halaman.
"Mba Mei, lagi off ya?" sapa pramugari junior yang sedang bertugas dan kebetulan mengenalku.
"Eh iya, Lis. Kamu lagi ditugasin rute ini?" sahutku ramah.
"Iya, Mba ... Seat berapa Mba?"
"2 Alfa."
"Silahkan, Mba." Gadis berseragam kebaya oranye itu mempersilahkan aku menempati tempat duduk yang tertera pada boarding pass.
***
"Maaf Mei, bagiku ketika menikah yang paling utama adalah restu orangtua. Aku anak laki-laki, harus berbakti pada kedua orangtuaku ...." Kata-kata Dendra ketika mengucapkan salam perpisahan terngiang-ngiang lagi di telingaku.
Ya ... Aku harus berbesar hati melepaskan mimpi-mimpiku merajut masa depan dengan pria yang telah merajut asa bersamaku. Lima tahun bersama tak membuat ia berniat memperjuangkan hubungan yang sudah terjalin dalam waktu cukup lama itu.
"Ya ... Sudah, kalau memang harus begitu ... Aku bisa apa," sahutku dengan senyum yang ku buat secerah mungkin. Aku tak mau menampakkan wajah menyedihkan seorang perempuan yang dicampakkan begitu saja oleh orang yang telah merangkai mimpi masa depan bersama denganku.
"Kamu yakin baik-baik saja kan, Mei?" tanyanya seperti mencari kebenaran dalam kedua belah mataku.
"Menurutmu?" Aku balik bertanya. Bukankah pertanyaan aneh, ketika orang yang memutuskanmu menanyakan apakah ia baik-baik saja.
"Aku minta maaf sekali lagi, Mei. Bagiku ini keputusan berat." Dendra menangkupkan kedua telapak tangan ke wajahnya, kemudian kembali memandangi ku.
"It's okay... Everything gonna be okay," sahutku masih dengan senyum yang menghiasi wajahku.
Aku tak mampu merangkai kata-kata untuk menggambarkan rasa patah hatiku saat itu. Yang jelas, jantungku terasa direnggut paksa dari tempatnya berdenyut. Seketika segala mimpi yang telah tergambar jelas seolah remuk begitu saja. Namun hidupku tak harus hancur begitu saja hanya karena seorang pria. Aku akan terus melanjutkan hidup, menggapai semua cita-citaku tanpa pria itu. Aku ingin memperlihatkan padanya bahwa duniaku tak kan hancur tanpa keberadaannya.
**HN**
Setelah tersiksa oleh rasa sakit selama lebih dari 12 jam, akhirnya makhluk mungil yang kami tunggu pun hadir dengan tangisnya yang lantang membelah malam. Hampir tengah malam kala tubuh mungil yang masih merah itu di telungkupkan di dadaku, menyesap makanan pertamanya dari tubuhku. Tidak hanya aku, Adrian juya terlihat sangat lelah. Rambutnya sudah tak lagi serapi saat datang, karena telah menjadi korban jambakanku ketika proses melahirkan. Ah! Maafkan aku suamiku. Namun, segala kesakitan dan rasa lelah itu terasa terbayar saat melihat mulut mungil itu mengecap-ngecap di dadaku. "Thanks, Mei," bisik Adrian mengecup lembut sisi kepalaku. Tiba-tiba seperti ada tetesan hangat jatuh di pipiku. Aku mendongak, mendapati mata Adrian yang basah, tetapi dengan senyum mengulas di bibirnya. "Makasih sudah berjuang untuk makhluk terindah ini," imbuhnya saat melihatku mengerjap-ngerjap menahan haru menatap ke arahnya. Aku masih merasa tak percaya saat menelisik wajah mungil yang dengan rakusnya
Memasuki hari ketujuh setelah aku dan Adrian keluar dari rumah sakit. Adrian sudah mulai kembali bekerja, meskipun dia belum bisa menyetir sendiri untuk berangkat ke kantor. Pak Isa—sopir keluarga ibu mertuaku—yang diperbantukan untuk menjemput dan mengantar suamiku itu ke kantor. Berhubung kantor Adrian merupakan perusahaan keluarga, jadi Adrian tidak terlalu dituntut untuk hadir sesuai jadwal kantoran. Dia bisa berangkat agak siang, dan pulang lebih awal. Sehingga lumayan menghemat tenaganya selama pemulihan, karena tidak terlalu lama terjebak di jalan. Tadinya ayah yang menawarkan diri untuk mengantar, tetapi Adrian menolak karena merasa sungkan. Pagi ini setelah melepas Adrian berangkat ke kantor, aku memilih berjalan-jalan di taman apartemen, ditemani oleh bundo. Sebenarnya aku masih agak takut berada di luar ruang seperti ini. Rasa trauma itu masih ada. Terkadang, aku kembali mengalami mimpi buruk. Terbangun di tengah malam dan berteriak kesetanan kala tak kudapati Adrian bera
Hari ini Adrian sudah dipindah ke ruang rawat biasa. Aku masih saja terus mengucap syukur dalam hati. Kendati Adrian belum sepenuhnya bisa banyak gerak, tetapi melihat senyum tersungging di bibirnya, sudah membuat rasa syukurku berlipat. Dengan persetujuan dokter juga aku bisa dirawat dalam satu ruangan dengan Adrian, sehingga kami tak terlalu saling mencemaskan satu sama lain. Karena dengan kondisi seperti itu Adrian masih saja mencemaskan kandunganku, dia bahkan sampai lupa luka yang tengah ia derita kala melihatku harus meminimalisir gerak. "Apakah istri saya baik-baik saja, Dok?" See? Meskipun dia masih terbaring lemah, tetapi kalimatnya masih mengkhawatirkanku. "Tekanan darahnya sudah normal. Hanya kadar protein urin masih agak tinggi, besok istri bapak sudah bisa rawat jalan," terang dokter yang tengah memeriksa keadaan Adrian. Kulihat bibir Adrian menyunggingkan senyum. Lebih terlihat lega, setelah seharian tadi dia berkali-kali bertanya apa benar aku merasa baik-baik saja.
Pihak rumah sakit akhirnya mengizinkanku untuk mengunjungi ruang rawat Adrian. Aku tak dapat membendung tangis begitu melihat tubuh lelaki yang kucintai itu terbujur dengan berbagai alat bantu di tubuhnya. Adrian belum sadarkan diri, meskipun telah melewati masa kritis akibat syok karena kehilangan banyak darah. Kantong darah yang masih menggantung pada salah satu sisi bed, menandakan seberapa banyak darah yang hilang diakibatkan oleh luka itu. Menurut cerita ibu mertuaku, tusukan Dendra mengenai paru-paru Adrian, sehingga tak hanya kehilangan banyak darah, Adrian juga harus menjalani operasi untuk mengeluarkan darah yang mengumpul di paru-paru, serta menjahit luka tersebut. Keluarga Adrian saat ini tengah memperkarakan kasus ini ke jalur hukum. Meskipun Dendra dibebaskan pada kasus penyerangan di kafe Adrian dengan alasan kondisi kejiwaan yang tidak stabil, keluarga Adrian tak peduli. Mba Olivia—kakak tertua Adrian— bersikeras untuk memperkarakan Dendra dan menuntut agar laki-laki i
Hari ini aku dan Adrian pergi ke pusat perbelanjaan, untuk mencari perlengkapan menyambut anggota keluarga baru kami. Sekalian mencari barang yang kuperlukan saat persalinan nanti. Masih banyak barang-barang persiapan persalinan yang belum kubeli. Selama memutari beberapa toko yang menjual perlengkapan bayi, tangan Adrian tak lepas menggenggam tanganku, seolah takut aku terlepas dan hilang di pusat perbelanjaan ini. Ia hanya melepas genggaman ketika aku mulai memilih barang-barang yang hendak kubeli dari rak toko. "Ini lucu nggak, Dri?" tanyaku memamerkan tuxedo berukuran mini di depan dada. Ya, bayi kami diprediksikan berjenis kelamin laki-laki, sehingga pakaian yang menarik perhatianku selama berbelanja adalah pakaian untuk bayi laki-laki. "Lucu." Adrian setuju dengan pendapatku. "Ah! Tapi harganya lumayan," ujarku ketika melihat tag harga sambil cengengesan. "Beli saja kalau suka."Aku menggeleng. "Tampaknya belum perlu bayi kita memakai tuxedo, kata Mbak Salma pakaian bayi yan
Bandung dan setumpuk rindu di hati yang sulit kulerai. Rindu yang kurasa kali ini bukan lagi milik Dendra, tetapi rindu akan hal-hal yang pernah aku lakukan di sana tanpa Dendra. Pagi ini bersama Adrian, aku memilih pergi dengan kendaraan umum menuju tempat penjual kupat tahu yang kuidamkan itu. Adrian tampak agak kurang setuju dengan usulku, mengingat kondisiku yang terkadang tiba-tiba turun jika terlalu lelah. "Nggak apa-apa, aku baik-baik saja," ujarku berusaha meyakinkan suami protektif yang berkali-kali bertanya apakah aku tidak merasa pusing, karena angkot yang kami tumpangi berhenti terlalu lama menunggu penumpang. Berbeda jauh dengan saat aku masih kuliah dulu, angkot menuju pasar tradisional tujuan kami ini jarang sekali ngetem lama seperti ini. Mungkin karena pada saat aku kuliah dulu belum ada transportasi online, sehingga angkutan kotalah yang menjadi pilihan utama sebagai moda transportasi. Jarak tempuh dari tempat kami menginap ke tempat yang kami tuju sebenarnya hanya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments